Budidaya Herbal pada Sistem Agroforestry

June 5, 2017 | Autor: Nanang Herdiana | Categoria: Silviculture, Agroforestry
Share Embed


Descrição do Produto

BUDIDAYA TANAMAN HERBAL PADA SISTEM AGROFORESTRY
(Pengalaman Petani Hutan Rakyat di Pegunungan Menoreh
Kabupaten Kulon Progo D.I. Yogyakarta)

HERBAL PLANTS CULTIVATION ON AGROFORESTRY SYSTEM
(Experience of The Privately Owned Forest Farmer in the Menoreh Mountain in
Kulon Progo District, Yogyakarta Special Province)

Oleh/By:
Nanang Herdiana1, S. Utomo2, Budiadi2 dan P. Yudono3
1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang / Researcher at the
Research Institute of Forestry Palembang
2 Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta / Lecturer at
the Faculty of Forestry, Gadjah Mada University Yogyakarta
3 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta / Lecturer at
the Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University Yogyakarta
E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Agroforestri herbal merupakan sistem pengelolaan lahan yang cukup menarik
dan telah lama dikembangkan oleh sebagian masyarakat/petani hutan rakyat di
Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo. Tanaman herbal yang dikembangkan
umumnya merupakan jenis–jenis tanaman yang tahan naungan (shade tolerant)
atau butuh naungan (shade demanding species), di antaranya adalah jahe,
kunyit, temulawak dan kapulaga. Praktek Budidaya tanaman herbal di bawah
tegakan pohon bagi masyarakat di Pegunungan Menoreh masih dianggap layak
secara teknis dan ekonomis, hanya membutuhkan pola pengelolaan yang khusus,
sehingga produktivitasnya dapat terjaga pada kisaran yang optimal. Dalam
prakteknya, teknik budidaya tanaman herbal yang diterapkan dalam sistem
agroforestri masih sederhana, teknik budidaya yang intensif hanya ditemukan
pada tanaman jahe dan kapulaga. Jenis kegiatan yang dilakukan pada masing-
masing jenis tanama herbal relatif sama, meliputi: persiapan lahan,
penyediaan bahan tanaman, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian
hama dan penyakit serta pemanenan, yang membedakan hanya dalam
intensitasnya saja. Perbedaan tersebut disebabkan oleh potensi jenis
tanaman herbal, ketersediaan waktu dan sumber daya serta pengetahuan petani
pengelola.

Kata Kunci: Agroforestri herbal, budidaya, naungan, produktivitas.

ABSTRACT

Herbal agroforestry is interesting land management system and has been
developed by people/farmer of the privately owned forest in the Menoreh
Mountain in Kulonprogo District. The herbs that are developed include the
types of shade tolerant species as well as shade demanding species. Common
types of herbs which are widely planted by the people i.e.: ginger,
turmeric, javanese tumeric (temulawak) and cardamom. The practice of herbal
cultivation under stands to people in the mountains of Menoreh still
technically and economically feasible, only require of specific management,
to maintaining the productivity in the optimal range. The techniques of
herbal cultivation in agroforestry systems were simple. The intensive
cultivation was only found for ginger and cardamom. The types of activities
on herbs cultivation i.e.: land preparation, plant material supply,
planting, fertilizing, maintenance, pest and disease control and
harvesting. The differences of management intensity among herb plants are
caused by the potential of herb plants, the availability of time and
resources as well as farmers' knowledge.

Key words: Herbal agroforestry, cultivation, shading, productivity.
I. PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan yang muncul akibat peningkatan jumlah penduduk
adalah kebutuhan lahan untuk pemenuhan pangan. Kondisi tersebut memaksa
masyarakat memanfaatkan daerah marjinal bertopografi curam di daerah hulu
yang rawan erosi, longsor dan penurunan kualitas lingkungan lainnya.
Agroforesri merupakan sistem pengelolaan lahan yang ditawarkan guna
mengatasi permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan lahan yang tidak
tepat dan sekaligus mengatasi masalah tersebut (Hairiah et al., 2003; Nair
1993; Budiadi 2005).
Agroforestri herbal merupakan sistem pengelolaan lahan yang cukup
menarik dan telah lama lama dikembangkan oleh masyarakat di Pegunungan
Menoreh Kabupaten Kulon Progo. Tanaman herbal yang dikembangkan merupakan
jenis–jenis tanaman yang tahan naungan (shade tolerant) atau butuh naungan
(shade demanding species). Tanaman temu-temuan memiliki kemampuan
penangkapan dan penggunaan cahaya secara efisien, dalam hal ini mampu
melakukan proses fotosintesis dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah,
sehingga produktivitas tanaman masih cukup baik. Secara umum, jenis tanaman
herbal temu-temuan dapat mentolelir intensitas naungan antara 40 - 50 %
(Pribadi, Januwati dan Yusron, 2000; Januwati, Rosman dan Emmyzar, 1996).
Jenis tanaman herbal yang umum dikembangkan masyarakat di Pegunungan
Menoreh secara luas antara lain: jahe, kunyit, temulawak dan kapulaga
(Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2010).
Praktek budidaya tanaman herbal di bawah tegakan bagi masyarakat di
Kulon Progo masih dianggap layak secara teknis dan ekonomis, hanya
membutuhkan pola pengelolaan yang khusus, sehingga produktivitasnya dapat
terjaga pada kisaran yang optimal. Tulisan ini memaparkan berbagai kegiatan
yang dilakukan dalam budidaya tanaman herbal pada sistem agroforestry yang
telah dipraktekkan oleh masyarakat/petani hutan rakyat di Pegunungan
Menoreh Kabupaten Kulon Progo.




II. TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN HERBAL PADA SISTEM AGROFORESTRY

Dalam prakteknya, teknik budidaya tanaman herbal yang dilakukan oleh
masyarakat di Pegunungan Menoreh sangat bervariasi, walaupun pada jenis
tanaman herbal yang sama. Ringkasan aspek budidaya masing-masing tanaman
herbal selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tahapan kegiatan dalam budidaya
tanaman herbal selengkapnya disajikan pada uraian berikut:
Tabel / Table 1. Teknik budidaya tanaman herbal pada hutan rakyat di
Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo / The herbal ciltivation
technique on privately owned forest in the Menoreh Mountain in Kulon
Progo District

"No "Kegiatan "Jenis Herbal "
" " "Jahe "Kunyit "Temulawak "Kapulaga "
"1. "Persiapan lahan "Penggemburan tanah "Penggemburan tanah "Pengemburan tanah. "Penggemburan tanah "
" " "dan pembuatan "dan pembuatan " "dan pembuatan "
" " "guludan. "guludan. " "guludan. "
"2. "Bahan tanaman "Rimpang atau "Rimpang atau "Rimpang atau "Tanaman muda "
" " "tanaman muda. "tanaman muda. "tanaman muda. "(tunas). "
"3. "Penanaman "Jarak tanam 30 – 60"Jarak tanam 30 – 60"Jarang menggunakan "Menyesuaikan dengan"
" " "x 30 – 60 cm. "x 30 – 60 cm. "jarak tanam (50 – "kondisi lapangan "
" " " " "100 x 50 – 100 cm)."dan pertumbuhan "
" " " " " "tanaman. "
"4. "Pemupukan "Pupuk dasar berupa "Pupuk dasar berupa "Pupuk dasar. "Pupuk dasar berupa "
" " "pupuk organik. "pupuk organik " "pupuk organik "
" " "Pupuk lanjutan I "(pupuk kandang). " "(pupuk kandang). "
" " "menggunakan pupuk " " " "
" " "kimiawi dengan " " " "
" " "dosis rendah. Pupuk" " " "
" " "lanjutan berikutnya" " " "
" " "menggunakan pupuk " " " "
" " "organik. " " " "
"5. "Pemeliharaan "Pembersihan gulma, "Mengikuti " "Pembersihan gulma, "
" " "pendangiran dan "pemeliharaan " "pendangiran dan "
" " "pembumbungan. "tanaman lainnya. " "pembersihan batang "
" " " " " "tanaman tua serta "
" " " " " "pemeliharaan "
" " " " " "guludan. "
"6. "Pengendalian "- "- "- "- "
" "hama penyakit " " " " "
"7. "Pemanenan "Umur panen 1 -2 "Umur panen 1 tahun."Umur panen 1 tahun."Umur produksi bisa "
" " "tahun. " " "mencapai 15 - 20 "
" " " " " "tahun dan pemanenan"
" " " " " "dilakukan setiap 2 "
" " " " " "– 3 bulan sekali. "
a. Penyediaan Bahan Tanaman (Bibit)
Teknik perbanyakan keempat tanaman herba yang diteliti menggunakan
rimpang atau tunas/tanaman muda. Pada tanaman kapulaga, walaupun bisa
menggunakan benih (generatif), metoda perbanyakan yang umum digunakan oleh
masyarakat adalah dengan tanaman muda hasil percabangan rimpang (rhizoma)
pada suatu rumpun, karena mudah didapat dan tanaman yang berasal dari
perbanyakan tersebut akan cepat berbuah.
Pemilihan bahan perbanyakan secara umum didasarkan pada ketersediaan
bahan pebanyakan dan musim. Penanaman langsung menggunakan rimpang yang
dilakukan pada akhir musim kemarau akan berimplikasi terhadap besarnya
kebutuhan bahan perbanyakan, karena kemungkinan tidak tumbuhnya rimpang
yang ditanam cukup besar. Penggunaan bahan perbanyakan berupa rumpun/batang
muda hanya dapat dilakukan pada saat musim hujan.

























Gambar / Figure 1. Perbanyakan tanaman herbal: (a). Rimpang, (b). Semai
yang berasal dari perkecambahan benih dan (c). Tanaman muda hasil
percabangan rimpang (rhizoma) / Herb plant propagation: (a).
Rhizome, (b). Seedling from seed germination and (c). Young plants
from branching of rhizomes.

Penyediaan bahan perbanyakan yang dilakukan oleh para petani masih
sangat sederhana. Walaupun budidaya jahe sudah dilakukan secara intensif,
tetapi masih menggunakan varietas lokal dengan kualitas genetik yang belum
terjamin, belum menggunakan varietas unggul. Di sisi lain, Litbang
Pertanian telah memiliki beberapa varietas unggul, misalnya; (1). Jahe
merah: Jahira-1 dan Jahira-2, (2). Jahe putih kecil: Halina-1, Halina-2,
Halina-3 dan Halina-4; (3). Jahe putih besar: Cimanggu. (4). Kunyit:
varietas Turina 1, Turina 2 dan Turina 3 serta varietas Curdona 1. (4).
Temulawak: cursina 2. Varietas tersebut tidak semata-mata memiliki
produktivitas atau mengandung senyawa aktif yang tinggi, tetapi juga
memiliki kemampuan tahan di bawah naungan (Rahardjo dan Bermawie, 2011).

b. Persiapan Lahan
Sebelum bibit ditanam, biasanya dilakukan pengolahan tanah yang
bertujuan untuk menciptakan kondisi media tumbuh yang gembur, subur,
berhumus, berdrainase dan beraerasi baik, serta membersihkan dari gulma.
Tanah yang gembur akan memberikan kesempatan kepada rimpang untuk tumbuh
dengan leluasa, sementara tanah liat yang kurang diolah akan menyebabkan
rimpang tertekan, sehingga hasil tidak maksimal. Drainase yang baik akan
mencegah tanaman dari serangan penyakit seperti penyakit layu akibat
tergenang air di sekitar areal tanam karena kurang baiknya drainase.
Sedangkan aerasi yang baik akan memberi ruang gerak bagi akar untuk
menyerap unsur hara dan air, serta mengurangi pembentukan senyawa-senyawa
anorganik dalam tanah yang bersifat racun (Januwati, 1991).
Di lapangan, kegiatan pengolahan lahan baru dipraktekkan pada budidaya
jahe atau kapulaga, karena kedua jenis ini banyak dibudidayakan secara
intensif. Budidaya kunyit mulai menggunakan pengolahan lahan, tetapi masih
terbatas dan biasanya dilakukan jika dikombinasikan dengan tanaman jahe.
Pada tanaman temulawak, kegiatan pengolahan lahan tidak mutlak, karena
umumnya para petani ketika melakukan pemanenan akan langsung diteruskan
dengan kegiatan penananam, sebagian rumpun tanaman sisa pemanenan akan
langsung ditanam pada lokasi yang sama.
Pada budidaya jahe dan kapulaga, pengolahan lahan akan diteruskan
dengan pembuatan bedengan atau guludan yang bertujuan untuk memudahkan
dalam pemeliharaan dan membantu menjaga drainase, terutama pada saat musim
hujan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.
















Gambar / Figure 2. Penanaman dalam satu hamparan (a) dan menggunakan
guludan/ bedengan (b dan c) / Planting in one plain (a) and using
beds (b and c)


c. Penanaman
Kegiatan penanaman disesuaikan dengan bahan perbanyakan, lokasi
penanaman dan ketersediaan air. Petani jahe di Kali Bawang memiliki periode
penanaman dua kali, pada saat akhir musim kemarau dan awal sampai dengan
pertengahan musim hujan. Penanaman yang dilakukan pada akhir musim kemarau
biasanya menggunakan bahan perbanyakan (bibit) berupa rimpang jahe tua
berukuran 3 – 4 ruas. Penanaman yang dilakukan pada musim hujan biasanya
menggunakan bibit berupa batang muda, biasanya 3 – 6 batang/lubang tanam.
Penanaman langsung menggunakan rimpang yang dilakukan pada akhir musim
kemarau akan berimplikasi terhadap besarnya kebutuhan bahan perbanyakan,
karena kemungkinan tidak tumbuhnya rimpang yang ditanam cukup besar.
Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya rimpang yang akan ditanam ditunaskan
terlebih dahulu dengan cara menyemaikannya, yaitu menghamparkan rimpang di
atas jerami/alang-alang tipis, diletakan di tempat yang teduh atau di dalam
gudang penyimpanan dan tidak ditumpuk. Untuk itu bisa digunakan wadah atau
rak-rak terbuat dari bambu atau kayu sebagai alas. Selama penyemaian,
dilakukan penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, hal ini dilakukan untuk
menjaga kelembaban rimpang. Rimpang yang sudah bertunas dengan tinggi
mencapai 1 - 2 cm, siap ditanam di lapangan. Rimpang yang sudah bertunas
ini dapat beradaptasi langsung dengan kondisi lapangan dan tidak mudah
rusak (Puslitbangbun, 2007).
Penanaman kunyit atau temulawak menyesuaikan dengan kegiatan pemanenan
yang dilakukan, karena dua kegiatan tersebut dianggap satu paket kegiatan
yang kontinu. Bagi petani, hal tersebut sebagai upaya untuk mengurangi
tambahan curahan waktu dan sumber daya.
Pengaturan jarak tanam pada penananam tanaman herbal secara umum tidak
baku, mengikuti kondisi ruang tumbuh. Jarak tanam yang teratur ditemui pada
penanaman dengan sistem monokultur yang intensif, misalnya pada tanaman
jahe, sedangkan pada penanaman yang sederhana akan mengikuti ruang kosong
yang tersedia. Pada tanaman kapulaga, jarak tanam akan disesuaikan dengan
pertumbuhan tanaman, jika pertumbuhan tanaman cukup baik, maka jarak tanam
yang digunakan akan lebih lebar, karena akan cepat menyambung menjadi
rumpun yang besar. Kegiatan lain yang dilakukan pasca penanaman adalah
penyulaman, mengganti tanaman yang mati atau memiliki pertumbuhan yang
tidak baik dengan bibit baru yang seumur.

d. Pemupukan
Secara umum, budidaya tanaman herbal yang dilakukan oleh petani hutan
rakyat di Pegunungan Menoreh masih menggunakan input hara yang relatif
rendah, penggunaan pupuk masih terbatas. Jenis pupuk yang digunakan masih
mengandalkan pupuk kandang, baik untuk pupuk dasar maupun untuk pupuk
lanjutan. Bahkan untuk jenis temulawak, pemberian pupuk sangat jarang
dilakukan. Pada budidaya jahe sudah mulai menggunakan pupuk kimiawi, tetapi
masih terbatas dan dosisnya juga rendah. Pupuk kimiawi berupa NPK dan Urea
dijadikan sebagai perangsang pertumbuhan awal (starter) yang diberikan 1 –
2 minggu setelah tanam dengan dosis 1 sendok teh/lubang tanam. Pemanfatan
pupuk kandang menjadi dominan karena murah dan mudah didapat, hampir semua
penduduk memiliki ternak sapi dan/atau kambing.

e. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan yang umum dilakukan petani adalah pembersihan
gulma dan pendangiran di sekitar rumpun tanaman, terutama pada tanaman jahe
dan kapulaga. Pada prakteknya, Kegiatan penyiangan cukup intensif dilakukan
pada awal pertumbuhan tanaman dan frekuensinya disesuaikan dengann
pertumbuhan gulma. Dengan pola tanam campuran, kegiatan penyiangan lebih
intensif dilakukan untuk pemeliharaan tanaman pertanian yang lebih
produktif, seperti tanaman palawija dan sayuran.
Beberapa petani jahe telah melakukan kegiatan pembumbungan guna
menggemburkan tanah sekaligus agar rimpang yang muncul tertutup tanah,
memberikan kesempatan berkembangnya rimpang menjadi baik dan dapat mencegah
rimpang terkena sinar matahari yang dapat membuat rimpang berwarna hijau
dan keras yang akan menurunkan kualitas rimpang. Pembumbungan dilakukan
dengan cara menimbun pangkal batang dengan tanah setebal kurang 5 cm dan
dilakukan pada waktu telah terbentuk rimpang dengan 4 - 5 anakan
(Puslitbangbun, 2007). Setiap kali dilakukan pembumbungan akan terbentuk
guludan kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi untuk
mengalirkan kelebihan air terutama pada saat musim hujan. Waktu
pembumbungan biasanya dilakukan bersamaan dengan penyiangan tanaman
menjelang pemupukan.
















Gambar 3. Guludan/bedengan tanaman bisa dibuat dari awal penyiapan lahan
atau hasil kegiatan pembumbungan / Plant beds can be made from land
preparation or as result of maintenance activities (pembumbungan)

Kegiatan pemeliharaan yang lebih spesifik pada budidaya kapulaga
adalah pembersihan guguran daun di dalam rumpun dan pembuangan batang
kapulaga yang telah tua. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan ruang
tumbuhan yang lebih baik untuk mendukung pembentukan bunga dan buah.
Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada pembungaan dan
pembentukan buah, karena terjadi pembusukan.

f. Pemanenan dan Pasca Panen
Waktu panen sangat bervariasi, baik antar jenis tanaman herbal maupun
pada jenis yang sama. Tanaman kunyit biasanya dipanen pada umur satu tahun,
karena jika terlalu tua akan busuk. Petani di Kali Bawang umumnya memanen
jahenya setelah berumur 1 - 2 tahun, lebih lama dibandingkan dengan yang
dianjurkan, yaitu 8 – 12 bulan. Lamanya waktu panen tersebut terkait dengan
pertumbuhan tanaman yang agak lambat jika ditanam di bawah tegakan dan
sebagai upaya penghematan biaya produksi (penyediaan bibit, persiapan lahan
dan penanaman). Selain itu, jenis jahe yang dikembangkan adalah jahe putih
kecil, jenis ini tahan sampai umur dua tahun dan tidak busuk. Produktivitas
jahe yang dihasilkan cukup beragam, pada umur 1 tahun dapat menghasilkan
rimpang dengan berat basah 100 – 300 gram/rumpun, sedangkan pada umur 2
tahun bisa mencapai 500 gram/rumpun atau lebih. Temulawak memiliki ukuran
rimpang yang besar, sehingga berat rimpang yang diperoleh pada saat panen
bisa mencapai 1 kg/rumpun. Berat rimpang kunyit pada saat panen berkisar
antara 200 – 700 gram/rumpun.



















Gambar 4. Pemanenan tanaman herbal: (a). Tanaman temulawak tua, (b).
Rimpang temulawak, (c). Pemanenan jahe, (d). Rimpang jahe, (e).
Rumpun kapulaga, (f). Tandan buah kapulaga dan (g). Buah kapulaga
muda dan tua / Herb harvesting: (a). Old javanese tumeric
(temulawak) plant, (b).Javanese tumeric (temulawak) rhizome, (c.)
Cardamom clump, (d). Ginger rhizome, (e). Cardamom clump, (f).
Cardamom fruit bunches, (g). Old and young cardamom fruit.

Pemanenan kapulaga dilakukan sepanjang tahun, selama umur produktif
tanaman yang mencapai 15 - 20 tahun yang kemudian akan memerlukan
peremajaan. Kegiatan pemanenan dilakukan setiap 2 – 3 bulan sekali dengan
produktivitas sekitar 0,2 - 0,5 kg/rumpun. Pemanenan dilakukan terhadap
buah yang telah matang, yang ditandai dengan warna kulit buah merah
keputihan atau bijinya telah telah bernas dan berwarna hitam, jika belum
matang akan memiliki susut yang sangat besar jika dijemur. Sampai saat ini,
pengeringan buah kapulaga yang dilakukan oleh masyarakat Girimulyo dan
Samigaluh masih mengandalkan sinar matahari, sehingga masih tergantung pada
musim dan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Penjemuran
dilakukan selama kurang lebih lima hari atau sampai kadar air buah kapulaga
mencapai 5 % atau kurang. Buah kapulaga yang telah kering dicirikan dengan
warna kulit buah putih pucat, muncul rongga pada kulit buah dan biji
berwarna hitam. Buah kapulaga kering dapat disimpan sampai satu atau dua
tahun, tetapi harus dikemas dengan baik, biasanya menggunakan karung
plastik atau kaleng yang kedap udara, agar tidak terserang jamur.
Idealnya pemanenan temulawak dilakukan setiap tahun, tetapi pada
prakteknya, kegiatan tersebut tidak menentu, tergantung pada kebutuhan dan
ketersediaan waktu pemilik. Harga jual yang rendah membuat para petani
malas untuk memanen, sehingga akan dibiarkan tumbuh. Sebaiknya ada upaya
peningkatan nilai ekonomi dari rimpang temulawak yang dihasilkan, misalnya
dengan pembuatan simplisia.


III. KESIMPULAN

Teknik budidaya tanaman herbal dalam sistem agroforestri yang
dilakukan oleh masyarakat/petani hutan rakyat di Pegunungan Menoreh
Kabupaten Kulon Progo masih sederhana, budidaya yang intensif hanya
ditemukan pada jahe dan kapulaga.
Kegiatan yang dulakukan dalam budidaya tanaman herbal yang dilakukan
relatif sama, meliputi: persiapan lahan, penyediaan bahan tanaman,
penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit seta
pemanenan, yang membedakan hanya dalam intensitasnya saja. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh potensi jenis tanaman herbal, ketersediaan waktu
dan sumber daya serta pengetahuan petani pengelola


DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Kulon Progo. 2010. Profil Daerah Kabupaten Kulon Progo
Tahun 2010. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo. Wates.

Budiadi. 2005. Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan
Lingkungan ?. Majalah Inovasi Online, Vol. 3/XVII/Maret 2005.

Hairiah, K., M. A. Sardjono dan M. S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar
Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast
Asia Regional Office. Bogor.

Januwati, M. 1991. Faktor-faktor Ekologi yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Tanaman Jahe. Edisi Khusus Littro (7). 1. Bogor: 11 - 16.

Januwati, M., R. Rosman dan Emmyzar. 1996. Pemanfaatan Tanaman Obat Sebagai
Tanaman Sela. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi
Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Bogor, 28 - 29 Nopember 1995.

Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic
Publisher.

Pribadi, E. R., M. Januwati dan M. Yusron. 2000. Potensi Tanaman Obat
sebagai Tanaman Sela Di Bawah Tegakan Hutan Rakyat. Prosiding
Simposium Nasional dan Kongres VII PERAGI, Bogor, 21 - 23 Maret 2000.

Puslitbangbun. 2007. Teknologi Unggulan Jahe: Budidaya Pendukung Varietas
Unggul. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor.

Rahardjo, M. dan N. Bermawie. 2012. Teknologi Budidaya Jahe. Modul Training
for Farmer, Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.