paradigma

June 23, 2017 | Autor: Hilman Rismana | Categoria: Paradigma
Share Embed


Descrição do Produto

7
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana S3 Teologi

MAKALAH AKHIR FILSAFAT ILMU


PARADIGMA KOMUNIKASI
JÜRGEN HABERMAS












OLEH : RAMLI SN HARAHAP
N I M : 57120008
DOSEN : BERNARD T.ADENEY-RISAKOTA,Ph.D.




PROGRAM STUDI PASCASARJANA
DOKTOR THEOLOGIAE

18 DESEMBER 2012






PARADIGMA KOMUNIKASI
JÜRGEN HABERMAS

PENDAHULUAN
Mengapa paradigma komunikasi ini menjadi pilihan saya dalam makalah akhir ini? Karena paradigma komunikasi ini sangat erat hubungannya dengan penelitan disertasi saya nantinya selama menjalani proses studi doktoral di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta ini.
Fokus penelitan saya adalah berhubungan dengan misi Gereja dalam menjawab kebutuhan masyarakat Angkola di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemikiran Habermas ini tentunya akan membantu saya dalam rangka melihat fakta empirik di lapangan nantinya yang berkaitan dengan komunikasi Injil dalam masyarakat.

SIAPA JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach pada 18 Juni 1929. Ia belajar kesusasteraan Jerman, sejarah dan filsafat di Göttingen, di samping ia juga memperlajari bidang-bidang lain seperti psikologi dan ekonomi. Kemudian ia pindah ke Zürich melanjutkan studi filasafatnya di Universitas Bonn untuk meraih gelar doktor dengan disertasi "Das Absolute und die Geschichte" (Yang Absolut dan Sejarah).
Jürgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Meskipun begitu, teori kritis tidaklah begitu saja berhenti sampai di sini. Dengan menggunakan paradigma baru, Habermas telah melangkah bergerak kembali membangkitkan teori itu.
Tahun 1956 Habermas tiba di The Institute for Social Research di Frankfurt dan bergabung dengan aliran Frankfurt. Ia sebenarnya menjadi asisten riset dari Theodor Adomo, anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal (Wiggershaus, 1994). Meski ia bergabung dengan The Institute for Research, sedari awal Habermas telah menunjukkan orientasi intelektual yang bebas. Tahun 1961 ia menyelesaikan disertasi keduanya yang diwajibkan oleh Universitas Jerman, di Universitas Marburg. Setelah menerbitkan sejumlah karya terkenal, dia direkomendasikan menjadi profesor filsafat di Universitas Heidelberg bahkan sebelum menyelesaikan disertasi keduanya. Ia tetap di Heidelberg hingga 1964 dan kemudian pindah ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Dari 1971 hingga 1981 ia menjadi ia menjadi direktur Institute Max Planck. Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan tahun 1994 ia menjadi profesor pensiun di universitas itu. Habermas telah menerima sejumlah penghargaan akademis bergengsi dan menerima gelar profesor kehormatan dari sejumlah universitas.

PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG KOMUNIKASI

3.1. Pergeseran Teori Kritis ke Paradigma Komunikasi
Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Teori Kritisnya yang disebut "Teori Tindakan Komunikatif" didialogkan dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas dalam mengatasi kemacetan Teori Kritis sebelumnya. Pendahulunya sibuk mempermasalahkan praksis dengan teori. Praksis menjadi konsep utama dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurutnya praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja tetapi juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Kemacetan Teori Kritis terdahulu disebabkan oleh Marx yang menyempitkan praksis pada 'kerja', sehingga 'kritik' dipahami sebagai penaklukan kelas atas kelas. Dengan cara ini, kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan.
Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif. Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah 'paradigma kerja' dalam Teori Kritis ke 'paradigma komunikasi'. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan kritik sebagai kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa kritik dan ilmu-ilmu kritis termasuk praksis komunikasi.
Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx pada abad ke-19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praktis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan kita tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan sekaligus mendorong praksis perubahan sosial. "Praksis" adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini. Praksis bukanlah tingkah laku buta berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makluk sosial. Jadi, praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Dalam esainya pada 1960-an, Labor and Interaction: Remarks on Hegel's Jena "Philosophy of Mind", Habermas sudah meneliti bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis ini memahami prkasis bukan hanya sebagai "kerja" (Arbeit), tetapi juga "komunikasi" (Kommunikation). Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, maka rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam melalui kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa juga memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.

3.2. Teori Kritis dengan Paradigma Komunikasi
Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan tujuan emansipatorisnya membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (Mündigkeit). Ia juga menunjukkan bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan konsensus bebas dominasi. Dan hingga tahun 80-an, dia mengandaikan konsesnsus semacam itu dapat dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif(cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi dengan mencapai 'klain-klaim kesahihan'(validity claims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyatakan ada empat macam klaim, yakni:
'klaim kebenaran' (truth) yakni kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif
'klaim ketepatan' (rightness) yakni kesepakatan tentang norma-norma dalam dunia sosial
'klaim autensitas atau kejujuran' (sincerity) yakni kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang
'klaim komprehensibilitas' (comprehensibility) dicapai apabila kita telah mencapai kesepakatan klaim-klaim di atas. Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai 'kompetensi komunikatif' tersebut.

Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan lewat kekerasan, melainkan lewat 'argumentasi'. Habermas membedakan argumentasi menjadi diskursus/perbincangan(discourse) dan kritik. Disebut diskursus kalau mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus rasional. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan konsensus. Dalam hal ini, Habermas berbicara tentang kritik. Ada dua macam kritik, yakni 'kritik estetis' yang mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah dan 'kritik terapeutis', yakni menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.
Habermas menjelaskan bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Kompetensi itu dikembangkan bukan secara individual dan terisolasi, melainkan lewat interaksi sosial dengan medium struktur-struktur yang berasal dari dunia kehidupan mereka.
Ada tiga tahap perkembangan kompetensi komunikatif, yaitu:
1. Pertama, tahap interaksi melalui simbol-simbol, di mana tuturan dan tindakan masih terkait dalam kerangka kerja sebuah komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.
2. Kedua, tatap tuturan yang didifferensiasikan dengan pernyataan-pernyataan, yang untuk pertama kalinya antara tindakan dan tuturan dipisahkan. Pada tahap ini dikatakan telah terbentuk sebuah "peran sosial", karena setiap individu bertindak sebagai pelaku sekaligus pengamat.
3. Ketiga, pada tahap perbincangan (diskursus) argumentasi. Komunikasi sudah menyangkut pencarian klaim-klaim kesahihan tindakan- tuturan (speech-acts).
Melalui pentahapan tersebut yang diinginkan adalah masyarakat komunikatif yang terbentuk melalui kesepakatan bersama yang didasarkan atas prinsip konsensus antar masyarakat secara dialogis

3.3. Teori Perkembangan Masyarakat dengan Paradigma Komunikasi
Kalau kritik yang berhasil membawa sebuah kemajuan menuju masyarakat komunikatif, tentu ada sebuah asumsi tertentu tentang perkembangan masyarakat yang mendasari kritik. Teori Kritis disini tidak hanya kritis terhadap pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat, melainkan juga terhadap kenyataan sosial itu sendiri.
Habermas membuat dua esai yang merupakan tanggapan kritis atas tulisan Marcuse, Technology and Science as "Ideology" dan tentang teori rasionalisasi milik Max Weber. Dari dua esai tersebut dijelaskan bagaimana modernisasi diarahkan oleh masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi akumulasi modal. Habermas sejal awalnya menyatakan bahwa proyek modernitas menyingkirkan dan menindas unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebut sebagai "kerangka kerja institusional" dan "rasionalitas etis-praktis".
Habermas tidak meninggalkan modernitas tetapi ia memperlihatkan bahwa modernitas kapitalis adalah bentuk modernitas yang terdistorsi sebab mereduksi komunikasi pada kerja sosial. Dampak dari reduksi tersebut adalah patologi modernitas antara lain dalam bentuk erosi makna. Habermas menawarkan "model non-selektif" yang memperlihatkan bagaimana sektor-sektor lain harus "dicerahi" untuk menuju masyarakat yang komunikatif.
Habermas mengembangkan teorinya sendiri setelah mengkritik materialisme Marx. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri.

3.4. Kritik Habermas atas Masyarakat Dewasa Ini
Habermas beranggapan bahwa kekuasaan tidak semestinya dilegitimasikan, tetapi dirasionalisasikan. Dirasionalisasi tidak dalam paradigma kerja, tetapi dalam peradigma komunikatif. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan perkembangan kemajuan masyarakat.
Habermas dalam The Theory of Communicative Action memadukan dua paradigma ilmu sosial, yakni "paradigma kehidupan" dan "paradigma sistem". Pendiriannya adalah, masyarakat jangan hanya dilihat sebagai sistem administrasi dan ekonomi, melainkan juga solidaritas budaya atau komunitas. Dalam The Crisis of the Welfare State and the Exhaustion of Utopian Energies, dia menyatakan "utopia kerja sosial" telah kehabisan tenaga dan dia berharap dengan hal tersebut masyarakat dapat berubah ke arah komunikatif.
Selain itu, Habermas juga ingin terus melanjutkan proyek sejarah modernitas dengan sebuah strategi, yakni melakukan kritik emansipatoris terus ke dalam paradigma komunikasi.

REFLEKSI

Habermas merupakan tokoh berikutnya setelah generasi pertama dari Sekolah Frankfurt. Ia dikenal sebagai penerus dan pembaharu Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Ia mengkoreksi Marx yang menyatakan bahwa manusia sebagai homo faber, mahluk pekerja, mahluk produktif. Habermas menegaskan rasio merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan linguistik manusia. Sebagai ganti dari "paradigma kerja", rasio didasarkan pada "paradigma komunikasi". Manusia adalah mahluk komunikasi yang mencapai kebermaknaannya melalui proses komunikasi. Implikasi dari "paradigma komunikasi" ini adalah memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Dalam konteks komunikasi ini, perjuangan kelas dan revoluasi politik dalam padangan Marxisme klasik diganti dengan perbincangan rasional dengan argumen-argumen yang berperan sebagai unsur emansipatoris.
Habermas mengembangkan "teori tindakan komunikasi". Menurutnya, komunikasi yang sehat adalah komunikasi yang ditandai oleh kebebasan tiap partisipan untuk menentang klaim-klaim tanpa rasa takut akan tindakan kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Dalam komunikasi yang sehat, tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan, menampilkan diri, mengajukan klaim normatif serta menentang pendapat partisipan lain.
Dengan teori tindakan komunikasi, Habermas hendak menunjukkan kemampuan manusia untuk melakukan pencerahan diri lewat proses komunikasi. Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang secara sadar dicapai oleh partisipan komunikasi tidak mengandung penindasan. Komunikasi juga dapat menyadarkan manusia modern dari penindasan pemilik modal buta. Melalui komunikasi, pencerahan dan pembebasan manusia dapat dicapai.
Dalam kaitannya dengan pelayanan di Gereja, Frans-Josef Eilers mengatakan bahwa pelayanan dan misi Gereja adalah mengkomunikasikan Kabar Baik tentang keselamatan serta cinta kasih Allah kepada makhluk ciptan-Nya. Gereja perlu melanjutkan komunikasi tersebut dalam rengkuhan Tritunggal Mahakudus, yakni pewahyuan dan penjelmaan komunikasi Allah ke dalam "sini dan kini"-nya kehidupan sehari-hari melintas abad demi abad. Hal ini dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu pewartaan (keryugma), komunitas atau persekutuan yang hidup (koinonia), serta pelayanan penuh kasih (diakonia).
Lebih dalam Frans mengatakan, teologi komunikasi mencermati keseluruhan teologi dalam sudut pandang komunikasi. Maka, "komunikasi" menjadi sebuah prinsip teologis yang menyoroti keseluruhan teologi.
Dengan demikian baik teori tindakan komunikasi yang dikembangkan Habermas dan Frans, menurut saya sangat relevan untuk diujicobakan dalam rangka melihat misi Gereja dalam menjawab kebutuhan warga jemaat dan masyarakat Angkola, seperti:
Memberikan pencerahan kepada masyarakat yang ada di daerah Angkola, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara agar daerah Angkola terus mempertahankan jati dirinya sebagai tempat kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini akan bisa dicapai jika komunikasi di antara semua umat beragama dapat dipelihara dan dijalin dengan baik.
Misi gereja dapat dikomunikasikan kepada warga jemaat dan masyarakat dalam rangka menopang masyarakat dalam menghadapi berbagai pergumulan hidup baik secara ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Menjadikan daerah Angkola sebagai daerah wisata iman di tanah Batak. Karena titik nol kekristenan di tanah Batak dimulai dari daerah Angkola.
Menjadikan daerah Angkola sebagai pusat dialog antar umat beragama untuk menjaga kelestarian kerukunan umat beragama dan menjaga ancaman perpecahan di dalam masyarakat Angkola.
Dengan demikian dapat saya simpulkan bahwa teori komunikasi Habermas ini menolong saya dalam rangka melihat kebutuhan warga jemaat dan masyarakat Angkola dulu dan kini untuk menjadi masukan dalam menjalankan misi Gereja yang lebih baik lagi.


DARFTAR KEPUSTAKAAN


Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman, Jakarta, Gramedia, 2002.

Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action, Jilid II, Boston, Beacon Press, 1987.

Hardiman, F.Budiman. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009.

Josef Eilers, Frans., berKOMUNINASI dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta, Kanisius, 2011.

Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas", Yogyakarta, Kanisius, 2004.

Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2011.


1

Makalah Akhir – Filsafat Ilmu



Lih. E.Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hl. 87; bnd. John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas", Yogyakarta: Kanisius, 2004, hl. 284.
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman, Jakarta: Gramedia, 2002, hl. 236.
F.Budiman Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hl. 15-17.
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Jilid II, Boston: Beacon Press, 1987, hl. 378.
F.Budiman Hardiman, Menuju … Op.Cit., hl. 17-20.
F.Budiman Hardiman, Menuju … Op.Cit., hl. 20-22.
F.Budiman Hardiman, Menuju … Op.Cit., hl. 22-23.
Sekolah Frankfurt merujuk pada gerakan intelektual yang dilakukan secara multidisipliner oleh sekelompok intelektual Jerman yang berpusat di kota Frankfurt,Jerman:Bagus Takwin (2003) : Akar-akar Ideologi. "Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Jalasutra.
Frans-Josef Eilers, berKOMUNINASI dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hl. 11.
Ibid.



Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.