MDGs as My Development Goals

Share Embed


Descrição do Produto

MDGs as My Development Goals

MDGs as My Development Goals

Edited by Puthut EA

MDGs as My Development Goals

Edited by Puthut EA

Penderitaan Berkelanjutan Orang-orang Pengungsian Oleh Ishak Salim

W

arna bibirnya merah menyerupai mawar. Bila ia meludah maka cairannya juga berwarna merah mawar, namun segera lebur dalam resapan tanah yang kehitaman penuh debu karbon. Rambutnya, seluruhnya berwarna putih. Kerudung yang dikenakannya juga berwarna putih. Namun di sana sini, baik rambut maupun kerudung itu dilumuri noda hitam dari serbuk karbon yang tercipta dari ratusan usapan jemarinya yang hitam karena bebatuan mangan yang menyita seluruh harinya di tempat ini. Perempuan sepuh itu terus mengais bebatuan bersama tiga cucunya. Memilih kerikil mangan dan mengumpulnya satu demi satu hingga memenuhi embernya dan lalu cucunya akan memasukkan ke dalam sebuah karung hingga menjadi seberat 50 kilogram. Satu meter di depannya, sebuah lubang yang menganga sedalam tiga meter telah tergali oleh seorang pria paruh baya dan dua nyong (pemuda) tanggung berbadan tegap lagi hitam legam warna tubuhnya. Mangan yang melekat dalam tanah semakin jelas terlihat. Orang-orang ini sudah membayangkan berkilo-kilogram mangan akan dikumpulkan hingga satu hari ini. Satu per satu sekop tanah bercampur butiran mangan dilemparkan ke atas tepat disamping nenek dan adik-adik ini. Itulah yang kemudian mereka kais dan pilah satu per satu butiran mangan dari tumpukan tanahnya. Yang tua dan yang masih

balita hanya mampu mengais dan memunguti kerikil mangan. Dan yang kuat tenaganya memilih menggali, dan mencongkel mangan di lima lubang yang telah mereka gali sekitar satu bulan ini. Nenek itu, Martina (67), tiba-tiba tertawa mendengar celoteh seorang cucunya dalam bahasa Timor Lorosae yang juga sedang mengais tumpukan kerikil mangan tepat di sampingnya. Dari dalam mulutnya, dua warna terlihat merah dan putih. Sirih, pinang, dan kapur sirih yang dikunyahnya mewujud merah dan di sebagian gigi yang masih tersisa memberi putih, serupa warna bendera dari negara yang sepuluh tahun lalu dipilihnya sebagai tempat untuk tinggal, Republik Indonesia. Di area tambang mangan ini, Desa Sukaernaruk, Kabupaten Belu, NTT, bekerja seratusan keluarga pengungsi eks-Timor Lorosae yang mengungsi sejak akhir Agustus 1999 lalu. Area ini adalah milik seorang guru SD di Oenari yang baik hati, Siprianus Wempimanek (42) yang merasa beruntung menyadari tanah perkebunannya mengandung berton-ton mangan. Kebetulan Siprianus kenal baik dengan Victor Bordes (45), salah seorang pengungsi yang menjadi guru di tempat yang sama. Victor mengabarkan bahwa ia memiliki kawan-kawan yang siap menambang mangan milik Siprianus. Sejak penyampaian Victor atas pekerjaan baru ini kepada seluruh warga di kelurahan Fatuk Bot,

My Development Goals



Kecamatan Atambua Selatan, NTT, datanglah 36 orang pertama yang siap bekerja. Awalnya mereka tidak langsung menggali tambang itu, namun bergotong royong membuka jalan bagi sejumlah truk yang akan mengangkut batubatu mangan nanti. Selama dua hari mereka menebangi pepohonan di sana sejauh sekira seratus meter dan mengeraskan jalan dengan perlengkapan seadanya, seperti parang, linggis, cangkul, dan sekop. Barang-barang ini pulalah yang akan digunakan oleh mereka untuk menambang di hari berikutnya. Pengungsi ini menetap di kampung Usuulun sejak akhir 2005 yang jaraknya berkisar 10 kilometer dari lokasi mangan. Sebelumnya mereka tinggal di kamp pengungsian Lolowa blok B yang dihuni 97 KK sejak lima September 1999. Mereka hidup dalam keadaan darurat dan kesulitan di seluruh hari masa pengungsian. Memang benar, tak ada hari yang benarbenar indah bagi pengungsi ini. Setiap hari adalah perjuangan untuk sesuap nasi. Mereka adalah para petani kopi yang kini tak memiliki sepetak lahan sekalipun dan itu seperti burung kehilangan sayap untuk terbang di angkasa. Sejak kepindahan dari kampung halaman di Ailelo, Manusae, Maubesi, Dilli, atau beberapa tempat lainnya di Timor Lorosae akibat konflik politik yang tak mereka inginkan, mereka hanya tinggal di dalam tenda-tenda darurat sekian tahun tanpa pekerjaan yang layak dan tinggal dalam lingkungan yang buruk, kumuh dan miskin prasarana fisik dan sosial. Hanya berbekal kemampuan yang ada, mereka berupaya keluar dari malapetaka pengungsian ini tanpa mengharap banyak uluran tangan dari pemerintah daerah setempat. Mereka mulai mengorganisir diri mereka sendiri sesuai kemampuan.



My Development Goals

Adalah Jose Maia dos Santos (51), salah seorang yang menjadi pemompa semangat keluargakeluarga pengungsi Asuulun, yang turut membantu sekumpulan keluarga ini mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. “Kami butuh pekerjaan dan rumah yang layak,” demikian Jose mengekspresikan semangat tujuh tahun lalu.

T

***

ahun 2001, masa tanggap darurat penanganan pengungsi berakhir. Bantuan terhadap mereka menjadi terbatas. Tapi hari tak bisa menunggu dan hidup harus berjalan sesuai putaran waktu. Mereka lalu bekerja apa saja untuk makan dan membiayai sekolah anak-anak. Dalam keadaan di mana hidup tidak layak, tanpa tanah dan air untuk mengandalkan kemampuan sebagai keluarga petani mereka mencari pekerjaan. Bekerja apa saja selama empat tahun pengungsian di Lolowa. “Yang penting tidak mencuri.” begitu prinsip mereka seperti diutarakan oleh Jose Maia dos Santos yang memiliki seorang istri dengan delapan anak. Awal Agustus 2005, saat kebutuhan akan tempat tinggal yang layak sudah begitu mendesak muncul keinginan untuk pindah dari kamp pengungsian Lolowa. Satu-satunya harapan datang dari para pekerja sosial CIS Kupang. Mereka membantu keluarga pengungsi ini dalam membangun kesepakatan warga membeli sebidang tanah untuk rumah bagi 48 KK ini. Saat itu, pemerintah daerah memang benar-benar kehilangan perannya di mata para pengungsi ini. Pada awal tahun 2006, mereka mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli tanah. Kebetulan saat itu, ada seorang ibu dari Belu, Martha Mada, yang memiliki lahan kebun yang cukup untuk menampung 40 keluarga dengan 40

My Development Goals

3

rumah tinggal seukuran 10-15 meter persegi. Atas bantuan seadanya dari CIS Kupang, pengorganisasian pengungsi untuk kepindahan tempat hidup yang lebih nyaman segera dimulai. Mereka, 40 keluarga pengungsi ini, akhirnya bernegosiasi dengan ibu pemilik tanah seluas 57 X 79,60 meter ini. Harga yang harus dibayar adalah tujuh juta rupiah dan sejak saat itu seluruh keluarga mulai mengumpulkan uang dengan bekerja apa saja. Sayang, saat tiba masa pembayaran tanah itu, hanya terkumpul uang sebanyak Rp. 4.050.000,- dan masih harus melunasi segera sebesar Rp. 2.950.000,-. Untunglah, ibu Martha bersedia menerima pembayaran itu dan sisanya menyusul kemudian. Tanah pun terbeli. Dengan ikatan sependeritaan dan semangat untuk terus hidup mereka mulai membersihkan belukar dan pepohonan di lahan tersebut. Sebenarnya, lahan ini lebih mirip kebun yang masih menyimpan pepohonan besar dan tanaman singkong sehingga mereka harus bekerja keras membersihkannya dan menggambar denah kampung mereka serta rumah tinggal mereka. Luas 10 x 15 meter tentu bukan bilangan halaman yang besar. Hanya akan cukup dengan sebuah kamar tidur bagi istri dan anak-anak perempuan mereka dan sedikit teras. Tentu tak ada sisa lahan untuk sekedar bercocok tanam. Padahal sebagian besar dari mereka adalah petani. Petani tentu selalu butuh lahan. Dan di sini mereka tidak menemukan lahan itu. Ungkapan “Makankah kami hari ini?” adalah tanya yang setiap pagi harus diucapkan, harus dipikirkan, dan tentu saja harus didapatkan. Orang lalu bekerja apa saja karena hari baru terus menggelinding. Setiap orang harus bangkit dan menjaga kehormatan keluarga dengan tidak mengalami kelaparan. Belum lagi urusan pendidikan anak. Putus sekolah adalah pilihan



My Development Goals

yang tak bisa dihindarkan karena tingginya pengeluaran untuk transportasi sehari-hari. Bagi yang bermental baja, berjalan kaki setiap hari selama dua jam adalah satu pilihan sulit yang harus ditempuh. Bila ada sedikit uang barulah naik ojek. Beberapa dari mereka memilih menjadi penjaja sayur-mayur yang dibelinya dari pasar Lolowa Atambua dan menjualnya ke rumah-rumah atau di pinggir jalan yang ramai. Sebagian lagi memilih menjadi tukang batu bata, tukang gali sumur, membersihkan rumput di kebun orang atau terlibat dalam pekerjaan proyek infrastruktur pemerintah di desa-desa tertentu. Sejak bantuan bagi mereka di tahun 2001 terhenti, peran pemerintah nyaris tak terasakan lagi. Seringkali tetesan air mata mampir di mata Jose Maia dos Santos begitu menyadari tak ada apapun yang bisa di makan oleh diri sendiri, istri, dan anak-anaknya. Mereka seperti orang buangan di kampung sendiri sebagai orang Timor. Di rumah kecil mereka, tinggal istri Jose yang bernama Saturlina Exposto (40), bersama empat anaknya, masing-masing bernama Jelia Maia (19), Leonito Maia (16), Marcelina Exposto (14), dan Paul Maia (7). Kini seluruhnya sedang menggantungkan diri pada mangan. Anakanaknya yang lain tidak lagi serumah karena telah berkeluarga. Berdasarkan pengalaman sulitnya hidup, Jose lalu menabung serupiah demi serupiah untuk membeli dua ekor babi dan dipeliharanya hingga kini. Pernah pula ia dapat bantuan 2 ekor kambing dan kemudian ia pelihara hingga dewasa. Babi dan kambing ini benarbenar ia pelihara saja dan walaupun keadaan hidupnya demikian sulit dia tak pernah berpikir menjualnya. Suatu saat akan tiba waktunya untuk menjual ternak tersebut di saat yang tepat. Rupanya, ternak ini adalah aset masa

depan bagi anak-anaknya kelak, khususnya untuk menjamin kelangsungan pendidikan.

T

***

anggal 19 Juni 2010, Suara dari sebuah truk menderu-deru dari kejauhan. Waktu saat itu menunjukkan pukul 13.00 waktu Timor. Di salah satu tenda, dua puluhan anak kecil, lelaki dan perempuan, sedang menikmati bubur jagung yang dihidangkan oleh Saturlina Exposto, istri Jose Maia dos Santos. Ini adalah makan pertama bagi mereka sejak pagi tadi di mana mereka terbangun dan langsung bekerja memunguti kerikil mangan. Demikian pula bagi orang dewasa yang sebentar lagi menyusul untuk makan siang. Perut mereka sudah terasa begitu laparnya karena sejak semalam dan pagi ini tak ada santapan sedikitpun. Mereka memilih untuk makan sekali dalam sehari saja. Bila harus ada makan malam lagi, maka pengeluaran akan tambah dan uang yang akan dibawa pulang akan terus berkurang. Tidak makan di malam hari adalah pilihan paling realistik bagi mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Truk itu mulai memasuki area tambang di mana para penambang ini berada. Berkarungkarung mangan terlihat siap ditimbang untuk kemudian dimasukkan ke dalam truk berkapasitas 8 ton ini. Namun, karena medan jalan yang bergelombang dan mendaki, sang supir hanya berani mengangkut 4 – 5 ton saja. Bila penimbangan sudah dimulai, maka si empunya mangan akan datang membantu proses penimbangannya. Setiap karung hanya dibatasi 50 kg saja dan setelah itu karung plastik berwarna putih ini dijahit dengan tak rapih lalu dimasukkan ke atas truk. Bila sudah masuk, maka si pencatat, Fransisco (42), akan segera menuliskan di buku lusuhnya: nama dan jumlah karung mangan yang telah ditambangnya.

Misalnya, ia menulis Ernesto 50, 50, 50, 50, 50 dan seterusnya, hingga ia menuliskan sejumlah bilangan untuk menentukan berapa karung ia miliki. Perolehan mangan dari setiap penambang dewasa sejauh ini tidak jauh berbeda. Sepertinya, tidak ada keserakahan dalam diri mereka. Seseorang akan berhenti mengumpulkan mangan bila dirasanya sudah cukup dan lalu membiarkan yang lain untuk menjadi pengumpul berikutnya di dalam satu lubang. Rerata, mereka akan dapat 30-40 karung dalam sehari dan sejauh ini beberapa diantara nyong di sana sudah mengumpul hingga 1 ton mangan. Bila sudah ditimbang uang pun segera ditangan. Di sebuah gudang tak jauh dari area tambang ini, sudah menunggu pemasok mangan bernama Rudi keturunan Tionghoa-Atambua. Walau usianya masih relatif muda, 23 tahun, ia memahami bisnis mangan ini. Siprianus Wempimanek juga menjual mangannya di sini dengan harga Rp. 1.700,- perkilonya. Ada sekian pemilik lahan yang menjualnya kepada Rudi dan di Atambua ini, ia tidak sendiri, ada 80100 pemasok lainnya yang juga membeli dari banyak pemilik lahan tambang di Atambua. Sebutlah A Hui, seorang pemasok dari Kupang, lalu Mr. Cheng, Mr. Ma dari China, Mr. Lee dari Korea, dan beberapa dari Philipina, India, dan Taiwan. Dengan menggunakan nalar bisnisnya, Rudi menduga sebenarnya hanya ada seorang pembeli tungal entah siapa dan entah di mana yang menggunakan sejumlah pemasok seolah sebagai pembeli langsung. Harga mangan sendiri sudah lebih baik dibanding harga awal beberapa bulan sebelumnya yang berkisar Rp. 250 – Rp. 300 per kilonya. Kini harganya dari tangan penambang ke pemilik lahan sudah mencapai Rp. 1000,- dan pemilik lahan menetapkan harga dikisaran 1.600 hingga 1.700 My Development Goals



kepada pemasok, dan pemasok menjualnya seharga antara Rp. .850 hingga Rp. 2.250,- per kilonya kepada pembeli asing. Untuk pembeli asing yang masuk ke Atambua ini, kehadirannya secara legal adalah dengan menggunakan visa bisnis. Biasanya, para pendatang asing ini, tidak ingin lagi berurusan dengan pemerintah menyangkut surat-surat perizinan (SKAB) dan masalah keamanan atau jatah bagi polisi. Untuk setiap pembeli, Rudi selalu menyiapkan beberapa dokumen, dukungan beberapa polisi berpengaruh, dan truk pengangkut ke pelabuhan untuk dibawa ke Surabaya atau tempat lainnya. Menjelang sore, seluruh penambang akan berhenti bekerja. Mereka segera bersiap menuju sungai kering yang masih memiliki beberapa buah genangan air yang tersisa di awal kemarau ini. Jaraknya cukup jauh, sekira 20 menit mendaki dan menurun. Dalam perjalanan

6

My Development Goals

menuju sungai itu, rupanya masih ada sekitar lima titik penambangan mangan serupa milik orang lain. Para penambangnya juga adalah pengungsi eks-Timor Timur, hanya saja mereka dari kamp lain seperti Lolowa, Sukaernarut, Raknamo, Manusak, Oefeto, dan lainnya. Mereka sudah lebih dulu di tempat ini, sudah lebih dari tiga bulan bermukim dan hanya sesekali pulang ke rumah untuk menyimpan uang lalu kembali lagi esok paginya untuk tinggal seminggu atau lebih lagi. Tiba di sungai mereka lalu mencari genangan serupa kolam kecil di sana, yang berdiameter tak lebih 0 meter dan kedalaman hanya setinggi lutut saja. Pada awalnya air itu terlihat jernih dan begitu segar menikmati mandi di sana. Tapi, jumlah mereka cukup banyak dan air ini rupanya tak mengalir. Sebentar saja, air ini menjadi keruh lalu menghitam setelah debu-debu mangan yang menempel bahkan melekat di kulit mereka

tersapu. Busa sabun di badan mereka dibilas saja dalam kolam itu dan menyerap bersama debu mangan di seluruh genangan air kolam itu. Tapi, mereka tak peduli dan tak perlu peduli dengan hal itu semua. Sisa air ini tentu jauh lebih baik ketimbang kering pada beberapa hari mendatang saat kemarau benar-benar tak lagi ramah dengan satu dua kali turun hujan. Anak-anak lelaki seluruhnya membuka baju dan celana mereka dan bermain cipratan air sesama mereka sambil tertawa-tawa. Lelaki dewasa akan mencari kolam lain yang lebih tinggi di atas sana dan nona-nona akan ke bawah dengan genangan air atau kolam yang lain yang lebih tersembunyi. Di sana, salah satu kolam berdiameter 1 meter ada mata air yang walau begitu perlahan terus menerus mengeluarkan air jernih yang segar. Mereka menjaganya dan menutupnya dengan daun gebang setiap kali ditinggalkan oleh mereka. Di sinilah mereka mengangkut jerigen demi jerigen air minum mereka. Biasanya, setiap anak akan membawa sejerigen air untuk dibawa ke tenda dan lalu dimasak untuk air minum mereka. Bagi yang haus setiba di sungai ini, meminumnya langsung sangatlah menyegarkan dan melepaskan dahaga. Harapan mereka, semoga air ini tak hilang meski kemarau menggila. Yang sulit bila hendak buang air besar. Dengan jarak tempuh 20 menit itu, anak-anak lebih memilih buang air tak jauh dari lokasi tambang ini. Mereka memilih semaksemak. Tentu saja tak ada air dan seringkali mereka membersihkan dubur dengan dedaunan dan terkadang menggosok dengan batu yang ada.

D

***

i penambangan Sukaernaruk, sepasang mata Nenek Martina nyalang menatap Jelia (14) yang sedang menerjemahkan

pertanyaan dari sebuah wawancara pendek dengannya. Dalam bahasa Lorosae Jelia menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan aspek pribadi si nenek, seperti usia, jumlah anak dan cucu, dan alasan bekerja dipertambangan mangan ini. Rupanya ia tinggal di sebuah rumah bersama dua orang cucunya. Ia tak lagi tinggal bersama anak-anaknya yang telah berkeluarga. Sebuah sikap yang banyak ditunjukkan oleh orang tua lanjut usia Timor yang tak ingin tinggal serumah dengan anakanaknya sepanjang ia mampu dan memilih tinggal dan memelihara cucu-cucu yang mungkin mereka pelihara. “Dia butuh membeli sirih dan pinang, sabun, juga beras dan minyak goreng.” demikian Jelia menerjemahkan jawaban nenek itu. Ia tetap mengais tanah-tanah dihadapannya, memilah kerikil mangan, dan meletakkannya satu demi satu ke dalam ember miliknya. Sesekali ia menggaruk lengannya yang infeksi padahal kuku dan jemarinya sudah dipenuhi debu karbon. Begitu gatalnya dan begitu kuatnya ia menggaruk lengannya luka-luka goresan mulai terkuak, awalnya putih dan lalu merah darah mulai memenuhi luka. Ia tak peduli. Bahkan ia meludahinya dan menggosok luka bersama cairan merah sirih itu. Maksudnya tentulah untuk membersihkan sisa karbon yang menempel dari kuku-kukunya tadi. Selanjutnya ia memunguti kerikil-kerikil mangan itu lagi dan memasukkan ke dalam ember kecilnya. Cucu yang membuatnya tertawa tadi, yang rambutnya keriting lembut, membantunya menambah bilangan kerikil mangan. Sejauh ini, di hari kedelapan ia di sini, telah empat karung ia kumpulkan. Setiap karungnya berisi pada kisaran 50 kilogram mangan dan setiap kilogram mangan akan dihargai seribu rupiah. Bilangan pastinya belum bisa ia ketahui, karena belum tiba giliran batu-batu mangan My Development Goals



T

miliknya untuk ditimbang. Si penimbang, bapak Fransisco, masih sibuk mencatat berat mangan yang telah diperoleh dari setiap orang dan memastikan berapa rupiah harus diberikan kepada penambang yang seluruhnya kumal oleh karbon ini. Tapi, tentu saja kekumalan itu tidak terlihat dari pancaran semangat dan senang di wajah para pengungsi ini. Ini adalah pekerjaan yang paling pantas dan jelas bagi mereka. Ada kerja, ada uang, dan beta bisa makan.

anggal 27 Juni ini adalah hari ke-25, dan sampai sejauh ini jumlah berat mangan yang dicapai menurut Siprianus Wempimanek sudah menembus angka 100 ton dan berarti sudah 100 juta uang mereka terima. Jumlah penambang ini mendekati angka seratus lima puluh orang yang terbagi dalam lima kelompok yang seluruhnya adalah keluarga pengungsi yang tinggal di Asuulun dari tiga RT berbeda, yakni RT 21, 22, dan 23.

Di area tambang ini, lima lubang telah tergali dalam. Debu-debu mangan beterbangan bila angin bertiup kencang. Lubang-lubang itu mengerikan bila tidak diperlakukan secara benar. Kemarin, 26 Juni 2010, di pertambangan mangan di Sukaerbadak, desa Fatuketi, beberapa kilometer dari lokasi tambang ini, tiga orang mati tertimbun. Mereka, Jose Pareira (36), Jorjana Gama (40), dan anaknya Ferjiana Gama (15) telah menggali kuburannya sendiri. Beruntung seorang diantaranya, Abilio Do Santos (28) berhasil menghindar dan mengalami luka berat. Untuk sementara ia berhasil menyelamatkan diri dan begitu pula bagi orang-orang yang masih bekerja sepanjang pagi sampai sore hari hingga hari ini dengan tanpa bekal pelindung sama sekali. Ketiganya mati mengenaskan sebelum organ dalam tubuh mereka benar-benar mati karena kandungan racun dalam mangan yang setiap hari dihirup.

Jose Maia dos Santos sesekali datang memantau pekerjaan warganya. Ia harus memastikan bahwa keamanan kerja warganya terjamin. Ia senantiasa memperingatkan mereka untuk berhati-hati dan saling berbagai. Dan satu hal yang lebih penting adalah menjaga agar ceruk tidak begitu dalam dibuat dan sebaiknya segera diruntuhkan agar terhindar dari runtuh tanah berbatu ini.

“Mereka mencari mati.” ucap salah seorang penambang Sukaernaruk begitu mengetahui bahwa penggalian yang mereka lakukan memang menyalahi ketentuan. Mereka terlalu dalam membuat ceruk ke samping dan lupa meruntuhkan tanah di atasnya sebelum ceruk itu digali lebih dalam ke sisi kiri atau kanan. Lubang-lubang menyerupai kuburan itu terus saja mereka gali. ***



My Development Goals

Sepanjang siang dan malam, kampung pengungsi ini sepi. Hanya bilangan jari kita bisa melihat warga lalu lalang. Selebihnya tinggal di lokasi tambang mangan yang hanya beratapkan tenda terpal yang koyak, malam yang dingin menusuk tulang, dan makan yang hanya sekali dalam sehari, cukup di siang hari saja. Dua kali makan berarti mengurangi jumlah uang yang didapat. Beruntung istri Jose Maia dos Santos datang membantu memasak di salah satu tenda bagi warga RT 21. Butuh seember mangan untuk sekali mangan (makan). Bagi anak-anak dan orang tua seusia nenek tadi cukup ember kecil mangan berisi tujuh kilogram, sedangkan bagi mereka yang dewasa dan lebih kuat harus menyetor seember mangan seberat 16 kilogram. “Tak ada setoran seember mangan berarti merana tanpa santap siang!” Demikian Aleksius Leki (29) bergumam ceria menikmati santap siangnya yang hanya terdiri nasi putih dan mie rebus.

Jose Maia dos Santos memilih menjaga kampung mereka. Ia tak pernah bermalam di pertambangan ini. Kampung mereka di Asuulun perlu dijaga karena nyaris seluruh lelaki bermalam di Sukaernaruk. Malam itu, walaupun di banyak tempat di Atambua orang beramai-ramai menonton siaran langsung piala dunia antara Korea Utara vs Portugal, ia memilih berkeliling kampung dengan senternya. Memasuki lorong-lorong sempit yang menghubungkan rumah-rumah berdinding bebak ini. Kampung pengungsi sangat rentan dimasuki maling. Sudah sering kejadian itu berlangsung. Penerangan jalan yang tidak memadai menambah rawan daerah ini dan Jose mengabdikan diri untuk itu. Pukul dua malam ia baru kembali ke rumah dan akan tidur sejenak. Karena terbiasa terjaga pada pukul empat pagi maka ia akan bangun setelah dua jam tertidur. Itupun tidur-tidur ayam di mana ia akan terjaga bila mendengar suara mencurigakan. Ketika pagi tiba, Jose Maia dos Santos mengeluarkan dua ekor babi yang dimilikinya dari sebuah kandang. Tak lama kemudian ia menambatkan tali yang menggantung di leher babi berwarna hitam legam di atas tanah yang kering. Babi yang dipeliharanya sejak dua tahun

lalu merupakan tabungan keluarga kecilnya sejak tinggal di Asuulun ini. Suasana tampak lengang. Nyaris tak ada orang lalu lalang di perumahan yang padat ini. Sumur-sumur dengan cap Uni Eropa ini sepi. Tak terlihat aktivitas mencuci dan mandi sebagaimana beberapa minggu sebelumnya. Sebagian besar sedang di pertambangan mangan. Rumah Jose Maia dos Santos sederhana saja. Hanya ada lima kursi plastik, sebuah meja, dan lemari kayu di ruang tamu dan ruang belakang. Ada juga sebuah kamar yang ditinggali istri dan anak-anak perempuannya yang hanya berpintukan sehelai kain. Di belakang rumah, ada ruang dapur yang terpisah dari bangunan rumah ini. Hari itu sepi. Anak-anak dan istrinya sedang di Sukaernaruk menambang mangan. Kebetulan, saat itu sedang libur sekolah dan itu berarti kesempatan bagi setiap keluarga pengungsi ini mengumpulkan bebatuan mangan untuk menambah pendapatan keluarga. Sebelum ada tambang mangan, pemukiman di sini ramai oleh aktivitas keseharian warga dan pekerjaan mereka lebih beragam. Banyak diantara ibuibu keluarga di sini yang membeli berikat-ikat

My Development Goals



sayuran untuk dijual secara berkeliling ke rumah-rumah penduduk Belu. Banyak pula kios mini di beberapa rumah di sini. Namun karena kurangnya warga khususnya anak-anak tiga minggu terakhir, membuat mereka memilih menutup kios dan mengikuti jejak anggota keluarga lain yang sudah lebih dulu berada di Sukaernaruk. Menjelang malam, mereka seluruhnya sudah selesai membersihkan badan. Lima buah tenda dari lima kelompok besar mulai terisi satu persatu. Anak-anak Jose Maia masih bermain di tengah tubuh-tubuhnya yang letih. Sebentar lagi mereka akan tertidur pulas. Etilia saromento Borjes (11) dan Sulestiana De Castros (12) serta beberapa temannya sudah tak tahan lagi, ia masuk ke dalam tenda dan berharap bermimpi membeli seragam sekolah, buku-buku sekolah, dan kerupuk. Kakak-kakak mereka masih masih asyik bercengkerama sambil mendengarkan lagu-lagu pop dari salah satu handphone mereka. Tak lebih dari pukul sembilan malam mereka pun akan masuk karena istirahat begitu pentingnya bagi mereka malam ini. Tenda akan terisi penuh, berdesak-desakan dan tak ada pilihan lain selain tidur dengan posisi apa adanya.

M

***

alam itu, Jose Maia mengunjungi Guru Dominggus. Hanya keluarga ini yang tak pergi ke pertambangan mangan. Sebagai guru di salah satu sekolah negeri dan posisi sebagai Pegawai Negeri Sipil Dominggus tahu dan menyadari bahwa betapa berbahayanya anak-anak bekerja dipertambangan mangan. Ia menganjurkan kepada Jose agar sering mewanti-wanti warganya akan pentingnya mencuci tangan sebelum makan, menggunakan masker saat

10

My Development Goals

bekerja, dan bila perlu mengenakan sarung tangan. Jose terdiam menyelami kata-kata pak guru dan membenarkan tindakan itu. Anak-anak mereka yang berusia 3-7 tahun ada di sana dan orang tua mereka yang berusia di atas 60 tahun juga berjibaku dengan racun-racun tambang ini. Sekali lagi ia merenungkan perkataan pak Guru akan beberapa dampak dari kerja di pertambangan ini; batuk, sulit tidur, gangguan pernapasan akut, batuk darah, sakit pada dada bagian kiri, diare berlendir dan berdarah, hingga yang paling parah tumbuh tumor di kemaluan. Ia menyimpan kata-katanya dalam hati, “Tapi, kami butuh uang untuk makan, anak-anak kami butuh uang untuk membeli seragam, buku, dan pulpen, dan ongkos ojek.” Sebelum ia beranjak, ia hanya berujar, “Akan saya sampaikan saran Pak Guru.” Ia pun kembali ke rumahnya menyimpan gelisahnya. Cahaya senternya berkelebat menyentuh dinding rumah, pepohonan, dan tanah di depannya. ooOoo

My Development Goals



12

My Development Goals

Perempuan Magma Samosir Oleh Anwar Jimpe Rachman

T

ak pernah terlintas di benak Kostina Sinurat (46) kalau anaknya, Sandro Sitanggang (27), tidak mau melanjutkan sekolahnya. Padahal tujuh saudara Sandro justru sebaliknya. “Saya sampai sekarang tidak mengerti mengapa,” ujar Kosti. Suara perempuan bertubuh besar nan sehat ini tanpa ragu, mantap dan bulat seperti bunyi baliga—sebatang alat tenun yang ia pakai merapatkan tiap helai benang ulos setiap hari. Tatapan matanya tajam dan penuh konsentrasi sebagaimana jika ia menenenun ulos, kain khas Suku Batak. Saat itu Rabu sore, pekan ketiga Mei. Sandro adalah anak sulung pasangan Kosti Sinurat dan Sintong Sitanggang. Sandro kini tinggal di Jakarta, mencari nafkah sebagai sopir angkutan kota. “Tapi kita sudah coba mendorong dia tetap sekolah. Kalau anaknya memang yang tidak mau, ya mau apa lagi,” begitu Kosti mengujar pasrah. Ia berhenti menggerakkan baliga sebentar dan melanjutkan kerjanya. Adik-adik Sandro berpendidikan ‘beres’. Elis (25) lulusan Ekonomi Manajemen Univesitas Katolik Santo Thomas Medan kini mengurus administrasi Radio Samosir Green; Verawaty alumni D1 Medikom Medan sekarang kerja di PNPM Samosir; Esra yang lahir 30 Oktober

My Development Goals

13

1988 masih kuliah kebidanan; Domuraja (20) lulus PMDK di Bandung; Hendra Priyantoni (18) di kelas II SMA, mengulang kelas karena menganggur setahun lantaran kakinya patah dalam sebuah kecelakaan Agustus 2009; Apriyoni yang lahir pada 27 April 1996 sekarang kelas III; sedang si bungsu, Elisabeth yang berusia 12 tahun duduk di SMP Kelas I, “Dapat ranking dia,” ujar Kosti bangga. Kosti tak lain salah seorang penenun di komunitas kecil yang bermukim di Huta Lumban Nabolak, Buhit Pardugul. Huta (kampung) ini berada di pinggir Danau Toba, yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Kampung yang terletak sekisar 10 kilometer dari Pangururan, ibukota Samosir, dihuni oleh enam marga, yakni Sinurat, Sitanggang, Malau, Nainggolan, Naibaho, dan Sihotang. Tampaknya tradisi terjaga di huta ini. Di sana masih terawat rumah adat kuno, rumah ganjang (panjang) dan rumah bolon (rumah besar), lengkap dengan foto pastor berwarna sepia di samping kanan pintu utamanya. Konon, sosok yang ada dalam foto itu adalah pastor pertama yang mengabdi di Huta Lumban Nabolak. Ada pula tempat tidur kayu yang sudah berumur 200-an tahun. “Itu pusaka orang dulu. Pusaka yang menurun ke kita. Hanya atapnya yang diganti seng. Dapurnya sudah di belakang. Semua, dari dinding sampai tiangnya masih asli. Dulu di situ tinggal enam keluarga. Makanya, dapur mereka dulu di tengah,” jelas Kosti di keesokan paginya, sambil menunjuk rumah besar yang tepat berada di samping rumahnya, “tanpa dinding!” sergah Kosti, seperti tahu pertanyaan susulan penjelasannya tadi. Kosti melakoni kerja menenun ulos setiap hari, mulai pagi hingga menjelang senja. Para

14

My Development Goals

tukang tenun Buhit Pardugul mengerjakan ulos bermotif Karo. Ulos motif Karo memang tidak ditenun di kampungnya melainkan dikerjakan oleh perempuan-perempuan Samosir. Jarak Karo dari Samosir membutuhkan perjalanan ‘pergi pagi pulang malam’. “Ya, kalau lancar,” kata Kosti, sambil menatap ke atas, “satu lembar itu bisa selesai tiga atau empat hari,” lanjut Kosti. Dia lalu mengambil selembar kain berwarna merah marun campur coklat dari kantong plastik menunjukkan contoh hasil kerajinan tangannya. Beban Kosti menyelesaikan sehelai seperti itu menjadi ringan berkat bantuan dua anak perempuannya yang terakhir. Elisabeth menggulung benang—bahan baku tenunan yang dibeli di Karo; sementara Apriyoni membantu mangani (menjajar benang ke dalam alat tenun). Matahari mulai redup di balik gunung seberang Danau Toba. Awan mulai menjingga. Kosti berhenti menenun. Penahan punggung, tundalan, ia lepaskan. Pagabe (penjepit kain) dan giun (pemisah helaian benang) ia dekatkan ke pemapan (penahan benang). Sementara turak (tempat benang pengisi) dimasukkannya ke kaleng bekas bundar bekas tempat camilan bercampur dengan gulungan-gulungan benang. Perempuan berambut lurus itu segera duduk menyeruput segelas teh dan kue gabin, berbaur dengan para kerabatnya. Sambil meregangkan badan ia berkata, “Yang paling sering sakit kalau habis menenun itu paha dan bahu.” Kosti lalu memalingkan wajahnya ke Derita Sitanggang (31) yang duduk di sampingnya. Keduanya berbicara bahasa Batak—sepertinya menanyakan sesuatu. Derita yang punya panggilan akrab Nai Dimpos ini sejak tadi menemani Kosti menenun, sambil bermain dengan bayinya yang berumur setahun di atas matras hijau terang. Rumah Nai Dimpos hanya

diantarai tiga rumah dari rumah Kosti. Beberapa kerabat Kosti, kebanyakan bocah, berkumpul di halaman rumah Kosti bermain. Sesekali terdengar suara babi dari kandang yang berjarak hanya tiga atau empat meter dari tempat Kosti menenun.

masyarakat Batak semakin meningkat. Mulai dari acara kelahiran, pembaptisan, naik sidi, memasuki rumah baru, acara adat perkawinan dan kematian. Pihak dari keluarga perempuan (istri) akan membawa ulos, sedangkan dari pihak laki-laki (suami) memberikan tumpak (uang).

Menurut Kosti, hasil tenunannya dijemput langsung para toké (pedagang kain ulos) di Lumban Nabolak. Para pedagang inilah juga yang biasanya membawakan mereka bahan baku tenunan dari Karo.

Ulos yang terkumpul, jika banyak, sebagian akan dijual ke pedagang ulos. Banyak tidaknya ulos tergantung besarnya undangan, misalnya pada saat acara adat perkawinan. Ulos yang terkumpul bisa dijual untuk menutupi biaya pesta perkawinan.

“Dulu, waktu kami (saya) belum berkeluarga, kamilah yang bawa dan pasarkan sendiri ulos kami ke Karo. Karena sekarang repot mengurus anak, ya mereka (toké) mulai datang lagi ke sini,” jelas Nai Dimpos. Harga ulos seperti hasil kerajinan tangan Kosti dihargai Rp. 300.000,- per helai. Setiap helainya, Kosti mendapat keuntungan bersih Rp. 120.000,. Kosti peroleh laba itu dari hitungan sebagai berikut: biaya kerja Rp. 120.000,- (Rp. 30.000,- × 4 hari kerja) + Rp.60.000,- (modal bahan) = Rp. 180.000,-. Harga Rp. 300.000,- per helai bisa menjadi dua kali lipat bahkan lebih bila pedagang ulos sudah menjualnya di pasar. Harga ini sekisar tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan ulos hasil rajutan mesin. Harga itu, menurut pedagang-pedagang di onan, pasar pekanan di Parurungan, tenunan manusia jauh lebih rapi dan lebih rapat dibanding buatan mesin. Awalnya ulos hanya digunakan masyarakat Batak dalam acara ritual siklus hidup, seperti kelahiran, acara adat perkawinan dan kematian. Namun belakangan ini pemakaian ulos dalam



Sebutan onan berasal dari bahasa Batak Toba, on (di sana) dan an (di sini), yang merujuk banyaknya barang yang tersedia/dijual di pasar setiap pekan itu.

“Mereka (para pedagang ulos) akan datang dan menunggu pesta selesai. Begitu pesta selesai atau keesokan harinya, mereka akan datang menawar kain-kain ulos itu,” tutur aktivis KSPPM Parapat, Delima Silalahi, mengenang pengalaman pesta pernikahannya tahun 2002 lalu. Menurut Kosti, sebagaimana halnya yang terjadi pada komoditas lain, harga ulos pun bisa naik turun. Di waktu-waktu tertentu seperti Ramadan (banyak orang Karo yang memeluk agama Islam) dan menjelang masuk sekolah, harga ulos sering turun. “Karena para pembeli kan lebih mendahulukan membeli sembako untuk puasa, pas menjelang tahun baru, atau beli seragam atau buku tulis anak yang mau masuk sekolah,” terang Kosti. Keterampilan menenun ulos diturunkan pula oleh Kosti ke anak-anak perempuannya sedari mereka kecil. Mulai dari Elis, anak perempuan tertuanya, sampai ke Elisabeth yang bungsu. Si bungsu sejak duduk di bangku SD belajar menggulung benang. Pewarisan pengetahuan itu berjalan alami. “Biasanya kan gitu anak-anak... kalau lihat kita kerja, dia juga minta diajari karena lihat saya sama kakaknya menggulung benang. Sejak SD

My Development Goals

15

mereka menggulung, sambil belajar mangani. Sudah tamat menggulung baru belajar mangani. Di kelas III SMP sampai SMA mereka belajar menenun. Usia SMA mereka bisa kerja satu sarung seminggu. Kalau kami dua atau tiga per minggu,” cerita Kosti. Kerja menenun ulos itu membantu Kosti dan Sintong, suaminya, mengelola rumah tangga yang mereka bangun sejak 1982 silam. Hasil penjualan lembar-lembar ulos Kosti-lah yang membantu Sintong yang bergiat di sawah. Tentu dengan syarat, “Bila kita tidak terganggu panen atau musim tanam.” Malam pun mulai merayap. Lampu di ruang keluarga Kosti sudah menyala. Orangtua dan anak-anak yang berkumpul di halaman sudah pulang. Hanya dua ekor anjing peliharaan Kosti yang berjaga di halaman. Kosti membungkus alat tenunnya dengan sarung lalu naik ke rumahnya.

K

***

eesokan harinya, cuaca Lumban Nabolak bersih dan cerah. Dari barat, dari arah Danau Toba, angin sejuk bertiup pelan. Elisabeth dan Apriyoni sejak pagi sudah ke sekolah diantar ayahnya. Elis yang belum berangkat kerja, memasak lauk di dapur. Sementara di halaman, alat-alat tenun Kosti menganggur. Hari ini, Kosti harus menghampar dan menjemur gabah hasil panen sawah milik keluarga Kosti seluas 9 rante yang ditanami di bulan Desember tahun lalu. Sintong yang baru pulang mengantar anakanaknya ke sekolah, tak bisa membantu Kosti. Hari itu, dengan kupluk dan kaos dalaman motif

militer, Sintong mengambil sirih dan kapur dan segera dia lumat. Ia berangkat membantu memanen di sawah salah seorang kerabatnya. Para petani Samosir masih menerapkan konsep marsiadapari (gotong-royong) kala memanen. Sawah siapa yang pertama dikerjakan, tergantung diskusi para penyumbang tenaga di waktu istirahat. Mereka bergerak sampai semua padi milik sekelompok petani itu sudah dituai. “Siapa padi yang masak duluan itu yang dikerjakan,” terang Sintong. “Mereka tidak digaji. Tapi yang punya sawah menyediakan makanan buat yang bekerja,” ujar Kosti menambahkan. Sintong dan Kosti lalu memencar. Sang suami berjalan kaki, sementara Hendra sudah menunggu di atas motor untuk mengantar ibunya ke tempat penjemuran. Di penjemuran, dengan bantuan Hendra, Kosti mengeluarkan enam atau tujuh karung gabah dari lumbung keluarga yang berada di kilang penggilingan padi adik bungsu Kosti. Di belakang penggilingan, di seberang Danau Toba, tampak Pusuk Buhit, yang disebut-sebut sebagai ‘ubun-ubun’ Sumatera Utara—tempat awal suku bangsa Batak pertama beranak pinak. Di lumbung itulah persediaan makanan pokok kebutuhan keluarga tersimpan untuk setahun. Karena sawah-sawah di siklus panen di Samosir hanya sekali setahun. Selesai menghampar bulir-bulir padi, Kosti menghitung kebutuhan beras keluarga.

 

16

Rante, ukuran satuan Sumatera Utara untuk 400 meter persegi lahan.

My Development Goals

Pemerintah Belanda menamakan wilayah sebagai Centraal Batakland yang artinya Tanah Pusat Suku Bangsa Batak. Lihat Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli 1915-1940, Jakarta: KPG, 2001.

Hasilnya kurang lebih 60 kaleng untuk satu tahun. Hasil itu diperoleh dari kebutuhan makan tujuh anggota keluarganya per hari yang berkisar 10 mok atau 1,5 liter beras untuk tiga kali makan dikali 12 bulan.

pengalamannya, habis untuk biaya adat seperti perkawinan, kelahiran anak, kematian, atau acara lain. “Setiap keluarga harus mengirim ulos atau setidaknya uang Rp. 50.000,“ kata Rido Dori.

Petak-petak sawahnya menghasilkan 200 kaleng atau dua ton padi di tahun 2010. “Cukup untuk biaya hidup. Sisanya kami jual,” kata Kosti. Tapi hasil penjualan itu belum jadi keuntungan bersih. Dia dan suaminya masih harus menghitung pupuk (Urea 3 sak dan TSP 1 sak untuk 9 rante).

Hasil penjualan panen itu akan Kosti simpan, dari yang masuk ke rekening bank sampai dalam bentuk arisan, baik arisan kelompok tani sampai arisan PKK.

Harga beras Rp. 95.000,-/kaleng (10 liter). Menurut tetua Huta Lumban Nabolak, Rido Dori Sitanggang (72), meski terhitung besar, hasil panen itu hanya sepertiganya untuk kebutuhan keluarga. Selebihnya, dua pertiga, berdasarkan



Kaleng, satuan ukuran Samosir untuk ukuran 10 liter.

“Kalau bulat-bulat uangnya tidak ada. Lebih banyak uang di arisan daripada di bank. Ada sisa-sisa belanja, ya ditabung dari 500 ribu sampai satu juta baru ditabung ke bank,” ungkap Kosti. Jumlah yang Kosti harus setor setiap bulan dalam arisan tidak kurang Rp. 2.500.000,-. Semua itu, menurut Kosti, ia lakukan karena tanggungjawabnya membiayai pendidikan anak-anaknya. Setiap bulan perempuan tamatan SMA ini mesti mengirim uang untuk My Development Goals

17

Domuraja yang kuliah di Bandung dan Verawaty di Medan, masing-masing Rp. 1.500.000,-. Itu belum termasuk biaya makan keluarga minimal Rp. 300.000,- setiap minggu dan anak-anaknya yang bersekolah di Samosir. Dua anak gadis terakhir Kosti masuk dalam daftar tanggungan asuransi pendidikan Bumi Asih sejak akhir 2009. Setiap tanggal enam saban bulan, Kosti menyetor Rp. 50.000,-/bulan kepada pegawai Bumi Asih Pangururan yang datang menjemput setoran ke Lumban Nabolak. “Sebenarnya itu uang mereka dari kerja mangani mereka, hasil kerja dari penjualan tenun disisihkan. Nanti kalau sudah tamat SMA biar ada tambah-tambah kalau mereka masuk kuliah,” kata Kosti mengungkapkan. Namun itu juga tampak sebagai mekanisme yang Kosti lakukan memberi perlindungan bagi masa depan putri-putrinya. Dalam sistem pewarisan harta di masyarakat Batak, anak laki-lakilah yang berhak atas harta peninggalan keluarga, sebagaimana yang terjadi pada keluarga Kosti. Ia punya enam saudara. Semua perempuan, kecuali yang bungsu. Pada si bungsu-lah jatuh hak waris harta seperti penggilingan padi, tempat Kosti menyimpan lumbung keluarga tadi. Kosti lalu tertawa menampakkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Dia ingat pernah setengah bergurau kepada si bungsu, Elisabeth, untuk tidak kuliah bila nanti sudah masanya. “Kamu tidak usah kuliah nanti kalau besar. Kamu jaga mama saja,” bujuk Kosti. “Ah, nggak mau!” kata si bungsu, berkeras. “Mama kan sudah tua kalau kamu sudah kuliah.” “Masak kakak-kakak semua kuliah aku nggak! Bilang sama kakak-kakak nanti bantu Mama. Aku paling kecil, aku yang nggak kuliah!”

18

My Development Goals

Kosti tamatan SMA Negeri 1 Pangururan. Di sekolah dulu ia suka Matematika. Setamat SMA ia menikah dengan pemuda Sintong yang tamat SMP-- meski berhentinya Sintong bukan keinginannya. Ketika itu, terang Kosti, orangtua Sintong sakit keras. “Pendidikan nomor satu kalau di sini. Pendidikan itu karena zaman makin meningkat. Semakin anak kita bisa sekolah, makin tinggi pendidikannya, makin bisa dia mengejar apa yang dicita-citakannya. Masa depannya juga bisa terjalin kelak kalau sudah berumah tangga. Bisa menghidupi anak-anaknya nanti. Kita nggak sekolah, kita usahakanlah anak kita sekolah setinggi-tingginya, semampu kita,” papar Kosti. Suaranya tetap bulat dan mantap. Di lingkup rumah tangga, Kosti menerapkan disiplin pembagian tugas dan kemandirian pada anak-anaknya. Setiap anak punya tugas sendiri sesuai kemampuannya dan mereka mengingatnya dengan baik. Elisabeth, menanak nasi di pagi hari. Selesai itu, ia pun berangkat mandi. Usai berseragam, dia sarapan dengan nasi yang ditanaknya tadi. Sesekali minta tolong kepada kakaknya, Elis, untuk menggorengkannya ikan. Sepulang sekolah, si bungsu belajar menggulung benang. Jam empat atau setengah lima sore pergi cuci piring. Sudah itu, cerita Kosti, masak nasi lagi untuk malam. Apriyoni membantu ibunya mangani. Setelah itu cuci pakaian seluruh anggota keluarga di sungai atau danau. Sementara Hendra bekerja untuk menambang pasir. Itu Hendra kerjakan sepulang sekolah. Untuk sekubik pasir, Hendra mendapat penghasilan Rp50 ribu dengan menjual hasil tambangnya pada pamannya, saudara bungsu ibunya, yang juga punya motor truk pengangkut pasir pengantar bahan bangunan. “Praktis untuk biaya sekolah anak-anak ini sudah tidak ada tanggungan. Orang-orang ini (anak-

My Development Goals

19

20

My Development Goals

anak) nggak pernah jajan. Nggak boleh. Mereka kan pagi-pagi diantar sekolah. Setiap Rabu diberi ongkos tiap orang Rp. 10.000,- per minggu,” ungkap Kosti.

Parapat, bercita-cita mengembangkan prakarsa masyarakat dengan memampukan rakyat dalam mengubah sistem yang menindas, baik dalam sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Namun peraturan itu berlaku hanya di Senin sampai Sabtu. Hari Minggu, semua tugas perorangan berhenti. Uang jajan pun seperti satu hal yang harus ada. Masuk gereja sebuah keharusan. “Biarlah suka-suka orang-orang itu. Mau main, mau tidur, istirahatlah. Hari minggu itu kami masak bareng. Habis itu mandi baru ke gereja.” Wajah Kosti terlihat serius.

Dana itu digulirkan kepada siapa yang hendak meminjam, dengan batasan besaran pinjaman bisa tiga kali lebih besar dari saham yang sudah dimasukkan orang yang bersangkutan. Kelebihannya adalah bunga dua persen yang menurun berdasarkan pada sisa pinjaman.

U

***

ntuk menopang tabungan, Kosti pun bergabung di dalam credit union (CU). Sebenarnya, Vera yang atas nama kartu CU Bulutorus. Tatkala Vera berangkat kuliah ke Medan, Kosti-lah yang melanjutkan keanggotaan itu. Di awal berdiri pada 1 Agustus 1998, CU hanya beranggotakan 20 orang. Kini sistem kredit mandiri ini beranggotakan 72 orang yang berasal dari dua desa, Desa Pardugul dan Parlondut, dengan total aset berkisar Rp. 48.000.000,-. Bulutorus mewajibkan anggotanya untuk memasukkan uang pangkal Rp. 5.000,-; simpanan pokok Rp. 10.000,-; dan simpanan wajib Rp. 5.000,- setiap bulan. “Kalau memang ada uangnya lebih, bisa menyetor simpanan sukarela,” kata Bendahara CU Bulutorus, Nai Dimpos. CU tak lain sebentuk usaha simpan pinjam dengan segala kemaslahatannya diperuntukkan bagi anggota. CU merupakan formula perekonomian berbasis swadaya masyarakat diadopsi dari Jerman, yang diperkenalkan oleh Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di

“Misalnya Rp. 2.000.000,- dipinjam sepuluh kali pembayaran. Jadi bunganya pertama kan Rp. 40.000,- per bulan. Kalau misalnya bayar pinjaman di bulan pertama Rp. 240.000,- (angsuran + bunga) berarti tinggal Rp. 1.760.000,-. Nah, besaran bunga nanti berdasarkan Rp. 1.760.00,- tadi. Bukan bunga tunggal seperti bank,” begitu Dimpos merinci. Pinjaman terbesar dalam CU Bulutorus berkisar untuk modal pertanian, pendidikan anak, dan usaha menenun seperti yang Kosti dan kerabatnya lakoni. Pengurus sementara ini membatasi pinjaman untuk enam orang anggota saja, dengan memberi batasan jumlah pinjaman maksimal Rp. 2.000.000,- saja. Pertimbangannya semata-mata agar anggota mendapat kesempatan meminjam yang sama— mengingat terbatasnya modal CU Bulutorus. Kosti pun sudah beberapa kali meminjam dana CU untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Angsurannya Rp. 240.000,-, kita kasih Rp. 250.000,-, yang Rp. 10.000,- untuk ditabung (jadi simpanan sukarela),” jelas Kosti. Di dunia usaha dalam pengertian sebenarbenarnya, pihak penanam modal yang tidak saling kenal merupakan perihal lazim, karena didorong oleh sebuah tendensi: menanam modal sebanyak-banyaknya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal lain yang

My Development Goals

21

lebih berkilau bak intan justru ada dalam sistem credit union ini. Perspektif utama yang digunakan untuk melihat anggota-anggota CU seperti Bulutorus, yakni manusia sebagai makhluk sosial.

kalau Pilkada. Kami akan membahas bagaimana menjadi pemilih cerdas. Kami tidak sebut siapa calonnya, tapi hanya kita lihat program-program mana yang paling peduli masyarakat. Jangan asal pilih saja,” imbuh Dompis.

Anggota Bulutorus yang ingin meminjam dana, harus mendapat persetujuan dari panitia kredit. Panitia kredit sendiri merupakan kumpulan orang-orang yang kenal baik dengan anggotaanggotanya. Berdasarkan penjelasan Nai Dimpos, mereka tahu kesanggupan si calon peminjam, karena tahu di mana rumahnya dan apa pekerjaan sehari-harinya. Kalau panitia kredit tidak setuju, maka pengucuran dana pinjaman urung. Kalau pun mendapat persetujuan dan dalam proses pengembalian modal sampai menunggak, peminjam yang bersangkutan dikenai denda sebesar dua persen dari kewajiban angsuran per bulannya.

Bagaimana dengan bunga yang terkumpul? Seperti halnya badan usaha, setiap tahun CU Bulutorus menggelar rapat anggota tahunan (RAT). Pendapatan dibagi ke semua anggota. Namun tergantung saham. “Tidak seperti di bank. Kita di bank kan untuk orang tertentu. Kalau di CU, semakin banyak kita meminjam, semakin banyak bunga yang kita dapat nanti,” jelas Dompis.

Seluruh anggota CU adalah perempuan. Mereka pun rutin tiap bulan bertukar pikir. Lantaran semua anggotanya adalah jemaat gereja, para anggota CU menggelar diskusi itu di kantor jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Buhit. “Kalau memang (ada yang) tidak hadir pertemuan, kita harus cek kenapa tidak hadir. Kita harus hadir. Kita kan bukan hanya kumpulan uang. Kita ini kumpulan masyarakat!” Kali ini kening Dompis berkerut, memberi tekanan di kalimat akhirnya. Dalam diskusi yang bisa berlangsung sampai empat jam itu, mereka membahas beragam hal, mulai dari soal menu masakan, mengolah sampah plastik, pupuk organik, sampai masalah politis seperti pemilihan kepala daerah langsung—bagaimana menjadi pemilih yang cerdas. “Kalau hari lingkungan hidup, hari pangan, kita ke kantor DPRD. Nggak demo-lah. Cuma aksi saja,” ujar Dompis seraya tertawa, “Begitu juga

22

My Development Goals

Pernah dalam sebuah RAT, agar punya nuansa yang berbeda, mereka mengundang calon anggota legislatif. Tapi, “Mana pernah datang!” sergah Dompis. Menurut Delima, sebenarnya bank-bank sekarang takut sama CU. Ada pula CU-CU besar yang disokong oleh lembaga gereja Katolik namun sangat ‘profesional’ sebagaimana halnya dengan bank. “Jadi anggota lain nggak kenal siapa-siapa saja yang menjadi anggota di CU tersebut. Kalau ini kan mereka harus bertemu setiap bulan, sharing (membahas bersama) isuisu yang berhubungan dengan petani dan isu lainnya. Jadi yang mengurus mereka... ya mereka juga. Tidak orang lain!” jelas Delima.

K

***

osti sekeluarga bermukim di daerah berbukit. Cuara secerah bagaimana pun udara tetap sejuk dan matahari tak sampai terik menusuk. Itu karena letak Samosir 1000 meter di atas permukaan laut. Itu ditambah lagi oleh rimbun pokok kemiri, pohon mangga, kopi dengan buah merah dan hijau bercampur di tangkai-tangkainya, dan pokok randu yang tumbuh di kisaran rumahnya. Buah

randu yang mencoklat di pekan ketiga Mei itu mulai pecah dan menebarkan kabu-kabunya ke segala arah, pertanda musim kemarau telah tiba. Selain memberi pasokan oksigen yang memadai, pepohonan itu juga menambah penghasilan buat keluarga Kosti, selain kemiri di kebunnya yang satu rante, 400 meter persegi. Kosti menjual kemiri bulat dengan harga Rp. 35.000/ kaleng (10 liter). Para penadah datang sendiri ke Lumban Nabolak untuk membeli biji-biji kemiri panenan Kosti. Selain dari pekarangan, Kosti sekeluarga mendapatkan buah-buahan dari kebun. Di sana tumbuh pisang, alpukat, mangga, dan jagung. “Kalau (alpukat) lagi berbuah, kita bawa pulang bikin jus di rumah. Kalau sedang ada uang, kita tambah susu,” Kosti tertawa, seraya menyeka keringat di keningnya. Mungkin ia membayangkan lezatnya jus itu di tengah cuaca cerah, sehabis mengeringkan gabah di sekitar penggilingan saudaranya. Namun karena pohon-pohon itu berbuah musiman, pasar tiap Rabu menjadi alternatif keluarga ini mendapat pasokan buah-buahan. Di pasar itu pula Kosti rutin membeli daging. “Kalau nggak ada uang kita untuk beli sekilo, ya beli setengah kilo, kalau nggak setengah kilo ya sepuluh ribu,” katanya enteng. Ia mengaku, resep ini sejak dulu ia terapkan di rumahnya, kendati belakangan anjuran yang sama disampaikan oleh petugas puskesmas setempat. Kondisi alam dan pola asupan yang diterapkan Kosti membuat seluruh anggota keluarga hidup sehat. “Anak-anak saya sangat jarang sakit. Kalau pun sakit ya pilek biasa aja. Itu pun kita tidak bawa ke puskesmas. Kita telepon saja bidan, ia akan datang ke rumah periksa dan dikasih obat. Nggak pernah disuntik,” jelas Kosti.

Riwayat sakit terparah justru ada pada Sintong. Kondisi hati (lever) suami Kosti itu akut di tahun 1997 sampai harus dibawa ke rumah sakit di Medan. Di sana mendapat perawatan selama dua minggu, mengharuskan Kosti yang kala itu mengandung Elisabeth 4,5 bulan ikut ke Medan. Sepulang rumah sakit, Kosti merawat sang suami dengan pengobatan alternatif di sekitar Belawan. “Saya nggak ingat obat apa, tapi yang jelas akar-akaran dimasak,” kata Kosti, seraya memainkan gelang mambang kuningnya. Karena penyakit hati itu, Sintong tidak boleh mengecap makanan bergaram selama setahun penuh. Santapan sehari-harinya hanya ikan tawar yang dibakar dan sayur rebusan kacang panjang. “Makanya dia tidak merokok lagi. Dulu dia peminum. Sekarang udah kena dia, berubahlah dia. Nggak judi lagi, nggak mabuk lagi,” kata Kosti dengan suara yang merendah. Sintong kini mengganti rokok dengan sirih—kebiasaan awam di Lumban Nabolak. Untungnya ketika itu, Kosti dan Sintong punya tabungan yang cukup. Tanggungan mereka belumlah sebanyak sekarang, ketika anakanaknya masih kecil-kecil. “Sampai-sampai tabungan waktu itu ada Rp. 50.000.000,-an juta. Barulah pas sekolah kuliah begini sudah susah,” ungkap Kosti. Matanya tak berkedip. Ia melanjutkan meratakan hamparan gabah dengan tangan. Seperti magma yang menumpuk lalu membentuk Pulau Samosir, serta memberi kehidupan seratus tiga puluh ribu jiwa, begitu pula Kosti dengan sekuat daya—kendati bergerak dalam senyap—menghidupi orangorang terdekatnya. ooOoo

My Development Goals

23

24

My Development Goals

Memahat Jejak Di Atas Pasir Oleh EM. Ali

S

ukarman, 53 tahun, memarkir sepeda motor berwarna biru di pinggir jalan berpasir. Tanpa melepas helm, dia masuk ke lahan yang dibatasi pohon kelor sebagai pembatas dengan lahan garapan petani lain. Lahan pasir seluas 20 x 40 meter terhampar dihadapannya. Pasir pantai lembut yang sudah bercampur dengan pupuk kandang legam ditimpa matahari pagi. Sejenak dia memandang lahan pasir yang siap menerima keringatnya. ”Saya mau mencoba memakai mulsa untuk lahan ini,” kata Sukarman pendek dengan intonasi suara tinggi, khas intonasi orang pesisiran, suaranya lantang meski tidak berteriak. Penggunaan mulsa -- pemakaian plastik untuk menutup bedengan untuk mengurangi penguapan -- merupakan teknik baru yang dikembangkan Sukarman dalam bertani cabe (Capsicum annum l) di lahan pasir pantai selatan Panjatan, Kulon Progo. Sukarman, sosok rendah hati yang banyak tertawa itu, merupakan sosok berani mengambil risiko. Ketika petani lain asyik menanam dan menikmati hasil cabe dengan sistem yang sudah mapan, Sukarman mencoba teknik lain dalam bertani cabe. ”Petani kalau mau aneh aneh, kalau belum ada buktinya tidak mau,” ujarnya sembari tertawa, ”harus ada yang berani mencoba. Kemarin sudah saya coba sekali, hasilnya bagus. Tapi menurut saya belum maksimal. Harus dicoba

lagi. Saya lihat teknik ini digunakan petani di Sleman. Mereka tanahnya tidak sekering di sini, tapi masih menggunakan mulsa. Saya pikir, pasti bagus kalau digunakan di lahan berpasir yang tingkat penguapannya lebih tinggi,” lanjut bapak dua anak ini tentang teknik yang digunakannya. Sebagai ketua kelompok tani Gisik Pranaji yang juga dipandang sebagai empu cabe, Sukarman sering diminta datang untuk menghadiri panen raya di tempat lain. Di situ dia mengamati dan belajar pada petani lain bagaimana mereka menanam. Hasil pengamatan dan belajar itu kemudian dicoba di lahannya sendiri. Dia menyediakan dirinya untuk ujicoba sebelum petani lain meniru teknik yang dia gunakan. Tidak lama berselang, Wahyu Purwo, 23 tahun, anaknya yang paling besar menyusul ke lahan. Dia bergabung dengan bapaknya. Wahyu memindahkan tali plastik panjang yang digunakan untuk membuat bedengan. Sepagi itu, dua bedengan hampir selesai dikerjakan Sukarman. ”Ya, itu pekerjaan Bapak. Selalu mencoba dan mencoba. Bapak nggak pernah takut gagal,” Wahyu mengomentari penggunaan mulsa untuk tanaman cabe yang akan dilakukan.

P

***

anjatan, tahun 1985. Seorang lelaki tanpa pekerjaan, berusia 27 tahunan, berjalan menyusur pasir pantai hitam. Angin laut

My Development Goals

25

dan sinar matahari membakar wajahnya yang kecoklatan. Mendadak langkahnya terhenti. Di antara rerumputan liar, tiga batang cabe menjulang. Buah cabe merah ranum memenuhi rantingnya. Sukarman lelaki muda itu. Dia terdiam, memandang pohon cabe penuh takzim. Disentuhnya buah cabe masak itu. Buah cabe merah yang sehat. Cabe bisa tumbuh di lahan pasir? Sukarman muda yang sudah lelah mencari pekerjaan di kota, mendapat gagasan dari tiga batang cabe yang ditemuinya itu. Dengan latar belakang pendidikan D3 Akprind jurusan maintenance, salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, pada tahun 1985, Sukarman memulai usaha pertanian lahan pasir di pesisir pantai selatan Kulon Progo. Sesuatu yang sama sekali di luar bayangannya. Awalnya hanya satu kepek atau satu petak lahan kering. Warga Panjatan memandang aneh yang dilakukan Sukarman. Dia dianggap mengadaada karena menanam cabe di lahan pasir. Apalagi dia seorang sarjana, buat apa sarjana kerja susah-susah menanam cabe?

memindahkan bibit cabe ke lahan. Di lahan pasir, suplai air untuk tanaman menjadi persoalan tersendiri. Air cepat hilang dari permukaan tanah. Dengan gotong royong dibantu tetangga, Sukarman membuat sumur. Mereka menggunakan bronjong, anyaman dari bambu, untuk menahan dinding sumur agar tidak longsor. Rata-rata kedalaman sumur di lahan pesisir pantai 5-7 meter. Dua bulan kemudian, cabenya berbuah rimbun. Sukarman tersenyum melihat hasil kerja kerasnya. Melihat keberhasilan Sukarman mengembangkan budidaya cabe di lahan pasir, warga Panjatan pun mulai ikut melakukan budidaya cabe di lahan pasir. Sukarman sendiri bukan orang yang pelit berbagi pengetahuan. ”Saya belajar pada tanaman. Mereka (petani) bisa belajar hanya dengan melihat saya menanam. Untuk penyemprotan, tinggal melihat tutupnya pasti bisa,” kata Sukarman dengan suara keras, khas intonasi orang pesisiran yang berusaha mengalahkan angin dan deru ombak tentang teknik pertanian yang dilakukan di awal budidaya cabe.

“Mereka tidak percaya pada saya karena saya tidak punya ilmu (pertanian),” ungkap Sukarman. Tapi dia punya keyakinan sendiri. ”Cabe yang liar dan tidak dirawat saja bisa tumbuh dengan baik, apalagi kalau dirawat. Pasti hasilnya jauh lebih baik.”

Sukarman melihat roda hidup di Panjatan menggeliat. Dia tidak membayangkan apa yang dilakukannya akan diikuti oleh banyak orang. Meski begitu, tapi dia sebenarnya belum memutuskan untuk jadi petani cabe. Ijasah D3 masih mengodanya dengan pikiran yang lain.

Tapi keyakinan saja tidak cukup, perlu langkah nyata. Hal terpenting yang dilakukan Sukarman, bukan hanya membuktikan pada warga Panjatan, tapi membuktikan pada dirinya sendiri bahwa keyakinan benar: cabe bisa tumbuh dengan baik di lahan pasir.

”Saya masih ingin kerja di tempat lain. Saya punya istri dan satu orang anak. Petani di lahan berpasir belum menjanjikan seperti sekarang,” katanya memberi alasan di teras rumahnya.

Sukarman menyiapkan bibit cabe. Dia melapisi tanah pasir dengan pupuk kandang, kemudian membuat bedengan. Setelah bibit siap, dia

26

My Development Goals

Sukarman mengenakan sarung dan kopiah. Dia lebih rapi dan bersih sore itu. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap selesai dari lahan dan menggurus sapi-sapinya, Sukarman membersihkan diri dan siap menghadap Sang

Maha Pencipta di masjid yang terletak tepat di depan rumahnya. Sukarman termasuk orang yang religius, tidak pernah dia melewatkan waktu untuk mendekatkan diri pada Sang Pemilik Hidup. Di tengah keraguan itu, Sukarman tetap menanam cabe dan membuat bibit untuk keperluan sendiri. Baru tiga tahun kemudian atau tepatnya tahun 1990, Sukarman memutuskan untuk benar-benar menjadi petani cabe. Dia menyimpan ijasah kesarjanaannya di lemari dan tidak pernah membukanya lagi. Rasa pedas cabe terasa seperti semilir segar angin laut yang berhembus lembut bagi warga Panjatan. Geliat hidup warga Panjatan terus membakar. Lahan pasir yang hampa aktivitas berlahan riuh rendah oleh teriakan-teriakan dan tawa warga Panjatan. Petak-petak lahan pasir yang kosong dengan cepat menyusut berganti hijau dedaunan cabe atau ranum kemerahan buah cabe masak. Saat jumlah petani cabe bertambah semakin banyak, kebutuhan bibit juga semakin besar. Petani cabe Panjatan. Cabe yang ditanam di Panjatan dari jenis varietas TM 999, Helix, Lado, Alligator dan Volcano. “Waktu itu harga cabe jelek, kemudian saya pilih yang bagus, saya jemur, saya bibitkan. Duapuluh kilogram cabe saya semai, hasilnya melebihi 1000 meter persegi lahan cabe. Prospek benih lebih menguntungkan karena saya yang menentukan harga. Kalau harga cabe, yang menentukan pasar. Jadi saya bisa menikmati harga cabai dan bibitnya. Kalau saya menanam harga bagus, saya jual. Kalau harga jelek, saya tidak menanam, saya beli untuk membuat bibit,” cerita Sukarman. Sukarman memulai usaha pembibitanya pada tahun 1990. Dia menjual langsung bibitnya ke

lahan. Petani sudah melihat langsung kualitas bibit Sukarman, tidak ragu mengambil bibit dari Sukarman. Usaha pembibitan Sukarman berkembang dengan cara gethok tular, dari mulut ke mulut. Usaha ini juga diikuti oleh banyak petani lain. Di awal 1990-an, ada sekitar 50 petani yang membuat usaha pembibitan. Tapi tidak lama usaha pembibitan mulai menurun ”Ya, seleksi alamlah. Sekarang paling tersisa lima orang pembibit yang masih bertahan. Memang butuh ketelatenan untuk usaha pembibitan,” ujarnya. Dari yang tersisa itu, Sukarman tetap yang terbesar. Petani cabe yang datang ke rumah Sukarman tidak hanya dari Panjatan, Petani Kabupaten Bantul yang mulai mengembangkan budidaya tanaman cabe di lahan pasir juga mengambil bibit dari tempatnya. Pengelolaan pembibitan cabe itu di serahkan pada istrinya. Dalam satu hari, lima sampai sepuluh orang datang ke lahan pembibitan Sukarman untuk

My Development Goals

27

membeli bibit. Bu Karman, 38 tahun, akan wira-wiri ke lahan pembibitan setiap kali ada orang datang. Tidak sedikit di antara pembibit, bertanya-tanya pada Sukarman bagaimana cara bertani di lahan pasir yang baik. Sukarman dengan suka hati akan berbagi ilmu. ”Keuntungannya kalau sedang bagus hasilnya, per kilogram dari cabe basah yang saya beli seharga Rp. 30.000,- saat sudah menjadi bibit bisa mencapai harga Rp. 120.000,-. Tetapi jika hasil tidak sedang bagus, per kilogramnya antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 80.000,-. Kebutuhan bibit cabe sangat besar, bisa sampai 2 ton cabe basah.” kata Sukarman yang memiliki delapan ekor sapi jenis limosin. Dia memelihara sapi, selain untuk usaha penggemukan, kotorannya digunakan untuk penyemaian bibit. Dia tidak pernah menggunakan kotoran sapinya untuk memupuk lahan. Pupuk untuk lahan didatangkan dari Bantul. Untuk lahan-lahan lain, pupuk kandang juga didatangkan dari luar Kulon Progo. Dalam sekali musim tanam, bila kualitas bibit yang dihasilkannya bagus. Bu Karman bisa mengantongi uang sebesar Rp. 80.000.000,-. Hasil ini belum ditambahkan dari kulit cabe yang jumlahnya tidak sedikit. ”Kulit cabe dijual ke masakan padang, dijadikan tepung sambal. Itu sudah ada yang ngambil,” kata Bu Karman dengan suara pelan. ”Kalau di pembibitannya, saya bagian pemasaran. Bapak hanya membuat persemaian. Setelah jadi saya akan jual kemana saja terserah,” lanjut perempuan bertubuh subur itu. ”Sebenarnya saya bukan petani cabe, saya pembibit cabe,” kata Sukarman tertawa keras. Mengenai usaha pembibitan yang dikelola istrinya, Sukarman berujar pendek. ”Biar istri saya mandirilah secara ekonomi, tidak

28

My Development Goals

tergantung. Saya paling cuma bantuin saat penyemaian. Setelahnya, semua istri saya yang ngurus. Tapi dengan begitu, saya tidak khawatir lagi kalau harus pergi untuk menghadiri pertemuan di tempat-tempat yang jauh.” Sukarman sering diminta berbagi ilmu dengan para petani cabe di berbagai tempat. Tidak jarang dia harus pergi selama berhari-hari untuk membagi-bagikan ilmunya pada kelompok tani lain.

C

***

ara bertani petani cabe berkembang untuk mensiasati alam yang keras. Tahap selanjutnya berkembangnya teknologi pertanian sederhana di Panjatan terbentuk pada penggunaan sumur. Sumur pasir Panjatan pernah hampir menelan tubuh karena longsor. Pasir merupakan jenis tanah yang tidak punya perekat dan mudah longsor. Untuk menghindari bahaya, sumur bronjong yang ada di lahan diperkeras dengan semen. Setelah bis beton dikenal masyarakat, sumur bronjong diganti dengan bis beton. Sementara proses penyiraman yang biasa dilakukan pagi hari tetap dengan cara manual. Air ditimbah, ditampung pada ember, kemudian disemprotkan dengan mengunakan gembor, alat semprot yang terbuat dari seng. ”Dulu dibutuhkan waktu yang lama untuk menyiram sepetak tanaman cabe. Bisa satu harian di lahan,” kata Maryono yang sempat tertimpa longsoran sumur. Penggunaan gembor untuk menyiram lahan seluas 2000 meter persegi dibutuhkan waktu hampir satu harian. Petani cabe Panjatan berpikir itu tidak efektif dan membutuhkan banyak tenaga, sementara untuk membuat banyak sumur di lahan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

My Development Goals

29

Alam yang kering dan keras mengajari petani cabe Panjatan meningkatkan daya pikir untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Petani cabe meletakkan base beton sejajar dengan sumur yang sudah dibuat. Setiap bis beton berjarak 1,5 meter. Hanya satu bis beton setinggi 50 centimeter yang diletakan, bagian bawahnya diperkeras, ditambahkan bambu sebagai penganti pipa paralon. Saat menyiram cabe, petani tinggal menimba dan memasukkan air ke dalam dari sumur utama, kemudian lewat bambu yang sudah dipasang, mengalirkan air ke sumur penampungan yang lain. Setelah sumur penampungan penuh, baru petani cabe menyiram tanaman dengan mengambil air dari sumur penampungan. Petani cabe tidak perlu lagi memikul air ke sisi lahan yang jauh. Selain hemat tenaga, teknogi sederhana ini juga memperpendek waktu penyiraman. Sumur hasil olah pikir petani cabe Panjatan itu kemudian dikenal secara luas dengan sebutan sumur renteng.

Cabe telah memberikan lapangan pekerjaan yang tidak ada habisnya di Panjatan. Seperti bunga, cabe didatangi oleh banyak orang karena hasilnya yang menggiurkan. Berkembangnya pertanian lahan kering, membuat banyak orang panjatan tertarik bertani cabe. Ini didukung lahan pasir yang sangat luas. Bahkan tidak sedikit anak muda yang terjun jadi petani cabe. Menjadi petani yang biasanya merupakan pekerjaan tidak bergengsi, di Panjatan yang terjadi sebaliknya.

Sejak usaha budidaya pertanian yang dirintis mencapai kesuksesan, Sukarman sering diundang jadi narasumber pertanian lahan kering di berbagai tempat, termasuk kalangan universitas seperti UGM (Universitas Gadjah Mada), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan banyak lagi yang lagi sering memintanya memberi kuliah untuk pertanian lahan kering.

”Di sini anak SMA sudah bantu-bantu orang tuanya di lahan. Sebenarnya dia yang jadi tulang punggung keluarga. Begitu lulus, tidak mau meneruskan sekolah, dia memilih menjadi petani cabe,” tutur Sukarman tentang semangat anak muda yang mau menjadi petani cabe, termasuk Wahyu anaknya yang tertua.

”Lahan yang saya kerjakan ini lahan penelitian UGM,” ujarnya sambil menunjuk luas lahan yang bedengannya baru dikerjakan. ”Sekarang sudah jauh lebih enak. Kalau ada masalah dengan hama, saya bisa minta pendapat ahliahli pertanian. Saya tinggal mencobannya di lahan saya. Setelah berhasil, baru saya kasih tahu petani-petani lain. Dan sering juga mereka minta pendapat saya, mungkin karena saya pelaku langsung.”

30

My Development Goals

”Ada dua orang anak muda datang ke tempat saja. Mereka sudah empat tahun jadi TKI di Malaysia. Mereka ingin jadi petani cabe,” kata Diro, salah seorang ketua kelompok tani di Panjatan. Anak muda memilih menjadi petani merupakan fenomena menarik di Panjatan. Lahan pasir yang tersedia luas, harga cabe yang tinggi menjadi magnet besar bagi anak muda untuk terjun menjadi petani cabe.

“Saya dapat Rp. 15.000.000,- untuk sekali panen kemarin,” kata Wahyu sembari tertawa. ”Harganya lagi bagus kemarin.” Wahyu baru saja menyelesaikan pendidikan D3 jurusan olah raga di UNY Wates. Dia menjadi guru olah raga di sebuah sekolah di Kulon Progo dan sedang mengambil S1 untuk meneruskan pendidikannya. Dia guru sekaligus petani cabe seperti bapaknya. “Sekarang semua tidak harus dikerjakan sendiri. Pekerjaan petani seperti menyiram, membersihkan rumput dan memetik

buah cabe bisa diupahkan pada orang lain,” katanya memberi alasan. Manisnya harga cabe tidak hanya dinikmati petani cabe Panjatan, tapi sudah melebar ke kampung-kampung sekitar, terutama dalam penggunaan tenaga kerja. “Dulu memang semua dikerjakan secara gotong royong, tapi sekarang tidak lagi,” tutur Sukarman, “untuk membuat bibit, saya mengupah ibu-ibu tua. Ibu-ibu ini tenaganya sudah tidak dipakai di industri. Dari pada nganggur di rumah, saya minta untuk bantubantu. Lumayan ada penghasilan tambahan buat mereka. Mereka bisa mengupas cabe, menjemur sebelum dibuat persemaian. Itu hanya untuk pembibitan, belum untuk panen.” “Kalau musim panen lebih banyak tenaga yang dibutuhkan. Saya biasanya hanya minta sepuluh orang. Dari sepuluh orang ini akan berkembang. Buruh panen membawa saudara atau temannya. Padahal tanaman cabe dalam sekali masa tanam bisa 25 kali petik. Rata-rata tenaga yang dibutuhkan dalam sekali masa tanam bisa seratus orang. Coba saja hitung berapa tenaga petik yang dibutuhkan. Itu belum kalau lagi panen raya. Ibu-ibu pemetik ini, kalau cabe lagi berharga bagus, satu hari bisa dapat Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- rupiah,” kata Diro yang mengupahkan seluruh proses bertani cabenya. Saat ini produksi cabe Panjatan atau yang lebih dikenal di luar daerah dengan sebutan cabe Wates rata-rata mencapai 50 ton perhari. Dengan produksi sebesar itu, tentu tidak dengan mudah cabe wates melenggang ke konsumen. Pedagang besar dengan mudah bisa mencium wangi bau cabe Wates yang diminati konsumen. Berbondong-bondong mereka datang ke Panjatan untuk mendapatkan harga termurah dari petani.

”Bagaimana caranya bisa mengontrol harga cabe agar tidak dimainkan pedagang besar?” tanya Sukarman mewakili keresahan petani cabe. Sebagai ketua kelompok tani, rumah Sukarman merupakan base camp, tempat berkumpul petani cabe untuk mendiskusikan dan mencari solusi petani dalam menghadapi masalah. Dari pertemuan kelompok itu munculah gagasan pasar lelang untuk menstabilkan harga cabe, sistem lelang tertutup. ”Gagasan pasar lelang tahun 2002. Waktu panen ada bakul (pedagang) seenaknya membuat harga. Barangnya dibawa dulu. Dulu di sini banyak tengkulak, sekarang sudah tidak ada. Sekarang dari kelompok langsung ke Jakarta,” tutur Sukarman. Dalam pasar lelang, cabe dari petani dikumpulkan di kelompok lelang. Satu atau dua hari sebelum lelang dilakukan, ketua kelompok menggundang pedagang-pedagang besar untuk datang ke Panjatan. Pedagang diharuskan mendaftar sebelum ikut lelang. Lelang dimulai pada jam 8 malam. Sebelum lelang dimulai kelompok menetapkan harga terendah yang jadi patokan. Harga terendah mengikuti harga pasar saat itu. Saat semua pedagang sudah datang, panitia lelang menyerahkan kertas ke pedagang. Pedagang harus menuliskan harga yang diinginkan untuk setiap kilogram cabe. Pedagang yang berani mengambil harga tertinggi yang berhak membeli cabe dari kelompok. ”Lelang itu benar-benar inisiatif kelompok tani. Lelang tidak bisa menentukan harga tapi setidaknya bisa mengontrol,” kata Sukarman menegaskan. Saat ini di Panjatan ada 35 kelompok tani yang tergabung dalam 21 kelompok lelang. Kelompok

My Development Goals

31

lelang ini menyebar mulai dari Panjatan, Bugel, sampai Garongan. Di sepanjang jalan Daendels, bila malam menjelang, dengan muda bisa ditemukan kelompok lelang. Lelang dilakukan di teras-teras rumah kelompok tani. Gedung lelang bantuan dari dinas pertanian, baru beberapa tahun kemudian dibangun, letaknya hanya sepuluh meteran dari rumah Sukarman. ”Biasalah. Kalau sudah jadi aja pemerintah mau terlibat. Tidak ada gedung lelang juga lelang tetap berjalan di kelompok-kelompok. Namanya juga bantuan, jadi kita terima saja. Saya juga diberi mesin pengering cabe untuk pembibitan. Tapi tidak pernah saya gunakan. Bagaimana mungkin, saya mengeringkan cabe 2 ton dengan mesin pengering yang hanya berkapasitas 30 kilogram?” kata Sukarman menyimpan senyum. ”Lha, dulu pemerintah buat semacam pasar lelang tidak pernah jadi. Pasar lelang sekarang cuma diganti asartan (asosiasi pasar petani). Awalnya hanya pasar lelang digabung, dibina, dikasih penyuluhan nanti akan dibantu fasilitasi. Di data, berapa perhari, perbulan, panen banyak berapa. Data diambil mereka. Yah, mereka biasanya mencari tahu terus dilaporkan ke atasan, sudah.” Dinas Pertanian Kulon Progo mulai mendampingi petani cabe Panjatan tahun 2000. Dinas mulai memberikan penyuluhan pada petani tentang cara bertanam cabe. Rumah Sukarman yang menjadi jujugan dinas Pertanian. Sukarman menerima mereka dengan ramah dan memfasilitasi mereka ke kelompok tani. Pada prinsipnya, Sukarman akan menerima siapa saja yang bermaksud membantu petani cabe dengan ramah. Pelatihan yang barusan dilakukan oleh dinas propinsi di rumah Sukarman adalah pelatihan Standar Operation Procedure (SOP) yang dilakukan pada tanggal 8-9 Juni 2010. Pelatihan untuk meningkatkan kualitas cabe petani dilakukan selama dua hari

32

My Development Goals

dengan peserta perwakilan kelompok tanki sePanjatan. ”Dinas propinsi masih berani. Tapi kalau dinas kabupaten tidak. Sejak ada rencana penambangan pasir besi, mereka takut datang ke sini.” Suara Sukarman seperti tercekat saat mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Sebuah persoalan memang sedang menghadang kehidupannya dan kehidupan warga lain di Panjatan.

D

***

usun Bugel, Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Yogyakarta memiliki potensi lahan pasir seluas kurang lebih tiga ribu hektar yang terbagi dalam wilayah: Galur, Panjatan, Temon dan kecamatan Wates dan di sepuluh desa, yaitu Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran dan Karangwuni. Lahan itu merupakan lahan tidur yang awalnya tidak dipergunakan untuk kegiatan produktif. Status pemilikan lahan terbagi menjadi 2: tanah merah dan tanah letter C. Tanah merah status pemilikannya masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Warga menganggap tanah merah milik negara, sedang pihak Pakualaman mengklaim bahwa tanah di lahan pesisir itu milik Pakualaman. Pada masa lalu, seluruh tanah yang ada di Yogyakarta berada di bawah kekuasaan dua kerajaan besar: Kesultanan Jogjakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kesultanan Yogyakarta dengan raja Hamengku Buwono adalah Sultan Jogya sekarang, sedang Pakualaman, raja bentukan pemerintah Kerajaan Inggris. Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles pada tahun 1813 atas perjanjian politik Pemerintah Inggris

My Development Goals

33

dengan Kesultanan Yogyakarta. Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I merupakan anak dari Hamengku Buwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pemerintahan Kadipaten Pakualaman merupakan negara dependen dibawah Pemerintah Kerajaan Inggris Hindia Timur (East Indian). Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Nederland, Kadipaten Pakualaman dikelola bersama antara Paku Alaman dan pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian itu juga menandai pecahnya hak pemilikan tanah di Kesultanan Yogyakarta. Wilayah yang terletak di sepanjang pesisir pantai Kulon Progo berada di bawah kekuasaan Pakualaman atau yang sekarang dikenal warga Panjatan dengan sebutan tanah merah. Sementara untuk tanah letter C merupakan tanah pribadi yang kepemilikannya ada di tangan warga Panjatan. Budidaya pertanian cabe lahan pasir yang diawali Sukarman, sebagian berada di atas tanah merah. Tanah yang kelak menjadi sengketa berkepanjangan antara warga dan pemerintah karena munculnya penambangan pasir besi. Sebelum budidaya cabe berkembang, lahan pasir bisa merupakan lahan tidur. Lahan tidak produktif. Memang ada beberapa warga mencoba menanam ketela pohon, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu pun hanya dilakukan warga pada musim hujan. Selepas musim hujan, tanah itu bongkor atau tidak dipergunakan untuk aktivitas apa pun. Warga Panjatan berduyun-duyun pergi ke kota menjadi buruh. Kota-kota yang menjadi tujuan warga Panjatan: Jogjakarta karena merupakan kota terdekat, kemudian Jakarta, Bandung, Surabaya,



34

Wikipedia.com. Diakses 9 Juli 2010, pukul 19.21 WIB.

My Development Goals

bahkan tidak sedikit anak muda yang menjadi TKI keluar negeri seperti ke Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. ”Tidak ada orang pergi pergi ke pantai. Lahan itu lahan tidak produktif dan tidak berpenghuni,” Sukarman menegaskan kondisi kampungnya sebelum budidaya cabe berkembang. Secara ekonomi Panjatan di masa lalu merupakan daerah minus, daerah tertinggal. Rumah-rumah penduduk berdiri dengan material kayu dengan dinding dari gedhek atau anyaman bambu, bahkan tidak sedikit rumah yang beratap welit, anyaman daun kelapa, dinding juga terbuat dari bahan yang sama, dan berlantai tanah. Sebagai daerah yang terletak di pantai selatan dan menghadap langsung ke samudra Indonesia, Penduduk Panjatan tidak mempunyai tradisi melaut atau bekerja sebagai nelayan. Di sepanjang pantai yang membentang sepanjang 22 km, tidak banyak ditemukan perahu nelayan bersandar. Sebuah fenomena menarik untuk daerah pesisir. Mungkin karena laut selatan terkenal memiliki ombak yang besar dan ganas sehingga penduduk takut untuk melaut, atau mungkin karena mereka sebenarnya pendatang dari bagian pedalaman Jawa yang kental dengan tradisi agraris sehingga laut sama sekali tidak menarik buat mereka. Bisa saja. ”Dulu saya penebang tebu dan pencari batu apung,” kenang Sukarman. Pada siklus musim tertentu, saat langit ditutup tirai malam, warga Panjatan berbondongbondong ke tepi pantai, bukan untuk bertani, bukan untuk melaut, tapi untuk berburu belalang. Ada ribuan belalang bermigrasi ke lahan pasir. Entah untuk apa. Belalang ini membuka mata pencaharian bagi penduduk Panjatan.

”Saya berburu belalang. Dijual sampai ke Gunung Kidul. Satu kilo harganya 20 ribu rupiah,” kata Sukarman menggenang pekerjaan yang pernah dilakukan. Guratan diwajahnya terlihat jelas seperti garis hidup yang dipahatkan waktu. ”Tapi nggak tahu, setelah ada cabe, belalang tidak lagi sebanyak dulu. Mungkin sudah habis dimakan manusia,” tawa kerasnya kembali bergema menggetarkan dinding rumahnya.

H

***

ari itu, 27 Oktober 2008. Panjatan hening. Jalan-jalan kampung hampa beban. Petani cabe merayakan kegembiraan di lahan. Anak-anak pergi ke sekolah. Segerombolan orang tidak dikenal menepi di jalan Deandles. Mereka diam-diam mendekati pos-pos penjagaan yang dibangun di jalan-jalan masuk kampung. Sejak berita penambangan pasir besi menyebar di Panjatan pada tahun 2006, petani cabe dengan tegas menolak usaha penambangan pasir besi. Petani cabe yang tergabung dalan Petani Pengarap Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP KP) melakukan perlawanan dengan melakukan demonstrasi besar-besar dengan sasaran DPRD Propinsi DIY, Kepatihan, PemKab Kulon Progo, dan DPRD Kulon Progo. Pada tanggal 27 Agustus 2007 di depan ribuan massa demonstrasi, Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo berjanji akan membatalkan proyek Penambangan Pasir Besi di pesisir selatan Kulon Progo. Kesediaan Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo dibuktikan dengan menandatangani atau mendukung penolakan penambangan. Dan sebagai bentuk pengingkaran tersebut sesuai pernyataan, maka Bupati dan Kepala DPRD

Kulon Progo harus mundur dari jabatannya. Pada tanggal 1 Maret 2008, warga Bugel, Panjatan melakukan aksi blokir jalan kampung karena truk proyek PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang membawa material telah merusak jalan swadaya warga. Aksi ini menandai Bupati Kulon Progo dan DPRD Kulon Progo yang semula mendukung warga menolak keberadaan pasir besi di Kulon Progo. Pada tangal 23-25 Oktober PPLP KP menduduki kantor DPRD Kulon Progo. Tapi dalam aksi tersebut warga gagal menemui anggota dewan, bahkan petani tidak direspon sama sekali. Siang itu, orang-orang tidak dikenal itu merusak tujuh posko warga, membakar satu posko dan satu rumah warga yang menolak pasir besi. Sepanduk-sepanduk berisi penolakan dilepas dihancurkan orang-orang tidak dikenal itu. Warga yang tahu segera pulang dari lahan, tapi orang-orang tidak dikenal menghilang dengan cepat dari Panjatan. “Masyarakat mau dikriminalisasikan. Masyarakat dipancing, tapi kami tidak terpancing. Mereka juga menyebar isu, misalnya, si A ikut penambangan. Maksudnya, biar kita saling bertengkar sendiri,” tutur Diro. Menurut Diro, dalam tata ruang Kabupaten Kulon Progo daerah pesisir peruntukannya untuk pariwisata dan pertanian. Tapi setelah ada pertambangan berubah. Masyarakat tidak pernah diberitahu, kapan perubahan tata ruang itu dilakukan. Tidak pernah ada sosialisai yang sampai di masyarakat. Masih menurut dia yang pernah ikut demo ke DPR pusat, Jakarta, tanah



http://awalpraludi.blogspot.com/2008/11/penambangan-pasir-besi-kulon-progo-di.html diakses 6 Juli 2010, pukul 21.18

My Development Goals

35

untuk penambangan pasir itu tanah kritis, tidak ada orang dan tidak berpenghuni.

dikenal masuk pasti ditanyai macam-macam.” tutur Sukarman.

”Sekarang coba lihat, apakah tanah pesisir itu lahan kritis? Ada manipulasi data hingga di Jakarta sampainya seperti itu,” Sukarman balik bertanya.

Suasana yang tenang di Panjatan, bukan ketenangan biasa. Di jalan besar (warga menyebut jalan itu dengan sebutan: Jalan Daendels) begitu mau masuk ke Dusun Bugel dengan mudah ditemukan banyak tulisan: Tolak Pasir Besi. Tulisan-tulisan itu menempel di pohon-pohon di sepanjang sisi jalan. Tulisantulisan itu dipasang kembali oleh warga. Siang itu ketegangan masih menggantung di langit Panjatan.

Setelah 20 tahun lebih pertanian lahan kering berkembang, tidak ada lahan pesisir pantai di Kulon Progo yang bisa disebut lahan kritis. Daerah pesisir pantai merupakan lahan produktif yang mengerakkan roda perekonomian warga, bahkan memberi pemasukan pada Kabupaten Kulon Progo. Pada hari Selasa, 4 Maret 2008, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Purnomo Yusgiantoro, Bupati Kulon Progo dan pihak PT Jogja Magasa Iron (JMI) menandatangani nota kesepakatan kontrak karya tentang penambangan pasir besi di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo. Kontrak karya ini menetapkan daerah pesisir pantai sepanjang 22 km melintasi Galur, Panjatan, Temon dan kecamatan Wates dan di sepuluh desa, yaitu Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran dan Karangwuni sebagai dari ekplorasi untuk penambangan pasir besi. JMI merupakan perusahaan berbentuk modal penanam asing (PMA). Saham JMI 30% milik PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia, sedang 70% milik Indomines Limited dari Australia. ”Dulu kita ngobrol 4-5 orang gini, pasti diintip sama intel. Sekarang sudah lumayan tenang. Tapi kalau di Garongan beda, ada orang tidak



36

http://www.tempointeraktif.com/hg/ nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html diakses 9 juli 2010, pukul 10.9

My Development Goals

Sukarman kemudian menggambil kertas dan menggambarkan lokasi yang akan digunakan sebagai penambangan pasir besi. ”Tempat ini sampai sungai, tidak termasuk Glagah, 22 km. Jarak dari sini (rumah Sukarman) ke pantai 1,8 km, di Garongan lebih pendek lagi, sekitar 1,3 km. Batasnya masuk ke dalam dari laut sampai jalan Daendels. Dari mana tiga ribu hektar itu? Lahan cabe aja hanya seluas 500 hektar. 1,8 km itu tidak semuanya tanah merah. Sebagian adalah tanah leter C, tanah pribadi warga.” Sukarman berhenti sejenak. ”Kalau mau digunakan untuk penambagan pasir besi seluas tiga ribu hektar, berarti tanah warga ikut dihitung, itu pun luasnya tidak tiga ribu hektar. Dari mana hitungan tiga ribu hektar itu? Kalau mau membodohi kami, mbok ya jangan terlalu. Padahal kami sudah tahu,” lanjutnya. ”Kalau harus ada Priok 2 di Panjatan, kami tidak takut,” suara Maryono lantang. Priok yang dimaksud laki-laki itu adalah sebuah peristiwa penggusuran lahan di daerah utara Jakarta pada pertengahan tahun 2010. Penggusuran untuk area pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut mendapatkan perlawanan dari warga sehingga berakhir dengan kerusuhan.

Untuk melawan perusahaan petani cabe Panjatan membentuk Paguyupan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP). LBH Jogja mendampingi mereka dalam proses hukum yang terus berlangsung. “Pemerintah kalau bicara produk Kulon Progo bisa dialihfungsikan jadi produk lain, sebenarnya hanya untuk kepentingan pejabat pemerintah pribadi. Kalau (Warga) Panjatan, tidak mendukung. Panjatan sudah menjadi ciri khas tingkat nasional. Cabe Kulon Progo terkenal. Tidak mudah dari komoditas lokal diangkat menjadi ciri khas nasional. Kulon Progo diangkat petani dari nol. Sebelum didampingi sudah maju. Kemudian didampingi dinas tambah maju. Beberapa tahun ini sudah tidak diurus dinas. Orang dinas takut dipindah,” Diro menerangkan panjang lebar.

jumlahnya aka mencapi 10.500 orang. Untuk sekali musim panen dibutuhkan buruh petik rata-rata sepuluh orang untuk satu petani yang rata-rata memiliki dua ribu meter persegi. Buruh yang dibutuhkan dalam satu masa panen 35.000.000 orang, itu belum termasuk buruh penggarap, tenaga penyediah pupuk kandang yang didatangkan dari Kabupaten Bantul, tenaga untuk makanan ternah, tenaga pengepakan sebelum cabe dibawa keluar kota. Ketika Penambangan pasir besi dilakukan berapa puluh ribu orang yang akan kehilangan mata pencarian mereka? Kehilangan hak hidup mereka? ”Tapi kami siaga terus. Kalau sesuatu terjadi, kami siap!” tandas Diro. oOo

Secara ekonomis, dari rantai produksi sampai distribusi saja sudah melibatkan jumlah manusia yang fantastis. Dalam hitungan yang kasar, ada 35 kelompok petani cabe yang masing anggotanya kurang lebih seratus orang. Total jumlah kelompok tani 3.500 orang. Jika ratarata jumlah keluarga pertani cabe tiga orang,

My Development Goals

37

38

My Development Goals

Nyong-nyong Soe Di Persimpangan Batu Putih Oleh Ishak Salim

S

uara kendaraan menderu dari utara. Puluhan anak belasan tahun bersiap berdiri menajamkan pendengaran mereka. Berusaha memastikan ini suara bis atau truk. Keranjang plastik beraneka warna cerah segi empat berisi keripik pisang dan keripik ubi, telur rebus, kacang goreng pun mulai diusung di atas telapak tangan kanan atau kiri mereka. Seluruhnya serentak bangkit begitu diyakini suara tersebut benar-benar sebuah bis. Dua orang di antara mereka sudah berlari ke tengah jalan, bersiap mengejar bis ini dari sisi kiri. Yang lain mulai melakukan sprint dari sisi kanan begitu moncong bis benar-benar datang meluncur dari kelokan dengan sisa kecepatan berkisar 70 km/jam yang akan berhenti sekitar 20 atau 40 meter ke depan. Bagai kawanan singa menyerbu seekor zebra di gurun Afrika sana, anak-anak remaja ini berlari sekencangkencangnya mengejar pantat bis yang nyaris berhenti beberapa meter lagi. Bis itu berhenti tepat di depan sebuah pos polisi dan setiap jendela kaca bis ini dan dua pintu di depan dan belakang sudah dipenuhi oleh remaja-remaja yang menjajakan dagangannya. Tak ada satu pun yang diperbolehkan naik dan menjajakan di dalam bis. Begitulah kesepakatan mereka. Bagi yang tak kebagian jendela, akan mundur perlahan dan kembali ke tempat awal mereka, duduk melanjutkan candaan dengan yang lain yang tak kebagian ruang menjaja sambil memperbaiki napas yang tersengal-

sengal usai berlari. Satu demi satu penumpang mulai menjulurkan tangan mereka meraih satu dua bungkus kripik atau telur rebus untuk dinikmati di sisa perjalanannya yang masih panjang. Inilah persimpangan Batu Putih, atau akrab dikenal sebagai Cabang. Tepatnya di desa Oebobo, kecamatan Batu Putih, kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Dan mereka, para penjaja ini, adalah Nyong-nyong Soe (baca So’e). Cabang adalah persimpangan yang difungsikan sebagai tempat transit bagi ratusan bis dari arah Kupang, yang akan menuju: Soe di Timur Tengah Selatan, Atambua dan Besikama di Belu, Kolbano, Kefa di Timor Tengah Utara, atau Timor Lorosae di ujung Pulau Timor ini. Demikian pula bagi bis-bis dari arah sebaliknya yang terus menerus datang silih berganti, akan berhenti sekadar memberi peluang rezeki bagi Nyongnyong Soe dari banyak penumpang yang lapar atau sekadar ingin menikmati cemilan dalam perjalanan ini. Jumlah mereka berkisar 60 lelaki berusia di kisaran 16 – 24 tahun dan jumlah ini dapat bertambah dua hingga empat kali lipat di hari-hari libur sekolah, Paskah dan Natal. Mereka berasal dari berbagai desa di kecamatan Timor Tengah Selatan ini, seperti Oenai, Amanatun, Kualin, Soe, Amanuban, dan tentu saja dari desa Oebobo di kecamatan Batu Putih ini. Beberapa dari mereka sudah datang pada pukul empat pagi, saat bis-bis dari Kolbano mulai masuk di kawasan ini.

My Development Goals

39

Jonni Sakbana (21), salah satu dari mereka, mengenakan kaos oblong dan topi berwarna putih serta celana pendek bermotif kotakkotak cokelat telah kembali bergabung dengan nyong lain di teras sebuah bangunan ruko milik seorang saudagar Bugis tepat di persimpangan. Rambutnya hitam keriting khas anak Timor dengan warna kulit gelap. Ia tersenyum kepada kawan-kawannya yang lain. Baris giginya yang rapi dan putih masih menyisakan sisa merah dari sirih yang dikunyahnya beberapa jam lalu. Terlihat terawat dan bersih. Sendal jepit yang mulai menipis berwarna biru melindungi tapak kakinya selama berlari di aspal panas. Ia menggenggam lembaran dua puluh ribu, sepuluh ribu, dan dominan angka seribu atau lima ribu rupiah. Sudah terkumpul Rp. 180.000,sebuah bilangan yang cukup hingga siang hari ini di mana ia akan mengantongi Rp. 18.000,dari potongan sepuluh persen sebagai haknya. Nyong-nyong Soe kembali duduk santai setelah bis ini berangkat menuju Besikana. Beberapa anak terlihat menghitung lagi uang yang telah didapat hingga di tengah hari ini. Memastikan berapa rupiah yang akan mereka tabung untuk persiapan beberapa bulan mendatang ketika Natal menjelang dan harus pulang kampung membawa hasil jerih payah mereka untuk anggota keluarga yang menanti. Jonni memiliki dua orang adik yang tinggal bersama ayahnya di desa Oenai, kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan. Ia bercerita kalau terpaksa meninggalkan adik-adiknya saat usia Jonni masih begitu belia, 11 tahun! Semua berawal pada suatu malam yang tragis di tahun 2000. Ibunya sudah kontraksi dan akan segera melahirkan. Desa Oenai saat itu sudah dibungkus pertengahan malam dengan gelap gulita. Tak ada bidan yang dapat membantu persalinan penting ini. Rasa sakit sudah tak

40

My Development Goals

tertahankan. Bapak Jonni keluar mencari orang yang dapat membantunya membawa sang istri ke Puskesmas terdekat di Oinlasi, kecamatan Kie. Sebuah bemo didapat dan siap mengantar ibu Jonni ke Puskesmas yang waktu tempuhnya sekira satu jam. Malam sudah menunjukkan pukul satu ketika mereka berhasil tiba di Puskesmas. Namun, rupanya sudah terlambat. Sang ibu meninggal sebelum jabang bayi yang dikandung berhasil lahir ke dunia. Persalinan yang terlambat ini segera berjalan. Si bayi itu dikeluarkan dari rahim setelah sembilan bulan damai di dalam sana. Menangis sejenak, namun akhirnya juga menyusul ibunya kembali ke surga.

T

***

ak lama setelah kepergian ibu dan adiknya, salah satu paman Jonni, Om Thomas, mengajaknya ke desa Oebobo. Saat itu Jonni duduk di kelas empat SD dan terpaksa berhenti sekolah untuk memenuhi hidupnya secara mandiri. Bapaknya hanya seorang petani kecil, seperti umumnya orang tua di desa Oenai yang kering ini. Sebidang tanah milik bapaknya jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sekolah yang berkilo-kilometer jaraknya juga menambah beban bukan hanya bagi Jonni, namun puluhan anak-anak seusianya dan hingga ratusan lagi di desa-desa sekitarnya seperti desa Tumu dan desa Oinlasi. Pun keluarga lainnya di sana, sehingga putus sekolah dan meninggalkan desa bagi Nyong-nyong Oenai adalah sebuah keniscayaan. Om Thomas membawan Jonni mencari rezeki di persimpangan Batu putih, sebuah tempat di mana hingga kini ia menjajakan keripik pisang, keripik ubi, telur rebus, kacang goreng, dan air mineral kepada setiap bis yang sengaja singgah di sana. Namun, ia hanya beberapa minggu

berada dalam tanggung jawab pamannya. Jonni kemudian dititipkan kepada seorang nona bernama Imelda Raja yang saat itu masih berusia 22 tahun. Nona Imelda baru saja merintis usaha warung kopi mingguan bagi para pengunjung Pasar Batu Putih setiap hari Senin. Dari hasil usaha itu, selama beberapa lama ia bisa mengumpulkan uang sejumlah seratus ribu rupiah. Dengan modal itu ia mulai beralih usaha. Kemampuannya memasak beberapa jenis kue seperti keripik pisang lalu dicobanya. Jadilah Jonni orang pertama yang menjadi anak asuh yang membantunya menjualkan hasil kue olahannya di Cabang. Saat itu, usia Jonni mendekati 12 tahun. Pada tahun 2004 Nona Imelda menjadi Ibu Imelda setelah menikah dengan Dominicus Mael (31) dan telah dianugerahi seorang puteri bernama Irna Mael (5). Usaha Ibu Imelda memang berkembang. Sudah ada enam nyong lain yang juga dari desa Oenai ikut tinggal dan bekerja bersama Ibu Imelda Raja. Ia juga sudah membeli sebuah motor cicilan dengan uang muka dua juta rupiah dan cicilan per bulannya Rp. 752.500.-. Secara bertahap keluarga kecil ini juga membangun rumah berdinding bebak. Melihat perkembangan usahanya, satu per satu tetangga sekompleks yang juga adalah anggota keluarganya dari marga Raja mulai mengikuti jejaknya. Mereka adalah keluarga Alfonsa Raja, istri dari seorang PNS dari dinas pertanian, Yeri Pale, dengan lima Nyong. Ada juga keluarga Reimondus yang mengasuh enam nyong di mana tiga di antaranya bekerja sambil bersekolah di Oebobo. Lalu keluarga Andarias dengan empat nyong dari berbagai kampung seperti desa Kualin dan Amanuban. Dan terakhir adalah keluarga Theodorus dengan juga empat Nyong yang semuanya tak lagi sekolah.

P

***

erawakannya kecil dibandingkan dengan beberapa anak jual lainnya—istilah setempat menyebut nyong-nyong Soe penjual keripik ini. Lengannya kurus memikul keranjang merahnya dan berlari sekencang ia bisa begitu bis yang membawa penumpang dari Kupang meluncur dari arah Jembatan Panjang Welmina, 50 meter sebelum persimpangan ini. Kini, setelah sepuluh tahun berlalu ia sudah memiliki beberapa kawan sesama anak jual asuhan Ibu Imelda Raja. Kini, Jonni sudah beranjak dewasa. Usianya sudah mencapai angka 21. Ia mulai memikirkan rencana-rencana bagi masa depannya. Begitu juga para nyong-nyong lainnya yang sejak kecil berjualan di sini dan kini beranjak dewasa. Generasi baru berusia belia datang silih berganti memenuhi persimpangan ini dan hanya dialah yang hingga kini bertahan bekerja dengan Ibu Imelda di usia seperti dirinya. Jonni banyak mengajak anak jual dari bagian keluarganya dan tetangganya. Semua anak yang diajaknya berusia lebih muda dari usia Jonni. Beberapa dari mereka benar-benar menjadikan pekerjaan di persimpangan Batu Putih ini sebagai batu loncatan saja. Mereka menjual dan mengumpulkan uang. Setelah ada tabungan beberapa ratus ribu rupiah, maka mereka akan pergi ke Kupang atau keluar dari NTT menuju negeri seberang, seperti Kalimantan, Makassar atau sekalian ke Malaysia. Leksi Isu (18) dan Alfon (17), anak jual dari desa Oinlasi dan Oenai ini juga punya mimpi sendiri. Mereka sedang mengumpulkan uang untuk membeli sepasang babi muda berusia setahun untuk dipelihara. “Beta mau piara babi.” kata Leksi serius. Kini ia memiliki tabungan Rp. 600.000,- dan masih harus menggenapkan sisanya menjadi dua juta

My Development Goals

41

saja. Itu sudah cukup untuk membeli dua ekor babi yang seekor berharga sekitar satu juta rupiah. Leksi memiliki dua orang adik. Sedikit tabungannya pasti juga wajib ia sisihkan untuk dua adik perempuannya di Oinlasi yang masih bersekolah di sekolah dasar. Inilah bentuk tanggung jawabnya di usia muda bagi keluarga dan adik-adiknya. Hampir sebagian besar nyong-nyong pulang ke kampung setiap 3 – 4 bulan sekali. Kalau pulang kampung mereka pasti akan membawa oleh-oleh buat keluarga di rumah seperti gula, kopi, minyak goreng, dan keperluan dapur lainnya di Soe (ibukota kabupaten Timor Tengah Selatan). Bahkan tidak afdol rasanya jika tidak membawakan pakaian untuk setiap anggota keluarga di rumah.

S

***

ehari-hari bagi Jonni adalah hari-hari yang berisi dengan kerja. Jam kerja ini cukup panjang dan ketat. Setiap hari dia sudah harus bangun paling lambat pukul 05.00 pagi membantu Ibu Imelda merebus telur bersama anak jual lainnya dan satu pekerjaan yang cukup menyita waktu, yakni membungkus keripik pisang, keripik ubi, keripik cakar ayam dan kacang telur. Bahkan kadang lebih pagi dari itu bila ia ingin segera ke Cabang pada pukul 04.00 menanti bis Kangen, Logam Mulia, Cahaya Baru dan Keraton untuk jurusan Kupang ke Kefa dan bis Bina Makmur dari Kupang ke Niki Niki. Selebihnya bis-bis lainnya akan meluncur ramai di persimpangan ini antara pukul enam hingga siang harinya. Menjelang pukul tujuh ia akan mandi, lalu menyusun aneka jenis jualannya dalam keranjang segi empat merahnya dan mempersiapkan puluhan bungkus dari setiap jualan itu ke dalam kantong plastik besar juga berwarna merah. Pukul tujuh tepat, setelah

42

My Development Goals

minum teh hangat ia dan lainnya berangkat menuju persimpangan Batu Putih. Menjelang tengah hari, ia dan dua kawannya akan kembali ke rumah untuk santap siang dan beristirahat sejenak. Mereka makan siang secara bergantian. Seusai makan siang Jonni akan terus di Cabang ini berlari, berbincang, berlari, menghitung lagi hasil penjualannya, berlari lagi sampai bis-bis dan mobil-mobil travel agents benar-benar tak lewat lagi setelah pukul tujuh malam. Seluruh nyong-nyong kemudian pulang ke rumah ‘orang tua’ masing-masing menikmati istirahat sejenak dengan menonton televisi atau membungkus gorengan berikutnya hingga pukul sepuluh malam, saat lelah benar-benar sudah tak tertahankan. Mereka kemudian akan bangun di pagi keesokan harinya. Begitu seterusnya.

D

***

ominicus Mael terlihat berang menemukan seorang anak asuhnya bermain kelereng di sela-sela penantian bis yang akan melintas di Cabang. Begitu jengkelnya hingga ia memukul Yanto (18) dengan kepalan kanannya yang keras. Darah segar mengucur dari hidung Yanto dan membasahi kaos putih yang dikenakannya saat itu. Yanto terjatuh dan tak berniat membalasnya. Anak jual lain hanya berkerumun tak berani menahan amarah Dominicus yang menjadi bapak asuh Yanto sejak tiga tahun terakhir. Amarah itu masih terus mengalir dari mulutnya. Tak lagi memukul tentu saja. Yanto merapihkan jualannya. Mengembalikan satu per satu keripik yang tertumpah dari keranjang biru miliknya. Bangkit dan menyeberang jalan, merunduk dan sesekali masih menyeka hidung dengan punggung tangannya. Bukan bermain kelereng

yang membuat Dominicus jengkel, tetapi judi uang yang menyertai permainan itu. Ini menjadi pelajaran penting bagi Nyongnyong Soe yang ikut kerja dan tinggal di rumah Dominicus Mael, suami dari Imelda Raja. Sangat spesial. Anak asuh ini bukanlah sapi perahan atau sekadar buruh bagi suami istri ini. Keduanya memikul tanggung jawab yang sengaja diembannya ketika anak-anak ini datang untuk bekerja dengannya. Mereka datang untuk mencari uang untuk keluarga mereka di desa Oenai yang kering dan miskin. Mereka datang untuk sebuah harapan dari nasib tak beruntung setelah pilihan terakhir untuk bersekolah tak mungkin lagi diraih. Dan mereka adalah sumber pemecah masalah ketika anggota keluarga di sana jatuh sakit atau berduka. Mereka harus kembali membawa uang, karena mereka pergi meninggalkan rumah dan desa untuk tujuan itu. Kalau mereka mulai berjudi maka malapetaka besar bisa mereka hadapi sebab hal itu akan dianggap sebuah ‘kegagalan’ bagi Dominicus dan Imelda. Rupanya, ada yang berbeda dari situasi kerja yang dibangun keluarga kecil ini. Imelda, seperti umumnya orang tua asuh di desa Oebobo ini, menetapkan sepuluh persen upah bagi hasil penjualan mereka. Namun perbedaannya, upah itu tidak langsung diberikan kepada nyong-nyong ini, melainkan disimpan oleh Imelda untuk kemudian memberikan utuh saat mereka memutuskan untuk pulang kampung sehingga nyong-nyong itu selalu punya uang yang bisa mereka gunakan baik sekadar untuk membeli oleh-oleh atau untuk keperluan lain seperti Paskah, Natal atau bahkan bisa untuk menyumbang uang jika ada famili yang meninggal dunia atau sakit.

Bila dalam sehari mereka menjual dua ratus bungkus, maka nilai penjualannya adalah dua ratus ribu dan dua puluh ribu akan menjadi hak mereka. Bukan itu saja, sesekali Dominicus akan memantau ke orang tua mereka apakah anak-anak jual ini membawa uang seutuhnya untuk keluarga mereka atau tidak. Inilah sebuah kontrol, atau sebuah konsekuensi dari niat baik yang sengaja dipilihnya. Beberapa bapak dan ibu asuh lainnya tidak menerapkan gaya manajemen semacam ini. Mereka lebih memilih membebaskan anakanak jual mereka menggunakan uang mereka, walau tetap mengambil peran menjaga atau mewanti-wanti anak-anak tersebut untuk menabung sebagai persiapan jika ada keperluan yang tiba-tiba di kampung mereka. Peran yang diemban oleh para ‘orang tua asuh’ yang kerap di sapa dengan ‘om’ atau ‘tante’ diwariskan oleh salah seorang tokoh di sana yang dijuluki Om Yok, yang pernah mendirikan ‘Persatuan Anak Jual’ (Persaju – Batu Putih) di tahun 2001, walau akhirnya tak lagi terorganisir sejak akhir tahun 2005. Tapi, ‘om, dan ‘tante’ tahu kalau anak-anak ini punya mimpi dan harapan. Mereka kelak akan pergi dan tak akan tinggal selamanya dengan mereka di Oebobo dan menggantungkan hidup di persimpangan Batu Putih seumur hidup. Anak-anak baru dari berbagai penjuru desa kering dan dari keluarga miskin akan terus datang satu pe rsatu dan yang sudah beranjak dewasa umumnya memilih pergi mencari peruntungan kerja di tempat lain setelah mendapatkan modal finansial yang cukup. Mereka harus punya tabungan, sebab mereka tidak mungkin meninggalkan tempat itu tanpa uang tabungan. Ibu Imelda telah menganggap mereka adalah anak-anak mereka yang berasal dari keluarga dengan Nasib Tak Tentu (sebuah plesetan bagi kepanjangan NTT). My Development Goals

43

Demikianlah bagi Imelda, kerjaan ini bukan sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi melulu tapi lebih dari itu. Ini adalah sebuah misi sosial di tengah pelukan nasib tak menguntungkan bagi banyak warga di pegunungan Timor Tengah Selatan yang relatif kering dan sempit lapangan pekerjaan. Cukup sudah kehilangan pendidikan formal sekolah mereka yang mungkin berharga di masa depan bila mereka menempuhnya, jangan lagi nasib Nyong-nyong Soe ini gagal dalam pekerjaan dan perantauan mereka. Bukan hanya anak-anak ini saja yang menghabiskan waktu kerja. Imelda pun menghabiskan banyak waktu di luar dan di dalam rumah untuk mempersiapkan barang jualan. Ia harus mencari pisang di pasar atau

44

My Development Goals

mendatangi petani-petani yang menjual bertandang-tandang pisang berharga murah. Membawanya ke rumah dan siap mengolahnya. Ia, bersama Maria, seorang nona yang berasal dari Oebobo yang juga telah putus sekolah, harus mengupas pisang dan mencampur aneka bumbu dan pewarna untuk menambah citarasa keripik mereka. Kemudian menggorengnya lagi dengan minyak panas, menyaring dan membungkus barang-barang jualan itu sepanjang siang hingga sore. Bila permintaan cukup besar, waktu-waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat harus ia relakan untuk melanjutkan sisa pekerjaan yang tak selesai. Sampai akhirnya saat Nyongnyong Soe ini tak tahan lagi dengan lelah mereka dan harus ‘menduduki’ dapur di mana

Imelda dan Maria bekerja. Menggelar tikar dari kardus rokok untuk alas tidur mereka.

L

***

angit merah membiaskan cahayanya di sepanjang jalan dan bangunan di persimpangan Batu Putih. Magrib telah tiba. Satu per satu anak jual ini telah kembali ke rumah masing-masing. Masih terlihat Alfon Ta’opan, Leksi, Obet, Edi, Polce dan Jein. Si Nyongnyong Oenai ini masih menanti bis-bis terakhir melintas dan berhenti dihadapan mereka. Juga masih terlihat Eli dari Amanatun yang bukan hanya menjual keripik namun juga menjinjing dua lembar surat kabar Kupang Pos, ia terlihat sedang menghitung uang hasil jerih payahnya sepanjang hari ini.

Di bawah pohon asam, di depan warung Om Syam dari Rote yang sudah berjualan sejak tahun 1983 di persimpangan ini, di mana Nyong-nyong Soe ini mengambil air mineral kemasan untuk dijual, masih terlihat Ricon dari Amanatun, Juni dari Kapan, dan Okto dari Oebobo. Mereka sedang bercanda di sebuah bangku panjang yang terbuat dari sebatang papan saja. Sebentar lagi nyong-nyong itu akan membiarkan persimpangan Batu Putih kembali sepi dan hentakan keras kaki-kaki mereka saat berlari tak lagi terdengar. Beberapa kali mobil dinas pemerintah baik dari Soe (ibukota Timor Tengah Selatan), Kefa (ibukota Timor Tengah Utara), dan Atambua (Ibukota kabupaten Belu) melintas kencang. Tentu para penumpang kendaraan-kendaraan

My Development Goals

45

itu tak merasakan denyut ekonomi kemandirian warga dari nyong-nyong ini yang setiap hari berjuang setelah pemerintah tak berhasil mempertahankan mereka duduk di bangkubangku sekolah yang bukan hanya kekurangan gedung, namun juga kekurangan guru dan fasilitas penunjang lainnya. Saat benar-benar tak ada lagi anak-anak muda ini di persimpangan jalan, puluhan truk berkapasitas delapan ton mengangkut mangan yang ditambang secara manual dan dibeli secara ‘ilegal’ oleh pengusaha-pengusaha multinational-corporations melintas dan berhenti di pos polisi. Terkadang satu atau dua truk tertahan hingga esok harinya dan diminta membongkar berton-ton mangan di belakang pos polisi ini, namun tentu puluhan berhasil melintas dengan mudah karena sogokan atau beking dari entah siapa.

46

My Development Goals

Konon, orang-orang Timor ini mengumpulkan mangan dari kebun-kebun mereka dan menjualnya seribu rupiah per kilonya kepada para penadah. Oleh para penadah ini, bertruktruk mangan akan sampai di Kupang dengan harga seribu delapan ratus rupiah per kilonya dan akan dibawa lagi entah ke negara mana untuk kemudian diolah menjadi besi beton dengan harga yang jauh lebih menguntungkan. Mangan, kini menjadi primadona baru bagi banyak orang Timor. Malam semakin larut. Sepi menyelimuti persimpangan Batu Putih. Nyong-nyong Soe tertidur pulas di atas tikar kardusnya masingmasing. Sementara truk-truk berisi mangan pun terus berlalu-lalang. ooOoo

Perempuan Di Atas Tanggul Lapindo Oleh EM. Ali

D

ua orang bocah perempuan berseragam Pramuka, menggurat lingkaran di atas tanah tanggul Lumpur Lapindo dengan sendok plastik sisa es krim. Ada segaris cahaya gembira di wajah mereka. Seorang perempuan bertubuh besar mengamati bocah itu dari jarak tiga meter, sesekali matanya dilempar ke jalan Malang-Surabaya yang terbujur 20-an meter di bawah tanggul, berharap sebuah mobil merapat ke sisi jalan. Helm hitam penahan panas masih terpakai di kepalanya. Sebuah tas lusuh abu-abu melintang di pinggang, di atas tasnya empat keping VCD tergenggam erat. Siang membakar. Debu beterbangan. Angin kemarau yang kering menyeret bau busuk kimia beracun Lumpur Lapindo yang menyengat. Serombongan pengunjung turun dari mobil, meniti jalan tanah, berpegangan pada pagar bambu, naik ke atas tanggul. Serombongan tukang ojek menyambut mereka. Sang ibu dengan tas pinggang itu ikut bergabung dengan para tukang ojek. Mereka menawarkan jasa keliling tanggul Lumpur Lapindo. Tidak ada pengunjung yang berminat naik ojek. Satu per satu tukang ojek mundur, kembali ke pos mereka, bergerombol, berharap ada pengunjung lain datang. Hanya si ibu yang masih bertahan. Dia terus mengajak bicara seorang anggota rombongan. Dengan telaten dia menceritakan petaka Lumpur Lapindo yang menghabiskan rumahnya, menghabiskan kampungnya. Ditunjukkan VCD yang ada di tangannya. Sesekali tangannya

menunjuk ke tengah tanggul raksasa yang terus menyemburkan gas beracun. Tak beberapa lama kemudian, rombongan itu turun, kembali ke mobil dan berlalu dari tanggul Lapindo. “Seharian ini tak ada pengunjung ngojek,” katanya. Tak ada nada mengeluh dalam suaranya yang beraksen Madura. Dia, Muawanah, 44 tahun, salah seorang ojek perempuan di tanggul Lapindo. Muawanah perempuan pertama yang menjadi ojek di tanggul Lumpur Lapindo. Dalam keseharian teman-temannya yang berprofesi sebagai tukang ojek hampir semuanya laki-laki. Tak ada kesan canggung dari gestur tubuhnya. Dia begitu santai. Tubuhnya yang tergolong besar untuk perempuan kebanyakan tidak menghalangi untuk melakukan aktivitas keras langsung di bawah sengatan matahari Sidoarjo. Muawanah tetap lincah dan bersemangat memburu pengunjung yang mau menggunakan jasa ojeknya melihat kolam raksasa lumpur Lapindo yang tidak lelah menyembur. “Ada tiga orang ojek perempuan di sini. Ini satu-satunya pekerjaan setelah rumah saya tenggelam. Saya harus menghidupi anak. Saya dari Desa Jatirejo. Itu ada masjid, terus sebelahnya ada rumah, depannya ada bendera Merah Putih. Itu rumah saya,” katanya seraya menunjuk ke tengah kolam lumpur. Ada sebatang bambu menancap, di ujungnya sebuah bendera lusuh berkibar.

My Development Goals

47

Muawanah menghampiri dua orang bocah berseragam Pramuka itu. Mereka -Sutriyani, 10 tahun, dan Suprihatin, 8 tahun,- anaknya yang berseragam Pramuka. “Dik, kita pulang,” katanya pada mereka dengan panggilan khas Madura. Dua orang bocah perempuan yang asyik bermain itu mendekati ibunya, merangkul, dan bergantung di lengannya seraya berjalan ke motor hitam yang diparkir di deretan motor ojek di atas tanggul. Sebelum naik ke atas motor, Muawanah memanggil Eko, anak tertuanya yang juga bekerja sebagai tukang ojek di tanggul Lapindo. Dia mengajak Eko pulang. Motor ibu dan sang anak itu segera menderu meninggalkan tanggul. Muawanah mempunyai mempunyai empat orang anak, tiga orang perempuan dan seorang laki-laki. Keempat anak itu didapat dari perkawinan keduanya. Perkawinan pertamanya tidak dikaruniai anak. Suaminya pertamanya suka judi dan minum. Mungkin karena itu mereka tidak bisa punya anak. Suami Muawanah berjualan ayam di Pasar Keputran, Surabaya. Dia tidak dibolehkan melakukan kerja apa-apa, hanya disuruh di rumah saja. Karena kesepian, dia mengambil anak sepupunya sebagai anak angkat. Tapi suaminya menolak, tidak mau, si suami ingin anak yang lahir dari rahim Muawanah. Tapi Muawanah bersikeras mengambil anak angkat. Saat ini dia punya tiga orang anak angkat, semua sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya. Di sela kesepian itu, Muawanah mencuri waktu unttuk memancing. “Saya pergi memancing saat suami berangkat kerja dan pulang sebelum dia pulang,” katanya tertawa. “Saya mancing di Kenjeran, di laut bersama teman-teman lelaki. Tidak ada yang dapat ikan, tapi saya dapat ikan.” Muawanah memutuskan cerai dengan suami pertama karena tidak boleh melakukan apa-

48

My Development Goals

apa. Kemudian dia kawin lagi. Karena sakit hati (liver), suami keduanya meninggal pada tahun 2001. Sejak itu, dia menjadi perempuan kepala keluarga dengan empat orang anak. Anak pertamanya, Eko baru saja menyelesaikan pendidikan STM-nya, anak kedua tidak meneruskan sekolah, sedang dua orang anaknya yang lain masih menempuh pendidikan di Sekolah Dasar dekat tanggul Lapindo. Sepeda motor Muawanah berhenti di depan sebuah rumah permanen yang berdiri kokoh dengan lantai keramik. Dua anak Muawanah turun dari boncengan. Seorang perempuan muda, Dian, 16 tahun, mirip ibunya ke luar dari rumah menyambut mereka. Dia segera mengurus adik-adiknya, memintanya berganti pakaian. “Saya menempati rumah ini belum lama, belum ada enam bulan. Ini rumah hasil nabung ganti rugi yang diberikan Lapindo. Setiap bulan dapat cicilan Rp. 15.000.000,- tapi dua bulan ini cicilan macet. Nggak tahu kenapa?” dia membuka cerita mengenai rumahnya yang lumayan bagus.

P

***

ada tanggal 29 Mei 2006, PT Lapindo Brantas melakukan kesalahan teknis eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang mengakibatkan munculnya semburan lumpur panas yang dengan cepat menenggelamkan Desa Siring, Besuki, Jatirejo, Kedung Bendo, Reno Kenonggo dan sekitarnya. Tercatat, 19 desa, 15 pabrik, 33 sekolah, enam pondok pesantren tenggelam dan 14.000 keluarga kehilangan kehidupan normal mereka. Ribuan orang kehilangan



http://www.korbanlumpur.info/berita/lingkun-

My Development Goals

49

tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian dan harus tinggal di pengungsian. Ada tarik ulur panjang mengenai semburan lumpur Lapindo. PT Lapindo Brantas mengklaim bahwa semburan lumpur disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di Jogja pada tanggal 27 Mei 2006, sedang pihak lain beranggapan bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan teknik eksplorasi (human error). Tarik ulur berkepanjangan ini tidak lepas dari siapa yang harus bertanggung jawab terhadap korban semburan lumpur Lapindo. Dalam pertemuan ahli geologi dunia yang diadakan oleh American Association of Petroleum Geologists di London, Inggris, dan Cape Town, Afrika Selatan. Puluhan ahli geologi yang datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah yang yang dipaparkan para presenter. Fakta baru yang ditemukan para ilmuwan bahwa Lapindo telah melakukan kesalahan operasi. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga lumpur akhirnya menyembur.2 Tarik ulur tentang bencana atau human error menjadi perdebatan panjang yang belum berakhir, menyusul munculnya Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). BPLS bertugas menangani upaya penanggulangan

2.

3.

50

gan/639-kejahatan-sistemik-bakrie.html, diakses tanggal 15 Juli 2010. pukul 1.42 wib. http://www.korbanlumpur.info/berita/lingkungan/377-para-ahli-geologi-simpulkan-pengeboranpenyebab-semburan-lumpur-lapindo.html. diakses 14 juli 2010. pukul 12.45 wib. http://beritapers.wordpress.com/2010/06/02/4-tahun-tragedi-lumpur-lapindo-sudah-2-8-triliun-dariapbn-yang-dikuras-pengusaha-lumpur-lapindo-ptlapindo-brantas-inc/. 13 juli 2010. pukul 3.00 wib

My Development Goals

semburan lumpur, menangani  luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infranstruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan anggaran berasal dari APBN.3 Keputusan itu didahului dengan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) atas kasus semburan Lumpur Lapindo yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. Keluarnya SP3 ini menandai kasus ini di tutup secara hukum karena SP3 dikeluarkan atas perintah Mahkamah Agung (MA). Peraturan Presiden ini bertentangan dengan peraturan sebelumnya bahwa penanganan Lumpur Lapindo dikendalikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan payung hukum Keppres No. 13 tahun 2006 Tanggal 9 September 2006. Dan dalam Keppres No. 13 tahun 2006 ini, anggaran penanganan Tragedi Lumpur Lapindo berasal PT. LBI sendiri, bukan APBN. Dengan keputusan pengadilan itu, semburan Lumpur Lapindo diakui negara sebagai bencana alam, bukan human error dalam proses eksplorasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Menanggapi hal itu, Supardi, 37 tahun, seorang mantan ojek tanggul Lapindo yang sekarang bekerja di kantor pengacara di Sidoarjo mengatakan: “Kalau bencana susah, cuma dapet 0.5%, kalau human error kan 100% ganti ruginya.” Dia termasuk korban Lapindo yang belum menerima ganti rugi. Di luar kekalahan Negara dari kelompok Bakrie, ribuan orang kehilangan mata pencaharian dan terlunta-lunta di kampung sendiri. Korban lumpur Lapindo berusaha bertahan hidup dengan cara mereka, termasuk munculnya jenis pekerjaan baru di tanggul Lumpur Lapindo. “Awalnya gak ada ojek, hanya ada 1-3 orang kita diam di sini. Banyak orang yang tanya,

Mas bagaimana ke sana? Bisa. Jalan kaki bisa? Wah jauh, saya antarkan saja, terus dikasih uang. Dari situ ada ide untuk membuat ini. Ada gagasan ijin ke BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dengan persetujuan ke Bupati membuat paguyuban ojek,” cerita Pardi. Di tengah hiruk pikuk pengunjung yang ingin menyaksikan semburan Lumpur Lapindo, Muawanah melihat saja aktivitas yang berbeda dari yang biasanya dijalaninya. Seorang teman sekampung mendekati dan bilang padanya: “Mbak Nah, dari pada muring-muring terus nang omah, mending kerja ( dari pada marah-marah terus di rumah, lebih baik kerja).” “Kerjo apa? (kerja apa?)” “Ngojek nang tanggul. Wong akeh arek-arek sing ngojek. (Ngojek di tanggul. Banyak teman-teman yang ngojek).” “Gak wani aku. Lek tibo yok apa? (Nggak berani aku. Kalau jatuh gimana?)” “Walah sampeyan iki, biasane yo nggawa uwong. Ora lek tiba. (Walah, kamu ini kan biasa mbonceng orang, tidak mungkin kalau jatuh).” Muawanah mulai memperhatikan teman ojek yang kebanyakan orang sekampungnya. Bagaimana mereka mendekati pengunjung, bagaimana mereka bercerita tentang petaka lumpur Lapindo. Muawanah berpikir, dia pasti bisa lebih baik dari teman-teman ojek itu. Kemudian dia membulatkan tekad untuk terjun sebagai tukang ojek. “Tapi saat pertama, saya tidak dibolehin oleh petugas. Saya bilang ke mereka, ‘Nek bapak gelem ngingoni anakku, aku ao gak ngojek, enak nang omah timbang ngojek, wis panas, ambune gak enak’ (Kalau bapak mau menghidupi anakanak, saya tidak akan ngojek. Lebih enak tinggal di rumah daripada ngojek, sudah panas, baunya

minta ampun). Akhirnya mereka membolehkan saya mengojek,” lanjutnya tertawa. Tahun pertama semburan Lumpur Lapindo, ada sekitar 200 warga korban Lumpur yang menjadi tukang ojek, tapi sekarang tinggal 50an orang saja. Menyusutnya jumlah para tukang ojek, disebabkan jumlah pengunjung tanggul Lapindo juga semakin sedikit.



***

Air merembes. Tanggul Jebol! Tanggul jebol!” Muawanah terlonjak kaget saat lantai rumahnya diserbu air. Dia meloncat bangun dan berteriak keras. Yang diingat pertama adalah anaknya. Dia berlari masuk ke kamar, mengendong anaknya dan membawanya keluar rumah. Di luar, kepanikan merembet cepat seperi api menemukan bensin. Teriakan melengking memecah langit. Warga Dusun Jatirejo berhambur keluar dan menyelamatkan apa saja yang bisa dibawa. Saat itu jam 3 sore, satu bulan setelah semburan pertama lumpur Lapindo meledak, tanggul Ring 1 jebol. Rumah Muawanah yang hanya berjarak satu kilometer dari pusat semburan dan tepat berada di samping tanggul menjadi sasaran amukan air. Pada jam 6 sore, air naik sudah setinggi pinggang orang dewasa. Tidak hanya air masuk, lumpur panas yang berbau menyengat dengan cepat memenuhi separuh rumah Muawanah. Dari tempat yang lebih tinggi, Muawanah sedih melihat rumahnya pelan-pelan tenggelam dihabiskan lumpur panas, tapi dia masih bersyukur karena semua anaknya selamat. Mereka bingung mau tinggal di mana. Dalam kepanikan yang amat sangat, tidak ada yang berpikir mau kemana. Warga hanya tertegun

My Development Goals

51

memandang rumah dan barang-barang mereka habis dalam waktu yang singkat. Seorang aparat mengajak warga ke Pasar Baru Porong. Pasar itu baru dibangun dan belum ditempati. Tanpa berpikir dua kali, Muawanah dan warga pergi ke Pasar Baru. Dia menempati ruangan selebar 4 x 4 meter bersama 14 orang tetangganya, termasuk anaknya. Di los atau kios yang lain satu ruangan bisa ditempati sepuluh sampai 19 orang. Sesak, tapi itu lebih baik dari pada tinggal di di bawah langit terbuka. “Saya orang pertama yang menempati pengungsian di Pasar Baru Porong. Kami makan nasi bungkus pemberian orang. Dulu pertama kali saya yang memasak karena saya kasihan gak ada yang mau masak. Yah, saya buat mi, terus dibungkusi. Tidak ada yang membantu. Saya sendiri dari banyak pengungsi itu. Yang lain stres, marah-marah terus. Bupati juga ke situ, ke dapur umum. Dapat satu bulan tentara yang memasak. Saya tidak pernah tidur di dalam. Saya tidur di emperan. Takut jebol di mana-mana. Saya takut ketiduran, takutnya lari seharusnya bawa anak, malah bawa bantal guling,” kisah Muawanah saat berada di pengungsian dengan tawa berderai. Petaka tidak berhenti di situ, kondisi dapur umum yang tidak sehat, air bersih yang kurang, membuat Eko anaknya sakit. Dia terkena tipus yang sudah akut. Muawanah membawanya ke Rumah Sakit Umum di Sidoarjo, tapi tidak segera ditangani. Pihak rumah sakit meminta surat yang menyatakan bahwa dia warga yang kena lumpur Lapindo ke pos pengungsian. Muawanah kesal sekali. Saat mau pergi dari rumah sakit dia bertemu seorang lelaki. Lelaki itu dulu kost dekat rumahnya. Dia sendirian saja. Muawanah sering kasihan melihat lelaki itu. Dia sering memberi makanan padanya.

52

My Development Goals

“Ana apa kok ndhek kene, Yu Nah? (Ada apa kok di sini, Yu Nah?)” tanyanya. Muawanah menceritakan tentang anaknya yang sakit dan belum mendapat penanganan dari pihak rumah sakit. Lelaki itu marah-marah pada pihak rumah sakit. Sesaat kemudian dia menoleh pada Muawanah. “Wis kowe baliya. Surat-surate urusen. Anakmu ben aku sing ngurus. (Sudah kamu pulang saja, surat-surat kamu urus. Anakmu biar aku yang ngurus),” kata lelaki itu. Muawanah bergegas pergi dari rumah sakit. Saat dia kembali anaknya sudah dalam penanganan rumah sakit. “Yok apa kowe, Yu Nah. Kok anakmu sampek lara koyok ngono. Tipese meh kebacut anakmu. (Gimana sih kamu, Yu Nah. Kok anakmu sampai sakit kayak gini. Sakit tipesnya sudah

akut).” Lelaki itu ngomel-ngomel memarahi Muawanah. Muawanah merasa bersalah. Dia sibuk mengurus dapur umum sampai melupakan anaknya sendiri. Meski begitu, dia bersyukur, bahwa anaknya bisa ditangani secepatnya. “Saya tujuh bulan tinggal di pengungsian. Selama itu mengantungkan hidup dari ngojek dan jual VCD. Ada memang jadup (jatah hidup) sebesar Rp. 300.000,- per orang dalam satu bulan. Karena saya punya anak empat orang, jadup yang saya terima sebesar Rp. 1.500.000,-,” ujar Muawanah menerangkan. Uang jadup itu tidak pernah langsung ke anak-anaknya, Muawanah menyimpannya dalam tabungan. Dia hanya memberi Eko, anak tertuanya yang saat itu harus menyelesaikan pendidikan di STM, uang sebesar Rp. 50.000,setiap bulan. Eko sendiri yang harus mengelola uang sebesar itu selama satu bulan, uang tersebut tidak termasuk uang sekolah. Sementara dua anaknya yang masih Sekolah Dasar diberi uang dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa bulan kemudian, Muawanah berhasil membeli sepeda motor untuk Eko. Sepeda motor itu digunakan untuk antar jemput adiknya kalau Muawanah lagi di tanggul, selain itu digunakan Eko untuk menarik ojek di tanggul, bergabung dengan ibunya. Eko bertekad untuk membantu ibunya meringankan beban keluarga. “Kelas 2 saya sudah mulai ikut ngojek. Biasanya hari Sabtu-Minggu saja. Kalau hari biasa antar jemput adik ke sekolah. Sedikit-sedikit bisa bantu mamalah,” ujar Eko. Dia termasuk orang yang pendiam dan menurut pada ibunya. Kondisi yang serba kekurangan agaknya membuat dia terbiasa hidup prihatin.

Setelah tujuh bulan di pengungsian, Muawanah dapat jatah sewa rumah selama dua tahun sebesar empat juta rupiah. Dia menyewa rumah di Perumahan Gempol selama setahun. Sebuah rumah kecil dengan tipe 21. Kondisinya jauh lebih baik dari pada di pengungsian. Setidaknya anak-anaknya bisa lebih nyaman. Tapi pada musim penghujan selalu saja banjir meyambangi rumah kontrakannya. Apa boleh buat, untuk mencari rumah yang lebih baik, pasti biaya sewanya lebih mahal. Empat tahun Muawanah tinggal di rumah kontrakan itu bersama empat orang anaknya. Suatu ketika terjadi banjir besar. Air menggenangi rumah kontrakan. Dia dibilangi tetangganya, banyak ikan lele di sungai yang mengalir di depan perumahan. Muawanah yang sejak kecil senang memancing, tidak melewatkan kesempatan itu. Dia dengan Eko pergi ke sungai kecil di depan perumahan sambil membawa pancing. Benar saja, belum lama memancing, dia sudah dapat satu ember penuh lele. Lele tersebut berasal dari sebuah kolam dekat perumahan. Karena airnya luber, lele berhamburan ke sungai. Puluhan orang berdesakan di pinggir kali kecil untuk memancing lele. “Udana maneh! Udana maneh! Ben banjir, sing penting isa mancing (Semoga hujan lagi. Hujan lagi. Biar banjir, yang penting bisa mancing),” doanya saat air sungai mulai surut. Doanya yang nakal terkabul, hujan kemudian turun sangat deras selama dua hari berturut-turut. Setiap sore, selepas magrib Muawanah berangkat memancing. Dia pulang dini hari jam 3 atau jam 4. “Saya dapat dua ember besar lele,” katanya tertawa keras. “Lele itu saya jual ke tetangga. Saat harga lele sekilogram Rp. 13.000.- saya menjual Rp. 10.000,-. Lumayan bisa buat beli

My Development Goals

53

beras dan sangu, uang saku, anak-anak ke sekolah. Saat kolam dikeringkan, babar blas ra ono iwake (Sama sekali tidak ada ikannya),” lanjutnya dengan derai tawa yang mengetarkan ruang tamu rumah. Keadaan tanggul yang sepi, panas, dan bau gas beracun yang menyengat, kadang membuat Muawanah bosan. Kalau sudah seperti itu, hobi mancing menjadi rekreasi yang menyenangkan buatnya. Kebiasaannya Muawanah memancing sejak kecil membuat dia menjadi ahli dalam hal yang satu ini. Perempuan dan memancing, mungkin terdengar aneh, tapi tidak bagi Muawanah. Dalam satu rombongan rombongan pemancing, kadang dia sendiri yang perempuan. Tapi tidak jadi soal bagi Muawanah. Dia sudah kenal dengan baik teman-teman pemancing itu dan lagi dalam setiap memancing Eko selalu menemaninya. Sebelum berangkat, satu kelompok pemancing yang terdiri dari 10 sampai 25 orang akan memyewa mobil. Biaya untuk menyewa mobil didapat dari patungan, biasanya satu orang dapat jatah membayar mobil Rp. 10.000,sampai Rp. 20.000,-. Mereka bisa memancing di Lamongan, Bangil, Surabaya, tergantung tempat-tempat mana yang baik. Seringkali Muawanah dan kawan-kawan memancing di tambak dengan harga masuk tiap kepala Rp. 50.000,-. Tapi sering Muawanah tidak perlu membayar biaya masuk itu, cukup Eko yang membayar karena dia sudah kenal baik dengan pemilik kolam atau tambak. “Mama jarang membayar kalau memancing. Hampir semua penjaga kenal sama Mama,” komentar Eko tentang kesukaan ibunya memancing seraya tersenyum. Ikan-ikan hasil pancingan Muawanah sering dibeli oleh para tetangganya. “Saya tidak mematok harga. Saya orang baru di di kampung

54

My Development Goals

ini. Terserah tetangga mau memberi saya berapa saja, saya terima. Ada yang memberi saya Rp. 5.000,-, Rp. 10.000,-, sampai Rp. 20.000,- untuk ikan yang mereka bawa pulang. Lumayanlah, sedikit-sedikit ada penghasilan,” ujarnya seraya tertawa. Tidak setiap hari dia memancing, jadi seluruh hidupnya tergantung dari berapa sering dia menarik ojek di tanggul. Untuk uang cicilan dari PT Lapindo Brantas, Muawanah sudah tidak terlalu berharap. “Tiga bulan ini sudah nggak ada cicilan. Katanya bulan ini mau turun, tapi entahlah,” katanya pasrah. “Yang penting saya harus terus bekerja untuk anak-anak saya. Seberapa pun hasilnya.”

P

***

ada tahun 2009, ganti rugi tanah dan rumah mulai turun. Tapi bukan berarti persoalan selesai.

“Pertama 20%, tinggal 80%nya masih lama. Terus demo, cash and carry-nya itu bagaimana? Korban lumpur Lapindo dibagi empat skema. Pertama, relokasi di Sukodono. Kedua, bagi yang tinggal di perumahan dapat ganti rugi relokasi. Ketiga, penyicilan. Dan yang terakhir, paguyuban. Paguyuban sama sekali belum dapat ganti rugi karena mereka minta langsung 100%.” cerita Muawanah yang dua bulan terakhir cicilannya sudah macet. “Dulu waktu cair 20% itu timnya minta 1%, terus minta potongan lagi waktu cairan bangunan 500 ribu rupiah. Orang-orang ini seperti itu, kalau ada yang cair mesti seperti itu. Itu yang kadang bikin jengkel. Kalau tidak cair kok diam saja, tidak mau mengusahakan mencairkan,” suaranya yang keras menyiratkan nada jengkel. Dari empat skema ganti rugi hanya skema cash and carry yang ditolak oleh pemerintah

My Development Goals

55

dan PT Lapindo Brantas. Sekelompok warga yang tergabung gerakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007) menginginkan ganti rugi 100% langsung. Peta daerah semburan Lumpur atau peta bencana dibagi menjadi dua. Warga yang tinggal di lokasi tanggul yang sekarang terendam lumpur memperoleh ganti rugi dari PT Brantas Lapindo langsung, sedang warga yang berada di luar tanggung menjadi tanggung jawab negara yang uang ganti ruginya diambil dari APBN. PT Brantas Lapindo menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang merupakan anak perusahaannya untuk membayar ganti rugi kepada korban semburan lumpur. Akhirnya hanya tiga skema ganti rugi yang berjalan, meskipun pada pelaksanaannya tidak lancar: relokasi di Sukodono, perumahan dapat ganti rugi relokasi, dan pencicilan. “Itu hanya ganti rugi untuk tanah dan rumah, sedang untuk pekarangan, saya tidak mendapat ganti rugi sama sekali,” tambah Muawanah. Saat mereka tinggal di kontrakan, suatu ketika ibu Muawanah yang sudah tua bertanya: “Nduk, kowe ra pingin tuku omah dhewe? Nek kowe tuku omah, aku melu kowe yo? (Kamu tidak ingin membeli rumah sendiri? Jika kamu membeli rumah, aku ikut kamu ya?” Pertanyaan itu menyentakkan hati Muawanah. Benar, berapa lama dia akan mengontrak terus? Tetap saja lebih nyaman tinggal di rumah sendiri daripada mengontrak. Muawanah mulai mencari informasi tentang rumah yang dijual. Karena dia pandai berhemat, uang hasil cicilan ganti rugi masih disimpannya dengan baik. “Dulu saya ditawari rumah murah dekat tanggul. Tapi saya tidak mau. Saya trauma. Mending rumah yang agak jauh nggak apa-apa.”

56

My Development Goals

Akhirnya pilihannya jatuh ke rumah yang ada di desa Rejeni. Rumah itu jaraknya 5 kilometer arah barat dari tanggul Lapindo. Sayang, saat rumah itu berhasil dibeli, ibunya sudah sudah keburu meninggal dunia dan tidak pernah menikmati rumah baru anaknya. “Ibu saya meninggal di Sukodono, di rumah kakak,” ucapnya sedih dengan mata berkacakaca.

D

***

ua anak Muawanah –- Sutriyani dan Suprihatin -- bermain di halaman sekolah saat menunggu sang ibu mengantar teman yang menjadi langganan ojek ibunya. Bau gas metana yang diterbangkan angin dari Lapindo tercium lumayan tebal dari halaman SD Negeri itu. “Kalau sekarang sudah tidak terlalu bau, mungkin sudah kebal, sudah imun. Dulu saat pertama Lapindo meledak, baunya minta ampun. Banyak anak-anak merasa pusing saat pelajaran, bahkan ada yang sampai muntahmuntah,” kata ibu Siti, guru yang ditugaskan di sekolah itu selama tiga tahun. Sekolahnya yang lama habis di tenggelamkan lumpur Lapindo. Menurut Ibu Siti, ada seorang muridnya yang meninggal sekitar dua tahun lalu. Awalnya si murid merasa pusing-pusing, kemudian muntah. Orang tuanya membawa ke rumah sakit. Anak itu meninggal di rumah sakit. Pihak rumah sakit dan keluarga menganggap kematian anak itu sebagai kematian biasa yang normal. “Mungkin ada hubungannya dengan lumpur Lapindo. Mungkin, tapi saya tidak tahu yang sebenarnya,” Ibu Siti mencoba menduga-duga. Kedua anak Muawanah masih bersekolah di SD itu. “Saya trauma. Tapi, saya khawatir, anak

saya di tempat baru susah menyesuaikan diri. Dan lagi, Sutriyanti hampir lulus SD. Kalau Suprihatin, mungkinan saya pindah ke sekolah dekat rumah, saat kakaknya lulus,” dia memberi alasan. Setahun setelah pipa gas Lapindo meledak akibat kesalahan pengeboran, ada layanan kesehatan untuk murid SD itu. Anak-anak diperiksa kondisi kesehatannya setiap bulan di Puskesmas terdekat. Tapi layanan kesehatan itu berjalan tidak sampai setahun. Setelah itu, setiap ada masalah kesehatan, orang tua mereka sendiri yang menanggung biaya pengobatan. Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sidorarjo juga tidak menaruh perhatian pada Sekolah Dasar yang berjarak kurang lebih satu km dari tanggul lumpur Lapindo. Dengan kondisi yang sangat tidak nyaman itu, dalam waktu empat tahun, murid SD berkurang dengan cepat. Sekarang murid yang tersisa hanya 46 orang dari kelas 1 sampai kelas 6. Kebanyakan orangtua memindahkan anak-anak mereka karena letak sekolah yang yang dekat tanggul membuatnya trauma. Menurut penelitian WALHI Ekda Jatim melalui riset kandungan logam berat dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) menunjukkan melewati ambang batas kelayakan. Logam berat jenis kadmium (Cd) dan timbal (Pb) ditemukan melebihi baku mutu pada seluruh 20 titik sampel pada 2007/2008 dengan jumlah rata-rata mencapai 0,3063 miligram per liter (mg/l), atau 100 kali lipat lebih di atas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No 907/2002 yang hanya 0,003 mg/l.

Adapun kandungan kromium (Cr) dan tembaga (Cu) masih di bawah ambang baku.4 PAH jenis crysene yang ditemukan dalam setiap titik penelitian dalam jangka pendek memang tidak menyebabkan kanker atau tumor secara langsung. Tapi dalam waktu lima sampai sepuluh tahun berpotensi menyebabkan kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih bagi orang yang pernah terpapar dalam waktu lebih dari delapan jam. Bayangkan tukang ojek yang setiap hari harus menghirup gas tersebut. Tidak ada yang dilakukan Pemerintah untuk melindungi warga korban Lumpur Lapindo. Pembiaran ini bisa dilihat dari meningkatnya jumlah penyakit di Porong. Berdasar data Puskesmas setempat, penderita ISPA tahun 2007 tercatat sebanyak 46.652 warga, meningkat dua kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sekitar 23 ribu. Buruknya kualitas air juga menunjukkan dampak peningkatan pasien perempuan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Pada tahun 2008, tercatat pada pos layanan kesehatan Puskesmas Jabon yang pernah ada di wilayah pengungsian eks Tol Besuki.5

S

*** etelah mengantarkan anak pulang dan beristirahat sejenak, Muawanah kembali ke tanggul bersama anaknya.

Sore menggantung di kaki langit Barat. Debu bertebangan dari jalan raya Malang-Surabaya yang hampir tiap hari macet. Setelah lumpur

 

4 http://www.korbanlumpur.info/suara-publik/646empat-tahun-bersama-racun-lapindo.html, diakses 12 juli, pukul 9.00 WIB. 5 http://www.korbanlumpur.info/suara-publik/646empat-tahun-bersama-racun-lapindo.html, diakses 12 juli, pukul 9.00 WIB.

My Development Goals

57

Lapindo meledak, jalan itu menjadi jalan utama yang menghubungkan kota Malang dengan Surabaya. Jalan tol lama lewat Gempol sudah hancur tertimbun lumpur. Di ruas jalan tol itu sampai sekarang masih tertinggal beberapa pengungsi dengan rumah seadanya beratap seng. “Mereka sebenarnya sudah dapat cicilan tapi tidak mau pindah. Dengan begitu memang ada orang datang berbelas kasih. Tapi saya tidak mau begitu. Banyak juga orang yang sudah dapat cicilan, tapi tidak bisa beli rumah, masih tinggal di rumah kontrakan. Uang mereka kebanyakan habis buat foya-foya, keponakan saya juga seperti itu,” komentar Muawanah tentang kamp pengungsian itu. Beberapa pengunjung turun dari mobil, naik ke atas tanggul. Muawanah dan serombongan ojek mendekat menawarkan jasa ojek dan menjual VCD. Satu per satu tukang ojek mundur, kembali ke pos mereka. Muawanah masih bertahan. Dia terus mengajak pengunjung berkomunikasi. Saat pengunjung itu turun, Muawanah tersenyum. “Alhamdulillah dapat Rp. 20.000,-. Mereka membeli dua VCD,” katanya ringan. Uang sejumlah itu tidak dinikmati sendiri oleh Muawanah. Karena pada awalnya yang ngrembugi, yang menawarkan ada lima orang, maka hasil keuntungan dari penjualan VCD itu dibagi rata. Setiap orang mendapat empat ribu rupiah. “Biar sama-sama dapat rezeki,” kata Muawanah tentang kesepakatan berbagi dalam kelompok.

58

My Development Goals

Kalau orang lain yang dapat menjual VCD, Muawanah juga dapat bagian yang sama rata. “Tapi kalau ojek bisa saya ambil sendiri hasilnya.” Sebagai perempuan kepala keluarga, Muawanah memang tergolong gesit. Tubuhnya yang besar sama sekali tidak menjadi penghalang aktivitasnya. Saat menjemput anaknya di SD Jatirejo I, dia tidak langsung pulang. Muawanah harus mengantarkan murid lain, teman anaknya, pulang ke rumah. Anak itu menjadi langganan ojek Muawanah setiap hari. “Kalau tanggul lagi sepi. Ojek gak dapat, VCD gak laku, setidaknya saya dapat 10 ribu rupiah dari ngojek di sekolah.” Rasa syukurnya demikian besar. Setelah ngojek, Muawanah kembali ke sekolah, menjemput anak-anaknya dan membawanya pulang ke rumah. Tapi seringkali, dia hanya pergi ke sekolah untuk membawa anak sekolah langganannya, sementara Eko akan menjemput kedua adiknya dan mengantarkan pulang ke rumah. Muawanah kembali ke tanggul setelah mengantar langganannya. Dia mencari rejeki di tanggul sampai jam 2 siang, setelah itu dia pulang ke rumah dan bersiap-siap mengantar dua orang anaknya mengaji di masjid dekat rumah kontrakan lama, di Porong. Jarak antara rumah barunya dan tempat mengaji lumayan jauh sekitar sepuluh kilometer dan itu harus ditempuh Muawanah setiap hari, kecuali hari minggu. “Saya ingin pendidikan anak-anak seimbang, tidak hanya pendidikan sekolah dasar tapi juga pendidikan keagamaan,” ujarnya.

Untuk orang yang tidak mampu menebus ijasah sekolah dasarnya, Muawanah termasuk seorang perempuan yang perpikiran maju dan ulet. Pendidikan anak merupakan prioritas yang akan dia ambil untuk dilakukan, meskipun dia harus membanting tulang untuk mendapatkan biaya pendidikan. Saat anaknya sedang mengaji, Muawanah kembali ke tanggul, ngetem, dan berharap ada pengunjung menggunakan jasa ojeknya untuk melihat semburan lumpur Lapindo. “Akhir-akhir ini sepi pengunjung. Dapat uang Rp. 10.000,- saja sudah lumayan. Kadang seharian di tanggul, nggak dapat apa-apa. Namanya juga orang usaha, sekarang tidak dapat, mungkin besok dapat,” semangat Muawanah tidak pernah redup.

Muawanah memandang semburan Lumpur Lapindo, yang memutih tertutup asap. Dia mendesah panjang, “Saya kepengin anakanak dapat sukses, sekolah tinggi. Dapat mewujudkan cita cita mereka. Dan kalau ada rejeki saya ingin buka toko kelontong, di depan rumah.” Sore menggantung di kaki barat langit. Tak ada pantulan warga merah saga di tanggul raksasa itu. Yang ada hanya bau busuk yang terus menyengat. Saat Magrib menyudahi senja, Muawanah naik ke jok motornya, menghidupkan mesin dan menuju jalan pulang. oOo

My Development Goals

59

60

My Development Goals

Semangat Pelayanan Di Padang Savana Oleh Ishak Salim

J

alan aspal berkelok-kelok membelah hamparan savana seluas lautan. Hanya satu dua mobil melintas menderu meninggalkan debu yang dihempaskan ke angkasa nan biru. Begitu pula sesekali melintas angkutan antar desa berupa truk beroda enam yang dilengkapi sejumlah kursi panjang menyerupai bis antar kota. Tentu saja ‘bis’ itu tak memiliki jendela serupa bis umumnya. Si pengemudi hanya menambahkan tenda dan kursi. Muatan kendaraan itu penuh dan beberapa orang berdiri di bagian belakang truk itu. Di sebuah rumah alang, sebuah keluarga kecil berkumpul di teras rumah panggung setinggi satu meter. Kepala-kepala mereka menatap kendaraan tersebut. Kecuali anak-anak mereka, selebihnya sedang mengunyah sirih dan pinang. Mulut mereka merah dan terus mengunyah sampai terasa manis. Satu dua kali mereka meludah ke tanah di mana si Bujang, anjing mereka yang berwarna cokelat, sedang tidur meringkuk nyaman. Di sebelahnya, seekor anak babi yang gemuk dan terlihat lucu mengendus tanah mencari makan. Beberapa ekor ayam kampung mengganggunya dan ia lari mengibas-ngibaskan ekor kecilnya menuju ke induknya yang berwarna hitam dan gemuk. Truk yang berubah jadi bis itu menjauh. Para anggota keluarga kecil itu tak lagi memandangi kendaraan tersebut.

Ini adalah Desa Laindeha, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Sebuah desa dengan hamparan savana sejauh mata memandang. Para warga memelihara ternak besar dan kecil seperti kuda, kerbau, sapi, kambing, babi dan ayam. Kuda-kuda mereka hanya dilepas bebas di padang ini dan sesekali dicek keberadaannya. Bila beruntung bisa melihat sekawanan kuda ini dari kelokan jalan, maka indah sekali pemandangan desa ini. Namun, bila sedang terik seperti saat ini, biasanya binatangbinatang itu akan berteduh di satu dua pohon nun jauh di sana. Tak jauh dari rumah alang milik keluarga kecil tadi, berdiri sebuah uma mbatang (rumah adat) milik kepala adat marga Mbara Dita yang bernama Teol Wohangara. Ia berusia 78 tahun. Malam itu, di teras rumahnya, ia menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang serupa selimut berwarna hitam. Matanya terlihat sayu dan wajahnya lusuh. Ia merekatkan selimut itu rapat-rapat. Sudah beberapa hari ini ia merasa demam. Dari balik pintu kayu yang masih terlihat kokoh, duduk ibunya yang berusia seratus dua tahun, Kahi Timba. Tatapannya jauh lebih sayu dan redup. Ia tak bisa lagi berjalan dan sudah sangat renta menunggu alam lain menerima dirinya. Di dalam rumah ini, tersimpan sebuah peti mati yang di dalamnya berbaring seorang anggota keluarga yang sudah dua tahun ini belum juga dikebumikan. Belum ada kesepakatan antar keluarga secara adat.

My Development Goals

61

Teol Wohangara mengatakannya dalam bahasa Humba, nyaris tak terdengar. Ia sendiri tak memiliki seorang anak, walau ia memiliki tiga istri yang dua di antara mereka masih tinggal dalam uma mbatang ini. Seperti adiknya yang tinggal di sebelah rumah adat ini, Teol dan dua puluhan orang tua lainnya dari marga yang sama masih memegang teguh keyakinan mereka, Marapu. Sebuah kepercayaan asli milik orang Humba dari banyak kabihu (marga) di sini. Namun, ia adalah kepala adat terakhir dari generasi Marapu yang mungkin segera berakhir ini. Satu per satu, anggota keluarga dari saudarasaudaranya mulai menganut agama Kristen yang masuk sebelas tahun lalu di desa ini. Ia tak mampu membendung peralihan keyakinan ini dan mungkin memang tak perlu lagi dibendung. Keadaan telah demikian sulit untuk mempertahankan keyakinan lama sejak pola pemukiman berubah dari terpisah menjadi menyatu seperti sekarang ini. Akhir tahun 1980-an, pemerintah, sebagaimana umumnya terjadi di banyak desa di Indonesia, ‘memaksa’ satu per satu keluarga pindah dari permukiman mereka yang saling jauh satu sama lain ke pinggir kelokan jalan beraspal ini. Sejak kepindahan itu, satu persatu orang kota datang membawa dan memperkenalkan ornamen peradaban kota kepada mereka. Mereka mulai mengenal aneka mesin, aneka elektronik, bahasa Indonesia, ideologi, dan akhirnya agama baru. Teol Wohangara pasrah dengan keadaan ini. Marapu bagi marganya seperti terkepung dalam gempuran peradaban baru dan ia akan seperti tanggu marapu yang tersimpan sunyi dalam loteng di rumah adat ini; mamuli, kanataru, halaku-lulungu, lamba, tabilu, dan sesenyap jasad saudaranya di dalam peti sana yang lelah

62

My Development Goals

menunggu tanah bumi menerima dirinya. Satu demi satu gerusan atas keyakinan turun temurun orang Humba ini memang mulai begitu terasa olehnya. Tatapannya begitu sayu namun seolah menembus begitu jauhnya ke hamparan padang luas dihadapannya seolah tanpa batas. Tapi, ia tak gelisah dengan perubahan ini. Setiap orang hidup dengan zamannya sendiri. Sekitar seratus meter ke arah utara, berdiri sebuah rumah yang difungsikan sebagai gereja dan sekolah minggu bagi para penganut Nasrani dan anak-anak mereka. Seperti awal masuknya ajaran ini oleh pengabar injil dari Waingapu, gereja ini juga berdiri tahun 1999. Di sisi kirinya berdiri rumah yang nyaris rubuh milik Om Welem, pembantu guru injil. Ia tinggal bersama istrinya Maria Mayharabi (32), dan kedua anak mereka yang masih balita, Mona (3), dan Difani (6 bulan). Gelap. Tak ada penerangan menyala dari dua bangunan itu. Mereka sedang melakukan pelayanan ke rumah-rumah warga yang telah dijanjikan untuk dikunjungi, menyampaikan pesan-pesan suci dari Bapa di surga. Mengabarkan kebenaran dan sampai batas tertentu mengubah pola hidup lama yang animis menjadi monoteis. Namun, rupanya bukan sekadar ajaran yang dibawa oleh Pengabar Injil ini. Ada hal lain yang lebih penting telah dikawalnya di tempat ini. Keresahan Om Welem dan beberapa pemuda lain seperti Ferdi Tanggumara dan Joni Maramba Tana sudah tak tertahankan. Resah membayangkan anak-anak dari desa Laindeha harus ke sekolah berkilo-kilometer jauhnya. Demikian pula mereka yang berasal dari desa lain seperti Milipinga, Laitandu, dan Utakeraha yang berjarak nyaris sepuluh kilometer. Padahal, bila ada sekolah di Laindeha ini, setidaknya anak-anak akan mudah menjangkaunya. Saat

itu, semangat mereka tergerus dan mereka satu persatu meninggalkan aktivitas sekolah dan lalu terputus sama sekali. Ketiganya lalu berunding mencari jalan keluar. Akhir September 2003, akhirnya sebuah musyawarah mengundang warga desa dimulai. Berbagai pertimbangan untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak desa ini disampaikan. Para tetua penganut Marapu awalnya bimbang dengan keputusan itu. Mereka khawatir hal ini hanya akan menjadi upaya Kristenisasi bagi mereka. Namun, suara kaum muda sudah tak tertahankan. Aktivitas mereka yang bernaung dalam Organisasi Rakyat Nduma Luri [untuk kehidupan] sudah bulat. Anak-anak desa ini harus pergi sekolah, pikir mereka. Lagi pula, seorang pendiri Nduma Luri adalah penganut Marapu yang dihormati yakni Randa Pakar. Karena pertimbangan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, tetua Marapu akhirnya menyetujui rencana itu. Awalnya mereka ingin membuat sebuah SD. Setelah memperhatikan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki, mereka memutuskan untuk memulainya dengan Taman Kanak-Kanak. Lagi pula, saat itu, belum ada orang desa ini yang lulusan SMP. Mereka akan menggunakan gereja sebagai tempat belajar di luar waktu ibadah. Mereka juga akan memanfaatkan aktivitas sekolah minggu ini untuk kepentingan belajar dan bermain bagi siswa yang berminat. Tepat 1 Oktober 2003, TK ini diresmikan oleh mereka sendiri. Saat itu mereka mengundang Camat untuk menghadiri peresmian ini, namun pejabat tersebut tidak datang. Om Welem, Ferdi Tanggumara dan Joni Maramba Tana bergantian menjadi guru. Pada hari pertama, terdapat 36 anak yang bersemangat untuk sekolah. Beberapa dari mereka membawa sebuah buku yang sengaja

dibelikan orang tua mereka. Seulas senyum tentu saja merekah dari bibir tiga pemuda ini. Mereka tak menyangka akan benarbenar datang adik-adik mereka. Om Welem mempersilahkan seluruhnya masuk. Satu persatu datang dan duduk di sebuah kursi kayu panjang yang disediakan. Perkenalanpun dimulai. Lalu apa yang akan jadi pelajaran di hari pertama? Ketiganya saling pandang. Anak-anak yang datang ke gereja ini rupanya bukan hanya anak berusia balita atau setidaknya 7 tahun, tapi mereka yang telah berusia 12-14 tahun di mana seharusnya duduk di bangku SMP. Ah, betapa bersemangatnya anak-anak ini. Mereka ingin sekolah dan menikmati hari-hari mereka diisi di bangku sekolah. Beruntung Organisasi Rakyat Nduma Luri menyumbangkan white board dan beberapa spidol board marker untuk guruguru ini. Sehingga pelajaran perdana di Rabu yang cerah itu dimulai kepuasan memancar dari keseluruhan mereka, guru dan murid. Dua hari ke depan mereka akan bertemu lagi. Dari kesepakatan lalu, mereka hanya menjadwalkan kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan pada Senin, Rabu, dan Jum’at. Selain itu, di hari Minggu, anak-anak dapat mengikuti sekolah Minggu yang berisi pendalaman ajaran Kristus oleh Om Welem, pembantu guru injil Laindeha. Hari-hari sekolah berjalan bukan tanpa kendala. Mulai dari persoalan sarana tulis menulis hingga kesejahteraan guru-guru ini. Tak dapat dipungkiri, mereka berada dalam usia kritis, tiga puluhan, di mana kebutuhan hidup mulai semakin kompleks dan membutuhkan solusi nyaris setiap hari. Awalnya mereka hendak menerapkan sistem pembayaran sekolah yang dibebankan kepada orang tua siswa. Namun, karena orang tua siswa sendiri adalah peternak

My Development Goals

63

kecil yang penuh kesulitan finansial, maka niat ini urung diterapkan. Mereka lalu mencoba cara lain yang menurut Om Welem juga cukup mengundang pesimisme, jalur pemerintah. Sikap Om Welem ini merujuk pada rendahnya perhatian pemerintah Sumba Timur atas bidang pendidikan. Buktinya, pemerintah daerah hanya menganggarkan 5% untuk pendidikan dan daya resap pendidikan untuk desa-desa savana yang jauh dari Waingapu tentu terbatas. Tapi, ini adalah pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan. Dengan upaya keras dan sikap sabar pasti akan membuahkan hasil. Demikian Om Welem membesarkan hatinya. Akhir tahun 2004, ia mulai menghubungi beberapa kawan yang duduk sebagai anggota legislatif. Ia beruntung, di saat-saat upayanya merebut hati anggota legislatif, datang seorang perempuan Laindeha yang baru pulang dari perantauannya di Bali. Ia bersedia membantu mengajar di TK ini. Namanya, Maria Mayharabi, putri seorang guru injil yang sudah uzur. Bagi Om Welem, inilah pintu awal untuk memahami bagaimana politisi memainkan politik anggaran untuk pendidikan. Ia ingin melihat peluang itu. Sebenarnya, dua tahun sebelumnya, organisasi rakyat Nduma Luri beberapa kali telah mengajukan proposal pendirian sekolah di Desa Wendibi kepada pemerintah. Karena pemerintah tak meresponnya, maka inisiatif untuk mendirikan sekolah di desa ini diwujudkan oleh Om Welem dan kawankawannya. Bersamaan dengan upaya Om Welem melobi anggota dewan Sumba Timur, beberapa tokoh Desa Wendibi sedang mengupayakan pemekaran desa. Rupanya, dusun Laindeha di mana gereja dan aktivitas TK ini berjalan berada dalam kubu yang berbeda dengan Raja (maramba; kepala desa) yang menolak pemekaran. Arus kuat Pemekaran desa

64

My Development Goals

tak terbendung, dan pemerintah akhirnya mempersiapkan Laindeha sebagai desa yang baru. Tak lama setelah pemerintah menetapkan dusun Laindeha sebagai desa baru (desa persiapan), di awal 2005, pemerintah atas persetujuan DPRD Sumba Timur meluluskan permohonan ORA Nduma Luri untuk pendirian Sekolah Dasar untuk desa baru ini dan sekitarnya. Mengetahui hal itu, Om Welem tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur pada Bapa di surga. Rupanya, sang raja, setelah gagal mempertahankan keutuhan desanya, ingin ‘merebut’ rencana pembangunan SD yang diajukan oleh ORA Nduma Luri. Dalam musyawarah desa, kembali Om Welem tampil berhadapan dengan kepala desa. Kepala Desa menginginkan agar sekolah ini dibangun di Wendibi sebagai desa induk. Namun, Om Welem berkeras. Dia merasa bahwa Kepala Desa melupakan sejarah pengajuan proposal pembangunan SD ini dan bagaimana upayaupaya yang telah dirintis oleh anak-anak muda ORA Nduma Luri ini. “Kalau begitu, bagaimana kalau diundi saja mengenai lokasi ini.” Kepala Desa menawarkan solusi setelah panjang lebar berdebat soal siapa yang berhak atas sekolah itu. Om Welem tersenyum sinis, “Aturan mana yang dipakai hingga keputusan diambil melalui pengundian?” Seluruh anggota Nduma Luri protes dengan cara ini. Tak ada jalan keluar saat itu hingga akhirnya pemerintah memutuskan sekolah itu untuk desa persiapan Laindeha. Lagi-lagi Om Welem bersyukur dengan keputusan yang menurutnya adil ini. ***

M

enyebut nama Wunu Ngita Amah tentu tidak akan dikenal oleh anakanak alumni TK yang kini sudah duduk di kelas lima SD Laindeha. Anak-anak ini lebih mengenalnya sebagai Om Welem atau memanggilnya Bapak Guru. Sebenarnya, Om Welem bukan penduduk asli Laindeha. Ia baru menjejakkan kakinya pertama kali di Laindeha tahun 2002 usai mengikuti pendidikan bagi calon pembantu guru injil di Waingapu. Pendidikan dasarnya ia selesaikan di Palindi dan SMP di Waingapu. Selepas bangku SMP ia tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena alasan finansial. Barulah di tahun 2001 ia melanjutkan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) paket C dan mengikuti kursus pembantu guru injil di Kawangu. Awalnya, berdasarkan keputusan majelis gereja, ia ditempatkan di desa Kambata Tana, namun karena Yarep Blegor, pembantu guru injil yang mendedikasikan dirinya sebagai pembantu guru injil di desa Laindeha, memutuskan menjaga istrinya yang sedang sakit keras dan diopname di rumah sakit di Waingapu, ia pun memilih mengabdikan diri di ranting Laindeha. Secara kelembagaan, GKS Kawangu membawahkan beberapa cabang dan setiap cabang membawahi beberapa ranting dan pos. Di ranting Laindeha, yang berada di bawah cabang Palinding, Om Welem membimbing sekitar 105 jemaat yang kebanyakan adalah anak-anak berusia belasan tahun. Kebetulan, ranting Laindeha tidak memiliki pos karena ketentuan penempatan pos memang tidak mewajibkan untuk itu. Fungsi ranting membantu pos dalam rangka penginjilan, sementara pos dibuka di desadesa yang penganut Marapunya tinggi. Untuk mempermudah berinteraksi secara sosial dengan lokasi pelayanan, maka gereja memiliki seksi-seksi, dan salah satunya adalah

seksi deakuni. Seksi ini, di Laindeha yang aktif berinteraksi dengan ORA Nduma Luri yang sudah berdiri tahun 1999. Bahkan kini, karena kepercayaan yang tinggi akan semangat dan keikhlasan kerja Om Welem, dipercaya untuk menjadi ketua Nduma Luri. Pada tahun 1999, di awal berdirinya, peran gereja melalui pembantu guru injil Yarep Blegor cukup besar. Saat itu, wabah kolera sedang melanda Sumba Timur, termasuk di desa ini. Saat itu telah meninggal 9 orang penduduk Desa Laindeha (saat itu masih Desa Wendibi). Untuk menghimpun kekuatan dan modal sosial, maka sekelompok pemuda mendirikan organisasi rakyat dan menamakannya Nduma Luri yang artinya ‘untuk kehidupan’. Nama lain yang juga ditawarkan saat itu adalah Bibi Ilih yang berarti ‘yang baru muncul’ dan Mbaha Hati atau ‘hati senang’. Sejak pendirian ini, ditetapkan pertemuan anggota dilaksanakan setiap tanggal sebelas per bulan, dan ada iuran anggota sebesar seribu perbulan. Lalu, aneka program sosial, yang datang dari pihak luar, mulai membentuk watak organisasi rakyat ini. Awalnya, masuk beberapa program kesehatan, seperti pengobatan gratis untuk mengurangi jumlah korban kolera, pemberantasan penyakit menular, kelambunisasi, pembangun WC keluarga, hingga urusan peternakan dan pertanian sehari-hari seperti Perlindungan Mata Air (PMA), tanaman keluarga untuk kebutuhan sayurmayur, pipanisasi, pembagian sabit, pembagian sepasang kambing. Bantuan lembaga luar ini berasal dari beberapa negara seperti Eropa dan Amerika. Sebutlah GTZ dari Jerman. Lalu menyusul program dari CD Bethesda, Pelkesi (Pelayanan Kesehatan Kristen untuk umum/ YAKKUM), seterusnya dan seterusnya hingga beberapa tahun setelahnya.

My Development Goals

65

66

My Development Goals

My Development Goals

67

Dalam perkembangannya, seluruh pemuda desa adalah anggota Nduma Luri. Namun, dalam upaya penataan organisasi tahun 2006, ditetapkan hanya 52 anggota yang benarbenar aktif di organisasi rakyat. Tahun 2007, berdasarkan musyawarah anggota, Om Welem diangkat sebagai ketua Nduma Luri yang baru.

P

***

ada suatu Minggu pagi, Om Welem sudah mempersiapkan diri untuk ibadah hari itu. Ia mengambil Kitab Injil, buku catatan, dan secarik kertas HVS yang lusuh. Sebuah pulpen berwarna hitam ia raih dari kantong kemeja bajunya yang berwarna biru. Ia mulai menuliskan beberapa kalimat pengantar dan lalu mencari rujukan ayat dalam Alkitab. Baru saja ia menuliskan beberapa kalimat, Difani, putri bungsunya menangis. Maria Mayharabi--perempuan yang dulu rela pulang dari rantau untuk membantunya mewujudkan impian tentang pendidikan itu telah dipersunting menjadi istrinya--sedang memasak air di dapur mereka yang kumuh. Dinding anyaman bambu berserbuk karena dimakan rayap berserakan di sana-sini. Di sudut kiri dapur, sebuah pintu menghubungkan dengan halaman belakang. Sebuah seng yang sudah berkarat cokelat berfungsi sebagai pintu

68

My Development Goals

dan hanya ditopang oleh balok kayu yang rapuh penuh rayap. Di sana, selain istrinya, putri sulung Om Welem, Mona, asyik bermain di dapur. Usianya baru berkisar 2 tahum—lahir 19 Mei 2008. Ia tinggalkan kertas dan pulpennya dan meraih Difani yang masih berharap pada sang ibu. Ia terus menggendongnya dan Difani tak berhenti menangis. Ia sangat khawatir dengan kondisi Difani yang baru beberapa hari ini sembuh dari sakitnya. Tubuh Difani yang baru berusia delapan bulan begitu rentan panas dan setiap suhu badannya naik ia terkena step. Pernah suatu malam ia step hingga sembilan kali. Namun, Difani kini tertawa-tawa karena Om Welem memang pandai menggoda hati anaknya. Ia menikmati pagi itu. Beberapa hari lagi, ia akan merelakan kepergian istri dan kedua anaknya tinggal di Karera. Sebuah tempat yang jaraknya berkisar ratusan kilometer dari Laindeha. Istrinya baru saja lulus ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kini terangkat sebagai PNS. Sebagai guru honorer di SDN Laindeha, dinas pendidikan setempat rupanya menempatkan dirinya di sana. Kawankawan dekat Om Welem yang mengetahui area penempatan itu memintanya untuk mengurus perpindahan istrinya di SD Laindeha. Tapi, dengan tegas ia menolaknya. Baginya inilah

bentuk pengabdian sebenarnya. “ Kalau mau melayani, harus siap berkorban. Kalau tidak mau berkorban, itu bukan pelayanan.” Om Welem kembali mempersiapkan khotbah minggunya. Menuliskan beberapa kalimat lagi. Di rumahnya, beberapa ikat jagung yang ia panen sebelumnya tergantung di langit-langit rumahnya. Ia juga menggantungnya beberapa ikat di dapur. “Panen kali ini jauh dari harapan”, demikian ia bergumam suatu kali kepada seorang tamu yang berkunjung ke rumahnya. Rumah yang mereka tinggali sudah berusia lebih sepuluh tahun dan kondisinya sudah semakin rapuh. Nyaris seluruh bangunan itu berbahan dasar bambu. Dinding-dindingnya beberapa telah tercabik atau lepas dari ikatannya. Ia bahkan tak memiliki kamar yang layak, tak memiliki kasur, lemari pakaian untuk anak-anaknya, meja untuk menulis, bahkan ruang tamu dibiarkan tak memiliki kursi dan meja. Seluruhnya adalah jauh dari memadai. Tapi, tentu bukan menjadi soal bagi Om Welem dan keluarganya. Om Welem menutup catatan pidatonya dengan serangkaian kalimat. “Marilah kita hidup sebagai anak-anak terang. Di dalam hidup sebagai anak-anak terang, kita harus mempunyai rasa taat kepada Tuhan dan berikut mempunyai rasa kasih terhadap Tuhan dan sesama kita dan pergunakanlah waktu yang ada yang Tuhan berikan kepada kita sekalian. Berbahagialah setiap kita yang mendengarkan firman Tuhan dan melakukan firman itu di dalam kehidupan hari di atas hari.” Ia tak membaca lagi seluruh isi pidatonya. Om Welem lalu melipat catatan khotbahnya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku kemeja birunya. Gitar yang teronggok sejak tadi di dinding bambu diraihnya. Ia mengintip sejenak ke luar jendela, mencoba memastikan

anak-anak sudah hadir untuk mengikuti sekolah Minggu. Bangunan gereja yang sama rapuhnya dengan rumah Om Welem memang berdampingan dan keduanya masih milik GKS Kawangu. Ibu Maria menggendong Difani dan menuntun Mona mendampingi suaminya. Sejak memutuskan membantu aktivitas belajar mengajar di TK yang dijalankan oleh suaminya, ia melihat bahwa inilah laki-laki yang layak mendampinginya. Keyakinan itu membuat ia menolak ajakan majikannya yang baik hati untuk kembali ke Bali mengasuh anak-anak mereka. Ia memang merasa nyaman tinggal dan bekerja di Bali bersama keluarga beretnis Tionghoa tersebut dengan menjadi baby sitter. Namun, kenyamanan sesungguhnya adalah hidup bersama lelaki yang kini berada di depannya. Di hadapannya, ia melihat gitar di pundak Om Welem bergerak-gerak mengikuti irama langkahnya. Alkitab bersampul biru tua digenggamnya erat. Difani terlihat melompatlompat senang. Tawanya melengking tertahan dan mata kecilnya tak berkedip memandang anak-anak yang berlarian masuk ke dalam gereja berebutan kursi plastik berwarna hijau di dalam. Om Welem hadir di tengah mereka. Melemparkan senyumnya ke seluruh anak-anak yang hadir. Ia meletakkan gitar di pangkuannya dan bersiap mengajak seluruhnya bernyanyi. Happy ya ya, happy ye ye ye Saya senang jadi anak Tuhan, Siang jadi kenangan, malam jadi impian Cintaku, semakin menyala oOo

My Development Goals

69

70

My Development Goals

Redup Hidup Juki Cilik Oleh Ishak Salim

E

ko dengan cekatan memandikan Sinar Mas. kudanya. Sesekali bocah itu mengusap kepala dan menatap mata kuda yang sedang dimandikannya dengan tatapan yang tenang. Sinar Mas tak banyak bergerak sehingga dengan mudah Eko membersihkan tubuh kuda berwarna cokelat itu. Menurut Hendra, ayah angkat Eko, Sinar Mas adalah kuda potensial setahun dua tahun ke depan. Ia memiliki tanda-tanda sebagai kuda pacu terbaik. Beberapa di antaranya adalah daging pahanya yang lunak. Ia juga memiliki pusar kuda tepat di tengah leher yang hanya dimiliki oleh kuda-kuda pacu terbaik. Bagi pecinta daging kuda, raja ono juga adalah tanda potong bila hendak disembelih. Tanda tersebut ada juga pada tbuh Sinar Mas. Kuda tersebut juga memiliki unyang jaran atau mahkota kuda yang menandakannya keras hati. Ada pula timbang mas atau ‘sayap kuda’ sebagai tanda keseimbangan kuda sewaktu berlari. Sinar Mas juga memiliki ‘pusar mulut’ yang menandakan kuda ini ‘baik hati’ dan dalam berpacu kemungkinan menabrak pagar nyaris tidak akan terjadi. Sebelumnya, antara 2005-2010, Eko menunggangi Jauh di Mata. Kuda peliharaan Hendra yang cekatan ini selalu meraih juara di setiap kelas yang dilewatinya. Dengan Jauh di Mata inilah, Eko menjuarai banyak lomba main jaran (berkuda) dan memperoleh banyak uang

dan hadiah. Pada saat ia menjuarai sebuah turnamen dan memperoleh hadiah seekor kambing, keluarga Hendra bisa melaksanakan hajatan saat tiba waktunya Eko, sebagai Muslim, disunat. Bukan itu saja, dengan uang yang diperolehnya, Eko tidak hanya mampu memenuhi sendiri kebutuhan sehari-harinya, namun juga membantu mengurangi beban ekonomi keluarga. Ia dapat membeli lemari pakaian untuk adik-adiknya, membeli meja belajar, dan banyak keperluan sekolah setiap tahunnya. Tentu saja Eko amat menikmati profesinya sejak dini. Ia begitu mencintai kuda. Ia hidup dalam lingkungan di mana kuda adalah bagian dari struktur kebudayaan di kampungnya. Kakek dari kakeknya sejak dulu adalah seorang Sandro Jaran (Dukun atau orang yang ahli tentang kuda). Kawan-kawan kecilnya adalah juki (joki kuda) dan orang-orang dewasa menikmati menonton main jaran dengan ataupun tanpa judi. Kini, sejak lima tahun berprofesi sebagai juki cilik, Eko tak lagi mengikuti turnamen bergengsi di Sumbawa. Ia hanya datang pada saat sesi latihan di mana banyak pemilik kuda menggunakan jasanya untuk menunggangi kuda mereka. Bilapun turnamen tiba, pemilik kuda Jauh di Mata masih menggunakan dirinya untuk berpacu dalam sesi awal yang belum menggunakan sistem gugur. Usianya sudah mendekati tahun kedua belas dan ia akan terus

My Development Goals

71

tumbuh. Dalam keadaan demikian, kuda-kuda Sumbawa yang lebih kecil dibandingkan dengan kuda Sumba—yang postur tubuhnya tinggi dan besar—tentu tak akan mampu menahan beban dirinya dalam setiap putaran. Lagi pula, telah hadir juki-juki baru yang juga cekatan dan lebih ringan berat tubuhnya. Setelah memandikan Sinar Mas, Eko memasukkan rumput yang telah ia kumpulkan sejak pagi dan mencampurnya dengan air di dalam papang (baskom tempat makan kuda). Bila turnamen sedang berlangsung, makanan kuda ini bisa dicampur dengan multivitamin yang dikonsumsi manusia seperti Extra Joss, Hemaviton, serta ditambah dengan madu dan telur ayam kampung. Usai memberi makan, ia mengikat kudanya di sebuah pohon pada dahan yang lebih tinggi dari kepala kuda itu. Harapannya, kuda itu tak makan rerumputan lagi karena persiapan latihan pagi ini di Karato (lintasan kuda) Langam, sekitar 20 kilometer dari rumahnya. Bila akan berpacu, kuda sebaiknya tidak makan terlalu banyak rumput. Beberapa menit kemudian, Eko membawa pulang Sinar Mas. Jarak dari tempat itu ke rumahnya sekitar 2 kilometer, melintasi persawahan, jalan berbatu dan akhirnya sampai di halaman rumahnya. Sesampai di rumah, penjiwaan kuda itu dimulai. Penjiwaan adalah istilah untuk proses memandikan kuda yang dilakukan oleh seorang Sandro atau dukun kuda. Mulut Si Sandro merapal mantra setengah berbisik. Diraihnya secerek air yang telah ia masak dengan campuran pelepah pisang sejak subuh tadi. Ia menuang cerek itu dan menyiramnya dengan beberapa tetesan di kepala kuda ini yang langsung mengibaskan kepalanya membuat air terpercik dari selurus bulu-bulu ditengkuknya ke segala arah tanpa kendali.

72

My Development Goals

Matahari pagi baru saja beranjak. Sinarnya masih terhalang oleh bangunan rumah di depannya. Hanya sebagian menerpa setengah badan mereka. Terpaan matahari seketika mengubahnya menjadi partikel warna-warni yang indah yang berlangsung sepersekian detik saja. Ia lalu meletakkannya di bibir Eko dan meminumkannya dua teguk. Setelah itu, ia berdiri tepat di belakang Eko. Sekilas memandang ke arah matahari yang perlahan beranjak naik. Matanya terpejam silau. Mulutnya masih merapal mantra yang diperolehnya secara turun-temurun dari buyut, kakek, dan ayahnya. Ia meletakkan kedua telapak tangannya yang keras itu di atas kepala bocah kecil. Matanya masih terpejam dan mulutnya masih dipenuhi mantra. Ia lalu meniupkan kekuatan yang seolah terkumpul dari dalam mulut orang tua ini. Puah! Tiupan pertama menembus ubun-ubun Eko. Puah! Tiupan kedua merasuk ke seluruh badannya yang dibungkus training juki (baju joki) berwarna kelabu. Dan puah! Tiupan ketiga membungkus seluruh sisi luar tubuhnya yang siap menunggang kuda di pagi ini. Inilah sebentuk perlindungan bagi Juki Jaran di Sumbawa Besar. Fungsi utamanya adalah melindungi keduanya dari gangguan sandro lain yang berniat tidak baik. Termasuk tindakan licik dari juki lain yang berupaya menjatuhkan jaran atau juki lawan dengan teknik berpacu yang berbahaya. Dalam turnamen jaran, ada saja pihak yang berusaha memperdaya juki cilik untuk berbuat curang. Bagi sandro yang jahat, tugas utamanya dalam perlombaan ini adalah memenangkan pemilik kuda yang membayar dirinya. Dua cara yang lazim dilakukan sandro jenis ini adalah menjatuhkan juki dan melukai jaran. Caranya bisa bermacam-macam dan terkadang mengerikan. Sandro-sandro yang kuat dapat dengan mudah melaksanakan tugasnya

bahkan melukai sandro lain yang berusaha melindungi juki dan kudanya. Dalam suatu pertandingan, adalah hal biasa jika tiba-tiba ada seorang dukun jatuh dan tak sadarkan diri.

E

***

ko Saputro, lahir di Lape 31 Agustus 1997, adalah anak dari Syaifullah Daming dan Maruwiyah. Pada saat kelahirannya ia melewati saat paling kritis dalam hidupnya. Menjadi balita yang menderita gizi buruk. Belum cukup dua bulan usianya, sang ibu meninggalkannya begitu saja kepada neneknya. Ibunya memilih tak merawat Eko dan pergi ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagaimana banyak perempuan di Sumbawa. Dalam keadaan seperti itu, neneknya, Kamariya, memutuskan untuk merawat cucunya semampunya. Ia tahu, ayah Eko yang sakit-sakitan dan kemudian meninggal karena sakitnya, tentu tak dapat merawat Eko. Dua bulan pertama masa perawatan, Eko makan bubur dan susu air beras yang dibuat neneknya. Sesekali, Hen, sapaan akrab bagi ayah angkat Eko, bila mendapatkan uang dari hasil pemeliharaan kuda, akan membelikan Eko susu SGM 1. Ia juga menebus obat-obat yang dianjurkan dibeli saat Eko nyaris saja tak mampu melewati masa-masa sulit melewati fase gizi buruknya. Dua kali dalam sebulan Sang Nenek membawannya ke rumah sakit untuk kontrol dan meminumkan suplemen vitamin seperti Tonikum Bayer. Memasuki tahun kedua, kondisi Eko mulai membaik. Dalam rumah ini, tinggal kakeknya dan keluarga Hen yang telah dikaruniai dua orang anak. Bagi Hen, Eko seperti anaknya sendiri dan anak-anak Hen, merasakan bahwa Eko kakak mereka. Sewaktu kecil, Hen juga seorang juki dan dan sejak ia tumbuh remaja, ia memutuskan menjadi pemelihara dan pelatih

kuda pacu. Saat usia Eko empat tahun, ia mulai mengajarkannya mencintai kuda yang bagi orang Sumbawa adalah bagian dari budaya mereka. Sebagaimana banyak anak-anak seusianya di dusun Karato ini, Eko memulai tugas sehari-harinya memelihara jaran. Seharihari, bersama Hen ia ke bara, memandikan jaran dan memberi makan kudanya dengan rebu guren, makanan kuda dari ungin atau dedak yang dicampur dengan sejenis rumput kawat. Menurut kakeknya, Eko adalah anak yang sabar dalam mengerjakan tugas-tugas kesehariannya. Saat itu, si Jauh di Mata, kuda pacu yang dipelihara Hen, sudah menduduki kelas OB, yakni kuda yang sudah berusia dua tahun dengan tinggi badan 115-116 cm. Di Sumbawa, kuda pacu memiliki kelas berdasarkan umur, tinggi badan dan jumlah gigi kuda yang telah tumbuh. Kuda yang berusia setahun dengan tinggi dikisaran 112 cm dikategorikan kelas TK 0. Inilah kelas terendah dalam kuda pacu Sumbawa di mana kuda masih belia dan belum ganti gigi (gigi susu). Lalu, kelas OB— sebagaimana saat itu posisi jauh di mata—dan kelas Harapan A, di mana kuda sudah berusia 3 – 4 tahun dengan tinggi badan dikisaran 116 – 119 cm dan jumlah gigi yang tanggal dan tumbuh menjadi gigi dewasa adalah empat. Setelah gigi kuda yang kedelapan tumbuh, dan usia kuda sudah mencapai 5 atau 6 tahun, serta tinggi badan 118 - 119 cm, maka posisi kuda itu adalah kelas Tunas. Kelas ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kelas Tunas A dan Tunas B. Kelas terakhir, kuda sudah dewasa, dan umurnya sudah mencapai di atas lima tahun dengan tinggi berkisar 120 cm maka ia menjadi kelas Dewasa A dan bila tingginya antara 120 – 123 cm maka ia adalah kelas Dewasa B. Saat Eko memasuki usia enam tahun, untuk pertama kalinya ia menunggangi Jauh di Mata, di kecamatan Moyo. Pada turnamen ini, My Development Goals

73

ia dan Jauh di Mata menjadi juara pertama dengan hadiah tempat beras merk Cosmos. Kemenangan itu membuat Eko mulai dikenal sebagai juki cilik yang handal. Pertandingan berikutnya, Eko bersama Jauh di Mata berhasil menyabet gelar juara umum dan berhak atas hadiah TV 14 inci. Kakeknya, Sahidullah Yesye, yang merupakan keturunan sandro dari Karato, memutuskan untuk menjadi sandro khusus bagi Eko, guna melindungi cucunya dan Jauh di Mata dari gangguan metafisik kerjaan sandro lain yang berniat jahat mencelakainya. Kebetulan, secara turun temurun ia mewariskan mantramantra dari ayah dan kakeknya yang bernama Yung dan Sanapia. Setiap akan bertanding, ia selalu menjiwai Eko dan Jauh di Mata dengan mengelilingi keduanya, memercikkan air campuran godong kele yang telah dimasak ke tubuh keduanya, dan tentu saja merapalkan mantra yang teksnya ia rahasiakan. Sejak itu, Eko secara rutin mengikuti turnamen yang diselenggarakan setiap bulan di pulau Sumbawa dan Lombok. Beberapa tempat yang rutin ia ikuti turnamennya adalah di karato Langam, kecamatan Lopok, karato Salanti, kecamatan Plampang, karato Tanu di kecamatan Alas Barat, dan tentu saja di kota Sumbawa. Iapun sukses menyabet beberapa kejuaraan dengan hadiah yang beraneka ragam. Ia telah memperoleh Sofa, lemari kayu Olympic, tempat beras Cosmos, kalung emas seberat 4 gram, kulkas, TV dengan berbagai ukuran dari 14 – 20 inci, dan beberapa ekor ternak. Bukan itu saja, Eko dalam setiap pertandingan juga selalu memperoleh uang, baik dari pemilik kuda maupun penonton yang menang judi akibat memilih Eko dan Jauh di Mata sebagai alat taruhannya dengan pihak lain. Untuk hal ini, Eko tidak begitu ambil pusing. Biasanya Hen

74

My Development Goals

akan memberikan uang itu kepada istri dan mertuanya (nenek Eko) untuk keperluan rumah tangga dan khususnya untuk keperluan sekolah Eko seperti tas, buku tulis dan cetak, pulpen, pakaian seragam, sepatu, dan lain-lain. Hal yang tak dilupakan Eko adalah saat kemenangannya di Alas Barat. Untuk pertama kalinya, dengan uangnya sendiri, ia dapat membeli sepeda. Bahkan, sisa pembelian sepeda itu, masih ia belikan lagi beberapa ekor ayam yang hingga kini ia pelihara di sebuah pondok di samping bara di mana Jauh di Mata dan Sinar Mas dikandangkan. Bagi banyak penonton di Sumbawa, manto jaran (menonton pacuan kuda) adalah kegemaran yang tiada terkira. Di sana mereka bisa menyaksikan keahlian juki cilik ini memacu kuda mereka dan menyalurkan kebiasaan segelintir orang untuk berjudi. Menurut salah seorang pendidik di sana, M. Amin Nur, Spd, masuknya unsur judi dalam main jaran ini merupakan fenomena belakangan yang sebelumnya tidak jamak. Main jaran hanyalah ekspresi kebudayaan dari lingkungan mereka di mana kuda adalah salah satu hewan yang cukup banyak dan merupakan habitat asli Sumbawa sebagaimana terdapat di Pulau Sumba, NTT. Di Sumbawa, banyak kecamatan memiliki karato dan dengan pengaturan oleh FORDASI (Federasi Olah Raga Berkuda Seluruh Indonesia) Sumbawa, waktu pertandingan diatur sedemikian rupa. Bagi orang-orang yang hendak menyaksikan main jaran, maka ia harus merogoh beberapa ribu di koceknya. Untuk karcis, dikenakan biaya sekitar Rp. 5.000,- hingga Rp. 10.000,- plus uang parkir motor Rp. 3.000,-. Selain penonton, dalam setiap pertandingan juga akan datang berbondong-bondong aneka pedagang warungan, di mana mereka wajib

membayar uang sewa selama seminggu dengan kisaran biaya 150 – 300 ribu rupiah. Dalam setiap pertandingan, jumlah penonton umumnya pada kisaran 700 sampai 1000 orang. Bagi peserta lomba sendiri, panitia membebani kewajiban membayar biaya pendaftaran sebesar Rp. 200.000 kepada pemilik kuda. Eko, sebagai juki terbaik pada masanya, memperoleh bayaran untuk keahliannya sebesar Rp. 50.000,untuk sekali liuk. Sementara, dalam setiap pertandingan, sekurang-kurangnya Eko akan main jaran sebanyak tujuh sampai sepuluh kali liuk. Dalam sebulan, kontribusi Eko dalam mengurangi beban pengeluaran keluarga sangat berarti.

P

***

agi itu, usai salat Subuh, Eko bersiap pergi mengaji. Jam dinding di rumahnya, salah satu hadiah dari turnamen berkuda yang ia ikuti, menunjukkan pukul 05.30. Setelah

mengenakan baju koko dan kopiah, ia meraih Al Qur’an besar dan menuju pintu belakang rumahnya. Suasana di sekitar masih gelap. Ditutupnya pintu perlahan-lahan, nyaris tanpa suara. Ia melangkah menuju pagar yang tak berpintu dan berbelok ke arah sungai yang airnya surut. Dengan cekatan, ia melompat dari batu kali satu ke batu kali lainnya. Sebentar saja ia sudah di seberang sungai dan melangkah sedikit mendaki menuju jalan ke rumah Pak Amin Biru. Ia dikenal sebagai guru mengaji di dusun Karato ini sejak tahun tujuh puluhan lalu. Jarak rumahnya tak begitu jauh dari rumah Eko. Di sebuah persimpangan ia melihat ibu Topik, kawan mengajinya, sedang menyapu halaman. Ia tak menyapanya dan terus saja melangkah. Tak lama ia telah tiba di sebuah rumah panggung Bugis.

My Development Goals

75

Eko melepas sendalnya. Lalu ia menapaki anakanak tangga dengan perlahan. Setiba di pintu rumah yang masih tertutup, ia mengucapkan salam. Tak ada sahutan. Ia mengulanginya lebih keras. Terdengar suara batuk Pak Amin Biru. Ia mendengar suara langkah Pak Amin dan suara batuknya yang berulang. Sejak kematian istrinya tahun 2003 lalu akibat kencing manis akut, ia mulai sakit-sakitan. Menurut anak tertuanya, ia bukan hanya menderita sesak nafas, namun juga kencing batu dan maag. Namun, walaupun ia sakit, ia tak pernah membatasi jumlah anak mengaji yang datang kepadanya. Pintu perlahan terbuka. Eko mendorongnya dan melihat punggung pak Amin menuju ke ruang dalam. Pak Amin memang tak menyapanya dan Eko langsung saja masuk ke ruang tengah mengambil meja mengajinya. Tak lama, Pak Amin sudah tampil rapih dengan baju koko, kopiah, dan sarung warna hijau tua dengan motif kotak-kotaknya. Belum mulai Eko membaca Basmalah, satu per satu temannya masuk. Yudi, Ari, Indra, Nepi, Nora, Ade, Topik, Ipan, Pik, dan Imam sudah bergabung. Suasanapun seketika ramai dengan semangat

76

My Development Goals

mereka membaca ayat demi ayat sesuai tempat bacaan mereka masing-masing. Entah bagaimana Pak Amin mendengarnya. Pastinya, Ia bisa tiba-tiba menghentikan bacaan seorang anak bila ada salah pembacaan tajwid. Namun, tak seperti umumnya guru mengaji di kampung-kampung yang ‘keras’ dalam mendidik anak mengaji, Pak Amin sangat humoris. Caranya menegur anak mengaji seringkali mengundang tawa. “Lucu,” demikian kata Eko suatu kali. Jauh sekali dari gambaran umum tentang guru mengaji di tanah Bugis di mana rotan atau bilah bambu menjadi alat untuk mendidik anak-anak agar lekas pandai mengaji. Selain dalam hal cara mengajar, Pak Amin bukan sekedar mengajar anak-anak ini membaca Al Qur’an, tetapi juga mengajar mereka kemampuan dasar dalam beribadah. Setiap malam Jum’at, ia memanfaatkan waktu setelah Magrib dan Isya untuk mengajar anak-anak ini mulai dari cara berwudhu yang benar hingga do’a-do’a, salat, serta rukun-rukun Islam dan Iman.

Bagi Eko, seperti nasib hari-hari di sekolahnya, hari-hari mengajinya juga sering terhenti karena aktivitas juki. Hal ini merupakan satu masalahnya di samping masalah lain seperti keamanan dalam berkuda yang dapat menyebabkan kematian. Pada sisi inilah, kebanyakan pihak yang tidak menyetujui juki jaran di Sumbawa melawan aktivitas ini. Menurut mereka, ini adalah sebentuk pelanggaran hak anak. Hak atas pendidikan dan hak atas keamanan dalam beraktivitas. Juki seperti Eko memang merasakan bahwa setiap bulan dalam beberapa hari ia pasti akan meninggalkan hari-hari belajarnya, baik dengan meminta izin maupun tidak kepada guru mereka. Seorang guru menyatakan bahwa anak-anak juki ini kadang izin pergi selama tiga hari namun kenyataannya pergi selama seminggu. Bahkan, untuk turnamen besar semisal di Lombok atau di Bima, mereka bisa alfa selama dua minggu berturut-turut. Hal ini juga dikeluhkan oleh Pak Amin Biru. Ia mengatakan bahwa selain pada dasarnya Eko pelupa, seringkali bacaan-bacaannya perlu diulang akibat ketidakhadirannya di pengajian. Untuk masalah keamanan dalam main jaran. Eko bercerita banyak hal. Baginya, aktivitas berkuda bukan hanya butuh keberanian, tapi juga keterampilan dan ketahanan tubuh. Ia menyebut dirinya bukan pemberani dalam bersaing dengan juki lain. Ia menyebut sebuah nama untuk seorang juki yang pemberani. Namanya, Ari, seorang kawan dekatnya sendiri. Ari adalah juki paling berani pada saat Eko berjaya selama empat tahun terakhir. Ia tidak segan-segan bersikap tidak fair dan tidak sportif dalam main jaran ini. Ia bisa menjatuhkan lawan dengan mendorong dengan cara yang amat halus sehingga tidak tampak sebagai sebuah kecurangan. Bahkan, ia bisa dengan keahlian

khusus membuat dirinya kalah walau pada dasarnya ia bisa memenangkan pertandingan. “Ia bisa dibayar.” demikian ujar Hendra suatu kali. Suatu waktu, di pertandingan final, Ari dengan sengaja menghentak sepersekian detik pekakas (baju kuda dengan tali-tali berwarnawarni) kudanya, membuat laju kuda melambat sehingga kuda lawan mendahuluinya begitu tiba di garis akhir. Untuk kejadian ini, pemilik kuda mengganjar Ari dengan makian. Ari yang tenang, tersenyum kecut mengetahui aksi curangnya terbaca. Namun begitulah Ari. Anak pemberani ini juga tidak segan-segan menjatuhkan lawan-lawannya sendiri dalam pertandingan akhir. Dalam berkuda, para penggiat hak anak menawarkan beberapa ketentuan yang sebenarnya cukup berguna bagi para juki. Sebutlah ketentuan menggunakan baju juki, helm dan ketopong (masker kuda) tentu sangat mungkin mengurangi risiko juki saat terjatuh. Juga ketentuan menggunakan pelana bagi setiap kuda yang akan bertanding. Penggiat FORDASI dan beberapa pemilik kuda menyatakan bahwa ketentuan tersebut bisa saja dipenuhi, walaupun keberatan pada penempatan pelana di punggung mengingat hal ini kurang praktis bagi para juki. Hal lain yang tak mungkin dipenuhi di Sumbawa oleh para pencinta main jaran adalah pelarangan anak kecil menjadi juki dan hanya boleh diikuti oleh remaja berusia 17 tahun. Pemikiran ini tentu menggelikan mereka yang memahami ukuran kuda Sumbawa. Kuda Sumbawa berbeda dengan kuda dari Pulau Sumba yang bertubuh tinggi, besar, dan kokoh sehingga remaja belasan tahun bahkan dua puluhan dapat menungganginya untuk perlombaan. Bagi kuda Sumbawa yang bertubuh kecil, jangankan remaja berusia

My Development Goals

77

tujuh belas, anak seusia Eko saja, tiga belas tahun ini sudah kesulitan mengikuti turnamen. Kini, paling-paling Eko hanya menjadi peserta penggembira saja dan tak lebih dua tahun ke depan ia hanya akan menjadi juki pada saat merobah (latihan) saja. Argumentasi pembela hak ini tentu saja benar. Beberapa kasus telah mencelakai anak-anak usia belasan di lintasan pacuan. Eko mengenang saat seorang kawannya, Juni, meninggal akibat terlempar dari kudanya. Kepalanya membentur sebuah pipa besi yang teronggok di pinggir lintasan. Ia juga menceritakan bahwa Maun, pada saat berlomba bersamanya tiba-tiba terjatuh dan kepalanya terinjak-injak beberapa ekor kuda yang melaju cepat di belakangnya. Di Bima, di mana pertandingan kadang berlangsung sengit dengan persaingan yang ketat antar juki dan peran sandro jahat yang saling melemparkan mantra bisa mencelakai kuda yang secara langsung berdampak bagi para juki cilik ini. Patah tulang rusuk dan kaki, tertusuk pagar bambu, bahkan terinjak-injak kuda lawan adalah ragam resiko yang dihadapi oleh juki. Satu hal yang sangat ditakutkan adalah peran sandro yang sengaja mengolesi kuda lawan dengan minyak bura. Minyak ini merupakan ramuan ilmu hitam di mana minyaknya merupakan campuran kelapa dengan tulangbelulang manusia (khususnya tulang lutut) manusia yang telah mati, yang diperoleh dari kuburan-kuburan yang digali dengan sengaja. Sandro yang jahat ini kemudian menumbuk halus tulang-belulang dan menggorengnya pada malam Jum’at hingga keluar minyaknya. Minyak inilah yang kemudian dibacakan mantra dan menjadi minyak bura. Menurut, Sahidullah, sandro yang selalu melindungi Eko, salah satu desa yang memiliki keterampilan membuat

78

My Development Goals

minyak bura ini dan merupakan ‘produsen’ dukun kuda berasal dari Desa Moyo. Demikianlah, masa jaya Jauh di Mata mulai pudar setelah kuda itu, menurut sandro Sahidullah, terkena pengaruh minyak bura dari seorang sandro jahat. Kaki kiri belakangnya terlihat pincang setelah melintasi satu putaran. Eko, yang beranjak remaja, dan Jauh di Mata yang kehilangan kecepatannya. Seolah bersamaan kehilangan superioritas mereka. Kini, Jauh di Mata sekadar menjadi pejantan bagi mereka yang membutuhkan keturunan kuda pacu. Anak pertama induk jantan ini adalah Sinar Mas dan kini berada dalam pemeliharaan Eko. Dialah yang akan merawat kuda ini hingga benar-benar siap mengikuti turnamen main jaran di pulau Sumbawa ini. Ia, salah satu juki cilik yang beruntung memiliki kuda peliharaan. Selain itu, sebuah cidomo bekas yang teronggok di belakang rumah mereka akan diperbaiki untuk kelak Eko gunakan mencari nafkah setelah dunia juki benar-benar tak mampu lagi menopang kehidupan keluarga. Ini berbeda bagi kebanyakan juki lain, setelah pensiun mereka tidak memiliki kegiatan lanjutan yang berkaitan dengan kuda. Di sisi lain, bagi Ari dan beberapa kawan kelompoknya, ada pilihan lain melanjutkan dunia juki. Inilah salah satu wajah ekstrem lain dari kehidupan para ‘veteran juki’ di Pulau Sumbawa. Kini, orang-orang muda di kecamatan ini mengenal balap motor dengan juki sewaan. Mereka meninggalkan dunia kanak-kanak mereka dari juki jaran ke juki motor. Ari yang bernyali dan Eko yang lebih beruntung, masingmasing dengan pilihan hidupnya. oOo

My Development Goals

79

80

My Development Goals

Tanya Tak Terjawab Nelayan Tanjung Luar Oleh Ishak Salim

Angin bertiup sepoi-sepoi di kampung nelayan Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Rumah Jamaluddin, seorang nelayan berusia tigapuluhan, ramai oleh diskusi beberapa nelayan yang gelisah dengan semakin berkurangnya ikan di sekitar area penangkapan yang tak jauh dari rumah tinggal mereka selama lebih sepuluh tahun terakhir. Murdani, salah seorang nelayan yang selalu resah dengan nasibnya ikut bergabung dengan teman-temannya. Mereka sebenarnya sedang beristirahat usai melaut Subuh tadi dan ikan satu dua bak sudah dibawa istri-istri mereka ke pasar pelelangan ikan tak jauh dari kampung ini. Ia hanya mengenakan kaos oblong putih dan sarung Bugis berwarna hijau. Pada tahun 2007, ia adalah satu-satunya nelayan Tanjung Luar yang pernah berkunjung ke area penambangan Batu Hijau, PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) di Pulau Sumbawa. Tepatnya di kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, yang berjarak 81 kilometer dari kota Mataram. Ia menjelaskan dengan detail, proses penghancuran sebuah gunung yang mengandung emas yang diceritakan oleh salah seorang Profesor Newmont yang menyambut mereka sebagai tamu dari Lombok Timur (Pulau Lombok). Selain dapat penjelasan detail tentang area eksploitasi emas Batu Hijau, orang-orang Newmont juga memintanya ‘mencicipi’ tailing mereka untuk memastikan bahwa betapa tidak berbahayanya limbah ini bagi kehidupan manusia dan ikan-ikan di laut. Namun, ia tidak

yakin dengan ‘limbah’ yang disodorkan itu. Ia mencobanya, namun ia pun juga sangat ragu dengan apa yang dicobanya. “Namanya limbah, tidak ada yang tidak beracun, kan? Jadi walau saya mencobanya, saya tidak yakin, jangan-jangan itu bukan limbah sesungguhnya.” Murdani menyampaikan keraguannya. Untuk memastikan alur ceritanya tersusun dengan runut, Murdani menggambar sketsa tambang Batu Hijau dan arah tiga pipa raksasa yang terhubung hingga ke kedua teluk, Benete dan Senutuk. Pipa pertama, dipasang di Teluk Benete (Selat Alas) berfungsi untuk memasukkan air untuk proses pembersihan bongkahan batu mengandung emas. Pipa kedua diarahkan di Teluk Senutuk dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah hasil pengolahan kimia dengan berbagai unsur beracun seperti arsenik dan mercuri. Sedangkan pipa ketiga, juga di Teluk Benete, adalah hasil dari pengolahan bongkahan batu dengan berbagai kandungan emas. Lalu, limbah yang dibuang ke Teluk Senutuk inilah yang menurutnya berimplikasi pada kurangnya hasil tangkapan di Selat Alas, di mana nelayan Tanjung Luar berada dan menangkap ikan selama ini. Kawan-kawannya mendengarkan dengan seksama. Mereka mulai menghubungkan beberapa informasi yang diterima ini dengan fenomena satu dekade terakhir yang mereka rasakan. Cumi-cumi yang menjadi andalan nelayan Tanjung Luar ini sudah tak sebanyak My Development Goals

81

dulu. Begitu juga dengan ikan tongkol, layah, dan layang tak mudah lagi di peroleh di sekitar laut di mana mereka tinggal. Mereka harus bergerak lebih jauh keluar melintasi Pulau Meringkik di Selat Alas. Sepuluh tahun lalu, istri dan anak-anak mereka masih dapat melihat suami atau ayah mereka memancing atau menjaring ikan dari rumah mereka di bibir pantai. Kini, tak ada lagi yang mau memancing di sekitar kampung. Mereka harus melaut lebih jauh dan lebih jauh lagi. Bukan hanya waktu yang semakin panjang, namun nyawa juga semakin terancam. “Bagaimana sudah kita jalani kehidupan kita saat ini, tidak mungkin akan pulih seperti dulu. Kalau dulu kita menjala cumi atau mancing, dekat saja. Cakalang itu hanya setengah mil dari rumah kami. Dulu, tahun 1986-1990, hasil tangkapan yang saya peroleh boleh dikatakan bisa untuk 3 kali naik haji ke Mekah. Sekarang ini hancur, kami bukan mengalami krisis lagi, tapi sudah keriting!” papar Murdani, lelaki berusia 38 tahun.

S

***

uhadi, nelayan dari Tanjung Luar, adalah seorang ayah dengan tiga putra, menceritakan pengalamannya pada 7 tahun lalu, saat ia dan dua rekannya dihantam ombak di tengah lautan yang ganas di Musim Timur. Mereka terpaksa melaut lebih ke tengah karena sulitnya mendapatkan ikan di perairan terdekat. Perahu terbalik dan seluruh awaknya berpegangan pada lambung perahu. Tak ada harapan lagi. Mereka tinggal menunggu angin reda dan serombongan nelayan pemancing datang membantu. Hari pertama terapung di lautan menjadi penantian sia-sia. Rasa haus dan lapar mulai mendera. Satu badan selain kepala, terendam air laut dan tak ada sedikit pun makanan dapat disantap. Suhadi berdoa sesering ia mampu. Ia teringat istrinya yang sedang mengandung tua dan anak ketiga segera lahir. Di hari kedua, dua rekannya sudah begitu payah. Melihat mereka, ia tak ingin putus asa. Tapi tak ada yang bisa

82

My Development Goals

dilakukan selain berdoa. Dan itulah pilihan yang paling memungkinkan, berdoa. Ia pun membaca salawat Nabi Muhammad berulang-ulang kali saat ia begitu haus dan dehidrasi tubuh terus berlangsung. Ia memberanikan diri meminum air asin. Ajaib! Air laut yang diminumnya serasa tawar dan dan ia merasa lebih berenergi. Dalam keadaan demikian bersyukurnya, tiba-tiba ia melihat sehelai dua helai rumput laut di dekatnya. Ia lalu meraihnya. Ia tahu, tak mungkin memakan rumput laut jenis ini secara langsung. Mungkin pula beracun, ia membatin. Lagi-lagi, ia ingat istrinya yang mungkin sudah melahirkan dan anak ketiganya telah lahir. Sekali lagi ia membaca salawat Nabi dengan keyakinan yang jauh lebih kuat. Ia mengunyahnya. Keajaiban terjadi lagi. Rasanya sangat lezat! Ia tertawa sendiri. Ia sadar dua kawannya yang sudah payah tak ingin mencobanya. Mungkin malah mereka menganggapnya gila dan mempercepat kematian saja. Hari ketiga, ia melihat kedua kawannya tak bernyawa lagi dan ia pun sudah demikian payah. Di hari keempat, ia sudah tak sadarkan diri, dan baru sadar ketika beberapa nelayan menemukannya di bibir pantai di Pulau Nusa Penida. Setelah ia siuman, dan menyadari hari di mana ia diselamatkan, hari itu adalah hari kelima. Menurut salah seorang dokter yang mengobatinya di rumah sakit, keselamatan dirinya adalah sebuah keajaiban! Demikianlah kondisi kehidupan nelayan Tanjung Luar sepuluh tahun terakhir. Lingkungan mereka telah mengalami banyak perubahan. Mereka sadar, bahwa beberapa nelayan luar datang membawa peralatan menangkap ikan seperti bom, putas, dan mini pukat harimau yang tak ramah pada lingkungan dan mengancam keberlanjutan sumberdaya alam di laut ini. Namun, mereka juga tak menapikan bahwa aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh PT. NNT di Batu Hijau juga berperan besar dalam rusaknya ekosistem laut yang berimplikasi pada berkurangnya cumi-cumi dan

berbagai jenis ikan yang dulu banyak di dekat wilayah mereka. Sebagai orang awam, nelayan Tanjung Luar bukanlah ahli dalam menyiapkan data atau fakta ala peneliti kampus atau ilmuan yang dibayar ratusan juta rupiah untuk membuktikan bahwa tailing tak beracun dan tak berpotensi merusak atau mengurangi potensi cumi-cumi dan ikan-ikan penopang kehidupan keluargakeluarga kecil nelayan di sekitar penambangan. Tapi peneliti yang paling hebat sekalipun tak mampu merasakan apa yang sehari-hari dirasakan para nelayan, bahkan apa yang nelayan yakini sesuatu telah berubah berkaitan dengan kehidupan mereka di laut dan periuk mereka.

J

***

ATAM, sebagai lembaga anti pengrusakan lingkungan hidup oleh aktivitas tambang, dalam siaran editorialnya 6 April 2009, mengemukakan bahwa “Pembuangan limbah PT Newmont Nusa Tenggara di Teluk Senunuk Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, membuat nelayan pesisir Sumbawa hingga Lombok Timur mengeluh pendapatannya menurun drastis. Ikan makin sulit ditangkap, sejak beribu-ribu ton limbah tailing dibuang ke laut. Di Pulau Sumbawa, mulai Pantai Sagena, Labuhan Lalar, Benete, Rantung, Senutuk hingga Tolanang, para nelayan mengeluhkan menurunnya hasil tangkap Cumi dan Tongkol, sejak tailing Newmont dibuang. Sementara di pulau Lombok – berdekatan dengan lokasi pembuangan tailing, nelayan Tanjung Luar dan Pulau Meringkik melaporkan hal yang sama.” Ironisnya, dalam laporan yang lain, diberitakan setelah membuang lebih 400 juta ton limbah tailing ke laut ini, PT NNT malah mendapat Proper hijau. Padahal, di Pantai Rantung, lokasi pembuangan limbah 120 ribu ton perhari ke laut telah menyebabkan nener (anakan ikan) semakin berkurang sejak perusahaan ini membuang tailingnya. Para pencari nener yang biasanya dapat memperoleh ribuan hingga ratusan ribu nener dalam sehari telah

meninggalkan profesi ini. Demikian pula, di sekitar pantai Senutuk, Sumbawa, kini harus melaut ke Labuan Lombok hingga Labuan Tano. Serupa dengan nelayan pantai Senutuk, nelayan dari Pulau Meringkik Labuan Luar Lombok Timur, kini harus melaut selama berhari-hari di pesisir Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur untuk memancing atau menjala cumi. Proper merupakan instrumen kebijakan alternatif dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong kepedulian perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyebaran informasi tingkat kinerja penaatan perusahaan kepada publik dan stakeholder. Program ini dikembangkan sejak 1995. Ada lima peringkat warna proper, yakni mulai dari hitam, merah, biru, hijau dan yang tertinggi adalah emas. Perusahaan yang berhasil meraih proper emas adalah yang berhasil melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan telah mencapai hasil yang sangat memuaskan. Sedangkan proper hijau adalah untuk usaha atau kegiatan yang telah melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan yang ditentukan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

A

***

khir Juli 2010 itu, di Tanjung Luar. Sore mulai menjelang. Sederetan sampan penuh warni di bibir pantai menghiasi langit yang tampak merah. Dari pinggir dermaga yang dipenuhi pemancing, sekitar 200 meter dari desa ini, dapat dilihat betapa desa nelayan ini begitu hidup dan sederhana. Lebih dekat, di salah satu rumah nelayan, Suhadi dan anak sulungnya, Syahril Abdullah (16) yang tak ingin lagi melanjutkan sekolah setamat SMP tahun ini terlihat sedang menyelesaikan rinta’ untuk memancing ikan tongkol. Dalam satu untaian pancing terdapat 150-200an mata pancing dibuatnya dengan hati-hati. Jarak antara satu mata pancing dengan mata pancing lainnya adalah satu depa atau berkisar 50 sentimeter. Bila beruntung, ikan-ikan tongkol ini akan menyantap seluruh umpan dan nelayan

My Development Goals

83

Tanjung Luar akan pulang dengan membawa 1 hingga 3 bak ikan ke pelelangan dan menjualnya di sana. Umpannya bukanlah daging ikan atau cacing, namun hanya beberapa beberapa helai benang halus berwarna cerah. Menurut Suhadi, nelayan Tanjung Luar membuat umpan dari benda mati yang bentuk dan rupanya hanya serupa dengan makanan yang disantap ikan. Dua contoh di antaranya adalah rinta’ untuk memancing ikan layah dan ikan tongkol ini dan rapala untuk memancing tuna. Rapala menyerupai ikan tongkol yang mereka pahat dari batang daun nangka dan memberi pemberat dalam perut ‘ikan’ ini dengan timah panas cair sehingga ketika timah itu dingin dan lalu membeku, bobot rapala ini menjadi satu kilogram. Bentuknya benar-benar serupa ikan Tongkol dan ini sangat cocok untuk umpan ikan Tuna yang berbobot satu kwintal.

A

***

nak Suhadi mulai menggulung inci demi inci rinta’ ini setelah memastikan seluruh mata pancing terpasang dengan benar. Sementara itu, Suhadi mempersiapkan dua cadangan rinta’ yang sudah dibuat sebelumnya. Memancing ikan tongkol, layah, dan layang dengan rinta’ ini berisiko terputus atau setidaknya kusut tak karuan. Risiko putusnya pancing ini terjadi saat nelayan masih menunggu seluruh mata pancing tersantap dan mulut sekawanan ikan tongkol terjebak dalam runcing jarum yang tajam itu. Bila tiba-tiba seekor predator yang lebih besar datang dan menyantap tongkol yang terjebak itu, maka geriginya yang tajam dengan mudah memutuskan seluruh mata pancing di bawahnya bahkan melepaskan seluruh tongkol yang terjebak pergi atau disantap oleh predator lain. Bila mujur, seluruh mata pancing tersantap dan seluruh ikan dapat di tarik ke atas perahu. Untuk satu jenis pancing, semisal rinta’ untuk ikan layah, Suhadi harus merogoh 100 ribu rupiah untuk membeli puluhan boks mata pancing dan puluhan gulung tali pancing. Untuk mengantisipasi rusaknya alat pancing seperti

84

My Development Goals

putus akibat ulah predator, maka para nelayan selalu membawa dua hingga empat alat pancing. Bagi Suhadi, dua rinta’ sudah memadai untuk perjalanannya sore nanti. Artinya, ia telah mengeluarkan Rp. 200.000,- untuk melaut hari ini. Untuk membuka harapan lebih terbuka, ia juga mempersiapkan alat pancing untuk ikan tongkol yang biayanya lebih murah, sekitar Rp. 50.000,-. Syahril sudah merampungkan seluruh perlengkapan pancing untuk dua jenis ikan, layah dan tongkol. Ia tak terlihat lelah walau selama empat jam terlihat berkonsentrasi menyelesaikan satu demi satu mata pancing yang akhirnya selesai di bilangan ke-200 sekian. Ia lalu melangkah mendekati ayahnya. Menagih uang untuk membeli 10 liter bensin dan menerima uang dari Suhadi sebesar Rp. 70.000,- untuk pembelian sepuluh liter bensin dan dua bungkus rokok merk Bentoel. Jadi, nelayan sekelas pemilik sampan di Tanjung Luar yang jumlahnya berkisar 90 persen rumah tangga setidaknya mengeluarkan 400-500 ribu rupiah untuk melaut. Bila harga ikan tongkol atau tiwangan sedang baik, maka mereka akan untung. Nelayan Tanjung Luar baru bisa disebut untung bila harga ikan tongkol mencapai dua puluh ribu perenam ekor dan akan merugi bila harganya merosot menjadi sepuluh ribu per sembilan ekor. Salah satu cara yang Suhadi dan banyak nelayan kecil tempuh di sini ialah membungkus ratusan mata pancing ini dengan kertas minyak yang terdapat pada bungkus rokok. Dengan cara ini, maka mata pancing tidak akan langsung berkarat dalam sekali pakai, melainkan dapat bertahan hingga tujuh kali pemakaian. Tentu saja mereka menempuh cara demikian karena pembuatan mata pancing dan tali pancing yang beratus-ratus meter itu benar-benar menyita waktu para nelayan.

J

***

amaluddin, seorang nelayan yang sepenuhnya tak dapat lagi mengandalkan kemampuannya melaut mulai berpikir

membuka usaha jual beli sampan bekas sejak menikah dengan istrinya, Siti Endun, sebelas tahun lalu. Jarak tempuh berlayar yang semakin jauh dan resiko melaut yang lebih besar membuatnya berpikir untuk mengembangkan usaha baru. Istrinya lalu mengajaknya keluar dari Tanjung Luar mencari modal untuk memulai usahanya. Setidaknya dibutuhkan modal 2 juta pikir mereka. Pilihan mereka adalah Selong Balanak, sebuah kampung di Lombok Timur di mana Siti Endun dilahirkan 26 tahun lalu. Dalam keadaan sulit, mereka kemudian tinggal dan berusaha di sana selama setahun. Dengan berusaha keras, akhirnya Siti Endun berhasil mengumpulkan uang sebagai modal sekitar 2,5 juta. Dengan modal itu, Jamaluddin membeli sampan bekas seharga dua juta rupiah. Dengan bekal baru itu, ia pun kembali ke kampung Tanjung Luar memulai usaha jual beli sampan bekas dan perbaikan sampan. Saat itu, sambil merenovasi sampan bekas yang dibelinya, ia masih tetap melaut dengan membawa sampan milik orang lain dan berbagi hasil dengannya. Misalnya, Jamal memperoleh pendapatan 30 ribu, maka pemilik sampan mendapat bagian sebesar 10 ribu. Dengan pendapatan itulah, ditambah usaha Siti Endun menjual ikan di pelelangan Tanjung Luar mereka menghidupi keluarga kecil mereka hingga memiliki dua orang anak, Irwan Putra (kini sudah kelas V SD) dan Hera Agustina yang baru berusia tiga tahun. Perjalanan hidup yang berat umumnya dihadapi oleh nelayan-nelayan kecil di Tanjung Luar. Bagi Siti Endun, masa-masa paling berat yang pernah dialami oleh keluarganya adalah tahun 2003, di mana mereka tidak dapat makan karena tidak mendapat ikan. Biasanya, dalam keadaan nelayan tidak memperoleh jumlah ikan yang memadai, para istri nelayan akan menjual barang-barang kebutuhan dapur mereka, baik itu gelas, piring, kain sarung, atau apa saja yang memiliki harga. Saat itu, keluarga ini juga tak memilikinya. Berhutang adalah jalan keluar satu-satunya.

Setelah sebelas tahun, usaha perbaikan dan jual beli sampan bekas yang dikelola oleh Jamaluddin mulai menampakkan hasil. Bersamaan dengan itu, istrinya dengan tangkas mengerjakan urusan rumah tangga dan menjual ikan setiap hari di pelelangan. Setidaknya, kini, pengeluaran keluarga Rp. 100.000,- sampai Rp. 250.000,- per hari dapat ditanggungnya dan barang-barang kebutuhan dapur mulai dapat dipenuhi untuk sewaktu-waktu di bawa ke pasar ikan untuk dilelang, utamanya di musim Angin Timur yang berlangsung pada bulan Agustus hingga September. Bukan ikan saja yang akan sulit dipenuhi di musim angin ini, tapi jumlah nelayan yang memperbaiki atau membeli sampan biasanya tak ada. Bagi Siti Endun, berjualan di Pasar Pelelangan Ikan Tanjung Luar, adalah kegiatan sehari-hari. Ia bisa membawa tiga sampai empat bak ke pasar ini. Bila subuh telah menjelang, satu per satu nelayan akan datang dan membawa bergantang-gantang ikan tongkol atau layah putih. Ibu-ibu yang menghampiri perahu akan melakukan sebentar saja transaksi dan lalu menjunjung satu baskom (bak atau gantang) ke jalan raya dan selanjutnya naik angkot ke pasar untuk menjual.

P

***

agi itu, seperti biasa, suasana pasar Pelelangan ramai. Di pinggir jalan menuju lokasi pasar, terdapat sederetan toko atau kios yang menjual aneka barang seperti pakaian dan barang elektronik. Tampak juga, beberapa cidomo (delman) parkir sedang menunggu penumpang. Di toko lainnya, seorang tukang reparasi sedang bekerja memperbaiki beberapa lampu petromak, sementara di toko berikutnya tampak seseorang sedang menjual garam. Mendekati gerbang pasar, terdapat Koperasi Bahtera Hidup yang sudah lama mati. Banyak nelayan kemudian tinggal bergantung pada tukang rente. Begitu memasuki area pasar pelelangan ikan, yang tampak dominan hanyalah perempuan

My Development Goals

85

penjual dan pembeli ikan. Seorang di antara keramaian itu adalah Siti Endun, yang pagi tadi membeli ikan tongkol hasil tangkapan adiknya, Ale, sebanyak dua gantang. Menurut Ibu Siti Endun, ikan-ikan yang dijual di pasar pelelangan ini berasal dari Lombok Tengah atau Selong Belanak, Batu Nampar, Awang, Labuan Lombok dan Pulau Meringkik. Para nelayan membawa dan menjualnya kepada perempuan-perempuan penjual ikan di Pasar. Untuk kasus tertentu, terkadang para nelayan meminta tolong kepada para ibu ini untuk menjualkan hasil laut tangkapan mereka. Jenis-jenis ikan yang lazim dijual di pasar ini seperti lamuru, tongkol, layang putih, ikan layah, ruma-ruma, kembung, dan satu lagi ikan yang kini sudah jarang yakni cumi-cumi. Harga ikan dari setiap bak saat bervariasi. Untuk jenis ikan lamuru dalam satu bak harganya bisa mencapai Rp. 40.000,- sampai Rp. 150.000,- sementara ikan tongkol dalam satu bak harganya bisa mencapai Rp. 60.000,- sampai Rp. 250.000,. Bila sedang bernasib baik dengan harga yang seringkali tidak berpihak pada nelayan, maka setiap penjualan ikan dalam satu bak, keuntungannya mencapai Rp. 15.000,- sampai Rp. 250.000,-.

D

***

iskusi di rumah Jamaluddin masih berlangsung hangat di kalangan nelayan ini. Mereka masih menyimpan tanya mengenai berkurangnya ikan-ikan di area tangkapan mereka. Jelas, bagi mereka tailing adalah salah satu sumber utamanya. Untuk itu, mereka berharap agar kampung mereka juga diperhatikan. Memang, di empat kecamatan di kabupaten Sumbawa, sekitar lingkar tambang ini, program Pengembangan Komunitas Nelayan terus menerus digelontori dana secara sporadis dan karitatif oleh PT NNT untuk nelayan-nelayan yang terkena dampak langsung aktivitas penambangan emas ini. Pernah suatu waktu, orang-orang LSM datang kepada nelayan Tanjung Luar. Mereka menganjurkan untuk melakukan ‘perlawanan’

86

My Development Goals

atas perilaku pembuangan limbah di lautan mereka. Nelayan Tanjung Luar pun bersemangat menyampaikan aspirasi mereka kepada pihakpihak terkait. Namun, tiba-tiba orang-orang LSM itu menghilang setelah terjadi negosiasi antara pihak PT. NNT dengan orang-orang LSM yang menurut nelayan ‘pandai berbicara’ itu. “Kami memang bergantung nasib pada mereka, karena mereka pandai bicara.” begitu ucap salah satu nelayan yang masih menyimpan kesal kepada orang-orang LSM tersebut. Dia menyebut sebuah nama yang cukup dikenal sebagai pembela nelayan namun mudah ‘dijinakkan’ oleh kepentingan korporasi besar. Bukan itu saja, tumpuan kepada pemerintah desa juga tidak dapat diandalkan. Kepala desa, tidak bisa berbuat apa-apa di tengah kuatnya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten dan perusahaan emas itu. Siang makin naik. Murdani menutup pembicaraan dengan mengatakan, “Setahu saya, yang sangat dikhawatirkan oleh Newmont adalah Tanjung Luar, karena mayoritas penduduknya adalah nelayan. Tanjung Luar telah merasakan langsung dampak pembuangan tailing. Suatu saat nanti kalau dampak itu sudah meningkat dan semakin menjadi-jadi, mau jadi apa Tanjung Luar ini? Untuk itu nelayan Tanjung Luar benar-benar perlu diperhatikan!” Murdani berkata dengan sangat serius. Jamaluddin dan istrinya serta beberapa nelayan yang turut diskusi di rumahnya meresapi kalimat-kalimat Murdani. Murdani terdiam sejenak. Ia seperti mengumpulkan kekuatannya menyampaikan kalimat penutup. Dengan nada yang lebih terkontrol ia berkata, “Bahasa sedihnya nelayan, kalau dampak Newmont itu sudah meluncur ke Tanjung Luar ini, maka untuk apa bantuan mesin, sampan, bahkan rumah sekalipun bila penyakit sudah tumbuh dalam tubuh kita!” oOo

Habis Jati, Tumbuhlah Jagung Oleh EM. Ali

S

etetes keringat jatuh dari ujung dagunya. Sri Gunarti atau lebih dikenal dengan Sri Jayamo (39) meraih selendang di bahunya untuk menyeka wajah. Siang di Penadaran terik. Selepas kerja bakti di Goa Maria sepanjang pagi tadi, semangatnya tidak jua surut. Saat kerja bakti, empat kali dia naik turun bukit ke Goa Maria dengan batako lumayan berat di punggungnya. Jarak Goa Maria dengan dengan lapangan bola voli yang ada di pinggir kampung tempat batako diambil, kurang lebih dua kilometer dengan medan tanjakan yang lumayan tinggi. Tanpa jeda istirahat, bersama Darwati, dia mencari makanan ternak di bukit kecil di samping bukit Maria. Sepanjang jalan Sri Jayamo tengadah, memandang pohon gembilina (Gmelina) yang tumbuh jarang-jarang di antara ladang jagung yang menutup seluruh perbukitan. Sri Jayamo mengambil genter (gala dari bambu) dengan sebilah sabit ditalikan di ujung bambu tersebut. Sri mengait daun-daun gembilina yang menjulang tinggi menyentuh langit. Tubuh perempuan itu basah oleh keringat. Meski begitu tawa tidak pernah hilang dari wajahnya yang coklat kemerahan karena terbakar matahari.“Kalau ketahuan mengambil daun gembilina, pasti dimarahi Perhutani,” katanya tenang. “Babadan saya di sebelah sana, di balik bukit itu,” lanjutnya sambil menunjuk bukit kecil yang diselimuti pepohonan jagung. Babadan adalah istilah yang dipakai warga Penadaran yang melakukan budidaya pertanian di lahan kering

Perhutani. Sedangkan untuk budidaya pertanian di lahan sendiri disebut tegalan. Dukuh Bantengan, Penadaran, secara administratif berada di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Dukuh kecil ini dikelilingi hutan Perhutani atau hutan negara. Hutan itu juga yang digunakan warga untuk melakukan budidaya pertanian lahan kering dengan status hak guna. Dari hutan Perhutani yang membentang di atas perbukitan karts itu, 4769 jiwa penduduk Penadaran dan sekitarnya menggantungkan hidup dari bertanam jagung. Sri Jayamo adalah salah satunya. “Di sini orang bertani masih baru. Sejak hutan Perhutani dibabat habis,” kata Jayamo, suami Sri, 45 tahun. “Tidak ada pekerjaan di sini. Saya pergi ke hutan nyolong kayu, mblandong istilahnya,” Sri menambahkan sambil tertawa. “Hampir semua warga Penadaran pernah mblandong, tidak lakilaki, tidak perempuan, semua pergi ke hutan mencuri kayu. Waktu Dela masih kecil untuk beli susu, saya mblandong,” lanjutnya dalam bahasa Jawa medok. Dela adalah anak pasangan tersebut. Sebelum tahun 2001, tidak ada budidaya pertanian lahan kering di Penadaran. Hutan seluas 902.200 hektar berdiri rapat tanaman jati (Tectona grandis L.f). Tidak ada warga pergi ke hutan, kecuali yang mempunyai akses dengan pihak Perhutani. Warga Penadaran takut mengambil kayu di hutan. Kalau ketahuan

My Development Goals

87

mengambil kayu jati, mereka bisa masuk ke penjara dan harus membayar denda yang besar. “Kalau masalah pencurian kayu dibawa sampai ke kemantren (Kantor Perhutani setempat) kena denda Rp. 2.000.000,- sampai Rp.3.000.000,kalau sudah sampai di Mranggen (tempat kantor Perhutani yang lebih tinggi) bisa kena Rp. 10.000.000,- lebih,” tutur Pak Sikun, salah seorang warga yang pernah tertangkap Perhutani karena mencuri kayu. Untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka, warga Penadaran banyak yang pergi ke kota dan menjadi buruh bangunan. Sementara sebagian besar anak muda di sana pergi merantau ke Malaysia, Hongkong atau pergi ke Jepang untuk menjadi ABK kapal. Saat pulang, mereka membawa gelimang uang yang membuat anakanak muda lain ingin turut serta. Kehidupan semacam itu menjadi iming-iming yang jauh lebih menjanjikan daripada tinggal di Panadaran yang kering. Mungkin karena itu, tugu batas Desa Penadaran tidak berbunyi, “Selamat Datang di Penadaran”, tapi berbunyi, “Welcome to Penadaran”. Itu semacam kebanggaan bagi mereka yang pulang dari luar negeri dan pulang membawa uang banyak.

A

***

khir tahun 1998 kehidupan di Penadaran mulai menggeliat. Perubahan politik di Jakarta dan turunnya rezim Suharto membawa dampak perubahan besar di Penadaran. Warga Penadaran mulai berani masuk hutan. Tentu mereka tidak sendiri-sendiri di dalam melakukan aksi tersebut. Ada yang mengorganisir masuk hutan untuk mblandong. Terbentuklah kelompok-kelompok mblandong, mulai dari penebang, pengawas, bos besar yang membiaya masuk hutan, penadah, dan bahkan orang dalam –pihak Perhutani- ikut ambil bagian dalam kerja sama menghabiskan hutan. “Hampir semua warga Penadaran melakukan itu. Dalam satu kelompok ada beberapa penebang, antara 5 sampai 10 orang. Selama menebang, ada seorang teman yang bertugas mengawasi. Dia akan berjaga kalau ada orang

88

My Development Goals

Perhutani lewat. Kayu jati itu kemudian diturunkan dari tengah hutan, di bawah sudah ada truk yang siap mengangkut. Jati besar dinaikkan ke truk, yang kecil-kecil bisa dibawa pulang ibu-ibu yang ikut. Itu bisa menambah penghasilan keluarga,” Jayamo menerangkan. “Saat mblandong, nyari duit Rp. 200.000,itu kecil. Kasarannya kita kerja sebulan, bisa bikin rumah kayu yang bagus.” ujar Sikun dari Dukuh Kedung Kerep dan ketua kelompok tani Sumber Makmur dampingan LPUBTN sambil menjentikkan ujung jari kelingkingnya. “Tapi ya begitu, duitnya nggak ada yang terkumpul. Dapat duit, kita pakai ke pasar, mabuk dan judi. Pokoknya dapat hari ini ya dihabiskan hari ini.” Jayamo mempunyai kisah pilu tentang hal itu, akibat jatuh dan mengangkut kayu jati terlalu berat, tulang punggungnya cedera. “Ada sarafnya yang kejetit, terjepit,” ujar Sri. Itu baru dirasakan Jayamo beberapa tahun kemudian. Awalnya dipikir cuma sakit biasa, dibelikan obat ke pasar, sembuh. Tapi makin lama makin sering Jayamo merasakan kejang-kejang. Dia dibawa ke dokter oleh Sri saat sakitnya sudah sangat parah. “Dokter menvonis lumpuh. Saya sedih sekali. Rumah saya jual untuk biaya berobat ke mana-mana tapi tidak ada hasilnya,” suara Sri melemah mengingat peristiwa itu. “Akhirnya saya pasrah saja.” Terhitung sejak akhir tahun 1998 sampai tahun 2001 hutan jati seluas 902.200 hektar habis dijarah penduduk. Hanya tonggak-tonggak pohon jati yang tersisa. Saat kayu habis, pekerjaan pun juga habis. Pengangguran seperti badai besar yang menghantam Penadaran. Anak-anak muda Penadaran yang semula ikut mblandong akhirnya kembali ke kota besar menjadi buruh proyek untuk yang laki-laki, buruh pabrik untuk perempuan atau merantau keluar negeri. Sementara orang tua, karena tidak punya pekerjaan mulai melirik ribuan hektar lahan gundul yang mengelilingi kampung mereka.

Penduduk Penadaran mulai menggarap lahan luas milik Perhutani dengan kemampuan seadanya. Besarnya lahan yang mereka garap semampunya, artinya kalau seandainya ada seorang warga yang mampu menggarap lahan seluas 10 hektar, ia bisa melakukannya dengan leluasa. Dengan teknik pertanian seadanya dan alat sederhana, rata-rata setiap petani menggarap lahan seluas 2 hektar. Pilihannya sederhana, mereka menanam tanaman yang paling mudah ditanam dan hidup. Tanaman jagung (Zea mays L) menjadi pilihan warga. Selain perawatannya mudah, tanaman jagung memiliki usia tanam tidak lama, kurang lebih 3 bulan sudah bisa dipanen. Pupuk kimia seperti urea dan pestisida yang digelontorkan ke tanah untuk membantu hasil panen menjadi harapan besar untuk untuk menyelamatkan hidup warga. Selain bertani jagung, petani Babadan juga harus menjaga pohon gembilina yang ditanam Perhutani sebagai penganti pohon jati. Dinas Kehutanan meluncurkan program menanam tanaman industri beberapa tahun setelah pohon jati benar-benar habis di Penadaran. Pohon gembilina yang menjadi bahan dasar pembuatan bubur hardboard menjadi pilihan. Gembilina bisa dipanen setelah berusia lima tahun. Petani mendapat bagian 15% sampai 20% dari pohon gembilana saat dipanen. Program Perhutani dengan menanam gembilina menghadapkan petani lahan kering dalam dilema. Di satu sisi, gembilina yang sudah besar dengan daun yang rimbun, membuat pertumbuhan jagung kurang baik sehingga menurunkan hasil panen. Sedang di sisi lain, petani menggunakan lahan Perhutani dan punya kewajiban merawat pohon itu. Karena itu di banyak tempat, pohon gembilina bisa dilihat hanya tumbuh jarang-jarang saja, bahkan bisa dihitung dengan jari. Tanpa sepengetahuan Perhutani, para petani memotong atau ‘membunuh’ pohon-pohon itu. Sebuah cara yang berisiko jika ketahuan pihak Perhutani karena tidak ada pilihan lain dalam hidup.

Cara bertani seadanya itu kembali menggerakkan roda perekonomian di Penadaran, termasuk roda perekonomian rumah tangga Sri Jayamo yang kini jadi tulang punggung keluarga.



***

Kula tahu ndonga sewengi bleg (Saya berdoa semalaman) menangis, meminta kesembuhan Mas Emo (Panggilan Sri pada suaminya) pada Tuhan,” bola matanya menggenang air mata mengingat kondisi suaminya. Semasa sakit parah, Jayamo harus digendong Sri untuk pergi ke kamar mandi. Apalagi rumahnya yang berlantai tanah tidak memiliki sumur dan WC, mau tidak mau Sri harus ke rumah tetangga untuk meminjam kamar mandi. Beruntung, sebagian besar tetangga masih saudaranya, jadi itu tidak menimbulkan persoalan. Melihat kesungguhan Sri merawat suami dan mempertahankan hidup menghidupi suami dan Dela, anaknya, membuat tetangga dengan ringan membantu Sri. ”Dalam setiap doa, saya selalu meminta kesembuhan Mas Emo,” kata Sri lagi yang setiap Sabtu malam pergi ke gereja menerima Sakramen Ekaristi. Sri tidak pernah berhenti memupuk harapan. Sri termasuk orang yang religius. Sejak masih muda aktivitasnya tidak pernah lepas dari gereja. Dia menjadi anggota koor di gereja Penadaran. Perjumpaan pertamanya dengan Jayamo juga terjadi di gereja. Jayamo adalah pelatih koor gereja. Dia menjadi pelatih koor bagi semua lingkungan gereja di Penadaran. Tanpa setahu Sri, Jayamo sering memperhatikan salah satu anggota koornya itu. Intensitas latihan koor itu membuat pertemuan mereka semakin sering terjadi. Pada saat Sri berusia 17 tahun, Jayamo melamar Sri untuk menjadi istrinya. Tanpa berpikir panjang, Sri menerima lamaran itu. Mereka menikah pada tahun 1981. Sebelum menikah, tahun 1987, Sri bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota

My Development Goals

89

Semarang. Setelah menikah, karena tidak ada pekerjaan di Penadaran, Sri beberapa kali ikut kerja suaminya di proyek bangunan, dia kebagian kerja jadi tukang masak untuk buruhburuh proyek bangunan. Beberapa kota pernah disinggahinya sebagai tukang masak proyek bangunan seperti Semarang dan Yogyakarta. “Saya juga pernah ke Jogja di penambangan pasir di Bebeng,” kata Sri menambahkan pengalamannya saat merantau jauh dari tanah kelahirannya. Pekerjaan sebagai buruh bangunan merupakan pekerjaan yang tidak setiap hari ada, tergantung siapa yang mengajak. Kalau tidak sering-sering mencari informasi tentang pembangunan, mereka tidak akan dapat pekerjaan untuk menopang kehidupan. Di awal 1998, sebelum penjarahan hutan dimulai, keluarga Jayamo sudah kembali ke Penadaran karena kondisi politik yang tidak menentu membuat banyak proyek pembangunan jalan, pembangunan perumahan macet. Setiap pagi saat pergi ke babadan kesedihan Sri meremang. Babadan yang dikerjakan Sri tidak terlalu luas, hanya sekitar satu hektar, terbagi menjadi empat bagian, masing-masing seluas 2.500an meter persegi. Sebagai perempuan kepala keluarga, tidak banyak tenaga yang dimiliki Sri untuk menggarap babadan yang lebih luas. ”Kalau lagi punya uang, babadan saya buruhkan ke orang lain. Tapi kalau tidak punya uang, saya kerjakan sendiri. Kadang dibantu adik sepupu Mas Emo,” kata Sri sedih. Saat menanam jagung sendiri, perasaan Sri terasa hancur. Menanam jagung biasa dilakukan oleh dua orang, satu orang membuat lubang, satu orang memasukkan benih jagung ke lubang. Kalau itu dilakukan sendiri, untuk lahan seluas 2.500 meter persegi, dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Sementara kalau dilakukan bersama dibutuhkan waktu hanya setengah hari saja. Melihat petani-petani lain berangkat ke lahan bersama anggota keluarganya, matanya berkaca-kaca sedih.

90

My Development Goals

”Saya takut menjadi janda. Janda di sini tidak ada harganya,” katanya menerawang jauh. Konstruksi sosial di Penadaran menempatkan seorang janda pada posisi yang tidak menguntungkan. Janda punya pandangan buruk di mata masyarakat. Ada anggapan bahwa seorang perempuan menjadi janda karena tidak bisa menjaga rumah tangga, tidak becus ngurus omah, kemudian dia akan menjadi pergunjingan di kampung. Janda adalah mimpi buruk bagi perempuan Penadaran. Sri tidak ingin itu menimpa dirinya. Karena itu, ia berupaya segala daya untuk kesembuhan suaminya. Rumah lama yang didapat dari mblandong yang kondisinya jauh lebih bagus --rumah dengan kualitas kayu terbaik dan berlantai trumpo, lantai kayu yang sedap dipandang mata-- dijualnya. Uang penjualan rumah itu digunakan untuk berobat, sisanya sebesar tujuh juta rupiah digunakan untuk membeli rumah yang dia tempati saat ini. Sebuah rumah sederhana seluas 9 x 11 meter dengan dinding papan, berlantai tanah dan tanpa sumur. Air bersih diambil dari sumur tetangga yang dipasang pipa panjang untuk sampai ke bak mandi beton di sisi belakang rumah. Tidak mudah menjadi perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi seorang anak dan suami yang setengah lumpuh di sebuah kampung yang kering. Selain tenaga, modal untuk membeli bibit jagung, urea, dan pestisida juga menjadi persoalan besar di Penadaran. Dan persoalan semacam itu menuai buah simalakama yang bernama tengkulak. Di satu sisi, tengkulak dihindari warga karena merugikan, tapi di sisi lain, dibutuhkan warga untuk tetap bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Tidak ada pilihan lain. Untuk mengakses bank juga tidak mungkin dilakukan petani, bahkan sebagian besar mereka takut berhubungan dengan bank. Tengkulaklah satusatunya jalan. Repotnya lagi, saat panen raya, harga jagung jatuh dan tengkulak membeli dengan harga jauh lebih murah lagi dari harga pasaran. Bukannya untung, petani malah semakin tergencet.

”Kita hutang bibit, hutang urea, hutang pestisida, dan lain-lain pada tengkulak. Kalau harga pasaran satu karung urea Rp. 50.000,- di tengkulak bisa sampai Rp. 110.000,-. Tinggal berapa karung yang kita butuhkan selama masa tanam jagung, tengkulak akan menyediakan semua. Nanti saat panen, hasil panen dipotong hutang, sisanya dibeli dengan harga suka-suka oleh tengkulak,” Sri Jayamo menceritakan kesulitan dirinya dan petani-petani di Penadaran. Selain itu, Penadaran memiliki ’tradisi’ yang membutuhkan biaya yang besar. Tradisi mbecek yakni memberi sumbangan saat orang punya hajatan, menguras perekonian warga. Mbecek berkembang dengan pola nyaris sama seperti sistem yang dikembangkan tengkulak. Kalau ada orang punya hajat, setiap orang Penadaran akan datang menyumbang. Sumbangan bisa berupa uang, beras, jagung, bahkan rokok. Sumbangan ini secara sosial dianggap seperti pinjaman, dan dicatat oleh yang punya hajat. Jadi nanti dia harus mengembalikan pada orang lain yang punya hajat nilainya sebesar yang pernah disumbangkan padanya, bahkan lebih. Saat musim punya hajat biasanya di bulan besar – bulan dalam hitungan jawa. Dalam satu bulan orang bisa mbecek dan menghabiskan uang sampai sebesar tiga juta rupiah. Mbecek menjadi semacam bisnis bagi warga Penadaran, bahkan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting seperti kitanan dan ulang tahun, orang bisa mengadakan hajatan besar-besaran. ”Nek kula sak kiyate (kalau saya hanya sekuatnya saja). Kalau mengikuti mbecek bisa bangkrut,” kata Sri melihat fenomena yang berkembang selama bertahun-tahun din Penadaran.



***

Cobalah menanam yang lain, siapa tahu harganya lebih bagus,” usul Jayamo pada istrinya. Meski Jayamo tidak bisa melakukan apa-apa, tapi dia selalu mendengarkan cerita istrinya sepulang dari babadan. Sejenak Sri terdiam mendengar usul

Jayamo. Saat salah satu babadan-nya selesai panen jagung, tanpa keraguan dirombaknya. “Saya memanam kacang hijau. Memang bibitnya lebih mahal dari jagung. Tapi jagung butuh waktu tiga bulan lebih untuk panen, kacang hijau dua bulan bisa di panen,” kata Sri dengan perhitungan sederhananya. Kacang hijau (Vigna radiata), jenis tanaman yang tidak pernah terpikir penduduk Penadaran bisa hidup di lahan kering. Kontur tanah Penadaran yang berbukit-bukit dan sebagian besar berupa bebatuan karst memiliki ketebalan tanah kurang lebih hanya 20 centimeter. Ini membuat penduduk tidak yakin ada tanaman lain yang bisa tumbuh selain jagung dan tanaman keras. Sri tidak peduli dengan cibiran warga Penadaran tentang tanaman kacang hijaunya, yang dianggap nyleneh di kampung. ”Kula di oyok-oyok, ’kacang ijo kok ditandur nang kene, ra bakal urip kuwi’. Tapi nek kula mboten nyalahi uwong liya, mboten ngrugekake, terus niku sae damel kula, kulo terus mawon, kula mboten peduli omongan niku (Saya diejek, ’kacang hijau kok ditanam di sini, pasti tidak hidup’. Tapi kalau saya tidak merugikan orang lain dan itu baik buat saya. Saya terus aja. Saya tidak peduli dengan omongan itu).” Saat panen kacang hijau, Sri tertawa senang. Hasil panen kacang hijaunya melimpah dan harga pasan kacang hijau sedang bagus. Warga Penadaran mulai melirik menanam kacang hijau seperti yang Sri lakukan. ”Ada satu dua orang yang ikut menanam kacang hijau setelah itu, tapi tidak banyak,” ucap Sri. Musim tanam berikutnya, Sri menganti tanaman. Dia menanam mentimun. Hasilnya juga bagus. ”Pertama, saya bisa panen timun, kedua kedua juga panen, ketiga orang sudah pada tahu kalau itu tanaman timun. Timun saya pada dicuri semua, jadi malahan gak pernah panen,” ucapnya tertawa. Pernah juga Sri menanam tembakau di babadan-nya. Ada orang kaya yang memodali

My Development Goals

91

untuk menanam tembakau. Sri menanam 7.000 sampai 8.000,- batang tembakau, dan merawatnya dengan baik. Waktu panen tempakau, harga per kilogram mencapai Rp. 3.000,-. Sri mendapat banyak keuntungan dari tembakau. Tapi saat panen kedua, hujan deras turun di Panjatan. Tembakaunya rusak, hanya sebagian kecil saja yang bisa dipanen dan harganya sudah tidak tertolong lagi. “Kulo bangkrut tenan pas nandur mbako. Kulo kapok (Saya rugi banyak. Saya kapok). Saya tidak akan menanam tembakau lagi. Soalnya kalau tidak laku, tembakau tidak bisa dimakan,” tawa Sri kembali meledak. Dia pergi ke babadan dan mencabuti tanaman tembakaunya. Batangbatang tembakau dionggokkannya saja di tepi babadan. Saat kering dia membawanya pulang dan mengunakannya untuk kayu bakar. Jagung telah menjadi tulang punggung penggerak perekonomian di Penadaran. Tapi jagung tidak bisa ditaman sepanjang tahun. Jagung hanya bisa ditanam saat musim basah atau musim penghujan. Pada musin kemarau, tanah yang terhampar ribuan hektar di sekitar Penadaran memerah, tanpa tanaman. Tonggaktongak sisa penjarahan terlihat di mana-mana. “Pergi ke kota menjadi buruh proyek bangunan. Itu yang biasa dilakukan orang Penadaran,” kata Sri Jayamo. Musim kemarau selalu menjadi masa yang sulit bagi warga Penadaran. Tanaman yang masih bertahan di babadan hanya pisang sisa menanam di musim penghujan. Itu pun hasilnya kecil. Satu tundun pisang hanya dihargai Rp. 10.000,-. Beberapa keluarga Penadaran yang rajin menanam pisang di batasbatas babadan menjual buah pisang untuk mendapat tambahan penghasilan keluarga, tapi tetap saja itu tidak mencukupi. Kondisi Penadaran yang memprihatinkan, --kalau musim hujan banjir, sedang musim kemarau kekeringan-- menyimpan kerawanan pangan yang mengkawatirkan warga Penadaran. Hidup berjalan tanpa kepastian akan hari esok yang lebih baik. Kondisi ini

92

My Development Goals

diperburuk oleh ulah tengkulak yang menguasai sistem perekonomian desa dan konstruksi sosial masyarakat tidak ramah yang membuat masyarakat bersifat komsumtif.

S

***

ri menyusur setapak turun dari bukit Maria. Daun gembilina menggunung di punggungnya. Dengan ramah dia menyapa orang-orang yang bersemuka dengannya. Selepas masuk jalan kampung, Sri lewat samping rumah, langsung menuju kandang kambing di belakang rumah. Ada empat ekor kambing jenis PE di kandang itu. Kambing yang gemuk-gemuk, dengan kualitas terbaik. “Ini kambing pinjaman LPU,” katanya sambil memasukkan daun gembilina pada tempat makan kambing. “Modelnya penggemukan. Nanti kalau kambing dijual, 70% hasilnya untuk yang memelihara, 30% untuk LPU dan kelompok. Yang di LPU uangnya buat beli obat kalau kambing sakit.” LPU, begitu biasa warga Penadaran menyebut lembaga yang bernaung di bawah Keuskupan Agung Semarang itu. LPUBTN (Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan) lengkapnya, tapi karena susah mengucapkan, warga menyebutnya pendek agar gampang diingat dan dilafalkan. LPUBTN secara resmi masuk ke Penadaran baru 1,5 tahun. LPUBTN melihat dengan cara berbeda kondisi yang memprihatinkan di Penadaran. Ada potensi usaha pertanian lahan kering yang bisa dikembangkan lebih maksimal di Penadaran. Namun ada proses yang panjang untuk menuju ke sana. Awalnya lembaga tersebut masuk lewat kegiatan merangkai bunga untuk Natalan. Selama ini rangkaian bunga untuk Natalan didatangkan dari Semarang lewat tangan pedagang. Begitu sampai di Penadaran harganya sudah mencapai Rp. 60.000,- sampai Rp. 70.000,-. Jumlah penduduk Penadaran yang beragama Katolik Roma sebanyak 842 orang. Kebutuhan rangkaian bunga setiap Natal cukup

besar, itu membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit. “Ibu-ibu dikumpulkan untuk dilatih membuat rangkaian bunga. Kalau beli mahal. Uangnya bisa untuk membeli kebutuhan lain.” Sri salah satu peserta yang mengikuti pelatihan itu. Setelah merangkai bunga, LPUBTN membentuk kelompok usaha bersama (UB) Ngudi Rejo yang beranggotakan 20 orang petani jagung. Keterpurukan ekonomi petani dan cengkeraman tengkulak menjadi perhatian LPUBTN. Pendampingan secara intensif dilakukan pada petani jagung. Teknik bertani jagung yang baik menjadi perhatian LPUBTN mengingat Penadaran merupakan sentra penghasil jagung terbesar di Provinsi Jawa Tengah, termasuk di dalamnya penggunaan pupuk organik belek – kotoran ayam - untuk menekan biaya produksi untuk menekan biaya produksi. ”Pemotongan biaya pupuk dengan pupuk organik terasa. Untuk 1 hektar kebun jagung menghabiskan 1,5 kwintal urea saat pemupukan pertama, pemupukan kedua membutuhkan 1 kwintal. Total dalam satu kali masa tanam membutuhkan pupuk sebanyak 2,5 kwintal. Kalau memakai pupuk organik kita bisa memotong 1,5 kwintal urea. Kita belum berani meninggalkan pupuk urea 100%. Harus bertahap melakukannya,” kata Pak Parjo, 42 tahun, ketua gabungan kelompok tani yang juga berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Tapi perubahan cara taman dari pupuk kimia ke pupuk organik bukan perkara mudah. Sri termasuk orang yang awal mengambil resiko memakai pupuk organik. “Dulu nggak ada yang mau memakai belek. Baunya nggak ilang-ilang (Baunya tidak hilang-hilang). Ada yang bilang, belek bau gitu kok dipakai pupuk.” “Kami langsung mengurangi urea sebanyak 50%, sisanya memakai belek,” kata Jayamo. Kesehatan Jayamo berangsur membaik setelah menjalani pengobatan alternatif. Jayamo mulai bisa menjalani aktivitas pertanian, meski tetap harus membatasi diri untuk bekerja tidak terlalu

berat. Memang Sri melarang keras Jayamo bekerja terlalu keras, karena dia tahu betapa susahnya saat sakit Jayamo kambuh. “Ada seorang teman lama baik hati. Sudah lama Mas Jayamo nggak ketemu dia. Namanya Pak Kirno dia tinggal di desa sebelah. Dia datang ke sini dan prihatin melihat kesehatan Mas Jayamo. Kemudian dia membawa Mas Jayamo ke pengobatan alternatif. Bolak-balik saya pergi ke pengobatan alternatif itu. Semua biaya dia yang nanggung,” Sri mengenang dengan mata berkaca-kaca. “Puji Tuhan, semoga dibalas kebaikannya,” lanjutnya serak. Saat panen pertama menggunakan belek, keluarga Jayamo tersenyum senang. “Hasil panen kami meningkat,” kata Sri dengan mata berbinar-binar. “Dalam 1 hektar tanah bisa menghasilkan jagung bisa menghasilkan 3,5 sampai 4,5 ton dalam satu musim tanam saat memakai urea, setelah memakai pupuk kandang hasilnya bisa mencapai 6 sampai 6,5 ton,” tambah Jayamo. “Apa yang dilakukan LPUBTN di Penadaran berbeda dengan program yang dikembangkan Trocaire di tempat lain. Kalau biasanya program yang dikembangkan bersifat karikatif, progam yang lebih berfokus pada pembangunan fisik. Kami tidak. Program yang kami kembangkan mencoba mencapai ketahanan pangan di masyarakat dan mengurangi resiko bencana kekeringan,” Isti, salah satu staf LPUBTN menjelaskan di kantor yang terletak tidak jauh dari gereja Blenduk Semarang yang menyimpan kemegahan arsitektur masa kolonial. Sistem ketahanan pangan dalam menanggulangan resiko bencana merupakan program yang terintergarasi dengan kehidupan masyarakat dengan melihat potensi sumberdaya alam dan sumber daya manusia di Penadaran. “Keberadaan kelompok sangat membantu petani jagung Penadaran. Petani bisa mengambil urea, bibit dan pestisida di kelompok, tidak lagi pada tengkulak. Harganya

My Development Goals

93

jauh lebih murah dari tengkulak. Kalau di pasaran harga sekarung urea Rp. 50.000,- di kelompok harganya Rp. 51.000,-, yang selisih Rp. 1.000,- untuk kelompok. Tapi kalau yang mengambil orang luar kelompok, mereka hanya perlu membayar Rp. 52.000,-. Selisihnya antara Rp. 1.000,- sampai Rp. 2.000,- untuk orang luar,” kata Jayamo yang diberi wewenang untuk mendistribusikan pupuk pada kelompok tani. Jika petani kekurangan modal untuk menamam, petani bisa pinjam dari kelompok. Modal kelompok berasal dari pinjaman LPUBTN dan dari iuran anggota setiap bulan sebesar tiga ribu rupiah. Selain itu, penambahan modal kelompok didapat dari hasil panen jagung setiap musim tanam. Bila dalam satu masa tanam petani menghasilkan 1 ton jagung, hasil panen tersebut dipotong Rp. 25.000,- untuk kelompok. Jadi kalau 4 ton jagung dari lahan seluas satu hektar, petani mendapat potongan sebesar Rp. 100.000,-. “Saat ini rata-rata setiap petani punya pinjaman ke kelompok sebesar Rp. 1.600.000,-. Kelompok masih memiliki uang sebesar Rp. 9.000.000,dari simpanan wajib dan simpanan sukarela kelompok,” Parjo menjelaskan. Pengunaan sistem pinjaman pada anggota kelompok bukan tanpa pertimbangan ambil oleh LPUBTN. Sistem pinjaman ini digulirkan, selain karena keterbatasan dana –dana yang dipinjamkan ke anggota dibagi rata-- juga dilakukan karena sudah menempel dalam anggapan masyarakat bahwa apapun yang bernama program bersifat pemberian, hibah, sehingga tidak perlu dipertanggungjawabkan. Ini yang terjadi pada program pemerintah yang digulirkan ke masyarakat. Akibatnya, tidak ada tranparansi, penggunaannya tidak jelas, pertanggungjawabannya entah dan ujungujungnya program tidak jalan, hanya laporannya yang ada. UB Ngudirejo sebagai kelompok usaha tani mewadahi kebutuhan petani jagung di Penadaran. Keberadaan kelompok dampingan

94

My Development Goals

LPUBTN, secara sistematis menekan gerak tengkulak yang berkeliaran di desa-desa. “Anggota bisa meminjam bibit jagung dan belek ke kelompok. Harganya jauh lebih murah dari tengkulak. Pinjaman bisa dikembalikan saat panen. Tak ada bunga. Harganya sesuai dengan kesepakatan kelompok,” ucap Parjo. Dalam budidaya pertanian ada tiga pilar penting yang harus dipenuhi. Jika satu dari tiga pilar itu tidak ada, maka tidak akan ada budidaya pertanian. Ketiga pilar itu adalah tanah, air dan budidaya. Tanah tersedia sangat luas di Penadaran yang berupa tanah Perhutani, air menjadi persoalan tersendiri yang memaksa petani hanya menanam di musim hujan, sedang yang terakhir budidaya. Budidaya meliputi cara pengolahan tanah dan pengembangan sumberdaya pertanian. LPUBTN mempunyai fokus di wilayah ini dalam program yang terintegrasi secara utuh. Meski banyak kemudahan saat bergabung dengan kelompok, tidak lantas semua petani jagung mau bergabung dengan kelompok. Dari 1.534 orang petani di Penadaran hanya 52 orang yang menjadi anggota kelompok tani dengan babadan seluas 56 hektar. Bukan persoalan sederhana mengajak mereka melakukan budidaya pertanian alamiah atau pertanian organik. Kemudahan dan kepraktisan menggunakan pupuk kimia membuat petani terlena enggan berpindah pupuk organik. “Kami buka babadan di bukit sana. Kami berempat perempuan-perempuan ini mencangkul di siang terik. Kami menanam jagung. Ada yang bilang, ngapa wong wadon saka kutha blusukan alas macul. Dho ra nduwe gawean po? Tapi kami terus mengerjakan babadan kami dengan model pertanian organik. Orang kampung itu harus diberi contoh dulu. Kalau berhasil baru mau ikut, kalau tidak pasti ditertawain,” cerita Kristin, salah seorang staf lapangan LPUBTN saat masuk di Penadaran. Untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan, LPUBTN mengembangkan lumbung hidup kelompok. “Ibu-ibu diberi lahan di

Perhutani luasnya 1/4 hektar. Ditanami kacang, bayam, lombok, kangkung. Hasilnya masuk ke kas ibu-ibu. Kalau ada pertemuan, kas itu digunakan. Yang laki-laki juga punya lumbung kelompok,” ungkap Jayamo. “Selain itu, kita dianjurkan menanam sayursayuran di sekitar rumah. Biar tidak beli. Ternyata enak kalau punya sendiri di rumah, butuh seledri, butuh tomat tinggal ambil. Dulu tidak kepikiran seperti itu. Sayangnya kemarin seledri saya rusak ditabrak anjing. Di sini banyak sekali anjing,” tambah Sri sambari tersenyum. Selain itu dikembangkan lumbung yang berisi tanaman pendamping yang berupa tanaman akar-akar atau rimpang seperti kencur, jahe, kunyit, lengkuas yang bisa digunakan sebagai tanaman obat dan bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bisa dikembangkan menjadi unit usaha sedehana di tingkat keluarga. “Kita diajarkan bisa membuat home industry. Jadi tidak hanya dari bertani sumber penghasilannya. Kalau lahan sudah diambil sama Perhutani, kita pasti sudah tidak dapat bertani lagi,” Parjo mennggapi dengan realistis usaha pertanian yang berkembang di Penadaran. Karena selain jadi petani, dia punya profesi sebagai guru, tentu hal itu tidak menjadi persoalan baginya, tapi tidak bagi petani-petani lain yang menggantungkan seluruh hidupnya pada usaha pertanian. Untuk memperkuat ekonomi keluarga, ibu-ibu dilatih membuat produk yang dikembangkan dari lumbung hidup atau dari hal lain yang bisa dikerjakan di rumah dan mempunyai nilai jual. Ada 12 orang ibu-ibu yang dilatih di kantor LPUBTN. Mereka dilatih untuk membuat kue, membuat makanan kecil dari hasil pertanian yang ada di Penadaran. Program ini dimunculkan sejak awal karena melihat serbuan makanan pabrikan yang secara kesehatan mengkawatirkan anak-anak di penadaran. Sri Jayamo merupakan salah satu kader dalam pengembangan ekonomi keluarga. Salah satu produk yang dihasilkan oleh anggota kelompok

tani adalah jahe instan. Minuman ringan hasil mengolahan tanaman jahe dengan mudah bisa ditemukan di toko-toko kecil di seputaran Penadaran. Untuk memberi gambaran nyata pada kelompok bagaimana sistem ketahanan pangan ini bisa memperkecil risiko bencana kelaparan bila kemarau terjadi sangat panjang dan sistim ketahanan pangan ini juga bisa menambah pemasukan keluarga, anggota kelompok melakukan studi banding ke Semarang. Ke tempat Pramono, seorang pengusaha dan seorang petani yang punya kepedulian besar sama petani. “Di sana lengkap. Ada peternakan sapi. Kotorannya dimanfaatkan untuk biogas, untuk memasak. Setelah dipakai biogas, kotoran digunakan untuk pupuk tanaman. Tidak ada yang beli. Semua ada dan diusahakan sendiri. Mau masak butuh tomat, tinggal ambil, tidak perlu beli gas,” kata Sri Jayamo dengan mata membesar bersemangat. Sri Jayamo sendiri jadi memahami, kenapa harus bercocok tanam organik, kenapa ada pinjaman kambing. Memang kotoran kambing yang ada tidak mencukupi kalau digunakan untuk memupuk jagung di babadan, -kebutuhan belek selama ini masih didatangkan dari Semarang-- tapi kotoran kambing bisa digunakan untuk memupuk sayur mayur yang di taman di sekitar rumah untuk penyediaan kebutuhan pangan sehat untuk keluarga. “Yang perlu kami tekankan, pertanian organik yang kami kembangkan, bukan agar hasil produksinya bisa dijual mahal di pasar. Bukan itu. Jangan menghadapkan petani langsung ke pasar, mereka harus dididik pelan-pelan. Kami ingin pertanian organik itu menjadi life style, gaya hidup. Kalau menjadi life style artinya, mereka bertani dengan cara pertanian organik, mengkonsumsi makanan organik, dan menjalani hidup yang sehat,” kata Isti. Progran LPU tidak hanya menyentuh wilayah pertanian dan peternakan, tapi juga menyentuh wilayah pendidikan. Untuk anak-anak ada

My Development Goals

95

beasiswa kambing yang dikumpulkan di dalam kandang kelompok. Setiap anak memelihara seekor kambing. Kambing akan dipelihara sampai beranak oleh anak penerima beasiswa. Setelah beranak dua kali. Anak kambing itu menjadi milik si penerima beasiswa. Kemudian indukan kambing akan diputar ke siswa lain yang belum menerima beasiswa. Selain kambing, anak juga diberi dukungan uang sebesar Rp. 10.000,- per bulan. Setiap pengeluaran atau pembelian dari uang tersebut harus dipertanggungjawabkan di pertemuan kelompok anak. Karena itu setiap anak harus punya catatan untuk pengeluaran uang yang diterimanya. “Yang cari rumputnya bapak, tapi yang ngasih makan aku,” kata Dela, anak Sri Jayamo tertawa tentang kambing bea siswanya. Selain mendampingi kelompok tani di Penadaran, LPUBTN juga memperkenalkan mekanisme pasar yang sehat lewat Pram yang memberi bantuan pemasaran pada petani. Mekanisme pasar bertujuan untuk mengangkat harga jual jagung dan meningkatkan posisi tawar petani. Ketika harga tengkulak terlalu rendah, mereka bisa berhubungan langsung dengan Pram. Tapi bila harga tengkulak tinggi, mereka bisa menjual langsung pada tengkulak di Penadaran. Dengan mekanisme seperti ini, ruang gerak tengkulak semakin mengecil. Tentu saja, usaha memperkenalkan mekanisme pasar bukan tanpa risiko sama sekali. “Pak Pram itu pernah membeli jagung per kilogram seharga Rp. 3.500,- sedang di tengkulak harganya cuma Rp. 2.700,-, bedanya Rp. 800,per kilogram. Kalau jumlah jagung (yang dijual) banyak kelihatan banget bedanya. Setelah itu, Pak Pram diteror para pedagang sini, di-sms, akhirnya mengalah tidak membeli jagung ke petani. Tapi petani yang tidak punya hutang sama pedagang, tidak masalah menjual jagung ke Pak Pram,” ujar Sri. Banyak anggota kelompok tani yang diuntungkan selama hampir 1,5 tahun kehadiran LPPUBTN di Penadaran. Sebuah rentang waktu

96

My Development Goals

yang tergolong singkat sebenarnya untuk bekerja bersama masyarakat. Sebagai upaya menabur bibit awal perubahan di tengah tatanan sosial, ekonomi yang masih di tengah masyarakat, apa yang dilakukan LPUBTN menarik untuk dicermati. Parjo, ketua gabungan kelompok tani menjelaskan. “Banyak peningkatan di masyarakat Penadaran. Sebelum LPU, tidak ada kelompok tani di Penadaran, sekarang ada. Secara pengetahuan juga mengalami peningkatan, dulu tidak tahu cara bertani yang benar sekarang tahu. Dan secara ekonomi itu terlihat sekali. Hasil pertanian untuk satu hektar babadan dari empat ton meningkat jadi enam ton permusim tanam.” Dari 52 anggota kelompok tani di Penadaran, mereka mengerjakan babadan seluas 56 hektar. Dalam hitungan kasar, setiap musim panen dihasilkan 260 ton jagung, sementara setahunnya ada dua kali masa tanam, berarti di kelompok saja menghasilkan 520 ton. Kalau setiap satu kilogram jagung rata-rata dihargai Rp. 2.000,-, uang yang beredar di kelompok tani dalam setahunnya Rp. 104.000.000,-. Itu hanya dari produk pertanian jagung, belum dari pisang, dan hasil bumi lainnya. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah desa miskin dan terpencil bernama Penadaran. “Saya sangat terbantu dengan adanya LPU di Penadaran. Saya jadi tahu cara bertani yang baik. Saya punya pengetahuan mengolah tanaman yang ada di sekitar untuk jadi makanan yang bisa menambah pemasukan keluarga. Masih ada yang ingin saya lakukan. Produksi pisang di Penadaran kan besar, saya ingin membuat kripik pisang, biar bisa dijual,” kata Sri tentang rencana ke depannya dengan penuh semangat. “Saya ingin juga, Della, anak saya, bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi. Biarlah orang tuanya hanya (berpendidikan) sekolah dasar, tapi dia harus lebih pintar dari orang tuanya.” oOo

Mengantung Timbangan Demi Masa Depan (Sebuah cerita bersama para perempuan kader posyandu)

Aku anak sehat, tubuhku kuat, Karena ibuku rajin dan cermat Semasa aku bayi, slalu diberi ASI, Makanan bergizi dan Imunisasi Berta badanku ditimbang slalu, Posyandu menunggu setiap waktu Bila aku diare, ibu slalu waspada Pertolongan Oralit slalu siap sedia. Dahulu, ketika lagu diatas dinyanyikan, pasti semua orang akan membayangkan Posyandu. Pos pelayanan terpadu untuk kesehatan ibu dan anak. Ya! sepertinya posyandu menjadi sangat familiar sebagai tempat ibu dan balita memonitoring kesehatan mereka. Hampir 40 tahun Posyandu dicanangkan di Indonesia, sejak adanya gagasan poyandu (Pos Pelayanan Terpadu) oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 1970. Namun, belum semua orang indonesia merasa familiar dengannya. Apalagi untuk bercerita, sekedar mencari tahu kegiatan posyandu dan yang terlibat di dalamanya. Cerita posyandu masih kalah bersaing dengan cerita- cerita kriminalitas, korupsi dan gosip. Padahal disinilah tempat paling dekat dengan masyarakat, yang membantu dalam memantau kesehatan ibu dan balita. Posyandu masih menjadi tempat yang identik dengan ibu (perempuan) dan balita karena merekalah yang wajib mengunujungi posyandu setiap bulannya. Seakan- akan tugas memantau

perkembangan balita menjadi tugas seorang ibu, yang sudah sejak dahulu ditetapkan tugasnya melakukan semua hal yang berkaitan dengan tugas domestik.

Perempuan dan Posyandu Sebagai sebuah cita- cita, kehadiran posyandu merupakan sarana masyarakat bertukar informasi tentang segala permasalahan mereka. Serta memperoleh pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana. Posyandu nantinya mendorong peran serta masyarakat secara teratur dan berkesinambungan untuk terciptanya kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Posyandu yang berada di bawah tanggung jawab PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Dalam operasionalnya juga terbawa dengan slogan PKK yakni wanita sebagai penggerak pembangunan dari bawah, untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan keluarga sejahtera. Hal ini menambah kuatnya pandangan bahwa posyandu adalah tempat khusus untuk perempuan (baca; ibu).



Sesuai Inmendagri Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan mutu Posyandu ditingkat desa kelurahan sebagai berikut: Penanggungjawab umum: Ketua Umum LKMD (Kades/Lurah), Penggungjawab operasional: Ketua I LKMD (Tokoh Masyarakat), Ketua Pelaksana: Ketua II LKMD/Ketua Seksi 10 LKMD ( Ketua Tim Penggerak PKK), Sekretaris: Ketua Seksi 7 LKMD, Pelaksana: Kader PKK, yang dibantu Petugas KB-Kes.

My Development Goals

97

Dimulai dengan kader posyandu yang rata- rata perempuan. Dan pengukuhan pendapat bahwa yang perempuan-lah yang bertugas mengurus anak, sehingga dialah yang juga bertugas memantau segala hal berkaitan dengan perkembangan si anak. Posyandu menjadi sangat dekat dengan perempuan. Sepertinya ruang eksklusif itu turut dibentuk oleh sebagian kaum adam yang merasa sebuah “keanehan” jika harus pergi ke posyandu membawa anak. ****

Permata Bunda, Posyandu Pertamaku Sekumpulan ibu- ibu sedang duduk bersama berdiskusi. Bukan bergosip seperti yang biasanya dikatakan orang- orang, jika perempuan sedang berkumpul. Mereka sedang membicarakan inisiatif membentuk posyandu di Kelurahan Oesapa. Jelas tak tampak di situ ada kaum lelaki karena yang dibicarakan adalah posyandu. Hartini Anin (56), jumlah kerutan di wajahnya tidak mengurangi semangatnya untuk tetap menjadi kader. Sudah sejak tahun 1990. Di tahun ini pula posyandu di Kelurahan Oesapa dibentuk, tepatnya tanggal 12 Maret. Dibantu pihak PKK dan puskesmas inisiatif membentuk posyandu terealisasi. Permata Bunda nama yang dipilih untuk posyandu pertama di Kelurahan Oesapa ini. Mendekatkan pelayanan bagi balita dan ibu hamil menjadi tujuan didirikannya posyandu. Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, merupakan Kelurahan dengan penduduk terbanyak di Kota Kupang (Tahun 2007; 16.113 jiwa). Heterogen masyarakatnya. Salah satunya, dikarenakan ada dua universitas besar di NTT ada di tempat ini.

Dapat dilihat di berbagai sudut, kos- kosan mulai yang mahal, sampai yang paling murah dengan sanitasi yang buruk tersedia. Kelurahan ini juga terletak di pinggiran pantai yang menghasilkan ikan tak pernah habis. Salah satu pemasok ikan bagi kota Kupang dan beberapa daerah di Kabupaten Kupang, TTS (Timor Tengah Utara) bahkan TTU (Timor Tengah Selatan). Kita akan bertemu kumpulan orang- orang Bugis- Makasar di sekitar Pantai Oesapa, mereka kebanyakan menjadi nelayan, baik sebagai buruh maupun juragan kapal ikan . Oesapa yang heterogen pernah meninggalkan sejarah kelam di tahun 1998, sebuah kerusuhan berbau SARA yang meninggalkan luka dalam bagi semua. Seiring waktu semua menjadi sadar akan kehilangan dan ketakutan yang terjadi. Membuat semua pihak merasa tersiksa. Tak peduli mayoritas atau minoritas, penduduk asli maupun pendatang. Mahasiswa, pegawai, pelajar, buruh, nelayan, dan masih banyak lagi dapat di temui di sudut Oesapa. Ditambah migrasi yang terjadi. Ketika lahan di desa semakin sempit dan perubahan iklim membuat pertanian tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Oesapa menjadi pilihan untuk bermigrasi bagi sekelompok orang. Tempat strategis yang menjanjikan, membuat setiap tahunnya akan banyak warga baru di Oesapa. Baik yang ingin tinggal menetap, maupun karena tuntutan pendidikan, atau demi sesuap nasi. Hal ini juga yang membuat setiap tahun jumlah ibu dan balita di kelurahan berubah- ubah, ada yang datang dan pergi. Hingga akhir juli 2010 tercatat 891 balita di posyandu. Walaupun tidak semuanya hadir di posyandu setiap bulannya. “Awalnya banyak orang setuju membuat posyandu di kelurahan Oesapa, tapi ketika

 

98

Website Kota Kupang.

My Development Goals

Bedasarkan data dari buku register posyandu Kelurahan Oesapa yang direkap oleh Ketua Pokja IV untuk dilaporkan ke Puskesmas. .

diminta jadi kader posyandu banyak juga yang menolak”, kata Hartini Anin bercerita.

ini asli Malang, namun telah lama tinggal di Kupang setelah menikah.

Wanita yang sehari- harinya dipanggil Mama Anin ini, adalah ketua Pokja (Kelompok Kerja) IV PKK sekaligus kader posyandu, yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan posyandu.

Menjadi kader bukanlah suatu pekerjaan gampang; butuh komitmen, konsistensi bahkan semangat kerelawanan yang tinggi. Bukan tanpa resiko mereka memilih menjadi kader, membagi waktu dengan tugas, keluarga bahkan harus berpikir keras, bagaimana mengajak para ibu- ibu tetap datang ke posyandu.

“Cukup sulit waktu itu mengajak orang menjadi kader, harus mengunjungi rumah ke rumah, bercerita. Akhirnya ada juga yang mau menjadi kader”. Ungkap Mama Anin sambil mengingatingat. “Awal didirikan, satu posyandu hanya satu orang kader. Kemudian berkembang menjadi lima orang kader untuk satu posyandu hingga sekarang”, tambahnya bercerita, seolah tak ingin kembali ke masa tersebut. Saat ini posyandu di Oesapa sudah sepuluh. Di tahun 2000-an, namanya diganti menjadi Posyandu Bougenvil dari 1 hingga 10. Bukan tanpa tantangan posyandu berkembang. Tapi “kehidupan” posyandu harus terus berjalan, tanpa terasa dua puluh tahun sudah umur posyandu.

“Saya guru SMA, juga ibu rumah tangga. Memilih menjadi kader, harus mampu membagi waktu. Bagi saya dengan menjadi kader saya bisa melakukan sesuatu untuk orang lain”. Tegas Frederika Ogga- Djawa (46), kader posyandu bougenvil tiga ini. “Pengalaman sebagai ibu membuat saya terpanggil untuk menjadi kader”, tambah Ibu Rovina Djangu (49) kader posyandu lainnya. “Saya juga binggung kenapa mau menjadi kader posyandu. Gaji tidak dapat. Kadang- kadang kita harus bisa membagi waktu antara rumah dan posyandu”. Ungkap Rumiyati.

Dua puluh tahun juga kader posyandu melayani sebagai relawan. Apakah mungkin di umurnya yang hingga dua puluh tahun, posyandu masih tetap menjadi tempat khusus untuk perempuan.

Masih muda, belum menikah. Bukan hambatan baginya untuk menjadi kader posyandu. Keputusannya menjadi kader, mengalahkan anggapan bahwa ibu- ibulah yang punya rasa tanggung jawab untuk melayani sebagai kader. Rumiyati (29), wanita berjilbab ini mulai menjadi kader sejak tahun 2000.

“Saya senang jadi kader, bisa bertemu banyak orang, bercerita. Saya suka berkumpul dengan orang banyak”. Begitulah jawaban Ibu Hartini Anin ketika ditanya mengapa mau menjadi kader.

“Rasa ingin membantu. Mungkin itu yang membuat saya mau menjadi kader. Seperti, ada rasa bahagia jika bertemu ibu- ibu, balita dan saling menyapa”. Tambah Rumiyati dengan senyuman di bibir.

“Dengan menjadi kader. Mungkin saja, saya bisa membuktikan bahwa saya mengasihi orang lain dengan tindakan”. Tambahnya dengan logatnya yang khas timor- jawa. Maklum ibu dua anak

Bisa dibayangkan bantuan dari Pemerintah Kota Kupang dari APBD kota, untuk tiap posyandu satu tahun Rp. 1.500.000,-. Yang dipakai untuk transportasi kader lima orang sebesar Rp. 1.000.000,-. Untuk administrasi Rp. 100.000,dan sisanya Rp.400.000,- untuk pemberian makanan tambahan (PMT) selama setahun.



Di beberapa posyandu kader harus kreatif untuk mendorong para orang tua dengan

Sepuluh program pokok PKK tertuang ke dalam empat kelompok kerja. Secara khusus Kelompok Kerja IV yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan posyandu.

My Development Goals

99

cara; tabungan anak. Tabungan disimpan di Posyandu hingga anak berusia lima tahun, bisa diambil. Tabungan ini, nantinya dapat membantu untuk keperluan anak masuk sekolah. Besarnya tabungan minimal Rp. 5.000,/ bulan, tergantung kemampuan orang tua. Tabungan ini diharapkan menjadi “pengikat” para orang tua terus datang ke posyandu untuk memonitoring kesehatan anaknya. Posyandu lain berinisiatif untuk membuat arisan. Selain sebagai penyemangat agar orang tua lebih aktif ke posyandu. Ini sebagai ajang diskusi menyangkut posyandu, perkembangan anak serta kesehatan umumnya. “Sepertinya menjadi kader membuat kami lebih kreatif”. Jelas seorang kader dengan yakin. “Tantangan selalu ada. Dan itu mendorong kami untuk berpikir bagaimana jalan keluarnya”. Curhat Hartini Anin menambahkan. “Sekarang saja kami kebingungan karena KMS sangat terbatas”. Hartini diam sejenak. “Kami minta ke Puskesmas tidak ada. Menurut mereka dinas tidak memproduksi lagi. Tidak tahu kenapa. Ya sudah kita foto copy saja. Banyak ibu- ibu mengeluh Tapi kita tak punya pilihan to?” Tambah Hartini dengan raut wajah kebingunan. ****

Lima Meja Pelayanan Seorang ibu terlihat menggendong anaknya, di satu tangannya memegang anaknya yang lain. Berjalan menuju rumah yang sudah penuh beberapa ibu dan bayi mereka. Dari jauh terlihat timbangan besi digantung pada atap rumah. Sebuah kain putih di kaitkan pada pengait besi yang agak tajam. Oh…ada suara tangisan dari balik kain. Seorang anak sedang ketakutan, dikira sang ibu meninggalkannya setelah ditaruh di dalam kain untuk ditimbang. 7,5 kg beratnya! Terdengar suara seorang ibu kader setelah selesai menimbang.

100

My Development Goals

Melaporkan pada rekan kader lain yang sedang sibuk mencatat. Marselina Nenohai (32) ibu dua anak ini terus setia mengantarkan anaknya ke posyandu. “Sudah sejak anak pertama, saya selalu bawa ke posyandu. Waktu itu tahun 2002”. Cerita Ibu Marselina. Mau diimunisasi? Tanya kader kepada sang ibu setelah menimbang. “Ia ibu, mau imunisasi campak”. Jawab Ibu Marselina dengan yakinnya. “Oh…ibu kalau mau imunisasi campak harus di puskesmas. Karena obatnya jika sekali dibuka, harus dipakai habis. Mereka hanya mau di Puskesmas, supaya jumlah yang diimunisasi banyak, jadi tidak rugi”. Jelas sang kader. Beberapa ibu yang lain menyusul menimbang anak mereka, kemudian memberikan KMS untuk dicatat hasil penimbangan oleh kader sebagai monitoring. Terdengar di bagian lain ruangan itu suara tangisan anak- anak, setelah disuntik ibu bidan. “Anak ibu nanti akan panas, sebagai rekasi dari imunisasi ini”. Kata sang bidan sambil memberikan obat penurun panas. “Ini diminum 3 X ¼, sebagai penurun panas” Jelas sang bidan menambahkan. Mengingat posyandu tentu tak akan terpisah dari istilah lima meja. Yakni; pendaftaran, penimbangan, pengisian KMS, penyuluhan perorangan berdasarkan KMS, pelayanan KB, Imunisasi, Pemberian vitamin A Dosis Tinggi. Namun, yang berjalan hanyalah terbatas pada kegiatan penimbangan bayi, pengisian KMS, pemberian makanan tambahan serta pemberian Vitamin A pada bulan Februari dan Agustus. Posyandu masih terkesan sebagai rutinitas setiap bulan. Penimbangan balita, dan pemberian imunisasi, sementara komunikasi yang terbangun antara kader, pengunjung

posyandu, para bidan, kader PKK tidak berjalan dengan baik. Tenaga medis pun selalu berlindung di balik alasan kekurangan tenaga dan fungsi mereka hanya pelayanan, bukan sebagai penggerak masyarakat. ****

Lelaki Hebat di Posyandu Beribu pujian akan keluar dari mulut ibu- ibu, jika melihat ada bapak- bapak yang membawa anaknya ke posyandu. Pujian itu seolah mengalahkan, pujian terhadap para ibu-ibu yang setiap bulannya dengan setia membawa anak mereka ke posyandu. Cerita itu akan menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Siang itu, seorang bapak penuh kepastian mengantar anaknya ke posyandu. Ini bukan kali pertama ia berkunjung ke posyandu. Secara bergantian ia dan istrinya megantar anak mereka ke posyandu. “Terkadang mereka datang bersama, membawa dua anak mereka”. Cerita salah seorang kader posyandu yang biasa melayaninya, dengan bangga. “Andai semua bapak- bapak seperti Pak Zaka. Pasti mama- mama tidak perlu pusing berpikir bagaimana membagi waktu untuk urus rumah dan bawa anak ke posyandu”. Kata Maria Mansur (38) salah satu kader Posayandu Bougenvil tiga dengan ketusnya. “Pasti setiap bulan tidak ada anak yang KMSnya kosong karena tidak datang ke posyandu”, tambahnya seolah memperjelas pernyataannya, dengan logat timor yang terdengar agak kasar. Keanehan tak nampak dalam diri Zakarias (30) seperti lelaki lainnya, ketika harus membawa anaknya ke posyandu. Bekerja sebagai koster di salah satu gereja tidak membuatnya lupa untuk membawa anak ke posyandu. “Apa yang saya lakukan adalah wujud dari janji yang sudah saya ucapkan ketika menika. Ini anak

kami, bukan anak saya atau dia. Jadi harus urus juga sama- sama”. Kisah bapak yang yang selalu tersenyum, bagai menikmati hidup tanpa beban ini. Lelaki hebat tak hanya ditemui di bougenvil tiga. Dengan baju batik hijua seorang bapak membawa anaknya menuju posyandu bougenvil satu. Tanpa kata- kata cuma senyuman tipis, dia langsung meletakkan anaknya di dalam timbangan. “Delapan kilogram beratnya”, kata sang kader! Sepertinya berat sang anak sesuai dengan umurnya yang masih sepuluh bulan. Tanpa komentar kader menulis di KMS (Kartu Menuju Sehat) sang bayi. Merasa tidak ada masalah dengan anaknya, dia langsung pulang. Masih dengan senyuman yang tak pernah pudar. “Dia itu guru. Tapi masih sempat antar anaknya ke posyandu”. Kata Rumiyati, ketua kader posyandu bougenvil satu ini. Tak jauh dari tempat posyandu bougenvil satu. Setiap bulan tanggal 16 pasti rumah Ibu Getreda Natun akan ramai. Ya! Setiap tanggal itu adalah jadwal bagi posyandu bougenvil tujuh. Getreda Natun adalah ketua kader di posyandu tersebut. Rumahnya dipilih sebagai tempat posyandu setelah beberapa kali sempat berpindahpindah. Posyandu sudah hampir selesai di pukul 10.00. Waktu datang seorang ibu bersama suaminya sambil menggendong anak mereka. Langkah bapak itu terhenti ±200m dari posyandu. Anaknya diberikan ke gendongan sang istri. Bawah pohon yang rindang menjadi tempat duduknya, sambil menatap anak dan istriya yang melangkah ke posyandu. Memantau dari jauh sepertinya menjadi aktivitas sang bapak untuk beberapa waktu. “Mengapa suaminya tidak diajak bergabung? Pasti senang punya suami yang mau mengantar ke posyandu.” tanya sang kader pada ibu tersebut.

My Development Goals

101

“Dia malu, karena yang ada di posyandu semuanya perempuan”. Jawab sang ibu dengan perasaan bangga nampak dari matanya. Meskipun cuma memantau dari jauh. Sebuah harapan, mematahkan rasa pesimis terasa muncul dalam benak. Mungkinkah mereka adalah bagian dari beberapa orang yang merasa, bahwa tugas untuk menjaga, mendidik anak, dengan selalu memastikan kesehatan mereka adalah kewajiban semua orang. Tak peduli laki- laki atau perempuan, ayah atau ibu, saudara lakilaki atau saudara perempuan. ****

Perempuan Penjaga Masa Depan Gadis kecil berusia kurang lebih 10- 11 tahun itu melangkah menuju posyandu. Sesekali terlihat ia menggendong adiknya, kemudian diturunkan jika merasa tak sanggup lagi menggendong. Diana nama gadis kecil itu. “Mama lagi masak, jadi saya yang membawa adik ke posyandu”. Diana menjelaskan ketika ditanya ibu kader, sambil memberikan KMS adiknya pada sang kader. “Bulan lalu datang posyandu?”. Sejenak berhenti sambil menulis KMS. Sang kader lanjut bertanya dengan senyuman di bibir: “Kenapa berat badanya turun?”. Sambil menggeleng dengan raut kebingungan Diana menjawab “Tidak tahu, mama yang mengantar”. Selesai menimbang, Diana boleh pulang dengan seribu satu pesan dari kader kepada ibunya. Para kader begitu sibuk menulis bukan saja tentang adik Diana tetapi beberapa bayi, hingga ratusan. Dari KMS ke buku register, yang

102

My Development Goals

kemudian harus dilaporkan kepada ketua pokja IV untuk direkap semuanya. Hasil rekapan dari posyandu akan dikalkulasikan ulang sesuai standar dari WHO, untuk menghitung tingkat gisi baik, sedang dan buruk. Sedangkan standar dari KMS tidak digunakan, hanya sekedar untuk mencatat perkembangan setiap bulannya di kartu kontrol. “Sekarang, puskesmas sudah memakai standar WHO. Jadi rekapannya harus diitung ulang. Jika memakai standar garis di KMS maka angka gizi buruk akan lebih banyak. Dibandingkan memakai standar WHO”. Jelas Ibu Hartini Anin yang setiap bulannya harus keliling sepuluh posyandu untuk merekap semua itu. Posyandu sebagai pusat pelayanan yang terdekat di masyarakat, menjadi tempat yang paling gampang diakses untuk mengetahui perkembangan anak. Segala data yang diperoleh dari posyandulah yang akan dipakai oleh puskesmas sebagai laporan ke Dinas Kesehatan. “Kami sebagai kader sepertinya hanya diperlukan kalau ada yang ingin mengambil data tentang gizi buruk. Setelah itu mereka akan cuek saja”. Ungkap Ibu Frederika Ogga- Djawa yang melayani sebagai kader kurang lebih delapan tahun. Tambahnya sambil mengingat; “Kalau ada kunjungan tiba- tiba dari pihak terkait pasti kami yang dipanggil. Terdiam sambil mengerutkan dahi. “Waktu itu ada kunjungan dari Wakil Walikota dan rombongan. Tiba- tiba saya di telepon dokter harus segera siap- siap karena Pak wakil mau mengunjungi wilayah kami”. Sambil tersenyum ia melanjutkan: “Waktu itu saya membawa Pak Wakil ke wilayah yang mobil tidak bisa masuk. Jalan kaki juga susah. Tapi tidak apa- apa supaya pak Wakil juga tahu bagaimana keadaan wilayahnya”. Menurut para kader, posyandu mengalami stagnasi karena banyak faktor, antara lain: kader kurang aktif dan kurang semangat, ada pendekatan proyek yang melemahkan inisiatif

masyarakat (ada bantuan baru ke posyandu), kurangnya pemberdayaan. Belum jelasnya siapa ”pemilik”posyandu juga menjadi masalah, masyarakat yang dikatakan pemilik posyandu “cuek”. Sedangkan puskesmas, karena merasa posyandu milik masyarakat, sehingga pengembangan bukan urusan mereka (puskesmas hanya untuk imunisasi).

SELESAI

Apapun tantangannya melayani di posyandu harus berjalan terus. Manggantung timbangan setiap bulan, sambil menanti ibu dan balita datang akan terus dilakukan. Tak perduli lakilaki, para bapak, saudara lelaki, berpartisipasi atau tidak, mencatat perkembangan anak dalam KMS terus dilakukan. Mereka tak pernah tahu apa target MDGs. Yang pasti pelayanan mereka tidak hanya hingga 2015. Mereka tak pernah membaca Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Mereka tak pernah mendengar pidato presiden tentang target negara untuk kesehatan. Mereka pun tak pernah tahu kalau anggaran negara kebanyakan hanya untuk belanja pegawai. Yang pasti, menggantung timbangan untuk mengukur anak- anak yang adalah masa depan bangsa terus dilakukan. Meningkatkan kesehatan ibu dan anak dengan melayani di posyandu terus digeluti. Apa mungkin tugas penjaga masa depan, menjadi tanggung jawab seorang wanita? Karena perempuanlah yang mengatur ketersediaan pangan dalam keluarga. Ketika air susah untuk didapat, perempuan menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mencari. Perempuan juga yang menjadi kader posyandu. Yang setiap bulannya menggantung timbangan, demi mengukur perkembangan anak- anak sebagai sebuah harapan akan masa depan.

My Development Goals

103

104

My Development Goals

Perempuan Menapak Jejak di Atas Rob EM. Ali

M

isriah, 36 tahun, turun dari becak dengan sedikit berjinjit menghindari rob setinggi hampir selutut di depan puskesmas Bandarharjo. Misriah mengunjungi puskesmas Bandarharjo untuk memeriksakan kehamilannya. Usia kandungan Misriah 8 bulan. Itu merupakan kehamilannya yang ketiga. Dua anaknya sekarang berusia 6 tahun dan 2 tahun. Pada dua kehamilan terdahulu perawatannya juga dilakukan di Puskesmas. Puskesmas Bandarharjo merupakan fasilitas kesehatan terdekat dan terjangkau ekonomi keluarga Misriah yang mengantungkan hidup dari pekerjaan suaminya sebagai buruh. Kelurahan Bandarharjo secara administratif termasuk wilayah Semarang Utara, Kota Semarang. Kelurahan ini berbatasan langsung dengan kecamatan Tanjung Mas yang menjadi pelabuhan utama di Propinsi Jawa Tengah. Pada masa kolonial, Bandarharjo merupakan pusat pemerintahan dan menjadi satu dengan daerah yang saat ini disebut kota lama Semarang. Sebagai pusat pemerintahan dengan pelabuhan Tanjung Mas sebagai pintu masuk, Semarang merupakan kita yang ramai. Sebuah benteng pernah dibangun mengelilingi Bandarharjo, namanya benteng Vijfhoek. Benteng ini difungsikan sebagai pusat militer dan pemukiman penduduk Belanda. Konsep pembangunan benteng berbentuk segi lima itu menyerupai konsep pembangunan Kota Amsterdam dengan arsitektur bangunan mirip dengan kota itu. Sementara sungai Semarang sebagai kanal-kanalnya. Oleh karena itu kota

lama Semarang sering disebut sebagai Little Netherland. Pada tahun 1824, pintu gerbang dan menara pengawas benteng mulai dirobohkan. Setelah Indonesia merdeka kantorkantor dagang dan pemukiman diambil alih pemerintah Indonesia. Seiring perkembangan jaman, Bandarharjo mulai ditinggalkan, kantor-kantor yang dulu ramai mulai sepi dan kanal-kanal yang dimaksudkan untuk mengatur luapan air laut tidak terawat. Kondisi ini diperburuk oleh pemanasan global, pendangkalan sungai dan ditengarai adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh PT. Indo Perkasa Usahatama (IPU) untuk perluasan kawasan industry. Jadilah Bandarharjo kota mati yang setiap tahun dihantam banjir dan digenangi rob. Rob adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan. Misriah sedikit beruntung karena rumah petak kontrakannya sudah ditinggikan sehingga air tidak masuk ke dalam rumah. Tapi tidak begitu dengan jalan-jalan di luar kampungnya. Genangan rob menutup semua permukaan jalan. Kondisi lingkungan yang buruk itu menyebabkan Misriah tidak luput dari berbagai penyakit yang sering muncul di Banjarharjo seperti batuk, gatal dan demam berdarah.



http://id.wikipedia.org/wiki/Rob, 30 agustus, 12.15

My Development Goals

105

“Kalau sering kena rob, saya kakinya tidak tahan lalu sering gatal-gatal,” tutur Misriah tentang penyakit yang sering menyerangnya. Kesehatan menjadi persoalan tersendiri bagi warga Bandarharjo yang kebanyakan tingkat perekonomiannya rendah. Itu dirasakan benar Misriah, apalagi dia sedang hamil. Perlu perhatian ekstra terhadap kesehatannya dan kesehatan janin dalam kandungannya. Hanya puskesmas tempat dia menggontrol dan memperhatikan kondisi kesehatan janin dalam kandungannya. Puskesmas adalah kemungkinan terbaik dalam kondisi ekonomi yang buruk di Bandarharjo. “Saya satu bulan sekali ke puskesmas untuk memeriksakan kondisi kandungan,” kata Misriah yang menyadari betapa penting memeriksakan kandungan untuk mengetahui kesehatan janin. Setiap bulan Misriah harus naik becak dari rumah kontrakannyanya yang sudah ditempati selama 7 tahun, di Jalan Kakap 2, Kuningan, Bandarharjo. Rumah kontrakannya berjarak kurang dari dua kilometer dari Puskesmas. Sebuah jarak yang relatif dekat, tapi apa boleh buat, jalanan tidak dapat dilewati. Jalanan terendam rob. Di Puskesmas Misriah mendapat pelayanan gratis, kecuali kalau mau periksa darah ke labolatorium. Dia harus mengeluarkan biaya 8.000-10.000 rupiah. Sebuah harga yang masih terjangkau oleh Misriah. Menurut Misriah, selain di Puskesmas, biaya kesehatan mahal. Karena itu dia sangat berhati-hati dalam menjaga kesehatannya. Dia berusaha sebaik mungkin menjaga kesehatan pribadi, kesehatan, keluarga dan rumah tinggal, kesehatan lingkungan. “Saya bersih-bersih rumah dan lingkungan,” tutur Misriah. “Selain itu, makan makanan bergizi dan istirahat cukup.” Sebuah langkah sederhana untuk menjaga kesehatan. Tapi tekad besar untuk menjaga kesehatan diri dan kandunganya merupakan sebuah upaya yang layak dihargai.

106

My Development Goals

Kondisi serupa juga dialami Dian Lestari. Ibu rumah tangga yang tinggal di Bager Baru, wilayah yang masih bagian dari Kelurahan Bandarharjo itu setiap satu bulan sekali pergi ke Puskesmas untuk memeriksakan kehamilannya. Itu merupakan kehamilan kedua Dian. Usia kandungannya baru satu bulan. Anak pertamanya sekarang berusia 3 tahun. Selain rutin pergi ke puskesmas untuk memeriksakan kehamilan, usaha untuk menjaga kesehatan yang dilakukan Dian adalah bersih-bersih rumah setiap hari. “Olah raga, bersih-bersih. Harus pintar menjaga diri, kamar dibersihkan. Di kamar banyak nyamuk karena genangan rob. Genangan robnya sudah berlangsung lama, tetapi katanya pemerintah mau membangun jalanan yang baik untuk menanggulangi rob,” ujarnya yang sudah menempati rumah yang dikepung rob selama lima tahun. Menunggu pemerintah bertindak untuk mengatasi rob seperti berharap munculnya pelangi di musim kemarau bagi warga Bandarharjo. Warga Bandarharjo akhirnya mengambil inisiatif sendiri. “Warga yang tinggal di daerah rob melakukan patungan atau swadaya sendiri. Caranya dikumpulkan uangnya per KK (dibelikan material untuk meninggikan jalan kampung). Kalau di jalan raya mendapatkan bantuan, tetapi kalau di kampung-kampung tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata Dian yang rumahnya sering terendam rob. Berbagai upaya dilakukan warga Bandarharjo untuk menjaga kesehatan lingkungan. Selain menjaga kebersihan rumah masing-masing, warga juga melakukan swadaya meninggikan jalan-jalan kampung agar tidak tergenang rob. Namun sejauh itu, pemerintah belum menganggap serius persoalan rob yang bertahun-tahun telah mengenangi pemukiman penduduk. Pemkot Semarang menyikapi rob dengan serius baru pada tahun 2000. Melihat begitu parahnya dampak rob, Pemkot pada 2001 lalu

memasang 49 pintu air di sejumlah saluran air menuju sungai yang menjadi area luapan rob. Namun semua upaya itu sudah tidak mempan lagi. Sebab meski telah memasang pintu air, bahkan meninggikan dua kali pintu-pintu air itu, rob tidak bisa dihadang. Bahkan ditengarai pemasangan pintu air yang tidak tepat membuat rob di kota Semarang semakin parah. Lagi-lagi penduduk yang menjadi korban.



http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/24/ kot06.htm, 30 Agustus 2010, 1.30 wib.

My Development Goals

107

108

My Development Goals

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.