no bra day

June 14, 2017 | Autor: Dhy Saussure | Categoria: Gender and Sexuality
Share Embed


Descrição do Produto

No Bra Day : Subtansi yang hanya dibaca Mesum
Sepintas, tidak ada yang istimewa dari penanggalan ke 13 di bulan oktober ini. Tidak ada tanda merah. Tanggal merah malah jatuh pada keesokan harinya sebagai tahun baru islam. Namun, di beberapa media social lagi lucu-lucunya menyuarakan "hari tanpa bra". Sebuah kampanye yang mengajak wanita untuk tidak menggunakan Buste Hounder (BH) atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah kutang – serapan dari Bahasa perancis Coutant yang artinya "berharga" ketika Don Lopez comte de Paris, kaki tangan Herman Willem Daendels, menyuruh buruh perempuannya untuk menutupi payudaranya.
Hari ini, banyak perempuan di berbagai belahan bumi tidak menggunakan Bra. Di Indonesia juga. Bahkan di makassar. Tindakan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan bagi para penderita kanker yang kebetulan pada bulan oktober diperingati sebagai National Breast Cacer Awareness Month.
Menurut National Cancer Institute, sepanjang tahun 2014 diperkirakan ada sekitar 230.000 wanita yang didiagnosa terkena kanker payudara, dan 40.000 diantaranya meninggal dunia. Sejarah perempuan memang tidak bisa dilepaskan dari perlawanan mereka untuk terbebas dari kanker. Melawan rasa nyeri dan sakit serta ancaman akan bayang bayang kematian.
Melihat kenyataan tersebut, sekelompok orang memulai kampanye pada tahun 2011 mengajak perempuan untuk meluangkan waktu sehari saja untuk tidak menggunakan Bra. ada fakta yang diyakini bahwa, Bra sebagai salah satu penyebab yang memicu terjadinya kanker payudara.
Kontroversi terjadi khususnya di Indonesia, dianggap ikut-ikutan dan tidak memahami konteks. Julia perez pernah terlibat dalam kampanye ini dan memamerkan tubuhnya tanpa busana, hanya ditutupi dengan boneka. Praktek no bra day di Indonesia dianggap amoral dan tidak sesuai dengan budaya.
***



Payudara tidak seharusnya (melulu) dianggap sebagai objek seksual. Sesuatu yang mendatangkan rangsangan bagi mata yang memandangnya. Karena dianggap sebagai sesuatu yang mengundang nafsu, maka Bra hadir untuk mengurung, mengkerangkeng, dan memenjarakan payudara agar tidak menggoda. Ini juga sebagai bentuk toleransi untuk memberikan ruang bagi perempuan ke ranah public.
Karena dianggap sebagai objek seksual, maka "No Bra Day" juga sudah pasti dianggap sebagai penanda kebebasan seksual. Tentu mereka yang moralis akan menganggapnya sebagai sebuah penistaan moral dan kebudayaan. Padahal, justru cara pandangnya yang memang hanya melihat perempuan sebagai objek seksual terkhusus pada payudara.
Meski banyak diantara mereka - perempuan yang juga gagal menfsirkan konsep tidak menggunakan Bra. Tanpa Bra tidak serta merta berarti dengan bebas mempertontonkan Puting payudara pada semua orang. Substansi dari kampanye ini seharusnya ditangkap sebagai memberikan kesempatan pada payudara untuk tidak dililit oleh Bra dan membiarkan payudara bebas dari "tekanan".
Disisi lain Bra juga sudah menjadi fashion. Ikon perempuan public yang keluar dari ranah domestic. Mereka yang menggunakan Bra dianggap sebagi professional dan wanita karir untuk konteks masyarakat urban. Bra kemudian di desain sedemikian rupa untuk menjadi sebagai alat untuk memperbesar, mempercantik, dan membentuk payudara hingga padat berisi.
Mereka perusahaan perusahaan besar berlomba-lomba merancang Bra sesuai dengan keinginan iklan-iklan yang membentuk persepsi perempuan hari ini tanpa mempertimbangkan kesehatan perempuan justru paradigmanya dianggap untuk kecantikan tubuh. Ada banyak hasil penelitian yang menunjukkan beragam kesakitan yang disebabkan Bra.
Payudara bisa dilihat sebagai sebuah sumber kehidupan. Sesuatu yang darinya kehidupan kecil dilanjutkan. Organ yang menyediakan nutrisi dan makanan sempurna bagi bayi. Payudara memiliki banyak fungsi, dan mengapa kita hanya bias menganggapnya sebagai obejek seksual semata.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.