Furia ithacensis

July 19, 2017 | Autor: Nur Azizah | Categoria: Microbiology, Entomology, Biology, Fungi, Micology
Share Embed


Descrição do Produto

CENDAWAN Furia ithacensis

MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Mikologi yang diampu oleh Prof. Dr. Utami Sri Hastuti, M.Pd. dan Agung Witjoro, S.Pd, M.Kes

Oleh Nur Azizah NIM 100342400923 Offering GB

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Februari 2013

Cendawan Furia ithacensis

Entomopatogen adalah suatu istilah yang diberikan kepada satu jenis atau satu kelompok mikroorganisme yang keberadaannya di alam menjadi patogen terhadap jenis-jenis serangga. Jamur entomopatogen dapat diartikan sebagai jamur yang mampu membunuh serangga (Wahyudi, 2008).

A. Deskripsi

Gambar 1. Jamur Entomopatogen 1. Sistematika Cendawan Domain

: Eukaryota

Kingdom

: Fungi

Phylum

: Zygomycota

Subphylum

: Entomophthoromycotina

Order

: Entomophthorales

Family

: Entomophthoraceae

Genus

: Furia

Scientific name

: Furia ithacensis (J.P. Kramer)

Identifikasi

Entomophthorales

biasanya

dilakukan

berdasarkan

pengetahuan tentang inang (spesies, genus) dan struktur cendawan. Tipe konidia sekunder dan model pembentukan merupakan kriteria yang penting. Terdapat 5

tipe pembentukan konidia sekunder. Tipe I menghasilkan konidia sekunder satu persatu dan kemudian dikeluarkan dengan sedikit tekanan. Biasanya, konidia sekunder dihasilkan dari pertumbuhan yang pendek dari konidia primer. Tipe I tersebut dibagi menjadi tipe Ia dan Ib. Tipe 1a ditandai dengan bentuk konidia sekunder mirip dengan konidia primer dan merupakan tipe yang hampir ada di semua jenis cendawan Entomoph-thorales. Tipe 1b ditandai dengan bentuk konidia sekunder yang berbeda dengan konidia primer. Ciri tersebut ditemukan pada

Erynia,

Furia,

Pandora,

Strong-wellsea,

Eryniopsis

carolinina,

Entomophaga ptychopterae, dan Entomophaga transitans.

Gambar 2. Hifa menyelimuti tubuh inang Badan hifa terdapat pada semua spesies, merupakan tahap pertama yang berkembang dalam infeksi inang atau yang berkembang dari protoplas. Genus Entomophthora memiliki badan hifa yang berbentuk spherical, subsperichal, ellipsoidal sampai bentuk lingkaran kecil (short rod-shaped). Konidiofor muncul dari badan hifa. Konidiofor yang terbentuk dapat bercabang (Erynioideae) atau tidak bercabang (Entomophthoroideae). Adapun Tipe cabang konidiofor berupa dikotomus dan digital. Konidia primer tunggal diproduksi di ujung konidiofor dan dilepaskan secara aktif. Konidia primer yang diproduksi pada konidiofor tidak bercabang, akan mengandung dua nukleat atau lebih, sedangkan konidia primer yang diproduksi pada konidiofor yang bercabang, biasanya mengandung satu nukleat. Genus Entomophthora memiliki tubuh konidia spherical dengan papilla demarcated. Konidia tersusun dari tubuh konidia dan papila. Konidia Neozygitaceae dan Entomophthoroideae tidak memiliki membran luar (unitunicate), kecuali genus Entomophthora. Spora istirahat memiliki struktur dinding berukuran tebal untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Umumnya, cendawan

Entomophthorales memiliki bentuk spora istirahat spherical, hialin, dan ada beberapa yang dikelilingi episporium. 2. Deskripsi Inang

Gambar 3. Rhagio sp. Cendawan

Furia

ithacensis selalu

menginfeksi

serangga

famili

Rhagionidae. Jenis serangga ini disebut juga sebagai lalat-lalat penembak. Lalat penembak berukuran sedang sampai besar, dengan kepala agak membulat, abdomen secara relatif panjang dan meruncing, dan tungkai-tungkai agak memanjang. Banyak jenis yang mempunyai sayap-sayap yang bertotol. Tubuhnya mungkin telanjang atau tertutup dengan rambut yang pendek. Kebanyakan alat penembak berwarna kecoklat-coklatan atau abu-abu, tetapi beberapa berwarna hitam dengan totol-totol putih, kuning atau hijau. Mereka umumnya ditemukan di dalam hutan, terutama pada daerah yang lembab, dan biasanya terdapat pada dedaunan. Baik yang dewasa maupun arva bersifat pemangsa pada berbagai serangga-serangga yang kecil. Kebanyakan lalat penembak tidak menggigit tetapi beberapa jenis lain juga bersifat sebagai hama penggigit di gunung-gunung atau di daerah pantai.

B. Siklus Hidup Siklus hidup cendawan Entomophthorales biasanya terdiri dari konidia dan spora istirahat. Konidia merupakan bentuk spora yang memungkinkan untuk infeksi selama inang aktif. Konidia melekat pada kutikula dan membentuk suatu tabung penetrasi. Multiplikasi atau proses perbanyakan cendawan di dalam inang berlangsung dari protoplas atau badan hifa. Kolonisasi cendawan dapat terlihat pada abdomen ataupun seluruh tubuh inang. Umumnya badan hifa akan

membentuk konidiofor. Selanjutnya, konidiofor menembus kutikula inang. Konidia primer secara aktif dilepas dengan adanya tekanan hidrostatik. Konidia sekunder dibentuk secara lateral pada konidia primer. Konidia primer relatif mudah pecah dan lama hidupnya pendek tapi berkecambah dengan cepat. Konidia sekunder biasanya lengket, ditutupi oleh mukus, dan alat bantu untuk melekat pada inang.

Gambar 4. Konidia Furia ithacensis Pertumbuhan cendawan berhenti setelah nutrisi habis dan inang biasanya mati pada keadaan tahap ini. Pada beberapa spesies, sporulasi terjadi saat inang masih hidup atau aktif. Saat inang mati, cendawan entomopatogen akan menghasilkan konidia baru untuk menyebar dan menghasilkan spora istirahat untuk bertahan. Spora istirahat merupakan jalan terpenting bagi cendawan Entomophthorales pada periode bertahan ketika tidak ada inang atau keadaan lingkungan tidak mendukung. Spora istirahat merupakan penggabungan dua badan hifa (zygospora) atau satu badan hifa (azygospora). Spora istirahat biasanya resisten dan memiliki dua dinding yang tebal. Aktivitas cendawan dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan biotik. Cendawan entomopatogen membutuhkan kelembaban lebih dari 95% untuk konidia berkecambah, infeksi, sporulasi, dan kecepatan membunuh inang diatur oleh suhu. Spesis dalam ordo Entomophthorales tidak menghasilkan toksin untuk infeksi dan merupakan patogen yang obligat. Cendawan Entomophthorales biasanya menjaga inang tetap hidup sampai semua sumber dimanfaatkan.

C. Cara Infeksi Cendawan Furia ithacensis Menurut Roberts & Yendab (1971), kemampuan jamur unuk menginfeksi inangnya dipengaruhi oleh inang, lingkungannya, dan kemampuan untuk menyebar, Strainm, viabilitas, jumlali konidia; dan virulensi dari jamur tersebut. Adapun kepekaan inang terhadap infeksi jamur tergantung dari kepadatan populasi dan kerentanan stadia inang yang bersangkutan. Kisaran temperatur bagi pertumbuhannya antara 5o – 35oC, dan optimum pada 20o – 30oC. Yoon et al. Dalam Kim et al. (2003) dan Mc Coy et al. (1988) menyatakan bahwa pada temperatur dibawah 00C jamur masih dapat bertahan hidup namun tidak dapat tumbuh, dan pada suhu di atas 400C jamur akan terhenti pertumbuhannya dan akan mati. Menurut Mc Coy et al. (1988), kelembapan relatif yang optimum bagi pertumbuhan jarnur adalah 905 atau lebih. Di alam, faktor cahaya sangat berpengaruh terhadap proses produksi konidia, perkecambahan konidia, umur jamur, dan sporulasi lebih lanjut setelah inangnya mati. Cahaya ultraviolet (UV) diketahui dapat mematikan konidia, dan sinar UV dengan panjang gelombang 285 - 380 mm sangat mematikan konidia jamur (Mc Coy et al. 1988; Fuxa & Tanada,1987; Roberts & Yendol,1971). Terjadinya infeksi pada tubuh serangga, diawali dengan terjadinya kontak antara konidia jamur pada permukaan tubuh serangga inang. Untuk membantu peletakkan konidia pada kutikula serangga, menurut Urasuley (1988), jamur Furia sp. ini mengeluarkan semacam lendir. Peletakan konidia pada permukaan inang dipengaruhi oleh kelembapan relatif yang tinggi dan kandungan air yang terhadap disekitar inangnya. Perkecambahan jamur sangat dipengaruhi oleh kerapatan konidia, strain jamur, kondisi lingkungan, dan nutrisi yang terhadap path kutikula inang (Samson, 1988). Penetrasi

dapat

terjadi

melalui

luka,

integumen,

organ-organ

penginderaan, spirakel, membran antar segmen. Mulut dan saluran pencernaan. Penetrasi melalui integumen dilakukan secara mekanis dan/atau kimiawi. Menurut Robert & Yendol (1971) kerja mekanis ini dibantu oleh adanya infection peg pada bagian tepi apresorium yang membantu penghancuran lapisan tersebut, sedangkan kerja kimiawi jamur yaitu dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Penguraian senyawa-senyawa pada integumen akibat adanya reaksi enzim yang menghasilkan

senyawa berenergi dan asam amino yang akan digunakan sebagai sumber nutrisi jamur untuk makanan dan energi cadangan bagi pertumbuhan dan perkembangan jamur (Cloyd, 2003 dan Charnley,1988).

DAFTAR RUJUKAN

Charnley, A. K. 1988. Mechanism of Fungal Pathogenesis in Insect. Symposium of British Mycological Society. Canbridge University Press.. p. 85-125. ______. 2003.Fungal Pathogens of Insects From mechanism of Phatologenecity to Host Defence (http:llwww.ncbi.nlm.nih.Gov/entrez /yuery.fcgr? diakses : Senin, 26 Januari 2013. Cloyd, R, 2003. The Entomophatogen verticilium lecanii (http:llwww. entomology.wisc.eduimbcn/ky/f612.html diakses; 09 Februari 2013). Kim, J. J. M. H. Lee, C. S. Yoon, H. S. Kim, J. K. Yoo, and K. C. Kim. 2003. Control of cotton Aphid and Greenhouse Whitefly With A Fungul Pathogen (http://www.agnet.org/1ibrary/data/cb/eb5026pdf diakses: 09 Februari 2013). Mac Coy, C. W., R. A. Samson,. And D. G. Boucias. 1988. Entomophatogenous Fungi in carlo Ignoffo (ed) Microbial insecticides. Part A Entomophatogenous Protozoa and Fungi. CRC. Hand Book of Natural Pesticides. Vol. V, CRC Press inc. boca Raton. Florida. P.151-235. Roberts, D. W. and W.. G. Yendols. 1971. Use of Fungi for Microbial Control of Insects. In H. D. Surges and N. W. Hussey (ed) Microbial Control of Insect and Mytes. Academic Press. New York. P.125-145. Samson, R. A. H. C. van,. And J. P. Latge. 1988. Atlas of Entomopathogenis Fungi. SpingerVerlag. Berlin. Heidelberg. New York. London. Paris, Tokyo. P.129-139. Wahyudi, Priyo. 2008. Enkapsulasi Propagul Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Menggunakan Alginat dan Pati Jagung Sebagai Produk Mikoinsektisida. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. Vol. 6 No. 2:51-56.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.