Pemilu Serentak sebagai (awal) Memperkuat Sistem Presidensil; Consensus Model vis a vis Westminster Model

July 27, 2017 | Autor: Laga Sugiarto | Categoria: Constitutional Law, Comparative Constitutional Law, State Constitutional Law
Share Embed


Descrição do Produto

PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIALISME INDONESIA KE DEPAN (PEMILU SERENTAK (AWAL) MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIALISME)

Parlementer vis a vis Presidensiil
Pada awal berdirinya negara Indonesia, kita sudah mantap untuk memilih sistem presidensial meskipun pada praktiknya berjalan justru menghadapi perubahan menjadi sistem parlementer, sistem parlementer yang dianggap melekat dengan demokrasi liberalisme begitu sangat dihindari oleh para pendiri bangsa dengan alasan ideologis. Parlementer seringkali mengalami kegagalam dalam perjalanan ketatanegaraan negara ini, jatuh bangun kabinet yang selalu diikuti dengan kompetisi politik, beriplikasi pada tersendatnya pemerintahan ini secara efektif. Pilihan sistem presidensial sejak awal memanglah tepat, jika menyoroti kepada keuntungan atau kelebihan sistem presidensial dengan bermaksud untuk memperkuat pemerintahan melalui stabilitas yang terbangun antara hubungan organisasi legislatif dengan eksekutif, sehingga menghasilkan suatu pola tata kerja yang saling kontrol di antara 2 kekuasaan tersebut, tidak subordinat satu sama lain. Berdasarkan pembilahan sistem presidensial dan parlementer yang dilakukan oleh Arendt Ljiphart sebagi berikut:
Tabel 1
Perbandingan Model Demokrasi Consensus Model – Majoritarian Model
Consensus/Proportional Model

Westminster/Majoritarian Model
Presidential
Parliamentary
Proportional election
Single member and disproportional
Multi-party
2 Parties
Coalition
Single Party Majority
Corporatist
Pluralism

Jika kita menganalisis model demokrasi di Indonesia berdasarkan pembilahan yang tersebut di atas, maka secara teoritis sistem pemerintahan di Indonesia dikualifikasikan sebagai Consensus/Proportional Model. Karakteristik ini nampak jelas jika diuraikan sebagai berikut:
Indonesia adalah sebuah negara dengan masyarakat yang plural baik dari sisi agama, ideology, bahasa, budaya etnis, ataupun ras. Tidak ada negara pada masyarakat yang plural menggunakan demokrasi mayoritas karena di samping menjadi tidak demokratis, juga berbahaya sebab minoritas tidak dapat melakukan akses kekuasaan dan akan merasa terpinggirkan dan terdiskriminasi. Negara-negara plural akan lebih baik menggunakan model demokrasi konsensus;
Eksekutif, dalam hal ini adalah cabinet, selalu merupakan bentuk koalisi atau pembagian kekuasaan di antara beberapa partai politik. Hal ini dibuktikan dengan menteri-menteri yang tidak hanya berasal dari satu partai. Pada model demokrasi mayoritas, eksekutif dipegang oleh satu partai mayoritas;
Antara kekuasaan presiden (executive power) dan kekuasaan DPR (legislative power) bersifat seimbang. Presiden tidak bisa membubarkan DPR, dan DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden secara langsung. Hal ini merupakan konsekuensi dari sistem presidensiil yang dianut Indonesia. Pada model demokrasi mayoritas, kekuasaan cabinet lebih dominan karena cabinet biasanya diisi oleh orang-orang yang merupakan pimpinan partai mayoritas dalam parlemen;
Indonesia menganut sistem multipartai. Pada 1999 diikuti oleh 48 partai, sedangkan pada pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai. Pada model demokrasi mayoritas murni, sistem kepartaiannya adalah dwipartai;
Sistem yang dipakai dalam pemilihan umum DPR adalah sistem pemilu proporsional yang menunjukkan karakteristik model konsensus. Sedangkan model demokrasi mayoritas biasanya menganut sistem pemilu yang tidak proporsional, biasanya sistem distrik;
Kelompok kepentingan yang kooperatif. Hal ini dapat dilihat dari kelompok-kelompok kepentingan yang selalu berkompromi dalam pembuatan atau pelaksanaan kebijakan. Sedangkan dalam model demokrasi mayoritas, kelompok kepentingan selalu mempertahankan perbedaan yang bersifat plural;
Indonesia menganut pemerintahan yang terdesentarlisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kekuasaan Pemerintah Daerah sangat besar karena urusan yang diberikan kepada daerah sangat luas, selain lima urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat. Pada negara model demokrasi mayoritasd, pemerintahannya tersentralisasi atau apabila pada negara federal, maka kekuasaan negara bagian sangat kecil seperti di Kanada;
Menurut karakteristik Arend Ljiphart, seharusnya negara dengan model demokrasi konsensus murni menganut strong bicameralism untuk memberikan representasi yang khusus kepada kalangan minoritas atau daerah-daerah kecil. Pada model demokrasi mayoritas, menghendaki adanya konsentrasi kekuasaan legislative pada satu kamar (unicameral);
Konstitusi Indonesia tidak dapat dirubah oleh DPR sebagai lembaga legislative dengan cara pengambilan keputusan biasa, tetapi hanya dapat dilakukan oleh MPR dengan ketentuan khusus. Hal ini menunjukkan adanya constitutional rigidity sebagai karakteristik demokrasi konsensus. Sedangkan pada demokrasi mayoritas, biasanya tidak terdapat konstitusi sebagai suatu dokumen tertulis khusus, kalaupun ada dapat diubah dengan act of parliament (constitutional flexibility);
Bank Indonesia, sebagai bank sentral bersifat independen. Jika dalam model demokrasi mayoritas, bank sentral berada di bawah kontrol eksekutif.
Pembilahan mengenai Parlementer vis a vis Presidensial secara singkat dapat dilacak dalam objek yang diperebutkan dalam pertarungan pemerintahan, jika dalam Parlementer, objek yang diperebutkan adalah parlemen (legislatif), sedangkan dalam Presidensil, objek yang diperebutkan adalah Eksekutif. Pertarungan untuk mendapatkan 2 fungsi yang berbeda dari masing-masing sistem merupakan ciri pembeda antara kedua sistem tersebut. meskipun tak dapat dipungkiri ada model campuran/hibrida antara parlementer dan presidensil. Dalam parlementer menganut supremacy of parliament, sehingga begitu besarnya kekuasaan parlemen dalam fungsi pemerintahan "what parliament says is law'. Sedangkan dalam presidensial kekuatan di antara kedua fungsi tersebut saling terpisah dan mengimbangi satu sama lain.

Pemilu Irasional vis a vis Rasional
Istilah pemilu dikatakan penulis dalam hal ini maksudnya pemilu untuk memilih lembaga perwakilan, khususnya legislatif dalam parlemen unicameral Indonesia yakni DPR, kekuatan DPR dalam model parlemen satu kamar terlihat jelas begitu dominannya dalam fungsi legislasi yang justru biasnya model ini dianut dalam model demokrasi parlementer. Rasionalitas dalam menentukan wakilnya untuk mewakili di parlemen, dilandasi pada pilihan irasional dari pemilih. Menurut Popper tentang rasionalitas "I have a deep ingrained fear of big words, such as rationality". Weber membedakan rasionalitas nilai (value-rational) dengan rasionalitas tujuan (goal-rational) dengan rasionalitas tujuan (goal-rational). Rasionalitas nilai diartikan sebagai orientasi aksi berdasarkan suatu nilai apakah itu etika, moralitas, agama, hal-hal yang bersifat estetika, kesukaan, atau asal-usul. Rasionalitas seorang individu dinilai sejauh mana individu tersebut mengambil keputusan atas nilai-nilai yang dia pegang, dan bukan dari tujuan yang hendak dicapai. Rasionalitas tujuan, di sisi lain, diartikan sebagai orientasi keputusan dan aksi berdasarkan kesesuaian dengan tujuan akhir, metode pencapaiannya dan konsekuensinya. Individu akan dinilai rasional ketika keputusan dan aksinya mendukung tujuan akhir.
Orientasi dalam demokrasi parlementer vis a vis presidensial jelas berbeda, jika dalam model demokrasi parlementer cenderung menguat kepada talking democracy, sedangkan dalam model demokrasi presidensial yakni working democracy. Politik berparadigma kerja dalam Presidensial merupakan semangat utama yang harus diusung dan diwujudkan demi mewujudkan kesejahteran rakyat secara umum tidak terkecuali konstituen. Orientasi pemilih rasional dalam pemilu presiden harus terus dibangun dalam demokrasi problem solving saat ini, meninggalkan era parlementer yang irasional, di mana konstituen harus terikat dengan ideology dan tujuan politiik dari salah satu partai politik, dalam tren demokarasi saat ini pemilih mengambang yang mencair berpindah-pindah tak terikat dengan parpol tertentu, merupakan sumber daya yang harus dimaksimalkan oleh masing-masing calon presiden dalam pemilu presiden melalui program-program solutif (problem solving) yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dicarikan jalan keluar dari persoalan-persoaln komplek masyarakat dewasa ini.
Tabel 2
Pembagian Jenis Pemilih
Internal
Konstituen
Konstituen

Eksternal
Konstituen Partai LainPNon-Partisan
Konstituen Partai Lain
P
Non-Partisan

Pemilih
Pemilih

Penguatan Sistem Presidensiil Indonesia ke Depan
Solusi Pemilu Serentak sebagai solusi cerdas untuk memperkuat sistem presidesiil Indonesia, keinginan dan kepastian kuat untuk menjamin terselenggaranya pemilu serentak baik legislatif maupun presiden sebagai usaha untuk memperkuat sistem presiden, membangun sistem presidensiil murni dari anasir-anasir campuran parlementer. solusi pemilu serentak masih merupakan langkah awal dalam perjalann menuju sistem presidensil, pemilu serentak sebagai awal menjadikan pertarungan untuk mendapat simpati pemilih yang berjumlah besar (dibanding konstituen) baik bagi parpol maupun calon presiden yang akan terpilih nanti. Menggiring pemilih untuk menentukan pilihan rasionalnya, berimplikasi kepada hubungan parpol dengan pemilih sebagai hubungan kemitraan dan pelayanan. Dalam pemilu serentak, parpol dan calon presiden akan dipaksa untuk berkompetisi memberikan program-program solutif yang mampu dinyatakan dalam kehidupan masyarakat, meninggalkan cara-cara eksploitatif dari parpol yang hanya sekedar menganggap pemilih sebagai objek demi melanggengkan kepada kekuasaan belaka. Menghindari parpol-parpol yang hanya mengandalkan siasat janji-janji politik jangka pendek, tentunya dengan pemilu serentak akan terjadi kompetisi "marketing" jasa politik bagi masyarakat, konsekuensi melahirkan parpol-parpol berkualitas dan calon presiden berkualitas pula yang tidak lagi menipu dalam transaksi-transaksi politik dalam jalinan koalisi semu.
Tentunya pemilu serentak sebagai awal bagi penguatan demokrasi presidensiil, masih menempuh jalan yang cukup rumit setelah pemilu selesai, yakni bagaiman memperkuat fungsi eksekutif dalam hubungan dengan legislatif. Ketika terjadi kesenjangan hubungan dalam presiden dengan parlemen, menyoal presidensiil, persoalan utamanya adalah kekuatan presiden tak didukung oleh kekuatan parpol di parlemen, siasat untuk mengatasi persoalan ini pernah dilontarkan dengan gagasan penyederhaan parpol melalui ambang batas. Hal ini tak efektif pula menyimak kembali sebagaimana sudah saya sampaikan di atas mengenai konsekusensi logis bagi model demokrasi konsensus murni (presidensiil) inheren dengan kondisi Indonesia yang plural sehingga tak mungkin untuk mereduksi minoritas oleh mayoritas, sehingga memungkinkan untuk korporatis ketimbang pluralisme. Siasat memperkuat presidensiil melalui parlemen dengan solusi penyederhanaan fraksi, mengapa demikian, ketika parpol sudah masuk dalam parlemen harus melebur dalam konfigurasi fraksi-fraksi. Peran fraksi-fraksi ini begitu besar dalam menjalankan fungsi legislasi sebagai penyeimbang dan pendukung fungsi eksekutif. Koalisi permanen mungkin akan diwujudkan dalam pemerintahan presidensiil 5 tahun ke depan dengan siasat penyederhanaan fraksi di parlemen.

Daftar Pustaka
Arendt Ljiphart, Patterns of Democracy "Government Forms and Performance in Thirty Six Countries", (New Haven and London: Yale University, 1999).
Firmanzah, Marketing Politik "Antara Pemahaman dan Realitas", (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012).
Muchammad Ali Safa'at, Parlemen Bikameral "Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia", (Malang: UB Press, 2010).

.





Muchammad Ali Safa'at, Parlemen Bikameral "Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia", (Malang: UB Press, 2010), hlm. 19.
Ibid, hlm. 89-91.
Firmanzah, Marketing Politik "Antara Pemahaman dan Realitas", (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), hlm. 92-93



Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.