isu-isu kontemporer islam

July 24, 2017 | Autor: Mas Faqih | Categoria: Pendidikan Agama Islam
Share Embed


Descrição do Produto



ISU-ISU KONTEMPORER STUDI ISLAM;
Gerakan-gerakan Fundamentalis, Salafi, dan Wahabi
Moh. Faqih Nursyamsu MT (14771057)
Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: [email protected]

Pendahuluan
Islam di Indonesia, meskipun dari segi geografis termasuk wilayah pinggiran, telah menarik perhatian dari sejumlah ahli Islam (Islamisist) sebagai sasaran kajian. Islam di wilayah ini memang memiliki sejumlah yang menjadi daya tarik bahan penelitian. Dari segi jumlah, Islam merupakan agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan jumlah yang besar itu juga, Islam kemudian memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat den Negara. Di wilayah ini pula, wajah empirik Islam penuh dengan warna-warni kultural setelahterjadi persentuhan dengan tradisi local. Proses kontinum antara tradisi, purifikasi dan modernisasi menjadi tak terhindarkan. Penelitian Islam di Indonesia antara lain ditujukan kepada proses sosial semacam ini. Satu di antaranya yang paling berpengaruh adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz (1960) dengan judul The Religion of Java.
Seringkali proses sosial tersebut juga menimbulkan pertarungan wacana untuk memperebutkan hergemoni Islam yang dipandang saling ontetik. Proses ini pada gilirannya melahirkan organisasi keagamaan umat Islam di awal abad 20 seperti Muhammadiyah, Persis, NU, al-Irsyad dan lain sebagainya. Tak pelak, fenomena institusionalisasi Islam ke dalam wadah organisasi ini juga menarik perhatian peneliti. Ada sisi menarik yang mewarnai perkembangan tradisi penelitian terhadap organisasi Islam tersebut yaitu, adanya pertarungan wacana antara pendekatan yang didominasi medernitas dan wacana yang menghormati tradisi seperti yang diungkap fealy (2002):
Pendekatan pertama menurut Fealy, cenderung apriori dan negatif dalam memandang keberadaan kelompok Islam modernis. Pendekatan pertama ini digunakan oleh cendekiawan muslim modern di Indonesia serta para ilmuwan dan para pengamat barat. Mereka begitu terpesona dengan modernitas dan modernisasi yang memberikan pengaruh negatif terhadap mereka dalam memahami budaya dan kepercayaan tradisional.

Adanya aliran modern ini juga yang bisa merobohkan keimanan seorang muslim yang terutama mereka yang masih awam sekali tentang pengetahuan agama. Oleh karena itu, pentingnya kita mengkaji gerakan modernis dan bisa dikatan pemikiran mereka yang ekstrim dan sangat meresahkan antara lain gerakan-gerakan fundamental, salafi dan wahabi. Maka dengan adanya karya ilmiah ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang gerakan-gerakan yang bisa menghancurkan keimanan.
Gerakan Fundamental
Penelitian tentang fundamental
Perhatian para peneliti selain tertuju pada kedua kelompok dominan dalam Islam tersebut (tradisionali-modernis), belakangan ditujukan kepada keberadaan kelompok Islam meskipun dari segi jumlah pengikut tidak sebesar kelompok Islam tradisionalis dan modernis, tetapi memilik ideologi dan pola yang berpengaruh juga. Kadang-kadang kelompok ini disebut dengan kelompok sempalan. Ada juga yang menyebut dengan fundamentalisme. Penelitian yang mengambil fokus permasalahan tentang gerakan keagamaan dan fundamentalisme juga banyak dilakukan. Namun begitu, penelitian terhadap permasalahan tersebut menarik dikerjakan. Di samping fenomena gerakan sosial dan fundamentalismeterus berkembang, dari hasil penelitian terdahulu dimungkinkan memiliki sejumlah kekurangan, meskipun tentu saja, kelebihannya pasti ada yang perlu di apresiasi. Dibawah ini coba dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik pembahasan ini (Syamsul Arifin, 2009: 180).
Kita mulai dengan penelitian berjudul, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia (Aziz, dkk., 1989). Buku ini merupakan hasil penelitian terhadap sejumlah gerakan Islam yang editornya disebut gerakan kontemporer yakni berisi:
Terdapat lima kelompok keagamaan yang diteliti dalam buku ini, yaitu: gerakan Islam jamaah, gerakan kelompok Islam bugis, gerakan jamaah Islam Qur'ani, gerakan kaum muda masjid salman, dan gerakan kelompok Islam di Yogyakarta.

Penelitian lain yang bertitik tolak dari perspektif sosiologis tentang fundamentalisme dilakukan oleh Yusril Ihsa Mahendra (1999) sebagai berikut:
Penelitian Mahendra disamping menelusuri doktrin keagamaan fundamentalis, juga melihat pengaruhnya terhadap terbentuknya institusi politik. Dalam penelitiannya itu, Mahendra membandingkan fundamentalisme dengan modernism. Ada dua institusi politik yang dijadikan kasus pengaruh fundamentalisme dan modernism, yaitu Masyumi di Indonesia dan jamaati Islami di Pakistan. Salah yang menarik dari penelitian Mahendra adalah perspektif yang digunakan memahami fundamentalisme dan modernism sebagai aliran politik, lebih dari sekedar aliran keagamaan. Untuk sampai pada pemhaman yang demikian, Mahendra melakukan dua tahapan analisis secara simultan. Pertama, Mahendra terlebih dahulu memahami karakteristik doktrin keagamaan menurut kaum fundamentalis dan modernis. Berikutnya yang kedua, Mahendra menganalisis pengaruh doktrik keagamaan terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan partai politik, yaitu organisasi politik, program partai dan perilaku aktor politiknya.

Penelitian berikutnya tentang gerakan fundamentalisme di Indonesia dilakukan oleh Abdul Syukur (2003) yang berjudul, Gerakan usroh di Indonesia : peristiwa Lampung 1989, yang mana penelitiannya yaitu:
Penelitian berusaha mencari hubungan antara kelompok usroh yang berkembang di Indonesia yang berkembang dari 1980 – 1986 dengan meletusnya peristiwa Lampung 1989, atau lebih dikenal dengan GPK (gerakan pengacau keamanan) Warsidi. Menurut Syukur, sebagian anak muda Islam yang terlibat dalam peristiwa Lampung 1989 adalah mantan aktivis usroh Abdullah Sungkar. Temuan Syukur ini sekaligus bantahan terhadap tesis Sartono Kartodirjo bahwa GPK Warsidi merupakan gerakan ratu adil.

Meskipun penelitian tentang fundamentalisme dan gerakan keagamaan di Indonesia telah banyak dihasilkan, penelitian terhadap fenomena fundamentalisme tetap saja mengundang daya tarik. Gerakan fundamentalisme atau radikalisme sepertinya memiliki watak keabadian karena se[erti dikumakan Azra (2003) yakni:
Gerakan radikalisme bisa dipastikan akan muncul sewaktu-waktu dalam sistem keagamaan, sosial, budaya, politik yang dipandang tidak menguntungkan Islam dan kaum muslim. Keabadian gerakan fundamentalisme atau radikalisme menarik diteliti secara mendalam terutama aspek ideologi, jaringan, dan gerakan sosialnya.


Pengertian dan karakteristik fundamentalisme
Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika Serikat. Isilah ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah ( William Montgomery W., 1997: 3 ).
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata "fundamental" sebagai kata sifat yang memberikan pengertian "bersifat dasar (pokok); mendasar", diambil dari kata "fundament" yang berarti dasar, asas, alas, fondasi, ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:245 ). Dengan demikian fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.
Istilah fundamentalisme pada mulanya juga digunakan untuk menyebut penganut Katholik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya, saat ini juga digunakan oleh penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan, sehingga ada juga fundamentalisme Islam, Hindu, dan juga Buddha.
Sejalan dengan itu, pada perkembangan selanjutnya penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan agamanya. Mereka yang disebut kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat, dan cenderung melakukan tindakan kekerasan jika perlu.
Berbagai pendapat dari para cendekiawan bermunculan terkait dengan istilah fundamentalisme, salah satunya pendapat M. Said al-Ashmawi. Beliau berpendapat bahwa fundamentalisme sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, sejauh gerakan itu bersifat tasional dan spiritual, dalam arti memahami ajaran agama berdasarkan semangat dan konteksnya, sebagaimana ditunjukkan oleh fundamentalisme spiritualis rasionalis yang dibedakan dengan fundamentalisme aktifis politis yang memperjuangkan Islam sebagai entitas politik dan tidak menekankan pembaharuan pemikiran agama yang autentik.
Penggunaan istilah fundamentalisme memang mengandung kontroversi. Banyak kalangan dari ilmuwan memilih tidak menggunakan istilah fundamentalisme. Misalnya, Jhon L Eposito, Mark Jurgensmeyer (1998) menggunakan tiga alasan, yaitu:
Pertama, istilah fundamentalisme bersifat merendahkan. Ia menunjuk kepada orang-orang yang menggunakan literalisme religious yang tidak toleran, merasa paling benar dan bersifat dogmatic. Istilah ini lebih bersifat tuduhan ketimbang penjelasan. Kedua, fundamentalisme merupakan kategori yang tidak tepat untuk membut perbandingan lintas kultural karena berasal dari tradisi keagamaan protestan sehingga terdapay kesulitan kalau diterapkan kepada kelompok lain. Ketiga, istilah fundamentalisme cenderung tidak mengandung gerakan politik dan lebih mementingkan unsur keagamaan dibandingkan unsur keduniawian.

Sedangakan alasan penolakan Eposito (1994) terhadap istilah fundamentalisme sebagai berikut:
Pertama, istilah fundamentalisme memiliki pengertian yang terlalu generik karena semua yang menhendaki untuk kembali ke kepercayaan dasar atau dasar-dasar suatu agama dapat dikatakan fundamentalisme. Kedua, pengertian atau persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh protestanisme Amerika. Ketiga, fundamentalisme kerap disejajarkan dengan aktivitas politik, ekstrimis, fanatisme, terorisme dan anti Amerika. Atas alasan tersebut, ketika membicarakan gerakan Islam kontemporer, Eposito lebih suka menggunakan istilah kebangkitan Islam atau aktivitas Islam, bukan fundamentalisme Islam.

Jejak Makna Fundamentalisme
Ada banyak ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme. Garaudy misalnya, menyebutkan beberapa ciri kaum fundamentalis; menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab, keras, tunduk kepada turâts (tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan.
Secara definitif istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara fundamentalisme dalam agama maupun dalam politik. Di sini fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat, tidak goyah, dan bisanya menganut satu kepercayaan yang bersumber dari nash-nash suci.
Bagi orang yang percaya akan paham ini akan selalu mengarahkan segala kegiatannya sesuai dengan pemahaman mereka. Model pergerakan sangat mendominasi aktifitasnya. Mereka sadar betul bahwa pemahaman jika tidak diamalkan akan tinggal teori belaka, yang tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Secara otomatis mereka senang terhadap kekerasan, teror dan perang, karena berambisi untuk merubah orang lain, dan sulit untuk toleran dengan lingkungan yang berlainan dengan pahamnya. Mereka senang sekali memberikan arahan kepada para pembelot dan orang-orang yang dianggap kafir.
Selain itu mereka percaya terhadap kebenaran absolut dalam agama mereka, sehingga menggiring kepada fanatisme dan penindasan terhadap golongan lain. Pada realitasnya fundamentalisme lebih cenderung kepada kekerasan dari pada dialog dan saling memahami. Diantara mereka juga ada yang senang untuk 'uzlah dan memencilkan diri.
Semua aliran fundamentalisme sepakat tentang faham di mana nash yang menjadi rujukan memuat sekumpulan kebenaran-kebenaran abadi yang berlaku di sepanjang zaman. Inilah garansi ke-ma'suman-nya, oleh karena itu dianggap sebagai ideologi nash atau kitab sebagai petunjuk yang menjawab segala problem. Sikap seperti ini malah menghilangkan keistimewaan agama, karena sudah menganggap agama telah finish, meski sebenarnya masih terbuka.
Akibatnya mereka malas dan ogah mengkaji akidah yang dianut, dan tak berusaha untuk menyegarkan pemahaman terhadap keyakinan mereka. Bagi mereka Tuhan selalu m,mendukung paham-paham yang mereka anut, setelah memberi batasan-batasan apa yang sepatutnya menjadi akidah. Di saat seperti ini mereka telah dengan sengaja mencabut akar sejarah nash-nash agama, seperti dalil-dalil yang dipakai untuk menguatkan ataupun menentang satu pemahaman tertentu. Dan inilah yang dimaksud dengan ideologi kitab (Lambton, A.K.S: 3).
Terkadang—dan ini yang banyak terjadi—inspirasi dari faham ini, lebih banyak diilhami oleh legenda masa lalu dengan tujuan untuk mengembalikan zaman keemasan yang telah terjadi pada zaman itu. Hal ini akan membawa kepada sikap menjaga, bersikukuh, untuk masuk ke dalam "kegelapan". Kaum fundamentalisme akan melakukan pencabutan hakikat atau berusaha mencari kebenaran mutlak yang ada pada masa lalu. Sebagian pemikir mengatakan: "Bagi golongan ini, hakikat atau penemuan hakikat itulah yang disucikan, bukan piranti atau pun cara-caranya. Permasalahan tersebut bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemimpin fundamentalisme seperti Ayatullâh Khomeini, yang mengatakan kemampuannya untuk menciptakan tatanan politik masyarakat dengan tetap berpegang pada pemahaman agama tradisional. Bagi kaum fundamentalis inilah yang di maksudkan dengan inti agama atau agama yang sejati, yang mempunyai kemampuan membentuk satu kekuatan baru tanpa menghilangkan inti agama atau larut dalam pengaruh luar.
Kami kira ada satu cara yang kira-kira bisa mendefinisikan fundamentalisme, bukan saja sebagai satu pemikiran tersendiri, namun sebagai mediator sebuah ideologi yang tertutup, mulai dari yang dogmatis dan ekstrim, atau yang fundamental, sampai pada liberal sekalipun. Tapi yang perlu diperhatikan di sini adalah hubungan antarindividu yang menganutnya. Yaitu, pembentukan jaringan golongan (grid group) yang memiliki ikatan kelompok yang kuat dan sangat berpengaruh, di mana pendapat mereka menyatu. Dalam kondisi ini kaum fundamentalis mampu memanifestasikan tugas dalam mengontrol perilaku individu dan menjaga nilai serta aturan-aturan golongannya, seperti hijab bagi wanita dan potong tangan bagi pencuri (Ricard and Nanany Tapper: 51).
Gerakan Salafi
Asal usul gerakan salafi
Salafisme adalah suatu keyakinan yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M), Jamal al-Din al-Afghani (w. 1314 H/1897 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/ 1935 M). sejumlah orang bahkan menisbahkan asal-usul keyakinan salafisme ini kepada Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M). istilah salaf berarti pendahulu, dan dalam konteks dalam Islam pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, para sahabat dan tabiin. Selain itu, istilah salafi (seseorang yang mengikuti kaum salaf) punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, sebab ia melambangkan autensitas dan keabsahan. Sebagai istilah, salafi dimanfaatkan oleh setiap gerakan itu berakar pada autensitas Islam. Walaupun istilah itu pada awalnya dipakai oleh kaum reformis liberal, pada awal ke-20, kaum wahabi menyebut mereka kaum salafi. Akan tetapi, hingga 1970-an, istilah itu tidak terkait dengan keyakinan wahabi.
Salafi menyeru untuk kembali kepada konsep yang sangat dasar dan fundamental di dalam Islam bahwa umat Islam seharusnya mengikuti preseden-preseden Nabi dan para sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-Salaf al-Shalih) dan juga generasi awal yang saleh. Secara metodelogis dan ditinjau dari substansinya, salafisme nyaris secara identik dengan wahabisme, kecuali bahwa wahabi jauh kurang toleran keragaman dan peradaan pendapat. Dalam banyak hal, salafisme tidak bisa ditolak, sebagian karena janji epistimologisnya: Salafisme menwarkan satu pandangan dunia yang sulit ditolak dan ditentang. Para pendiri salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu al-Qur'an dan as-Sunah (preseden) Nabi. Dalam melakukannya, umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa harus terikat mutlak pada produk penafsiran generasi awal. Namun, awalanya dipahami, salafisme tidak serta merta antiintelektual, tetapi sebagaimana wahabisme , ia tidak cenderung tertarik pada sejarah. Dengan menekankan asumsi "zaman keemasan" di dalam Islam, salafisme mengidealisasikan zaman nabi dan sahabatnya, dan menolak atau tidak tertarik pada warisan sejarah Islam yang lebih besar.
Sebagai contoh betapa Islam sebenarnya compotible dengan modernisasi adalah tatkala Nabi Muhammad menerapkan politik bebas aktif yang berada di bawah payung piagam Madinah, di mana semua anggota masyrakat mendapatkan haknya dalam bermasyrakat, tanpa ada mengganggu atau saling menganggu, mereka saling menghormati, saling hidup damai dalam struktur yang pluaris dari segi etnis, agama dan kelas sosial. Negara yang maju, tetapi prinsip-prinsip yang dikembangkan adalah prinsip yang sangat modern, sesuai dengan apa yang belakangan ini dirumuskan oleh para filosof penganut liberalisme yang kemudian menyebutkan adanya masyarakt sipil atau masyarakat madani. Tanpa adanya bangunan politik yang mengakomodir perbedaan-perbedaan dalam masyrakat, yang akan terjadi adalah kekerasan politik (Zuly Qodir, 2010: 195).
Lebih lanjut seperti halnya yang disampaikan oleh Khaled Abou El Fadl (2015: 60), yakni:
Beliau mengatakan bahwa lebih jauh lagi dengan menampik preseden hukum dan merendahkan tradisi sebagai satu sumber keberwenangan, salafisme mengadopsi satu bentuk egalitarisme yang mendesktroksi gagasan-gagasan tradisional tentang otoritas yang telah mapan di dalam Islam. Dalam pandangan salafisme, setiap orang yang dinilai memenuhi kualifikasi untuk kembali pada sumber asli Islam dan berbicara atas nama tuhan. Logika dan asumsi salafisme sendiri adalah bahwa setiap orang awam itu dapat membaca al-Qur'an dan memuat hadis nabi dan para sahabat dan kemudian membuat penilaian hukum. Ekstremnya, ini berarti bahwa individu muslim dapat membuat versinya sendiri mengenai hukum Islam.

Mengenal salafi ini Jamhari Jajang Jahroni (2004: VIII) juga mengatakan bahwa:
Jelas bahwa gerakan salafi yang pada mulanya gerakan pemurnian agama mengalami perumusan ulang dan menjadi sebuah ideologi untuk merespon perkembangan-perkembangan yang terjadi pada abad ke-20. Seperti diketahui, di abad ke-20 terjadi kolonialisme, modernism dan sekularisme dan akhirnya dominasi dan hegemoni barat atas dunia ketiga termasuk dunia Islam. Sebagian umat Islam gagal mengantisi perubahan yang begitu cepat dari mesin modernism yang terus menyergap atau menyerbu. Akibatnya, mereka terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Orang-orang ini selanjutnya berpaling pada agama dan menjadikannya sebagai dasar pengesahan atas segala tindakannya. Dengan dimikian, gerakan salafi pada dasarnya adalah protes terhadap lingkungan sekitarnya yang tidak berpihak padanya.

Manhaj dan Butir-butir Teologi Salafiyah
Paham Salafiyah mulai dikenal dan muncul beberapa abad setelah Rasulullah SAW wafat, tepatnya pada paruh pertama abad ke 3 H. Paham Salafiyah muncul sebagai rekasi keras terhadap pentakwilan yang dilakukan kaum Mu'tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat (anthropomorphis), dengan alasan para salaf tidak pernah melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat (Abdul Aziz Dahlan, 2012: 90)
Penganut paham Salafiyah disebut juga dengan kaum tradisionalis. Julukan ini terkait dengan masalah sumber rujukan dalam berteologi. Bila ada masalah teologi, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada Al-Qur'an. Bila tidak ada dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya pada hadits mutawatir. Bila juga tidak dijumpai jawaban dari hadits mutawatir, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada hadits masyhur. Bila tidak dijumpai juga, kaum Salafiyah akan mencari jawabannya pada hadits ahad.
Secara lebih spesifik, kaum Salafiyah mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)
Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW.
Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk).
Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Apabila melihat karakteristik di atas, maka tokoh-tokoh yang dapat dikatagorikan sebagai Salafiyah adalah: Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Abdullah bin Umar (w. 74 H), Umar bin Abdul Al-Aziz (w. 101 H), Hasan al-Bashri (w. 105 H), az-Zuhri (w. 124 H), Ja'farAhs-Shadiq (w. 148 H), dan para imam mazhab yang empat, yakni: Abu Hanifah (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Syafi'i (w. 204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241). Para tokoh inilah yang dianggap sebagai Salafiyin awal, terkait karakteristik pandangan di atas.
Namun, secara kronologis Salafiyah sebagai sebuah aliran pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4 Hijriyah, muncullah golongan yang gigih menamakan diri mereka sebagai Salafiyah atau Salafiyin. Mereka adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang beliau sebagai tokoh yang sangat teguh bertahan pada pendirian Salaf, kendati mengalami penyiksaan dari kaum Mu'tazilah. Dengan demikian, Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis (Abdur Razak dan Rasihan Anwar, 2006: 90).



Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya
Imam Ahmad Ibn Hambal
Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya'ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW (Abdur Razak dan Rasihan Anwar, 2006: 111).
Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim al Khadar bin Muhammad bin al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima'. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu, keturunannya dinamai Ibn Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu (Sirojudin Abbas, 1987: 261).
Ibn Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi'ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa'dah tahun 729 H. Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang kental karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.



Gerakan Wahabi
Asal-usul gerakan wahabi
Dasar-dasar teologi wahabi dibangun oleh seorang tokoh abad ke-18 yaitu Muhammad Ibn 'Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus, dan hanya kembali kesatu-satunya gama yang benar mereka akan diterima dan mendapat ridha Allah. Dengan semangat puritan, Abd Wahhab henda membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggrogoti ga agama Islam, yang di antaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran syiah, serta banyak praktik lain yang dinilainya sebagai inovasi bid'ah.
Pada masa Abd Wahhab, modernitas telzh merevolusi konsepsi manusia mengenai realitas di dunia dengan memperkenalkan konsep yang mengguncang kesadaran, yakni konsep relativitas dan subjektivitas semua pengetahuan manusia, dan juga memperkenalkan empirisisme ilmiah. Modernisme juga telah menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat-masyarakat tradisional yang berjuan untuk berkembang dan menjadi modern merasa semakin teralienasi. Di dunia Islam, masyrakat, budaya dan gerakan yang berbeda merespon dampak dari modernitas yang mengacaukan keseimbangan itu dengan cara yang beragam. Beberapa seperti gerakan kemalis di Turki, misalnya menaggapinya dengan mencoba melancarkan westernisasi dan sebisa mungkin bergerak menjauh dari Islam. Yang lain sembari menampik budaya barat, mencoba mempertemukan Islam dan modernisme dengan menekankan bahwa pemikiran rasional dan ilmiah sepenuhnya sesuia dengan etika Islam. Gerakan wahabi merespon kegiatan modernitas yang mengacaukan keseimbangan, serta merespons situasi moral dan sosial yang rentan dan menyergapnya, dengan mencari tempat perlindungan. Dalam hal ini, perlindungan itu diperoleh dengan melekatkan diri pada teks-teks Islam tertentu untuk mendapatkan rasa kepastian dan kenyamanan. Seolah-olah paham wahabi melindungi dirinya dari tantangan dan ancaman modernitas dengan memaksa teks-teks keagamaan untuk menyediakan jawaban-jawaban yang definitif dan tak bisa diperdebatkan mengenai persoalan-persoalan individual maupun sosial (Khaled Abou El Fadl, 2015: 9)
Tokoh lain juga memberi kesimpulan tentang wahabisme yaitu Amin al-Rihani, 1973: 35 bahwa:
Wahabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisme dan sektarianisme di dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang telah masuk ke dalam Islam karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar Islam (bid'ah). Kaum wahabi cenderung menyikapi segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab sebagai sesuatu yang layak dicurigai, dan mereka percaya bahwa pengaruh-pengaruh non Islam itu berasal dari bangsa seperti Persia, Turki dan Yunani. Misalnya, kaum wahabi percaya bahwa sufisme adalah sesuatu yang di impor dari Persia. Kepercayaan untuk menggunakan perantara (tawassul) para wali dan memuja makam suci berasal dari Turki. Sementara itu, rasionalisme dan filsafat adalah pengaruh Yunani.

Sementara itu, Nurcholis Madjid berpandangan bahwa ia merupakan suatu usaha rasionalitas untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja maksimal untuk kebahagiaan umat manusia. Tujuan dari sikap itu bisa dicapai dengan terus-menerus mengusahakan segala perbaikan, baik pribadi maupun masyarakat, yang semunya dilakukan dengan semangat the ultimate truth, yakni Allah sendiri. Upaya rasionalitas Islam itu bukanlah westernisasi, sekularisme ataupun materialisme. Meski demikian, Islam membenar rasionalitas dalam arti penggunaan akal pikiran manusia untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam bimbingan kebenaran yang lebih tinggi dan rasio, yakni wahyu. Islam dan ilmu pengetahuan modern tidak ada pertentangan atau tidak dipertentangkan. Kebenaran harus secara kontinyu dicari (Zuly Qodir, 2010: 94).
Ironi sesungguhnya adalah bahwa di dalam semangat Abd al-Wahhab untuk menjaga kemurnian Islam tertanam suatu etnosentrisme pro-Arab yang seutuhnya bertentangan dengan semngat universal Islam. Seperti dalam gerakan-gerakan puritan berikutnya, ada satu tujuan politik dan nasionalistik yang kuat dalam Abd al-Wahhab sebuah tujuan yang didorong dan disembunyikan di balik ungkapan agama. Musuh Abd al-Wahhab mengutuk Turki Ustmani sebagai kelompok yang telah mencemarkan Islam, dan ia melukiskan mereka sebagai kelompok yang secara moral sama dengan bangsa Mongol, yang sebelumnya pernah menyerang wilayah muslim dan kemudian masuk Islam. Namun, seperti bangsa Mongol, pemimpin Turki masuk Islam hanya dalam nama saja, seperti kata Abd al-Wahhab menggambarkan dinasti Ustmani sebagai al-dawlah al-kufriyyah (bangsa kafir) dan menyatakan bahwa mendukung atau berfiliasi dengan Ustmani adalah nama berdosanya dengan mendukung atau beraliansi dengan orang Kristen dan Yahudi.
Faktor meluasnya wahabi
Ringkasnya, empat faktor utama berperan bagi tetap hidup dan meluasnya paham wahabi di dunia Islam kontemporer antara lain:
Dengan memberontak melawan dinasti Ustmani, wahabisme menyeru untuk mendukung ideologi nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan memperlakukan pemerintah muslim Ustmani sebagai kekuatan yang asing yang berkuasa, wahabi menciptakan satu preseden kuat bagi bagi tertanamnya benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab.
Wahabisme mendorong umat Islam untuk kembali pada apa yang oleh Abd al-Wahhab dipandang sebgai Islam yang asli dan murni. Karena itu, wahabisme menolak seluruh pengalaman historis dan mendesak untuk kembali pada contoh para generasi awal (as-salaf as-shalih) yang terbimbing dengan benar. Ungkapan generasi awal yang terbimbing dengan benar merujuk pada generasi sahabat nabi dan sesudahnya (generasi penerus at-tabiin). Dua generasi penerus ini dilihat dari sudut idealistik, dan mereka sering disitir sebagai contoh yang harus ditiru. Ide wahabi ini sebenarnya mengandung asrti pembebasan yang sejalan dengan semangat kaum refomis muslim, karena hal itu berarti lahirnya kembali ijtihad, atau kembali ke pengujian dan penentuan isu-isu hukum tanpa harus terbebani oleh preseden dan doktrin-doktrin yang diwariskan. Dengan kata lain, melepaska masa silam berikut muatan yang dimilikinya dan memulai sesuatu yang segar adalah hal yang membebaskan. Paling tidak, secara teoritis umat Islam dapat menggunakan ijtihad (analisis dan pemikiran independen dan baru) untuk melihat mata baru pada sumber-sumber orisinal al-Qurán dan Sunah hingga dpat tiba pada interpretasi dan solusi baru bagi problem-problem masa kini tanpa dibebani oleh masa silam. Menurut kaum wahabi, satu-satunya masa lalu yang relevan dan mengikat adalah yang telah dicipta oleh Nabi, Sahabat dan Tabi'in.
Dengan memegan kendali Mekah dan Madinah, Arab Saudi dapat memerankan pengaruh yang luar biasa pada budaya dan pemikiran umat Islam. Tempat-tempat suci Mekah dan Madinah adalah jantung simbolis Islam dan tempat tujuan kaum muslim menunaikan ibadah haji setiap tahun. Dengan mengatur apa yang dipandang sebagai keyakinan dan praktik yang sah saat pelaksanaan ibadah haji, Arab Saudi mulai mempengaruhi sistem keyakinan Islam itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan yang semata simbolis, raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam (khadim al-haramayn). Kenyataannya, gelar itu hanya menegaskan posisi moral otoritas raja Saudi yang diklaimkan untuk dirinya sendiri dengan kaitannya dengan dunia Islam.
Barangkali yang paling penting untuk dicatat adalah penemuan dan pemanfaatan sumber daya minyak di Arab Saudi yang menjadi sumber dan segar yang melimpah untuk negara itu. Khususnya, setelah 1975, dengan naiknya harga minyak, Arab Saudi deng agresif mendukung promosi pemikiran wahabi ke seluruh dunia. Bahkan, jika kita mencermati spintas lalu pada sejumlah ide dan praktik dominan yang secara khusus ditemukan di masjid-masjid, akan terlihat betapa luas pengaruh pemikiran wahabi pada dunia umat Islam saat ini.
Penutup
Gerakan fundamental
Fundamental adalah gerakan modernis yang mana dalam pemikirannya menggunkan ajaran ortodoks agamanya atau biasa dikatakan bahwa fundamental adalah gerakan yang mengambil sesuatu yang mendasar dalam agamanya.
Gerakan salafi
Salafi menyeru untuk kembali kepada konsep yang sangat dasar dan fundamental di dalam Islam bahwa umat Islam seharusnya mengikuti preseden-preseden Nabi dan para sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-Salaf al-Shalih) dan juga generasi awal yang saleh. Secara metodelogis dan ditinjau dari substansinya, salafisme nyaris secara identik dengan wahabisme, kecuali bahwa wahabi jauh kurang toleran keragaman dan peradaan pendapat. Dalam banyak hal, salafisme tidak bisa ditolak, sebagian karena janji epistimologisnya: Salafisme menwarkan satu pandangan dunia yang sulit ditolak dan ditentang.
Gerakan wahabi
Dasar-dasar teologi wahabi dibangun oleh seorang tokoh abad ke-18 yaitu Muhammad Ibn 'Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus, dan hanya kembali kesatu-satunya gama yang benar mereka akan diterima dan mendapat ridha Allah. Dengan semangat puritan, Abd Wahhab henda membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggrogoti ga agama Islam, yang di antaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran syiah, serta banyak praktik lain yang dinilainya sebagai inovasi bid'ah.
Daftar pustaka
Abbas, Sirajudin, I'tiqad Ahlusunnah Wal-Jama'ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah, 1987.
Al-Rihani, Amin. 1973. Tarikh Najd wa Mulhaqatih. Beirut: Dar al-Rihani.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologis & Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM Press.
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, Jakarta: Ushul Press, 2012.
El Fadl, Khaled Abou. 2015. Sejarah Salafi & Wahabi Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Jahroni, Jamhari Jajang. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Lambton, A.K.S., The Clash Of Civilizations: Authority, Legitimacy And Perfectibility, in caplan.
Montgomery W., William. 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (terjemahan Taufik Adnan Amal). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Qodir, Zuly. 2010. Islam Liberal Varian-varian Liberalisme di Indonesia 1991-2002. Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang.
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Ricard and Nanany Tapper: "Thank God We're Seculer!" Aspects Of Fundamentalism In A Turkish Town, in caplan.


16


Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.