Filhum Critical n Konstruktivis

August 1, 2017 | Autor: Dimas Fakhri | Categoria: Philosophy Of Law
Share Embed


Descrição do Produto



Ritzer, J. "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam The American Sociologist Journal No 10, 1975. Hal 156-157
Prof Dr Suteki, Sh, Mhum. Desain hukum di ruang sosial. Yogyakarta: Thafa media, 2013, hal 36
Erich Fromm. Konsep manusia menurut Karl Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001 hal 123
Refleksi dan rekonstruksi ilmu hukum di Indonesia. Satjipto Rhardjo, B. Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khuzaifah Dimyati, FX. Adji Samekto. Yogyakarta: Thafa Media dan Asosiasi sosiologi hukum Indonesia Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum UNDIP. Hal 290
Philippe Nonet dan Philieppe Selznick, Hukum responsif, pilihan dimasa depan. 2003. Dalam ilmu hukum indonesia. ibid. hal 317
Entitas; sesuatu yang ada dan dapat melaksanakan suatu kegiatan dan dapat berupa subjek hukum sendiri. Penulis
Nama : Dimas Muhammad Fakhri Herlambang
NIM : 11010111130226
Kelas : Filsafat Hukum - K
PARADIGMA CRITICAL THEORY at. al DAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME
Sesuai dengan perkembangan pengetahuan seseorang dalam ilmu sosial, terutama ilmu hukum, dan dengan telah mengetahui apa itu paradigma positivisme dan postpositivisme yang memiliki basic belief, world view yang mandiri serta berbeda dan kemudian melihat realitas, maka seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa realitas yang terjadi dalam positivisme sangat tidak memberikan keadilan bagi seseorang yang menjalankan hukum. Oleh karena itu, kemudian terlahir sebuah paradigma baru yang berusaha mendongkrak ketidak adilan yang diciptakan oleh paradigma positivisme. Selain positivisme dan pospositivisme, dalam 4 paradigma utama Denzin and Lincoln (Handbook of Qualitative Research), sebagaimana yang telah dikatakan oleh Prof. Erlyn Indarti dalam mata kuliah filsafat hukum, masih ada paradigma Critical Theory at. Al dan paradigma Konstruktivisme.
Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya dalam kegiatan perkuliahan, pada dasarnya memahami paradigma seharusnya tidak hanya sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk proses keadilan sosial dan dijadikan pandangan hidup. Persoalan pilihan terhadap paradigma pada dasarnya bukanlah karena alasan benar atau salahnya paradigma tersebut, akan tetapi lebih kepada pilihan mana paradigma akan berakibat pada penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang lebih baik, singkatnya adalah mana paradigma yang menurut seseorang membawa manfaat keadilan. Oleh karena itu, memilih sebuah paradigma adalah suatu pemihakan yang berdasarkan kepada nilai-nilai (belief-belief) yang di anut. Kemudian, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena urusan benar atau salah paradigma tersebut, dominasi ini terjadi karena para pendukung paradigma ini lebih memiliki kekuasaan dan kekuatan dari pengikut paraadigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang itu lebih benar atau lebih baik dari yang dikalahkan.

CRITICAL THEORY at al
Terlahir karena tidak puasan sesorang terhadap realitas yang terjadi pada masyarakat. Dalam konteks hukum, ketidak puasan ini terjadi karena sesorang menganggap bahwa hukum yang ada sama sekali tidak mencerminkan keadilan, mengapa tidak mencerminkan keadilan? Karena hukum tersebut, dianggap tidak memihak kepada kepentingan dan hak-hak bagi masyarakat. Ketidak adilan itu telah lama dilakukan, terus menerus di ajarkan sehingga manusia tidak sadar bahwa dirinya sesunguhnya sedang dirampas haknya. Dengan begitu kita tahu bahwa critical selalu di lihat dari prespektif sejarah, dan ini menjadi basic beliefnya yaitu Realime Historis. Berangkat dari realisme historis, yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan dari waktu ke waktu dan tetap dilakukan sampai sekarang ,dipandang oleh critical adalah sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang tidak disadari, sesutu yang dianggap ada, namun sesugguhnya tidak benar-benar ada. Ini lah yang disebut sebagai realitas virtual.
Untuk mengerti realitas virtual, kebanyakan dari kita akan langsung menerangkannya menggunakan contoh. Tapi saya kali ini akan mencoba untuk menterjemahkan relitas virtual ke dalam bahasa yang umum dan sederhana. Realitas virtual/realitas maya/realitas semu, realitas adalah sebuah kenyataan yang terjadi didalam kehidapan masyarakat. virtual adalah sebuah ruang kreasi yang bersifat semu/maya/tidak nyata. Jadi realitas virtual adalah sebuah kenyataan yang terjadi didalam masyarakat, yang mana kenyataan itu sesungguhnya tidak real (tidak konkrit) atau kenyataan itu di anggap ada karena merupakan khayalan masyarakat saja. Relitas virtual ini terjadi dan dianggap ada/dianggap real karenadipengaruhi oleh faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender, yang sejalan dengan waktu yang lama terkristalisasi. Dan paradigma critical ini selalu berjuang untuk menyadarkan masyarakat dari khayalan realitas virtual mereka!. Paradigma kritis selalu menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionis. Dan implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita pada perlunya perenungan tentang moralitas. Dan juga dalam paradigma critical salah satu cara untuk menyadarkan masyarakat dari mimpi realitas virtualnya adalah di sertai dengan serangkaian aksi.
Satjipto Rahardjo
"Peraturan Hukum tidak di ambil dari kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat, melainkan dibuat sendiri oleh sistem hukum melalui badan khusus" (Satjipto Rahardjo, Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, Yogyakarta: Genta Press, 2008, hal 1-25).
Dari kutipan tulisan ini, Prof Tjip saya tafsirkan sedang membuat sebuah kritikan pedas kepada sistem pembuatan hukum yang ada di Indonesia. Bagaimana tafsiran saya itu bisa dianggap kebenaran? Jika kita mengkajinya dari realitas virtual yang berusaha didobrak oleh Prof Tjip yaitu anggapan bahwa hukum positiv adalah hukum yang adil dan hukum yang sebenarnya. Pada kenyataanya bahwa hukum positiv sesungguhnya di ciptakan oleh para legislator yang memiliki kewenangan. Hukum pada saat ini diartikan sebagai social engineering, artinya teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial. Yang menjadikan masyarakat sebagai objek rekayasa sosial bagi penganut positivisme. Padahal hukum yang ideal adalah hukum yang berasal dari masyarakat itu sendiri, karena "The Law of non transferability of law" seperti yang dikatakan Willian J. Chamblis, dengan begitu realitas virtual disini yang hendak di dobrak adalah anggapan positivis bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan perubahan sosial harus di design oleh ahli perancanaan yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi/aparat hukum. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yangberhak memecahkannya.
Dan tujuan akhir dari kritik ini adalah menyadarkan masyarakat bahwa mereka adalah "the truly an law maker", karena Prof Tjip menurut saya menempatkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengkontrol pengetahuan mereka, ilmu sosial harus mempu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya. Begitu pula dengan ilmu hukum, perumusan sebuah produk hukum tidak bisa mengabaikan keterlibatan masyarakat dalam pembuatannya, pemikiran tersebut menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses pembangunan teori. Aksi dari pendobrakan relitas virtual itu menurut saya dengan menuangkan pemikiran Prof Tjip dalam sebuah buku, karena buku adalah alat yang paling efektif untuk menyebarluaskan sebuah teori atau pendapat yang berisi kritikan, agar setiap masyarakat bisa membacanya dimana pun tak terbatas waktu.
Karl Marx
"Hukum hanya sebagai derivasi belaka dari kekuatan infrastruktur ekonomi, yang digunakan sebagai sarana penindasan dan alat tipu muslihat dari kelas yang berkuasa"
Karl Marx menyalahkan hubungan-hubungan kelas dalam negara yang membatasi kebebasan masyarakat, sebab mereka (masyarakat kecil) tidak dapat meningkat diatas kekuasaan borjuis, dan mereka (borjuis) meletakkan pembatasan-pembatasan atas apa yang dapat dicapai dengan hukum. Pendapat marx sesungguhnya adalah kejengahan Marx melihat ketidak adilan, yang mana salah satu tujuan dari hukum adalah menjamin kesejahteraan masyarakatnya justru malah membuat masyarakatnya tidak sejahtera, bahkan miskin. Masyarakat kelas buruh akan selamanya menjadi masyrakat miskin, dengan memberikan ijin usaha bagi perusahaan-perusahaan kapital bermodal besar, serta mengatur tentang UU Ketenaga kerjaan membuat masyarakat tergiur dengan iming-iming gaji yang ditawarkan oleh pihak perusahaan. Masyarakat yang pada mulanya memiliki ketahanan pangan dengan bekerja sebagai petani yang bisa memproduksi bahan makan pokok sendiri dan menjual sisa dari produksinya, perlahan menjadi masyarakat yang rentan kelaparan.
Mengapa? Karena mulanya masyarakat bisa penuhi kebutuhan makanan pokoknya dengan andalkan pertaniannya, karena dia bekerja di perusahaan sebagai buruh maka dia tidak bisa menghasilkan pangan itu. dia hanya memiliki kemampuan untuk membeli yang berasal dari upahnya. Namun hal yang tidak disadari masyarakat adalah, hukum ekonomi klasik Adam Smith tentang suplay dan permintaan suatu barang. "Jika permintaan suatu barang naik, maka suplay barang akan berkurang. Dan jika permintaan suatu barang menurun, maka suplay akan meningkat" dan hukum harga permintaan suatu barang Adam Smith pula mengatakan; "Jika suatu suplay barang menurun, maka harga barang akan meningkat, dan sebaliknya". Artinya, masyarakat yang dominan bekerja sebagai buruh dengan upah yang dia terima, akan membeli barang-barang kebutuhan pokoknya, yang mana secara serentak masyarakat kelas buruh membeli segala kebutuhan pokoknya, yang berakibat suplay barang menurun dan pada akhirnya harga bahan pokok semuanya meningkat. Dengan upah yang kecil, maka dia harus tetap membeli bahan pokok itu meskipun mahal, sehingga upah yang ia terima pada akhirnya hanya cukup atau bahkan kurang untuk menutupi pembelian bahan pokok. Kemudian inilah yang disebut kemiskinan struktural, kemiskinan yang tercipta karena sebuah kebijakan pemerintah, dan para penganut critical berusaha menyadarkan masyarakat dari relitas virtualnya.
Selain itu, Marx juga mengkritisi sistem ekonomi yang berbasis kapitalis. Dengan ciri penghisapan tenaga kerja yang ahumanis. Marx mengatakan bahwa kapitalis mendapatkan nilai lebih dari barang produksi dengan menggunakan tenaga kerja yang dibayar dengan upah. Marx mengasumsikan bahwa satu buruh bekerja selama 8 jam sehari, dalam satu hari buruh diperintah untuk memproduksi barang sebanyak 10 buah, jika upah buruh dalam 1 hari adalah Rp 8000 dan harga jual barang produksi perunit adalah Rp 1000, maka perusahaan mendapatkan keuntungan Rp 2000, artinya buruh dipekerjakan untuk membuat 2unit barang produksi ini secara Cuma-Cuma atau gratis. Inilah yang disebut Marx sebagai nilai tambah, yang menghisap hak-hak buruh. Buruh sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya disamakan dengan alat produksi oleh para kaum kapitalis, yang buruh tahu hanyalah memproduksi brang untuk mendapatkan upah, tapi tidak tahu berapa keuntungan yang dihisap oleh kapitalis teramat besar, dan upah mereka hanyalah sebagian kecil dari nilai lebih yang di dapatkan kapitalis.
Dengan begitu para penganut critical pardigma berusaha menyadarkan buruh bahwa sesungguhnya mereka telah di hisap, diperalat, dan dizolimi. Kemudian ketika buruh sadar, maka penganut paradigm critical akan membantu proses protes dan negosisasi kenaikan upah buruh kepada para kapital dan juga kepada pemerintah daerah selaku otoritas yang menentukan upah minimum regional. Realitas virtual yang terjadi dalam kasus buruh ini dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, serta sosial yang menganggap bahwa upah yang menentukan adalah pemilik pabrik, tanpa buruh dilibatkan didalam keputusan berapa nominal upah tersebut.

KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme terlahir sebagai penengah di antara perbedaan tiap paradigma. Mengapa saya mengatakan konstruktivisme sebagai paradigma menengah? Jawabannya ada pada basic belief yang dianut oleh paradigma ini, basic belief ini melihat bahwa kebenaran dari kenyataan atau realitas adalah hal yang relatif (relativisme). Dengan kata lain kebenaran realitas itu tergantung dari siapa yang mengatakannya/melihatnya/meninjaunya. Relativisme ini berangkat dari belief yang mengatakan bahwa realitas itu banyak dan beragam atau realitas majemuk, yang mana semua itu berasal dari pengalaman individu dengan lingkungan sosialnya. Tentunya pengalaman seseorang itu berbeda dengan orang lain, sehingga perbedaan realitas itu muncul (perbedaan dengan mayoritas lokal, artinya satu perbuatan akan bermakna lain jika dilakukan dimasyarakat lain).
Realitas diartikan sebagai konstruksi mental/intelektualitas manusia (berupa ide/idea, yang berada dialam pikiran), yang mana bentuk dan isi berpulang kepada penganut/pemegang dan dapat berubah menjadi infomed humanis. Ide berasal dari internal seseorang yang isinya tetang ajaran, serapan, pemahaman orang yang bersangkutan. Dengan begitu tiap perbedaan ide akan ditoleransi oleh konstruktivisme, dan diakui kebenarannya, namun hal ini mensyaraktkan adanya sesuatu yang harus ditempuh dahulu, yaitu harus ada konsensus atau kesepakatan. Meskipun kesepakatan itu tidak dapat dilihat secara kasat mata, namun dapat dipahami dengan logikanya. Artinya realitas itu dapat berubah sesuai dengan pengalaman dan intelektual manusia. Dan dalam konteks hukum, dimungkinkan bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan pengalaman dan intelektualitas manusia, karena hukum itu relativ maka dapat berubah dengan adanya konsensus. Karena kesepakatan sudah menjadi hukum.
Satjipto Rahardjo
"Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lainnya. Inilah hakikat hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the making)"
Artinya hukum bukanlah sesuatu yang dipandang kebenarannya secara absolut dan final. Dengan begitu apa yang disebut hukum yang tertulis bukan menjadi kebenaran tunggal dan tidak dapat berubah selamanya. Hukum akan tampak untuk selau bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena dalam pandangan paradigma konstruktifisme, yang menjadi basic beliefnya adalah Relatifisme. Relatif disini terjadi kerena adanya realitas majemuk tadi. Hukum selalu bergerak karena ada pengalaman individu yang berbeda, realitas yang berbeda, dan hal ini akan senantiasa berubah seiring bertambahnya pengetahuan individu tersebut.
Dengan berubahnya hukum mengikuti kedinamisan hidup manusia, ini berarti sesuai dengan hakikat dari hukum, yaitu untuk keadilan. Karena sifat kedinamisan tersebut telah menjadikan manusia sebagai pusat dari hukum, mengapa demikian? Hal ini karena dalam kontes hukum, telah memasukkan/memperhatikan faktor-faktor perilaku manusia. Dengan demikian pantaslah saya katakan bahwa prinsip hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya (manusia untuk hukum) telah terpenuhi dari pendapat yang diutrakan Prof Satjipto Rahardjo.
Dan kalimat "Hukum terus menerus membangun dan merubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik", saya dapat menemukan sebuah filosofi didalamnya. Filosofi bahwa hukum bertujuan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan bhagia. Dengan kedinamisan penganut paradigma konstruktivis terhadap realitas majemuk, membuat dirinya dekat dengan hakikat hukum (adil, sejahtera, dan bahagia). Berdasarkan hal itu, penganut paradigma konstruktivisme mengartikan bahwa hukum bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk sesuatu yang lebih luas; yaitu untuk harga diri manusia, kebahagaiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Itu sebabnya jika terjadi permasalahan dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukan dalam skema atau dalam prosedural hukum. dengan begitu, hukum yang dimaksud disini ketika berhadapan dengan masalah hukum lebih mengedepankan tujuan dari pada prosedur hukum.
Philippe Nonet dan Philippe Selznick
"Hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama"
Artinya hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, di dalam hukum yang responsif membuka lebar ruang dialog dan wacana, serta adanya pluralistik gagsan sebagai realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi selalu berdasarkan pertimbangan yuridis untuk mengejar apa yang disebut keadilan substantif.
Persoalan dari berbagai prespektif ini adalah persoalan dalam masyarakat yang mewakili individu. Dengan mengadopso paradigma lama dengan paradigma baru disini dimaksudkan bukan sebagai pengganti paradigma secara permanen, hanya saja mengalihkan sejenak pandangan kepada paradigma lainnya. Pendapat Nonet dan Selznick ini terjadi bukan tanpa sebab, dalam hukum responsif keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan hukum diharapkan menjadi kekuatan kontrol (agent of social control), dan kekuatan penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu kacamata paradigma yang terdahulu memandang hukum dibuat oleh hanya penguasa/pemerintah, yang kemudian diganti dengan kacamata baru bahwa masyarakat pun punya hak untuk membuat hukum tersebut, dengan begitu bukan berarti pembuatan hukum sepenuhnya dibentuk oleh penguasa akan tetapi masyarakat diikut sertakan dan dengan hasil akhir bahwa hukum itu dikeluarkan oleh penguasa/pemerintah atas pertimbangan dan kontribusi masyarakat.
Karena hal yang telah disadari penguasa/pemerintah adalah kebenaran dalam hukum itu relativ, tergantung pada pengalaman, intelektual yang tersimpan dalam ide masyarakat yang majemuk. Maka masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan hukum, agar produk hukum itu dapat lebih mempu memahami/menginterpretasi ketidak taatan yang terjadi dalam masyarakat. Yang dengan begitu akan menghasilkan hukum yang responsif.



Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.