EPISTEMECIDE

May 24, 2017 | Autor: Ade M Wirasenjaya | Categoria: Social Movement
Share Embed


Descrição do Produto

EPISTEMECIDE
Oleh Ade M Wirasenjaya

Begitulah, ilmuwan sosial telah dibunuh media sosial! Di tengah keinginan membangun komunitas epistemik di kampus-kampus, kini muncul fenomena bunuh diri epistemic (epistemecide). Ditambah dengan suasana akademik yang tak juga pulih di kampus-kampus, makin sempurnalah ruang epistemecide di kalangan para akademisi Indonesia hari-hari ini.
Dalam sebuah kesempatan, ilmuwan sosial Indonesia yang tengah berkibar, Vedi Hadiz, pernah mengungkapkan bahwa penyebab mandegnya ilmu sosial Indonesia karena adanya birokratisasi kampus yang menjebak para dosen pada tetek-bengek kerja administratif ketimbang memproduksi karya akademik. Sampai kemudian, birokrasi kampus memberi kenyamanan baru bagi sejumlah dosen untuk eksis. Ujung-ujungnya, para dosen amat menikmati menjadi birokrat kampus. Dengan wajah sumringah dan cerah ceria, mereka sering kedapatan memposting kegiatan-kegiatan sebagai pejabat kampus: "OTW menuju pembukaan/penutupan", "horeee, acara kita sudah rampung, makasih ya teman-teman panitia….kalian hebat deh"
Epistemecide muncul karena mentalitas para dosen yang juga tak beranjak dari mentalitas pemburu rente. Ini yang lucu, karena kepengen naik pangkat dengan cepat dan memiliki publikasi atas hasil riset, ada juga dosen yang bikin penerbitan sendiri di rumahnya. Dia bikin beberapa eksemplar buku sebagai bukti karyanya sudah diterbitkan. Dengan teknologi page maker dan komputasi yang canggih saat ini, semua itu mudah saja dilakukan. Nama penerbit bisa diambil dari nama hewan piaraan, misalnya Bunglon Press atau juga bisa dari nama alat dapur seperti Mata Pisau Publishing! Logika apalagi yang dibangun dari gejala ini selain logika "mengeluarkan seminimal mungkin, mendapatkan semaksimal mungkin" dalam teks buku ekonomi semester satu?
Epistemecide barangkali topik yang kurang happening di tengah keriuhan politik di jalanan yang makin absurd. Tetapi mari bertanya, mengapa banyak penelitian gagal memproduksi peneliti dan hanya memproduksi laporan dan penggunaan anggaran? Berapa ilmuwan sosial Indonesia saat ini yang khusyuk menghasilkan karya-karya yang – disamping berbobot secara akademik – juga menggetarkan ? Cobalah hadiri pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu sosial sekarang. Jarang ada pidato guru besar yang menggetarkan, punya horizon yang amat kaya, reflektif dan menantang secara akademik.
Menjadi editor beberapa jurnal ilmiah memberi pengalaman agak pahit juga bagi saya. Beberapa dosen senior masih banyak yang anti-kritik, seolah kalau diberi komentar atau direview oleh mereka yang lebih muda merupakan sebuah "cacat akademis". Herannya, banyak dosen yang "bangga" dan malah menunjukkan review dan masukan yang datangnya dari pengelola jurnal di luar negeri! Betapa kolonialistiknya dunia akademik hingga hari ini.
Perbedaan penting dunia diskusi dan kegiatan epistemik jaman 80-90an dengan saat ini terletak pada kedalaman materi dan format acara. Dulu, di tengah ketiadaan mesin pencari dan tetek bengek aplikasi, setiap seminar pasti tersedia makalah panjang yang ditulis pada pembicara. Senang rasanya bisa baca gagasan seorang doktor yang baru selesai kuliah dan profesor yang penuh semangat dalam makalah 7-12 halaman. Kini, semua kegiatan akademik macam diskusi dan seminar dibikin dalam format talk show. Tak ada lagi tradisi menulis makalah panjang. Atas nama perkembangan teknologi, semua pembicara hanya bermodal slide powet point. Sialnya pula, banyak PPT yang diambil mentah-mentah dari internet tanpa sempat diedit! Pernah ada kejadian sebuah kelas perkuliahan dicancel bukan gara-gara dosennya tidak datang mengajar tetapi laptop dosennya eror untuk menayangkan PPT! (Jadi, kalo begitu, apa isi kepala dosen, hayo…)
Kini, jumlah lulusan luar negeri dari ilmu sosial makin banyak saja karena skema beasiswa yang disediakan pemerintah. Sayang, para penerima beasiswa luar negeri yang baru lulus hanya sibuk berkeliling tidak untuk diseminasi akademik dan menjalarkan pikiran-pikiran barunya, tetapi menjadi mentor "bagaimana lolos dalam sesi wawancara beasiswa" dan "cara hidup di luar negeri dengan dana terbatas". Aneh, para fresh graduater itu hanya sibuk menjadi motivator ketimbang menjadi akademisi yang punya perspektif kelas internasional. Sudah gitu, dan ini paling berbahaya, ada nilai-nilai kolonialitas yang kemudian lahir di kalangan anak-anak muda pemburu beasiswa: bahwa produk luar negeri mestilah lebih keren ketimbang produk universitas lokalan!
Jika tidak punya sedikit ruang reflektif dan hanya ikut arus, jebakan-jebakan untuk menjadi intelektual instrumental makin kuat. Belum lagi godaan untuk menjadi konsultan yang disediakan rejim pilkada. Sementara mereka yang merasa lelah untuk bergulat dalam dunia epistemik bisa melakukan eskapisme untuk sedikit eksis di media sosial. Banyaklah dosen yang larut dalam reproduksi status dan "berbagi hikmah" serta berbagi lelucon garing di grup WA ketimbang bergelut dengan dunia epistemic dan menghasilkan karya-karya berkualitas. Untunglah status WA dan fesbuk tidak dihitung sebagai poin untuk kenaikan pangkat!
Jadi, bunuh diri epistemic kadang tidak melulu lahir dari atmosfir yang diterima sang akademisi, tetapi disempurakan oleh mentalitas pasca-kolonial yang tragisnya menyusup ke ruang batin para akademisi kita. Ini tentu butuh tindakan penyelamatan dari komunitas epistemik sendiri, agar para dosen tidak "mati muda secara intelektual" dan tidak nyinyir secara sosial….



Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.