ESTRUS PADA ANOA (Bubalus Sp.)

June 3, 2017 | Autor: Julista Kasehung | Categoria: Animal Science, Animal Husbandry, Animal Breeding
Share Embed


Descrição do Produto





1

PENDAHULUAN
Anoa "Bubalus depressicornis" merupakan satwa langka serta endemik dari 79 hewan endemik yang masih hidup di pulau Sulawesi (Kasim, 2002). CITES (Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menyatakan bahwa anoa dikategorikan sebagai fauna "appendix I", yaitu satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran (http://www.ksda-bali.go.id, 2009). Sedangkan menurut IUCN (The International Union of Conservation of Nature), anoa masuk dalam kategori "endangered" atau hampir punah. Meskipun data tentang populasi anoa belum jelas, tetapi populasi anoa diperkirakan kurang dari 5.000 ekor (Mustari, 2012 dalam http://www.mogabay.co.id, 2012). Berkurangnya populasi anoa diduga akibat berkurangnya luas hutan yang ditempatinya. Perburuan liar yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi anoa terjadi karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi dan status anoa yang terancam punah. Populasi anoa yang kian menyusut ini menyebabkan anoa semakin sulit untuk berpasangan sehingga mengakibatkan meningkatnya laju inbreeding atau silang dalam (Holt dan Pickard, 1999). Silang dalam dapat menyebabkan penurunan kualitas reproduksi, daya adaptasi dan kelainan genetik/bawaan serta kerentanan terhadap penyakit (Yudi, 2012). Berdasarkan permasalahan tersebut, faktor reproduksi pada anoa perlu mendapatkan perhatian khusus dalam rangka peningkatan populasi hewan ini. Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin termasuk anoa, mengalami perubahan-perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya siklus dihitung dari munculnya estrus sampai pada periode estrus sesudahnya. Masa estrus merupakan waktu dimana hewan betina bersedia dikawini oleh pejantan (Feradis, 2010). Makalah ini akan membahas mengenai estrus pada anoa yang bertujuan untuk dapat memahami karakter estrus pada hewan ini sehingga diharapkan akan lebih mempermudah dalam mendalami proses reproduksi selanjutnya pada hewan ini.

PEMBAHASAN
Klasifikasi dan Deskripsi
Anoa merupakan salah satu bentuk kehidupan prasejarah yang berasal dari zaman pleitosen (Jahidin, 2003). Taksonomi dari anoa:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Genus : Bubalus
Sub Genus : Anoa
Spesies : Bubalus Spp
Sub spesies : Bubalus (Anoa) depressicornis depressicorni
B. (A.) d. fergusoni
B. (A.) d. quarlesi
Meskipun masih terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti perihal nomenklatur anoa secara utuh (Yudi, 2012), akan tetapi menurut Burton et al., (2005a), penamaan untuk anoa yang dianggap resmi adalah Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi. Bentuk tubuh dan ciri-ciri morfologi anoa mirip kerbau, akan tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil sehingga acapkali disebut sebagai small buffalo-like animals. Kebiasaan dan tingkah laku anoa pun seperti bangsa kerbau lainnya, yaitu menghabiskan waktu untuk tidur dan berkubang di lumpur atau genangan air pada siang hari (Kasim, 2002). Anoa dataran rendah Bubalus quarlesi memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar daripada anoa pegunungan Bubalus depressicornis, ekor panjang, terdapat bercak putih pada daerah kaki dengan tanduk yang pipih dan kasar (Whitten et al., 1987), berat tubuh sekitar 300 kg, ukuran tinggi pundak: 80-100 cm, panjang badan: 170-188 cm, tanduk jantan: 27-37 cm dan tanduk betina: 18-26 cm, rambut jarang dan lurus (Grizmek, 1990), panjang tengkorak jantan: 29,8-32,2 cm dan pada betina berkisar antara: 29-30 cm (Groves, 1969). Menurut Whitten et al., (1987), ukuran tubuh anoa pegunungan lebih kecil, ekor pendek dan tanduk yang berbentuk kerucut yang rata. Grizmek (1990) juga menambahkan bahwa anoa pegunungan memiliki berat tubuh: 150 kg, tinggi pundak: 75 cm, kisaran panjang badan: 122-153 cm, panjang tanduk jantan dan betina berada pada kisaran: 15-20 cm, rambut tebal dan menyerupai wol pada betina, tak ada bercak putih pada kaki dan bewarna hitam. Namun, ada juga anoa pegunungan yang berwarna coklat kemerahan dengan panjang tengkorak: 24,4-29 cm (Groves, 1969). Jahja (1996) menyatakan bahwa di habitat aslinya anoa merupakan hewan yang bersifat soliter berpasangan atau dalam kelompok kecil (4-6 ekor) yang terdiri dari induk, pejantan dan anak. Sebaran kelompok kecil tersebut kadang ditemukan di daerah berlumut luas atau di sekitar sumber air panas. Kelompok kecil pada daerah penangkaran sering terlihat saat mencari makan atau rebahan di tanah lapang (Yudi, 2012). Tempat ideal bagi anoa untuk berlindung dari hujan, panas dan predator serta sebagai tempat istirahat, adalah dengan cara bersembunyi di semak, gua tanah, pohon tumbang dan bebatuan besar (Rahman, 2001 dalam Yudi, 2012). Kehidupan anoa yang soliter dan menjadikan semak sebagai tempat perlindungan diri akan memudahkan hewan ini dalam menyelamatkan dirinya dari predator (Kasim, 2002). Yudi (2012) juga menyatakan bahwa secara umum, pakan anoa adalah rumput dan hijauan lainnya dari famili Ficus Sp., Eugenia Sp., Palaquum Sp., pohon bambu muda, rotan muda, pohon pisang muda, pohon salak, pakis, Scleria Sp., dan berbagai jenis rumput. Anoa juga mendapatkan asupan mineral yang cukup dari sumber air panas yang mengandung sulfur atau air laut (Jahja, 1996). Habitat utama anoa adalah hutan alami virgin forest yang belum banyak dijamah oleh manusia. Disebutkan juga bahwa anoa pegunungan biasa hidup di hutan perbukitan, sedangkan anoa dataran rendah hidup pada ketinggian < 700 m dpl. Namun dari penelitian yang dilakukan, anoa menempati habitat yang variatif mulai dari daerah pegunungan, pantai, rawa hingga dataran rendah (Mustari, 1996). Penyebaran anoa ditemukan hampir di seluruh dataran di pulau Sulawesi sampai akhir abad ke-19 (Groves, 1969; Mustari, 1996) tetapi populasi anoa berkurang secara drastis seiring dengan kerusakan dan berkurangnya luas hutan akibat aktivitas manusia seperti pertambangan, perkebunan, pertanian, perburuan dan pemukiman (McKinnon, 1981; Kasim, 2002; Purwantara, 2003; Burton et al., 2005b). Populasi yang semakin sedikit dan habitat yang terfragmentasi dan rusak akan menyulitkan anoa untuk berpasangan sehingga dapat meningkatkan angka inbreeding (Holt dan Pickard, 1999).
Organ Reproduksi Anoa Betina
Organ reproduksi anoa betina menyerupai organ reproduksi sapi dan kerbau betina. Organ reproduksi tersebut dibagi menjadi organ reproduksi primer yaitu ovarium dan organ-organ reproduksi sekunder atau saluran reproduksi yang terdiri dari oviduk, uterus, cervix, vagina dan vulva (Feradis, 2010).
Ovarium
Ovarium terletak dalam cavum abdominalis, memiliki dua fungsi yaitu sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon estrogen dan progesteron serta sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur (Feradis, 2010). Bentuk dan ukuran ovarium berbeda-beda menurut spesies dan fase siklus estrus. Sel telur (ovum) yang dihasilkan melewati berbagai tahap perkembangan mulai dari folikel primer, sekunder, tersier dan folikel de Graaf . Folikel primer terdiri dari "satu bakal sel telur" yang berkumpul di bawah tunica albuginea. Folikel sekunder berkembang ke arah pusat stroma cortex pada saat kelompok sel folikuler yang memperbanyak diri membentuk suatu lapisan multiseluler sekeliling vitellus. Pada tahap ini juga terbentuk suatu membran yang dikenal sebagai zona pellucida. Folikel tersier terlihat saat sel-sel pada lapisan folikuler memisahkan diri untuk membentuk suatu rongga, yaitu antrum yang merupakan tempat penonjolan oogonium. Tahapan perkembangan selanjutnya adalah folikel de Graaf . Ukurannya yang selalu bertambah menyebabkan folikel de Graaf yang matang akan menonjol keluar melalui cortex ke permukaan ovarium (Toelihere, 1993 dalam Feradis, 2010). Menurut Feradis (2010), pemecahan folikel de Graaf (ovulasi) terjadi pada saat ovum dilepaskan dari ovarium. Waktu yang dibutuhkan untuk ovulasi tergantung pada lokasi ovum di dalam folikel. Ovum yang berada di dasar folikel membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk ovulasi dibandingkan dengan ovum yang terletak dekat stigma yang menonjol. Sesudah setelah ovulasi rongga folikel diisi oleh darah dan limfa, membentuk corpus haemorrhagicum. Perubahan-perubahan selanjutnya tergantung pada apakah ovum dibuahi atau tidak. Warna corpus luteum (CL) berbeda-beda menurut spesies dan siklus reproduksi hewan. Apabila terjadi kebuntingan, CL akan mempertahankan ukurannya. Pada masa estrus, CL disebut CL spurium atau badan kuning semu sedangkan pada masa kebuntingan dikenal dengan CL verum yang ukurannya dapat melebihi CL spurium. Corpus luteum akan beregresi jika tidak terjadi fertilisasi sehingga memungkinkan folikel-folikel de Graaf yang lain menjadi matang. Pada saat sel-sel luteal berdegenerasi, seluruh organ mengecil, menjadi putih atau coklat pucat yang disebut corpus albicans. Sisa-sisa corpus albicans bertahan selama beberapa siklus berturut-turut sebagai secercah kecil pigmen-pigmen lipochrom. Sebaliknya, corpus albicans dari estrus yang baru lewat memiliki ukuran yang cukup besar dan berwarna keputih-putihan (Feradis, 2010).
Saluran Reproduksi
Oviduk
Oviduk atau tuba fallopii merupakan saluran paling anterior, kecil, berliku-liku dan terasa keras seperti kawat terutama pada pangkalnya. Oviduk terdiri atas infundibulum dan fimriae, ampulla dan isthmus. Pada saat ovulasi, ovum disapu ke dalam ujung oviduk yang berfimriae. Di dalam oviduk terjadi kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Feradis 2010).





Uterus
Menurut Feradis (2010), uterus terdiri dari cornua, corpus dan cevix. Fungsi uterus adalah menerima ovum yang telah dibuahi, nutrisi dan perlindungan fetus serta stadium permulaan ekspulsi pada waktu kelahiran. Ada dua lapisan uterus yaitu endometrium dan myometrium. Endometrium terdiri dari lapisan epithel yang membatasi rongga uterus, lapisan glandular dan jaringan ikat. Tebal dan vaskularisasi endometrium bervariasi seiring dengan perubahan-perubahan hormonal ovarial dan kebuntingan (Feradis, 2010). Seperti yang dikemukakan oleh Feradis (2010), myometrium merupakan bagian dinding uterus yang terdiri dari dua lapisan otot licin yang di antara kedua lapisan tersebut. Di dalam lapisan vasikuler terdapat buluh-buluh darah dan limfa, saraf dan jaringan ikat. Selama kebuntingan, jumlah jaringan otot pada dinding uterus akan bertambah karena pembesaran sel dan penambahan jumlah sel. Cervix atau leher rahim memilki dinding yang tebal dan lumen yang merapat. Ciri khas dinding cervix berupa penonjolan-penonjolan yang disebut cincin-cincin anuler yang perkembangannya tergantung spesies ternak. Cervix berfungsi untuk mencegah benda-benda asing atau mikroorganisme masuk ke lumen uterus. Cervix biasanya tertutup rapat kecuali selama estrus dan sesaat sebelum partus (Feradis, 2010).
Vagina
Menurut Feradis (2010), vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur selubung maskuler yang terletak di dalam rongga pelvis dorsal dari vesica urinaria. Fungsi vagina adalah sebagai alat kopulatoris dan sebagai tempat berlalu bagi fetus sewaktu partus.
Vulva
Vulva terdiri dari labia majora, labia minora, commisura dorsalis dan ventralis serta klitoris. Pada kebanyakan ruminansia, panjang klitoris kira-kira 5-10 cm. Klitoris terdiri dari jaringan erektil yang diselubungi oleh epithel squamous bersusun dan mengandung cukup banyak ujung saraf sensoris (Feradis, 2010)
Hormon-hormon Reproduksi
Hormon didefinisikan sebagai suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-sel hidup dari suatu daerah terbatas pada organisme yang berdifusi atau diangkut ke suatu lokasi dalam organisme yang sama dan menyebabkan penyesuaian yang cenderung untuk mengintegrasi bagian-bagian dan fungsi-fungsi komponen organisme tersebut (Feradis, 2010).
Tabel 1. Hormon-hormon Reproduksi yang Terlibat dalam Siklus Estrus
Kelenjar
Hormon
Fungsi
Adenohypofisa
Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Spermatogenesis


Pertumbuhan folikel

Lutenizing Hormone (LH)
Pelepasan estrogen


Ovulasi


Pelepasan progesteron

Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH) bersama
Pelepasan estrogen

FSH dan LH


Prolaktin (Luteotropic Hormone) (LTH)
Pelepasan progesteron
 
 
Laktasi
Ovarium
Estradiol
Mempertahankan sistem saluran


kelamin betina & sifat-


sifat kelamin betina


Kelakuan kelamin betina


Stimulus kelenjar susu


Mobilisasi Ca & lemak pd unggas

Progesteron
Implantasi


Mempertahankan kebuntingan
 
 
Stimulus kelenjar susu
Plasenta
Estradiol
 

Progesteron


Prostaglandin
Kontraksi otot licin
 
 
Luteolysa
Sumber : Feradis (2010)


Tabel 2. Faktor-faktor Pelepas (Releasing Factors)
Faktor (Hormon)
Fungsi
Gonadotropin Releasing Hormone (Gn-RH)
Stimulasi pelepasan gonadotropin

(FSH dan LH)
Corticotropin Releasing Factor (CRF)
Stimulasi pelepasan ACTH
Sumber : Feradis (2010)
Ovulasi
Pertumbuhan dan perkembangan folikel mencapai puncaknya dalam bentuk folikel de Graaf yang matang dan terjadinya ovulasi hanya berlangsung pada hewan-hewan yang tidak bunting setelah pubertas selama suatu siklus reproduksi. Sedangkan tanpa folikel de Graaf, tanda-tanda estrus tidak akan terlihat, ova tidak dapat dibebaskan dan CL tidak dapat terbentuk. Pertumbuhan folikel-folikel primer yang hanya dikelilingi oleh suatu lapis sel-sel epitel yang berkembang menjadi folikel-folikel vesicular atau folikel yang mengandung antrum atau yang disebut folikel de Graaf (Feradis, 2010). Atas rangsangan FSH dari adenohypophysa sejumlah folikel vesicular mulai berkembang. Sementara itu sejumlah estrogen yang makin banyak dihasilkan oleh theca interna dan diabsorbsi ke dalam sirkulasi tubuh dan juga ke dalam cairan folikuler. Di dalam tubuh hewan, estrogen juga menimbulkan perubahan-perubahan yang khas dan terlihat pada saluran reproduksi pada periode proestrus dan estrus (Feradis, 2010). Pelepasan LH dari adenohypophysa menyebabkan ovulasi pada folikel yang sudah matang. Sesudah folikel pecah dan ovum dibebaskan, sedikit pendarahan dapat terjadi di dalam folikel. Badan ini disebut corpus hemorrhagicum pada sapi, domba, babi dan hewan-hewan lainnya. Pendarahan terjadi melalui dinding-dinding folikel dan bukan pada tempat pecahnya (Feradis, 2010). Corpus luteum yang telah berkembang dari sel-sel granulosa yang membatasi folikel de Graaf sewaktu ovulasi bertumbuh pesat di bawah pengaruh LH sesudah ovulasi. Produksi progesteron oleh CL menghambat produksi LH dan FSH. Apabila terjadi pembuahan dan kebuntingan, CL dipertahankan oleh sekresi hormon luteolitik (LTH) atau LH dari kelenjar hypophysa anterior. Apabila tidak terjadi kebuntingan, CL berdegenerasi dan dengan penurunan produksi progesteron pada akhir siklus estrus, FSH diproduksi kembali dan suatu gelombang folikel-folikel baru mulai bertumbuh diikuti oleh timbulnya proestrus (Feradis, 2010).
Siklus Estrus
Estrus adalah saat dimana hewan betina bersedia dikawini oleh pejantan. Lamanya siklus estrus dari seekor hewan dihitung dari munculnya estrus, sampai munculnya estrus lagi pada periode berikutnya (Feradis, 2010).
Fase-fase Siklus Estrus
Berdasarkan kadar hormon yang dihasilkan oleh ovarium menurut Feradis (2010), beberapa ahli fisiologi reproduksi membagi siklus estrus menjadi dua fase, yaitu :
Fase estrogenik atau fase folikel yang menggabungkan periode proestrus dan estrus.
Fase progesteronik atau fase luteal yang menggabungkan periode metestrus dan diestrus.
Empat Periode Estrus
Proestrus
Proestrus dimulai ketika CL beregresi sampai hewan benar-benar estrus. Pada periode ini, hewan telah memperlihatkan tanda-tanda estrus tetapi belum bersedia melakukan kopulasi. Hal ini mungkin disebabkan kadar estrogen yang dihasilkan oleh folikel belum cukup. Perubahan secara internal dapat dilihat dari pertumbuhan folikel yang cepat dari folikel tersier menjadi folikel de Graaf. Uterus dan oviduk lebih banyak mengandung pembuluh-pembuluh darah daripada biasanya. Kelenjar-kelenjar endometrium tumbuh memanjang, cervix mulai berelaksasi dan kelenjar-kelenjar lendir dalam lumen cervix mulai bersekresi (Feradis, 2010).


Estrus
Estrogen merupakan hormon yang mempengaruhi periode estrus. Berikut ini adalah beberapa tingkah laku yang diperlihatkan ternak pada periode estrus.
Betina yang sedang estrus menyediakan diri untuk dikawini oleh pejantan.
Hewan betina estrus akan tetap berdiri di tempat (diam) ketika dinaiki baik oleh sesama hewan betina maupun pejantan atau hewan betina terlihat menaiki hewan lainnya.
Vulva memerah, membengkak, berlendir.
Hewan betina terlihat gelisah, apabila dikadangkan ingin keluar kandang, melenguh-lenguh dan pangkal ekor terlihat sedikit terangkat.
Metestrus
Metestrus berlangsung 1-5 hari setelah estrus dimana dalam periode ini terjadi penurunan konsentrasi estrogen, progesteron dan LH. Metestrus (postestrus) ditandai dengan berhentinya estrus. Pada periode ini, bekas ovum yang berovulasi bertumbuh dengan cepat membentuk CL di bawah pengaruh LH. Corpus luteum yang terbentuk menghasilkan progesteron, yang menghambat sekresi FSH. Akibatnya, pematangan folikel tersier menjadi folikel de Graaf terhenti. Pada saat itu pula terjadi perubahan uterus untuk menyiapkan diri dalam memelihara perkembangan embrio (Feradis, 2010).
Diestrus
Menurut Feradis (2010), diestrus adalah periode terpanjang di antara semua periode dalam siklus estrus. Pada periode ini, CL sudah berfungsi sepenuhnya. Pengaruh progesteron sudah terlihat yaitu, adanya perubahan pada saluran reproduksi. Endometrium menebal, kelenjar dan urat daging uterus terus berkembang untuk merawat embrio dari hasil pembuahan dan pembentukan plasenta. Bila pembuahan terjadi, keadaan tersebut akan terus berlangsung selama kebuntingan dan CL akan tetap bertahan sampai kelahiran terjadi. Karena itulah, CL-nya disebut CL gravidatum.
Apabila pembuahan tidak terjadi maka CL akan beregresi dan disebut CL periodikum. Tetap, jika CL tidak beregresi dan hewan tidak bunting maka CL-nya dinamakan CL persisten (Feradis, 2010).
Pengaturan Siklus Estrus oleh Hormon
Pelepasan hormon estrogen akan terlihat selama proestrus, saat mendekati estrus dan akan menurun mendekati akhir periode estrus. Sekresi hormon FSH dan LH akan terlihat mendahului ovulasi. Jumlah LTH akan bertambah mendekati awal estrus dan selanjutnya tetap tinggi selama estrus. FSH merangsang pertumbuhan folikel yang dimulai selama proestrus. Dengan bertumbuhnya folikel, maka pelepasan hormon estrogen pun terjadi. Estrogen dihasilkan oleh sel-sel di dalam folikel de Graaf. Estrogen menyebabkan munculnya keinginan dan tingkah laku estrus dan merupakan pemicu pelepasan LH oleh hypophysa anterior melalui mekanisme umpan balik positif (Feradis, 2010).







Setelah terjadi ovulasi, di tempat yang sama dibekas tempat ovum berovulasi terbentuk CL. Kejadian ini berlangsung cepat dan beberapa hari setelah awal siklus, peningkatan kadar hormon progesteron sudah dapat dideteksi. Hal inilah yang menjadi petunjuk dimulainya periode diestrus (Feradis, 2010).

Selama periode diestrus, ketika konsentrasi progesteron tinggi, konsentrasi FSH, LH dan sisa total estrogen relatif rendah. Pada periode ini, untuk beberapa spesies hewan dapat dideteksi adanya pertumbuhan folikel, tetapi sangat lambat bila dibandingkan dengan yang terjadi 2-3 hari menjelang terjadinya ovulasi. Demikian juga selama kebuntingan, konsentrasi progesteron yang tinggi menahan pelepasan hormon-hormon gonadotropin yang dapat menyebabkan munculnya tingkah laku estrus. Hal ini merupakan kontrol progesteron terhadap hormon gonadotropin dengan mekanisme kerja umpan balik negatif (Feradis, 2010).










Tabel III. Perubahan Siklik pada Organ-organ Reproduksi Hewan BetinaSelama Fase Folikuler dan Fase Luteal
Organ
Fase Folikuler
Fase Luteal
Ovarium
Folikel-folikel promer, sekunder dan de Graaf, ovulasi, corpus haemorrhagicum, atresia folikel
corpus haemorrhagicum, corpus luteum spurium, CL albicans (tidak bunting), CL Verum (bunting), atresia corpora lutea
Oviduk
epithel columnar lebih tinggi; sekresi oleh sel-sel tak bersilia lebih nyata; serabut-serabut urat daging dan silia lebih panjang
 
Endometrium
vaskularitas meningkat; epithel permukaan adalah columnar sederhana; pendarahan metestrus pada sapi
Permulaan estrus : endometrium menebal, kelenjar-kelenjar endometrium lebih berliku-liku; aktif bersekresi, epithel permukaan adalah epithel columnar tinggi pada akhir diestrus : endometrium menciut; sekresi menurun
Cervix
Sel-sel yang menghasilkan mucus aktif bersekresi; pembuluh darah penuh berisi; os uteri merah, basah dan membuka
oedem dan kongesti mucosa menghilang; os uteri pucat, kering dan menutup
Vagina
Perubahan-perubahan kurang jelas pada mamalia dibandingkan pada rodentia
 
Clitoris
Dinding labia membengkak dan menjadi merah kemudian mengendor sewaktu otot-otot mengendor (babi, kuda)
Otot-otot labia berkontraksi
Sumber : Toelihere (1993) dalam Feradis (2010) Pada akhir diestrus, PGF2α dari uterus menyebabkan terjadinya regresi CL. Bersamaan dengan hal ini, terlihat konsentrasi progesteron dalam darah menurun dengan tajam. Konsentrasi progesteron yang rendah menyebabkan tidak adanya hambatan yang dilakukan oleh progesteron terhadap pelepasan-pelepasan hormon hypothalamus maupun hypophysa anterior. Penurunan konsentrasi progesteron yang tiba-tiba dan hilangnya hambatan oleh progesteron menyebabkan terjadinya pelepasan FSH, LH dan LTH.
Karakteristik Estrus pada Anoa
Anoa mencapai dewasa kelamin pada umur 2-3 tahun (Yusuf dkk., 2007). Menurut Williamson dan Payne (1978), panjang siklus estrus anoa adalah 22-30 hari dengan periode estrus ˂ 24 jam. Sedangkan menurut Kasim (2002), siklus estrus anoa adalah 15-23 hari dengan lama periode estrus 4-5 hari. Dibandingkan dengan sapi atau kerbau, siklus estrus dan karakteristik lain reproduksi anoa adalah mirip, tetapi periode estrus dan interval beranak lebih panjang (Yusuf dkk., 2007). Anoa betina yang sedang estrus menunjukan tanda-tanda yang mirip tanda-tanda estrus sapi dan kerbau, antara lain sering mengeluarkan suara, gelisah (sering berpindah tempat), nafsu makan menurun, sering urinasi, vulva memerah, bengkak dan berlendir serta sering mendekatkan diri dengan pejantan (Jahja 1996; Kasim 2002; Purwantara 2003). Tetapi menurut Jahja (1996), tanda estrus pada anoa yang paling jelas adalah sering mengeluarkan suara atau memanggil pasangan. Perilaku seksual anoa jantan teramati apabila dikandangkan berpasangan atau berdekatan dengan betina estrus. Tanda-tanda tersebut antara lain jantan mencium/menjilat daerah kepala-leher dan sekitar alat kelamin luar betina, flehmen, sesekali ereksi dan mengikuti betina (Jahja 1996; Kasim 2002). Menurut Jahja (1996) dan Kasim (2002), perkawinan pada anoa dapat terjadi apabila betina estrus menerima kehadiran pejantan. Tetapi, penggabungan yang tidak tepat waktu dapat menimbulkan adu fisik dan trauma. Apabila dalam adu fisik seekor pejantan menang, maka akan dilanjutkan dengan perkawinan sedangkan apabila pejantan kalah akan pergi (Feer, 1994). Lebih lanjut Feer (1994), proses percumbuan hingga mounting diawali dengan pasangan anoa yang saling mendekat, dimana betina dan jantan saling menciumi tubuh pasangan seperti pada bagian leher dan perinealnya. Sesekali jantan flehmen, lalu mengelilingi betina sambil mengangkat kepala dan mencium daerah perinealnya. Betina kemudian mengangkat ekor, jantan menaiki betina dan intomisi penis ke dalam vulva-vagina.




















PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Siklus estrus anoa terdiri dari empat periode yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus dimana dalam siklus ini terdapat beberapa hormon yang berperan adalah GnRH, FSH, LH, Estrogen dan Progesteron.
Anoa betina yang sedang estrus menunjukan tanda-tanda yang mirip tanda-tanda estrus pada sapi dan kerbau, yaitu sering mengeluarkan suara, gelisah (sering berpindah tempat), nafsu makan menurun, sering urinasi, vulva memerah, bengkak dan berlendir serta sering mendekatkan diri dengan pejantan.














DAFTAR PUSTAKA

Burton J, Mustari AH, MacDonald AA. 2005b. Status dan Rekomendasi: Konservasi in situ Anoa (Bubalus Sp.) dan Implikasinya terhadap Konservasi ex situ. Buletin Konservasi Alam 5(2): 35-39.

Burton JA, Hedges S, Mustari AH. 2005a. The Taxonomic Status, Distribution, and Conservation of The Lowland Anoa (Bubalus depressicornis) and Mountain Anoa (Bubalus quarlesi). Mammal Rev. 35(1): 25-50.

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.2003. Appendix I.http://www.cites.org/. [18 Sept 2007].

Feer F. 1994. Observations Ethologiques sur Bubalus (Anoa) quarlesi Ouwens, 1910 (Ruminantia, Bovidae) en Captivite. Z. Saugetierkunde 59: 139-152.

Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Bandung : Alfabeta.

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Bandung : Alfabeta.

Grizmek. 1990. Grizmek Encyclopedia Mammals. Vol. 5. New Jersey : McGraw-Hill Publishing Company.

Groves CP. 1969. Systematics of The Anoa (Mamalia, Bovidae). Beanfortia. 17: 101 p.

Holt WV, Pickard AR. 1999. Role of Reproductive Technologies and Genetic Resource Banks in Animal Concervation. Rev. Reprod 4: 143-150.

IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). 2007. The IUCN Red List of Threatened Species. 2001 Categories & Criteria (version 3.1). http://www.iucnredlist.org/.[8 Okt 2007].

Jahidin. 2003. Populasi dan Perilaku Anoa Pegunungan (Bubalus (Anoa) quarlesi Ouwens) di Taman Nasional Lore Lindu. Thesis. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Jahja MM. 1996. The Possibility of Breeding Anoa in Captivity: An Alternative for Conservation of The Species. Proceeding of Anoa Species (Bubalus quarlesi and Bubalus depressicornis) Population and Habitat Viability Assessment Workshop. Bogor, Indonesia; 22-26 July, 1996.

Kasim K. 2002. Potensi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) sebagai Alternatif Satwa Budidaya dalam Mengatasi Kepunahannya. Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

McKinnon J. 1981. Proposed Dumoga – Bone National Park North Sulawesi, Indonesia. Bogor: Word Wildlife Fund.

Mustari AH. 1996. Ecology and Conservation of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Tanjung Amolengu Wildlife Reserve South-east Sulawesi, Indonesia. Media Konservasi V(1): 1-3.

Paino C. 2012. Perburuan Liar dan Alih Fungsi Lahan Desak Populasi Anoa. http://www.mogabay.co.id. [15 April 2013].

Purwantara B. 2003. Filogeni, Ekologi, Variasi Genetika dan Reproduksi Anoa (Famili Bovidae) di Wilayah Sulawesi Tenggara. Laporan Riset Unggulan Terpadu IX. Bogor: LPPM IPB.

Septi. 2009. CITES. http://www.ksda-bali.go.id. [22 Mei 2013].

Whitten AJ, Mustafa, Henderson GS. 1987. Ekologi Sulawesi. Tjitrosoepomo G, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: The Ecology of Sulawesi.

Williamson G, Payne WJA. 1965. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Ed. Ke-3. Alih Bahasa: Darmadja. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yudi. 2012. Kajian Perilaku Reproduksi, Preservasi Semen, dan Teknik Inseminasi Buatan pada Anoa (Bubalus Sp.) di Penangkaran. Thesis. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Yusuf TL, Purwantara B, Sajuhti D, Yudi. 2007. Pengembangbiakan Anoa Melalui Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dan Induksi Estrus sebagai Usaha Konservasi Satwa Langka. Laporan Peneltian Hibah Bersaing XIV (Tahun II). Bogor : LPPM IPB.


Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.