Sekilas Sistem Monsun Asia - Australia

June 24, 2017 | Autor: Sandy Herho | Categoria: Atmospheric Science, Atmospheric Modeling, Monsoon climatology
Share Embed


Descrição do Produto

Sekilas Sistem Monsun Asia – Australia

Sandy Hardian. S. H., Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Labtek XI [email protected]

Abstrak— Hujan monsun merupakan urat nadi kehidupan lebih dari setengah populasi dunia yang mana penghidupannya bergantung pada sektor pertanian . Penelitian luas pada bidang ini telah banyak dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang monsun, prediktabilitas, serta melihat sejauh mana dampak antropogenik yang mengubah pola monsun dunia. Penelitian ini merupakan penelitian yang potensial dalam melihat dampak sosio – ekonomi dalam kaitan memaksimalkan keuntungan dari hujan monsun, dan mengurangi dampak dari kejadian ekstrem, seperti yang terjadi selama monsun musim panas Belahan Bumi Utara ( BBU ) tahun 2010 di India, Pakistan dan Tiongkok, serta pada persitiwa monsun musim panas Belahan Bumi Selatan ( BBS ) yang terjadi pada tahun 2011 di Australia. Kata kunci : Monsun ; Variabilitas Hujan ; Mitigasi Bencana ; Model Prediksi Numerik

I. PENDAHULUAN Secara tradisional, istilah monsun digunakan untuk merujuk pada iklim yang terlihat secara nyata berubah secara musiman dikerenakan pergantian angin kuat diantara musim dingin, dan musim panas, khusunya di wilayah tropis seperti Asia, Australia, Afrika, dan Samudera Hindia. Penggunaan istilah ini lalu dipakai secara lebih spesifik untuk merujuk pada wilayah dengan perubahan jelas antara musim dingin yang kering, dan musim panas yang basah. Merujuk pada istilah tersebut, wilayah monsun terdistribusi secara global pada seluruh dataran tropis, serta pada lautan tropis yang meliputi Barat Laut Pasifik, Timur Laut Pasifik, dan Samudera Hindia Selatan. Sistem monsun merupakan variasi dominan pada iklim tropis yang berdampak secara mendalam pada iklim lokal, regional, dan global. Gambar 1 menunjukan wilayah monsun di bumi. Lebih dari setengah populasi dunia dengan mayoritas masyarakat negara dunia ketiga hidup dibawah wilayah yang didominasi sistem monsun. Kebudayaan, dan gaya hidup masyarakat tersebut berkembang dalam siklus monsun, dan lahan pertanian rata – rata masih mendominasi tata guna lahan di negara – negara tersebut. Bergantungnya sektor pertanian terhadap hujan monsun, khususnya pada negara dengan infrastruktur yang buruk, serta pertambahan angka urbanisasi menghasilkan masyarakat yang rentan pada variabilitas karakteristik monsun, seperti waktu mulai dan berakhirnya monsun, jumlah curah hujan total, dan intensitas curah hujan.

Gambar 1 : Wilayah Monsun Global ( titik – titik merah merupakan wilayah yang dipengaruhi hujan monsun ) Kendali utama dari seluruh sistem monsun adalah radiasi sinar matahari yang diserap daratan selama musim semi yang membuat perbedaan temperatur darat – laut. Perbedaan ini, dengan daratan yang lebih hangat ketimbang lautan yang mengelilinginya, memicu aliran kelembapan udara permukaan dari lautan terdekat, dan uap air ini menghasilkan hujan dengan terlebih dahulu melalui proses konveksi di atas wilayah monsun. Sistem monsun menjadi matang ketika musim panas tiba, karena panas laten dilepaskan oleh konveksi di atas permukaan daratan membantu menarik tambahan uap air dari laut, menjaga wilayah daratan menjadi tetap basah. Disebabkan oleh pergantian musim, matahari berpindah secara semu ke ekuator, lalu ke BBS, dengan demikian memanaskan wilayah dengan lebih banyak wilayah lautan ketimbang daratan di Asia. Sebagai konsekuensinya, arah angin berubah ( Gambar 2 ), dan hujan monsun bergerak menuju arah berlawanan selama musim panas di Australia.

PDO ) yang mempengaruhi sirkluasi atmosfer – laut hampir di seluruh Pasifik bagian utara. Salah satu sifat menonjol dari monsun Asia – Australia yang juga efeknya dirasakan oleh banyak orang adalah siklus musiman aktif – pasif ( active – break cycle ). Variasi musiman aktif berlangsung antara 20 sampai 50 hari. Selama fasa aktif inilah hujan berlimpah, dimana ketika fasa pasif tidak terjadi hujan. Monsun Asia – Australia dapat dipandang sebagai deret dari fase siklus aktif – pasif yang mana sumber utamanya seringkali berasal dari Hindia Ekuator, lalu menyebar ke arah kutub ( daratan ) dan ke arah timur ( Samudera Pasifik ). Prediksi variasi musiman siklus ini penting karena mempengaruhi curah hujan musiman. Kegagalan predksi mempengaruhi sektor pertanian dan hidrologi ( manajemen air ) yang mana merupakan urat nadi penghidupan bagi sebagian besar wilayah yang terkena dampak monsun. Gambar 2 : Perubahan Musiman pada Angin Troposfer Rendah ( 925 hPa ) di wilayah monsun tropis ( JJA minus DJF ) II. VARIABILITAS, PREDIKTABILITAS, DAN DAMPAK SOSIO –

Untuk mengurangi risiko dan meningkatkan keuntungan dari variasi monsun bagi masyarakat, terdapat sedikitnya tiga pendekatan yang penulis tawarkan, yaitu : -

Pembangunan infrastruktur untuk memproteksi masyarakat dari bencana yang diakibatkan oleh variasi monsun,

-

Investasi berkelanjutan di bidang penelitian terkait manajemen risiko kebencanaan,

-

Memperbaiki model prediksi cuaca variasi monsun untuk menyokong kedua hal di atas.

EKONOMI MONSUN

Sistem monsun merupakan sistem yang relatif tetap dari tahun ke tahun, sebagai dampak dari pemanasan musiman daratan. Sebagai contoh, hujan monsun di India relatif tetap, dengan simpangan sekitar 10 % dari rata – rata per tahun, dengan kehadiran Plato Tibet yang mendorong udara lembap untuk naik, yang mana nantinya akan terkondensasi menjadi hujan. Meskipun demikian, terkadang variasi dengan persentase kecil dapat mengubah total curah hujan secara besar, dan memberi dampak yang cukup dramatik. Kendali dominan monsun Asia – Australia berubah dari tahun ke tahun dalam kaitan dengan El Nino Southern Oscillation ( ENSO ) yang terjadi di Pasifik Ekuator. Sebagai contoh, kejadian El Nino pada tahun 2002 secara signifikan berkontribusi pada gagalnya hujan monsun tahun itu, yang berdampak pada menurunnya produksi beras Asia bahkan dunia ( karena Asia merupakan produsen beras terbesar di dunia ) pada tahun itu. Lebih baru lagi, pada tahun 2015 El Nino mengakibatkan terlambatnya siklus monsun sebagai responnya, curah hujan pada musim hujan di Indonesia berkurang. Sementara pada kejadian La Nina tahun 2010, Pakistan dan Tiongkok dilanda bencana banjir. Dampak ENSO pada pola monsun Asia – Australia lebih mudah diprediksi karena perubahan temperatur muka laut yang berasosiasi dengannya berubah dengan perlahan seiring dengan kejadian ENSO yang meluas. Meskipun demikian, prediksi perubahan pola musiman pada monsun Asia – Australia masih sangat sulit, khusunya pada dampak monsun pada benua di BBU. Salah satu pengaruh penting lainnya yang mengubah pola tahunan monsun adalah Indian Ocean Dipole Mode ( IODM ), suatu fenomena interaksi atmosfer – laut yang ditandai salah satunya oleh perubahan temperatur permukaan laut di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik yang mirip dengan kejadian ENSO. Pada tempo yang lebih panjang, variabilitas monsun juga dipengaruhi oleh variabilitas interaksi atmosfer – laut skala besar seperti misalnya Pacific Decadal Oscillation (

Pada poin ketiga penulis akan berfokus di bagian selanjutnya. III. PEMODELAN MONSUN DAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM Pada dekade terakhir ini, peneliti terus meningkatkan keakuratan model prediksi cuaca numerik terkait variasi jangka panjang monsun Asia – Australia, termasuk menginisiasi faktor antropogenik yang mempengaruhi perubahan iklim. Model numerik seperti ini umumnya dijalankan oleh komputer super sebagai representasi interaksi atmosfer – laut – darat – kriosfer secara matematis. Saat ini kurang lebih terdapat 25 pusat pemodelan numerik yang saling berkoordinasi dalam menginvestigasi perubahan iklim global. Model prediksi cuaca numerik kuno umumnya merupakan model partikular, yang mana hanya memasukan satu atau dua variabel kendali cuaca dan iklim kedalamnya. Model numerik seperti ini memiliki banyak kekurangan karena kompleksitas fisis yang berbeda yang dihasilkan oleh model numerik partikular ( konveksi, mikrofisika awan dan hujan, proses meteorologi lapisan batas, dll.), dan dalam kaitan dengan terbatasnya ruang lingkup model partikular, ketidakpastian prediksinya sangatlah besar. Model prediksi numerik kontemporer berbeda dengan model partikular. Model prediksi numerik kontemporer umumnya merupakan penggabungan berbagai variabel fisis dengan syarat batas yang cukup luas. Third Coupled Model Intercomparison Project ( CMIP – 3 ) merupakan model kontemporer yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi monsun Asia – Australia dengan rentang waktu 100 tahun ( 2001 – 2100 ). CMIP – 3 menunjukkan faktor antropogenik

turut meningkatkan secara umum rerata curah hujan monsun di India, Asia Timur, dan Pasifik bagian barat selama bulan juni hingga agustus. Sementara itu, CMIP – 3 juga menunjukkan peningkatan curah hujan selama bulan desember hingga februari ketika musim panas di BBS. Meskipun terdapat indikasi peningkatan curah hujan di Australia selama bulan desember – februari, CMIP – 3 kurang mendapat sambutan antusias dari komunitas ilmiah. Disamping CMIP – 3, model – model prediksi numerik lainnya memperlihatkan tren variabilitas curah hujan monsun bulanan akan lebih variatif dari tahun ke tahun.

untuk mengingkatkan kerja model prediksi numerik monsun. Disamping kedua program tadi, terdapat program lainnya yang berkaitan dengan peningkatan observasi dan pemodelan cuaca dan iklim seperti, Dynamics of Madden – Julian Oscillation ( DYNAMO ), dan Year of Tropical Convection ( YOTC ) yang dirancang untuk prediksi siklus aktif – pasif jangka menengah ( 10 – 30 hari ), dan musiman ( ~ 90 hari ). Para peneliti juga tengah mengembangkan model numerik untuk aerosol, khususnya yang berhubungan dengan awan cokelat Asia ( Asian Brown Cloud ). Kehadiaran awan cokelat Asia mempunyai dampak besar pada pemanasan radiatif di atmosfer yang nantinya mempengaruhi siklus hidrologi di wilayah monsun Asia – Australia. Diharapkan dengan pengembangan observasi dan pemodelan tersebut menghasilkan sintesa yang dapat meningkatkan pemahaman tentang monsun Asia – Australia, dan terlebih meningkatkan prediktabilitas variasi monsun secara tepat dan efektif. Pada tahun 2011 telah dikembangkan model prediksi numerik dari CMIP – 3 yang disebut sebagai CMIP – 5. CMIP – 5 dipublikasikan dalam Laporan Kerja Intergovernmental Panel on Climate Change ( IPCC ) yang ke – 5 tahun 2013. CMIP – 5 menggunakan sistem yang lebih kompleks dari CMIP – 3. CMIP – 5 dapat memodelkan iklim masa lampau, kini dan depan. Simulasi CMIP – 5 diharapkan menyediakan pemahaman yang cukup tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi pola monsun Asia – Australia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Gambar 3 : Tampilan Grafik Model Prediksi Numerik CMIP – 3

Dengan tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Jajaran Pengajar Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung yang telah mendukung melalui pemberian materi kuliah tentang topik berkaitan dengan monsun. Kepada Prapti Wahyuningsih juga diucapkan terima kasih karena telah menyediakan tempat untuk pengerjaan makalah. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Ketua APRES! ITB dan stafnya, yang telah mengijinkan penggunaan jaringan internet untuk melakukan penelitian ini.

IV. TANTANGAN KE DEPAN Memahami monsun membutuhkan studi sistem fisis iklim yang menyeluruh ( interaksi atmosfer – laut – darat – kriosfer ), termasuk faktor antropogenik. Seperti disebut sebelumnya, faktor fisis yang kompleks adalah salah satu kendala terberat dalam pemodelan numerik. Saat ini fokus utama dalam pemodelan numerik terkait iklim jangka panjang terletak pada pengembangan pemodelan aerosol dan konveksi. Salah satu usaha untuk mendapatkan model numerik yang lebih terpercaya dan mengurangi ketidakpastiannya adalah membangun sistem pengamatan internasional. Program pengamatan internasional yang telah dijalankan diantaranya, World Climate Research Programme yang disponsori Asian Monsoon Years ( AMY 2007 – 2012 ), dan Global Energy and Water Cycle Experiment / Coordinated Energy and Water Cycle Observations Project ( GEWEX/CEOP ) yang telah mengumpulkan data secara in – situ, dan satelit untuk menyediakan rekaman kontinyu yang akan dijadikan bahan

REFERENSI [1] [2]

[3]

[4]

[5]

Mark Z. Jacobson, Fundamentals of Atmospheric Modeling, 2nd ed., Cambridge: Cambridge University Press, 2005. T.N. Khrisnamurti ; H.S. Bedi ; V.M. Hadirker and L. Ramaswamy, 2nd revised and enlarged ed., New York: Springer Science + Business Media, 2006. William K.M. Lau and Duane E.Waliser, Interseasonal Variability in the Ocean – Atmosphere Climate System., Chichester: Praxis Publishing, 2005. Hiroki Ichikawa and Tetsuzo Yasunari, “Interseasonal Variability in Diurnal Rainfall over Papua New Guiena and the Sourrounding Ocean during Austral Summer,” Journal of Climate, vol. 21, 2007, hal.2852 – 2868. Nathalie Dubois, Delia W. Oppo, Valier V.Galy, Mahyar Mohtadi, Sander van der Kaars, Jessica E.Tierney, Yair Rosenthal, Timothy I. Eglinton, Andreas Lockge and Braddock K. Linsley, “ Indonesian vegetation response to changes in rainfall seasonality over past 25,000 years,” Nature Geoscience, DOI: 10.1038/NGEO2182, hal.513 – 517.

[6]

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 5th Assessment Report, 2013.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.