INSOMNIA PRIMER

July 24, 2017 | Autor: Kezia Natania | Categoria: Insomnia, Sleep disorders, Insomnia Cure, Insomnia Treatment
Share Embed


Descrição do Produto

1





REFERAT
INSOMNIA PRIMER



Oleh :
Kezia Natania Sudibyo Wisnu Sonjaya
11.2013.073
Pembimbing :
Dr. Evalina Asnawi H, SpKJ(K)

KEPANITERAAN KLINIK UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA
Periode 19 Januari – 22 Februari 2015
PANTI SOSIAL BINA INSAN BANGUN DAYA I
JALAN KEMBANGAN RAYA NO 2
JAKARTA BARAT

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………………………….....1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Elektrofisiologi Tidur………………………………………………………………………..2
Definisi Insomnia...……………………… ………………………………………………..6
Etiologi………………………………………………………………………………………..7
Epidemiologi………………………………………………………………………………….8
Patofisiologi Insomnia……...……………………………………………………………......9
Kriteria Diagnosis Insomnia Primer..……………………………………………………..10
Diagnosis Banding…………………………………………………………………………..11
Insomnia Berhubungan Dengan Kecemasan Gangguan Kepribadian…………………...12
Insomnia Terasosiasi dengan Gangguan Afektif……………………………….………..13
Insomnia Berhubungan dengan Penyalahgunaan Obat dan Alkohol………………….…13
Penatalaksanaan……………………………………………………………………………14
Farmakologis…………………………………………………………………..…….......15
Non Farmakologis………………………………………………………………………..21
Komplikasi………………………………………………………………………….……….23
Prognosis………………………………………………………………………………...24
BAB III PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………………….25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..………….26


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.1
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien. Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia. 1
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Elektrofisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.1
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).


Gambar 1. Regio Otak yang terlibat dalam pengaturan pola tidur1
Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1 sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan dengan keadaan terjaga. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur, tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalam tidur NREM. Tidur NREM dibagi dalam empat stadium, antara lain :1
Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.
Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Gambar 2. Stadium 1 sampai 4 pada pola tidur NREM1

Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90 menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal, pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif dan narkolepsi. Elektroensefalogram (EEG) merekam gerakan mata konjugat cepat yang merupakan ciri pengidentifikasi keadaan tidur (tidak ada atau hanya sedikit REM dalam tidur NREM); pola EEG terdiri atas aktivitas cepat bertegangan rendah dan acak dengan gelombang gigi gergaji. Elektromiograf (EMG) menunjukkan berkurangnya tonus otot yang nyata.
Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan saat terjaga. Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut per menit dibawah tingkat saat terjaga sedang istirahat dan sangat teratur denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan tekanan rendah cenderung rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat pada otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan tubuh episodik dan involuntar terdapat pada tidur NREM. Meskipun ada, terdapat sedikit REM dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui sebagian besar jaringan, termasuk aliran darah otak, sedikit berkurang. Bagian tidur NREM yang paling dalam –tahap 3 dan 4- kadang-kadang disertai ciri bangkitan yang tidak biasa. Jika orang dibangunkan 30 menit hingga 1 jam setelah awitan tidur, biasanya pada tidur gelombang pendek, mereka akan mengalami disorientasi dan pikiran menjadi kacau. Membangunkan dengan cepat dari tidur gelombang pendek juga menyebabkan amnesia terhadap peristiwa selama dibangunkan tersebut. Kekacauan saat bangun dari tahap 3 atau 4 dapat menghasilkan masalah spesifik, termasuk enuresis, somnambulisme, dan mimpi buruk atau terror malam hari tahap 4.1
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur, kadang-kadang mendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena pengamatan ini, tidur REM juga dinamakan tidur paradoksal. Denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah pada manusia semuanya tinggi saat tidur REM, lebih tinggi daripada selama tidur NREM dan sering lebih tinggi daripada saat bangun. Variabilitasnya dari menit ke menit bahkan lebih mencolok dibandingkan kadar atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selama tidur REM. Respon ventilasi untuk meningkatkan kadar karbondioksida (CO2) berkurang selama tidur REM, sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal ketika tekanan parsial karbondioksida meningkat (PCO2). Termoregulasi berubah saat tidur REM. Berlawanan dengan keadaan pengaturan suhu homeotermik yang terjadi saat keadaan terjaga atau selama tertidur REM, keadaan poikilotermik (suatu keadaan suhu hewan yang beragam sesuai dengan perubahan suhu di sekelilingnya) berlangsung saat tidur REM. Poikilotermia yang merupakan ciri khas reptil, menimbulkan kegagalan berespons terhadap perubahan suhu lingkungan dengan menggigil atau berkeringat, yang bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh. Hampir semua periode REM pada laki-laki disertai dengan ereksi penis parsial atau penuh. Temuan ini memiliki nilai klinis signifikan dalam mengevaluasi penyebab impotensi, studi tumescence nokturnal penis merupakan salah satu uji laboratorium tidur yang paling lazim diminta. Perubahan fisiologis lain yang terjadi selama tidur REM adalah paralisis hampir total pada otot rangka (postural). Karena inhibisi motorik ini, gerakan tubuh tidak ada selama tidur REM. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi. Orang yang terbangun saat tidur REM sering (60 hingga 90%) melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi. Mimpi selama tidur REM secara khas abstrak dan aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi khasnya jelas dan bertujuan.
Sifat siklik pada tidur adalah regular dan dapat dieprcaya; periode REM terjadi kira–kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM pertama cenderung menjadi yang paling singkat, biasanya berlangsung kurang dari 10 menit; periode REM selanjutnya masing-masing dapat berlangsung 15 hingga 40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi pada dua pertiga akhir malam, sedangkan sebagian besar tidur tahap 4 terjadi pada sepertiga pertama malam. Pola tidur ini berubah selama rentang hidup seseorang. Pada periode neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50% waktu tidur, dan pola EEG bergerak dari keadaan siaga langsung ke keadaan REM tanpa melalui tahap 1 sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan periode bangun yang singkat. Pada usia 4 bulan, pola bergeser sehingga presentase total tidur REM berkurang hingga kurang dari 40% dan jatuh tertidur menjadi disertai periode tidur REM lebih awal. Saat dewasa muda, distribusi tahap tidur pada NREM 75% (tahap 1 : 5%, tahap 2 : 45%, tahap 3: 12%, tahap 4 : 13%). Distribusi ini relatif tetap konstan sampai usia tua, walaupun pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tidur REM pada orang yang berusia lebih tua.1
Definisi Insomnia
Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur. Banyak sumber juga mengatakan adanya gangguan di siang hari yang terkait seperti kelelahan, cepat marah, penurunan memori dan konsentrasi dan lesu yang mengganggu banyak aspek fungsi di siang hari. Insomnia lebih sering menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia lanjut. Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang terjadi tanpa disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe ini terjadi disebabkan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku atau efek samping dari obat-obatan. Insomnia juga bisa diklasifikasikan sebagai insomnia akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan. Insomnia lebih tepat disebut sebagai suatu gejala dan bukan meupakan suatu diagnosis.
Walaupun semua definisi insomnia didasarkan pada presentasi gelaja, definisi diagnosis standar tidak ada. Tiga teks terpisah menyatakan kriteria diagnosis insomnia : The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM); The International Classification of Sleep Disorders; and The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder. Beberapa definisi hanya didasarkan pada laporan gangguan tidur malam hari, sementara yang lain termasuk ciri-ciri seperti gangguan siang hari yang terkait (misalnya, kelelahan, lekas marah, atau penurunan memori atau konsentrasi), pengakuan ketidakpuasan tidur, atau kriteria lainnya.2,3
Etiologi Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :1
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Beberapa penyebab lain yang juga mendukung insomnia, yaitu :
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.
Epidemiologi
Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi insomnia berdasarkan definisinya. Ketika insomnia didefinisikan berdasarkan frekuensi tidur (gejala muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka angkanya menjadi 17%. Bila definisinya mengarah pada kesulitan dalam mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%. Dengan menggunakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. Suatu survey di Singapura menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke dokter umum mengeluhkan gejala insomnia.4,5
Penelitian ini menunjukkan kuantitas pasien insomnia yang datang kepada dokter umum tidaklah sedikit. Sebuah artikel menyatakan Riset internasional yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004 terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa (11,7%) terjangkit insomnia.6
Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. Dari segi jenis insomnianya, hasil penelitian di Amerika Serikat yang menggunakan DSM-IV menunjukkan 20% sampai 49% penduduk dewasa mengidap insomnia intermiten dan 10 sampai 20% mengidap insomnia kronis, di mana 25% dari pengidap insomnia kronis terdiagnosis sebagai insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada wanita dan lansia (65 tahun ke atas). Wanita lebih sering 1,5 kali mengidap insomnia dibandingkan pria, dan 20-40% lansia mengeluhkan gejala-gejala pada insomnia tiap beberapa hari dalam 1 bulan.3
Patofisiologi Insomnia
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur.4
Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Data neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak konsisten ditemukan. Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal tentang hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon emission computer tomography) dan PET ( positron emission tomography). Pada penelitian PET yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.4
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan aktivitas dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien baik pada saat terjaga maupun tidur. Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan insomnia primer maupun sekunder.4
Kriteria Diagnosis Insomnia Primer
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Insomnia Primer1
A
Keluhan yang dominan adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak bersifat menyegarkan, selama sedikitnya 1 bulan
B
Gangguan tidur (atau kelelahan di siang hari yang terkait) menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain
C
Gangguan tidur tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan narkolepsi, gangguan tidur yang terkait dengan pernapasan, gangguan tidur irama sirkadian, atau parasomnia
D
Gangguan ini tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan jiwa lain (contoh gangguan depresif berat, gangguan ansietas menyeluruh, delirium)
E
Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh penyalahgunaan obat, suatu obat) atau keadaan medis umum
Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon, kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya, termasuk kuesioner) untuk mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).6
Pemeriksaan tambahan seperti sleep wake diaries, aktigrafi, polisomnografi telah dilakukan untuk membantu diagnosis walaupun validitasnya masih terbatas. Sleep wake diaries merupakan pencatatan waktu tidur yang dilakukan selama 1-2 minggu, pencatatan ini berguna untuk menegakkan pola tidur, variasi pada jam tidur, gangguan tidur dari hari kehari. Aktigrafi merupakan metode objektif untuk mengevaluasi pola tidur dan beraktivitas dengan menggunakan peralatan yang sensitif terhadap gerakan, digunakan pada pergelangan tangan yang tidak dominan. Pada penelitian yang valid menunjukan hubungan antara pola aktigrafi dan tidur yang dinilai melalui polisomnografi, walaupun aktigrafi dapat melebih-lebihkan jumlah nyata dari tidur. Aktigrafi digunakan dalam mengevaluasi gangguan ritme sirkadian tapi belum sepenuhnya valid. Polisomnografi merupakan alat yang paling sensitif untuk membedakan tidur dan terjaga. Pemeriksaan dengan alat ini tidak rutin digunakan untuk mengevaluasi insomnia kronik karena pada banyak kasus hanya mengkonfirmasi laporan subjektif dari pasien tanpa mengindikasikan penyebab pasien terjaga, tapi pada situasi tertentu polisomnografi sangat berguna seperti pada sleep apnea, periodic limb movement, atau parasomnia (mimpi buruk). Pada pasien dengan keluhan tidak wajar atau riwayat respon terhadap pengobatan tidak baik dapat dilakukan pemeriksaan polisomnografi.4
Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu menegakkan diagnosis insomnia, yaitu :
Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
Sering terbangun pada malam hari
Bangun tidur terlalu awal
Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Ketegangan dan sakit kepala
Gejala gastrointestinal
Diagnosis Banding
Individu dengan insomnia menetap harus dibedakan dengan ganguan kecemasan (serang panil, fobia, dan obsesi) depresi atau skizofren akut. Penyakit anorganik otak, alergi dan sakit kronis harus disingkirkan sebelum diagnosis psikofisiologi insomnia menetap dibuat.
Insomnia Berhubungan Dengan Kecemasan Gangguan Kepribadian
Onset tidur insomnia, dan kesulitan dalam menjaga tidur dapat dihubungkan dengan kecemasan umum, panik, fobia, hipokondiasis, dan kepribadian kompulsif. Di kondisi ini dapat kronis, kecuali gangguan yang mendasarinya dapt teratasi. Insomnia ini, sulit dibedakan dengan insomnia situasional, insomnia psikofisiologi menetap dan dari insomnia yang berhubungan dengan bermacam obat dan faktor lingkungan, harus didiagnosa ketika ada bukti yang mana durasi insomnia lebih lama dari 3 minggu dan kondisi psikiatrik yang jelas ada.
Walaupun ini pikiran klasik bahwa individu dengan kecemasan memiliki kesulitan untuk tidur tetapi sekali tertidur, tertidur dengan baik, bukti mengindikasikan bahwa pepatah ini tidak selalu benar. Banyak pasien cemas kronis tidur dengan mudah mungkin dari kelelahan, walaupun begitu mereka sering terbangun pada malam hari sebagai tekanan emosional mengatasi kebutuhan fisik untuk tidur. Pasien dengan kecemasan menunjukan tanda dari tekanan dan hiperaktifitas untuk autonom. Pasien kecemasan gelisah dan gemetar dan mengeluh gampang lelah dan susah relaksasi. Keresahan, tidak bisa beristirahat, pernafasan yang mendesah sering ditemukan pada pemeriksaan status mental. Hiperaktif otonom ditunjukan dengan berkeringat, nadi cepat, tangan yang basah, dizziness, panas atau dingin masa sakit, sering kencing, dan parestesias pada tangan dan kaki. Pasien cemas secara konstan khawatir dan merenung berlebihan pikiran tentang bencana. Pasien cemas merasakan "diujung" memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi, mudah terkejut dan akan mengeluh kesulitan untuk tidur, tidur yang terganggu dan kelelahan saat bangun tidur.6

Insomnia Terasosiasi dengan Gangguan Afektif
Insomnia terasosiasi dengan depresi ditandai dengan kemampuan untuk tertidur walaupun terbangun pada dini hari dan memendeknya tidur laten REM (periode waktu dari mulai tidur sampai terjadinya REM). Tidur laten REM yang pendek dianggap suatu pertanda biologis untuk depresi. Penelitian Elektroensefalografi juga memperlihatkan penurunan gelombang delta (stage III dan IV), banyak pergeseran stage, dan peningkatan gerakan tubuh. Klinikus, ketika dia mendengar laporan tentang bangun dini hari, harus seelalu mencari gejala lain dari depresi. Pasien dengan depresi biasanya terlihat sedih. Pasien lesu dan bahunya turun. Matanya secara umum melihat ke bawah. Aktivitas motorik pasien dan bicaranya pelan. Pasien mengeluh akan adanya kesulitan berkonsentrasi dan masalah dalam mengambil keputusan. Kadang-kadang pasien dapat menunjukkan kebalikan dari retardasi psikomotor : mereka agitasi, sering meremas-remas tangannya, dan mondar-mandir. Seorang pasien yang tertekan mengeluh akan defisit energi, menurunnya nafsu makan, sembelit, menurunnya dorongan seksual, menurunnya ketertarikan dalam aktifitas yang biasanya dilakukan, dan perasaan putus asa dan keadaan tidak berdaya. Sebagai tambahan, pasien ini mungkin memiliki pikiran ingin bunuh diri. Pasien dengan depresi sedang tidak mengeluhkan apapun selain sensasi somatik yang tidak jelas, seperti perasaan berat, penuh, pening, atau letih dan mau jatuh. Dalam kasus ini dokter harus mengejar dengan giat gejala lain dari depresi, terutama jika pasien mengeluh terbangun pada dini hari. Kadang-kadang, setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh tidak ditemukan sebab dari keluhan pasien. Pasien mungkin mencoba secara empiris antidepresan trisiklik seperti amitriptiline. Suatu respon klinik pada dosis terapi (umumnya 150mg), mengesahkan diagnosis depresi.6
Insomnia Berhubungan dengan Penyalahgunaan Obat dan Alkohol
Karena alkohol dan hipnotik-sedatif kehilangan efek farmaseutiknya pada tidur dalam 2 minggu mereka menyebabkan tendensi pada pasien untuk meningkatkan dosis untuk insisiasi tidur. Selama pemakaian kronis dari agen hipnotik, tidur ditandai oleh sering terbangun dan problem kontinuitas seperti obat secara cepat kehilangan efeknya setelah beberapa jam pada pasien yang toleran. Elektroensefalografi menjejak bagaimana penurunan tidur tahap III dan IV dan penurunan tidur REM. Terdapat juga transisi tahap tidur yang sering, penurunan gelombang tidur, penurunan kompleks K dan penurunan gelombang delta. Selama reduksi cepat dari hipnotik, tidur menjadi sepenuhnya terganggu dengan rebound dari tidur REM. Pasien tidak waspada untuk gejala putus obat jangka panjang dari barbiturate mungkin melanjutkan meminum obat-obatan hipnotik karena insomnia dan tidur yang berlebihan berhubungan dengan putus obat. Amfetamin, barbiturat, benzodiazepine, antidepresan trisiklik, dan monoamine ozidase inhibitors mempengaruhi tidur REM. Obat-obatan ini secara inisial menyebabkan supresi dari tidur REM dan diikuti oleh kembalinya secara bertahap ke level normal REM dan suatu rebound meningkat pada tidur REM pada gejala putus obat. Beberapa inhibitor monoamine oxidase dapat menyebabkan suatu supresi tidur REM yang lengkap dan kadang diperlambat. Obat-obatan yang mempengaruhi tidur termasukantimetabotil, obat kemoterapi kanker, preparat tiroid, antikonvulsan, inhibitor monoamine oksidase, hormone adenokortikotropik, kontrasepsi oral, propanolol, dan banyak lainnya. Obat-obatan lain seperti diazepam, antipsikotik, trisiklik sedative, marijuana, kokain, dan opiate mendesak efek dari depresan CNS ringan yang, dengan putus obat, menghasilkan insomnia kompensatoar. Selama putus obat adalah umum untuk observasi sentakan kaki yang harus dibedakan dengan nocturnal myoclonus.
Alkohol, walaupun dipakai secara spesifik oleh sekelompok individu untuk memicu tidur, menyebabkan insomnia, khususnya pada malam yang lebih larut. Dalam suatu kilas balik yang baik, Pokorny menyimpulkan efek alkohol terhadap tidur. Jumlah moderat alkohol menyebabkan tidur lebih cepat tetapi meningkatnya terbangun dalam setengah akhir dari suatu malam. Intoksikasi akut menyebabkan penurunan tidur REM; putus alkohol menghasilkan penundaan dalam onset tidur, REM rebound, dan terbangun berkali-kali sepanjang malam. Mimpi buruk dan halusinasi yang menakutkan adalah umum selam putus alkohol. Insomnia dan gangguan tidur mungkin menetap selama 6 bulan setelah gejala putus alkohol. Penggunaan secara bijak dan pemberhentian alkohol telah menurunkan jumlah tidur delta dan kekacauan dalam siklus tidur REM.6
Terapi Insomnia
Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri.1,3,8,9
Terapi Farmakologis
Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.8,11
Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep promoting agent.
Benzodiazepine7,10,11
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic, dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam, dan lorazepam.10,11
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun kerja singkat.7,10
Non-benzodiazepine7,11
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABA reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita.7,11
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor.3,11 Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.3
Miscellaneous sleep promoting agent3
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum mempunyai dibuktikan secara signifikan. Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui penyelidikan, sekresi melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat bangun tidur.3 Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait intesnsitas cahaya, dimana produksinya meningkat saat hari mulai gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus tidur manusia. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi Farmakokinetik dari melatonin belum dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis, penyerapan oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum ada penelitian tentang efek samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovari.3 Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui. Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum menemukan bukti yang kuat.3
Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Data terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia 18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk mengatasi gangguan tidur, namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol mempunyai efek yang bervariasi terhadap siklus tidur. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu diengah-tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM. Selain tiu, alkohol dapat menyebabkan ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan.2,3 Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangat murah.3 Kava-kava, suatu pengobatan alternatif yang diesktrak dari akar pohon Polynesian, Piper methysticum sp. Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktif yang mengeksitasi tingkat selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropah karena bersifat hepatotoksik. Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti. Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.3
Tabel 2. FDA Aprroved Seddative-Hypnotic Agents by Mechanism of Action





Tabel 3. Dosis, Awitan dan Waktu Paruh Obat Insomnia

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :12
Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat "Sleep inducing anti-insomnia" yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat "Prolong latent phase Anti-Insomnia", yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat "Sleep Maintining Anti-Insomnia", yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis :
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut
Lama Pemberian :
Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan "Sleep EEG" yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena "Psychological Dependence" (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping :
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :
Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala "hang over" pada pagi harinya dan juga "intensifying daytime sleepiness"
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi "disinhibiting effect" yang menyebabkan "rage reaction"

Interaksi obat :
Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan "oversedation and respiratory failure"
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau "produce protein binding displacement" sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau "CNS Depressant" lain, resiko kematian akan meningkat.
Kontraindikasi :
Sleep apneu syndrome
Congestive Heart Failure
Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan "teratogenic effect" (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).
Terapi Non-Farmakologis
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :7,8
Stimulus Conrol
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti : 7,8,10
Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur,
Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual.
Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
Hindari tidur di siang hari
Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep restriction seperti di bawah : Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100) Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90% Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan Jangan tidur kurang dari 5 jam Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.8,11
Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah : Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum tidur7,8,10
Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.7,8,11
Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.










Gambar 3. Komplikasi Insomnia
Komplikasi insomnia meliputi :
Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.
Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
Kelebihan berat badan atau kegemukan
Daya tahan tubuh yang rendah
Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.
Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.1




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.






DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ.2006;12: 14-220
Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia Clinic. Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066.
Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia.(akses 20 Januari 2011). Download dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June : 2004 ; 17 : 212-218
R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
R Aretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper.2005 : 2-8.
Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of Insomnia in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220
L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2003 ; 32 : 19-25.
Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.