Problematika Gettier Terhadap Epistemologi Modern

September 11, 2017 | Autor: Murteza Asyathri | Categoria: Analytic Philosophy, Epistemology, Gettier Problem, Logika, Filsafat Analitik
Share Embed


Descrição do Produto



Muhammad Ide Murteza
0230410114
PROBLEMATIKA GETTIER TERHADAP EPISTEMOLOGI MODERN

Abstrak
Setelah terbitnya paper sebesar tiga halaman berjudul Is Justified True Belief Knowledge? Pada tahun 1963, Edmund Gettier telah menggoncangkan dunia epistemologi filsafat yang selama ini jarang disentuh untuh dijadikan sebagai kajian penting. Dengan Problematikanya yang dikenal dengan nama Gettier Problem, Gettier menyoroti kelemahan yang dimiliki oleh kondisi-kondisi definisi tripartit tentang pengetahuan yang menjadi landasan epistemik filsafat selama berabad-abad. Penulis ingin menjabarkan kasus-kasus Gettier yang merupakan konter-contoh (counterexamples) dalam misi mematahkan fondasi epistemologi klasik JTB tentang validitas suatu kebenaran.
Kata Kunci: epistemologi, Gettier, Problematika Gettier, JTB, pengetahuan, Definisi Tripartit, kasus Gettier.

Pendahuluan
Di dalam sejarah filsafat, telah terjadi berbagai macam perkembangan dan antusiasme yang signifikan di dalam cabang-cabangnya. Sebut saja bagaimana perkembangan cabang ilmu metafisika selama kurang lebih 2000 tahun lebih. Berbagai macam usaha yang dilakukan oleh para filosof sepanjang abad berusaha merumuskan gagasan-gagasan revolusioner seputar problem-problem metafisis seperti konsep ruang dan waktu, konsep Being, dan lain-lainnya. Tidak terkecuali dengan epistemologi, ilmu yang menyelidiki bagaimana manusia mendapatkan pengetahuannya.
Salah satu tujuan tradisional dari Epistemologi adalah menyediakan suatu "analisa pengetahuan". Epistemologi juga bermakna menganalisa konsep pengetahuan (concept of knowledge), yaitu dengan memberikan sebuah padanan kalimat yang kompleks yang dijelaskan dalam "S tahu bahwa itu P". Dengan demikian, epistemologi berusaha memilah konsep tersebut itu ke dalam berbagai komponen di dalamnya.
Pertanyaan seputar pengetahuan atau apa-apa yang diketahui merupakan sesuatu yang berusaha dirumuskan oleh para epistemolog sejak dahulu kala. Dengan demikian, para epistemolog membangun suatu kondisi-kondisi proposisional dengan harapan terciptanya suatu pembenaran bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai "pengetahuan". Di dalam Aethaetus misalnya, Plato menyatakan bahwa manusia dapat mengatakan sesuatu itu sebagai pengetahuan jika 3 hal telah terpenuhi: 1) Benar, 2) Meyakinkan, 3) Terbukti kebenarannya. Definisi tripartit (tripartite definition) mengenai pengetahuan ini bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama hingga Edmund Gettier (1927— ) mempublikasikan sebuah paper sependek 3 halaman yang serta merta merontokkan bangunan epistemologi filsafat yang cukup lama didominasi oleh definisi tripartit Plato. Di dalam Is Justified True Belief Knowledge? (1963), Gettier memberikan dua contoh untuk membuktikan tripartit Plato mengenai epistemologi tidaklah cukup atau belum dapat menjustifikasikan sesuatu "pegetahuan" sebagai pengetahuan.
Di dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan sanggahan Gettier dalam yang dikenal dengan Problematika Gettier (Gettier Problem) terhadap epistemologi filsafat. Problem Gettier telah membuka keran berbagai interpretasi menyangkut pengetahuan epistemik serta kondisi-kondisi yang perlu ditelisik ulang atau yang perlu ditambahkan. Setelah tidur sekian lama dalam—jika meminjam istilah Kant—tidur dogmatisnya, melalui Edmund Gettier, para filosof kembali menganalisa proposisi-proposisi awal seputar epistemologi dengan harapan memberikan jawaban yang memuaskan perihal definisi sesuatu pengetahuan.
Definisi Triparti Pengetahuan (JTB)
Epistemologi filsafat memperoleh dasarnya sejak di zaman Plato. Di dalam dialog Plato berjudul Theaetetus (skr. 390 SM), Theaetetus (karakter di dalam dialog tersebut) menjelaskan bahwa sesuatu yang benar (true) adalah opini yang benar dimana didasarkan pada nalar akal. Sebaliknya, "opini benar" yang tidak didasarkan pada akal rasio berada di luar dari lingkup pengetahuan itu sendiri sehingga dikatakan tidak dapat diketahui atau unknowable (Theaet. 201c-d). Socrates kemudian memberikan contoh seseorang yang berbicara tentang suatu elemen-elemen utama yang diketahuinya melalui mimpi. Akan tetapi, beberapa elemen utama tersebut hanya dapat dinamai namun tidak dapat diketahui secara pasti nyata atau tidak. Setelah elemen tersebut bercampur, Iapun menjadi "kompleksitas". "kompleksitas" tersebut akhirnya menjadi suatu objek pengetahuan yang lebih konkrit. Dengan demikian, elemen dasar tersebut tidak dapat dikatakan sebagai objek pengetahuan karena hanya sekedar persepsi, sedangkan yang "kompleks" menjadi meyakinkan (believeable) dan dapat dibuktikan secara inteligibel (Ibid., 202b-c).
Secara ringkas, penulis akan memberikan ulasan secara ringkas untuk memahami definisi tripartit pengetahuan :
Benar
Kondisi pertama yang paling utama adalah bila sesuatu itu benar. "benar" yang dimaksudkan di sini adalah apabila P adalah P. Dengan demikian, pengandaian awal suatu "kebenaran" harus bersifat tautologis sehingga dapat diamini. Sebagai contoh, tidak mugkin kita mengatakan bahwa Socrates adalah Kant, atau Spinoza dan lain-lain, melainkan Socrates adalah Socrates itu sendiri.
Percaya
Sebuah pengetahuan memerlukan adanya elemen percaya dari si penahu. Dalam hal ini, seseorang mengetahui bahwa itu benar karena dia yakin bahwa itu benar. Walaupun itu belum cukup, namun elemen "percaya" penting bagi si penahu. Manusia secara intuitif memiliki kemampuan dalam membedakan suatu pengetahuan dengan kepercayaan. Seseorang dapat meyakini sebuah proposisi yang salah. Namun, jika seseorang mengetahui bahwa itu P, maka P pasti benar. Jika itu salah, maka seseorang tidaklah mengetahuinya. Manusia bisa mempercayai sesuatu walaupun itu adalah salah. Hal ini dapat dicontohkan bagaimana seseorang mengklaim bahwa seekor itik berwarna merah. Jika ternyata seekor itik bukan berwarna merah namun putih, maka seseorang tidak dapat mengetahuinya sebagai merah. Walaupun demikian, seseorang dapat meyakini suatu proposisi yang salah. Dapat dilihat bagaimana begitu banyaknya seseorang meyakini zodiak atau ramalan ahli nujum walaupun berkali-kali salah dalam ketepatannya.
Terbukti
Salah satu aspek penting dalam sebuah benar-tidaknya pengetahuan adalah bahwa apa yang diyakini itu terbukti benar (justified). Seperti yang telah dijelaskan di dalam dialog Plato (Ibid.), suatu opini atau apa yang dipercaya oleh seseorang (true belief) tidaklah cukup untuk dikatakan sebagai pengetahuan. Sesuatu perlu dibuktikan (justified) agar terpuaskan sebagai suatu pengetahuan yang otentik dan terpenuhi legitimasi atau keabsahannya. Selama P tidak terbukti sebagai P, P akan dianggap sebagai doxa atau opini. P dianggap sebagai episteme setelah ia terjustifikasikan bahwa ia adalah P. Dengan demikian, kita bisa memberi contoh dua orang hakim yang akan memberikan fatwa hukum bagi seorang tertuduh. Hakim 1 memberikan hukuman si tertuduh dengan asumsi prasangka. Kemudian hakim 2 menjatuhkan hukuman kepada si tersangka sesuai dengan fakta-fakta legal bahwa ia melanggar dari apa-apa yang ditetapkan oleh hukum. Dalam hal ini, hakim 1 mendasarkan keputusannya pada doxa sehingga kurang meyakinkan, sedangkan hakim 2 menggunakan data-data kredibel dalam menghukum si tertuduh sehingga terjustifikasikan kebenarannya. Dus, seseorang harus bisa mempertanggungjawabkan kebenaran dari keyakinannya melalui bukti dan nalar yang lurus agar mampu dianggap sebagai sesuatu yang valid.
Teori tentang definisi tripartit pengetahuan seperti yang dijelaskan di atas disebut juga dengan nama teori Justified True Belief (JTB). Teori JTB hanya dapat dikenakan pada pengetahuan proposisional yang sifatnya deklaratif. Dengan demikian, pernyataannya disimbolkan sebagai "P". Beberapa filosof berargumen bahwa sebuah analisa kompleks suatu konsep seperti halnya pengetahuan proposisional haruslah menyatakan kondisi-kondisi yang secara bersamaan 'ekivalen' dengan pengetahuan. Dengan kata lain, jika seseorang mengetahui beberapa proposisi, orang itu harus memenuhi kriteria yang dijelaskan di atas. Oleh karena itu, seperti yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan secara seksama bahwa standar teori JTB adalah :
S tahu bahwa P iff
P benar(True);
S yakin akan P;
S terjustifikasi untuk meyakini P;
Dapat juga dirumuskan ke dalam suatu formula JTB sebagai berikut :
S tahu P = Benar (T) (i) (ii) (iii)
Teori JTB bertahan cukup lama dan mendominasi epistemologi filsafat selama bertahun-tahun walaupun beberapa usaha untuk membuktikan ketahanan teori tersebut telah dilakukan oleh beberapa filsuf modern seperti Bertrand Russel (1872—1970), Roderick Chisholm (1916—1999), dan Alfred Jules Ayer (1910—1989).
Di dalam The Problem of Philosophy (1912) misalnya, Russell memberikan beberapa proposisi-proposisi penting menyangkut epistemologi yang antara lain adalah :
Keyakinan yang pasti (true belief) bukanlah suatu pengetahuan jika dideduksi dari proses nalar yang sesat (fallacious).
Contoh: Jika saya tahu semua orang Yunani adalah laki-laki; Socrates adalah orang Yunani; Saya tidak tahu kalau Socrates orang Yunani (1995, 76).
Keyakinan yang pasti (true belief) bukanlah suatu pengetahuan jika dideduksi dari keyakinan yang salah (false belief).
Contoh: Seorang Perdana Menteri berinisial B; maka diyakini bernama Balfour, walaupun nama sebenarnya adalah Bannerman. (Ibid.)
Keyakinan yang pasti (true belief) tentang waktu bukanlah suatu pengetahuan jika seseorang memperhatikan sebuah jam mati pada waktu yang tepat secara kebetulan (Russell 1993, 140).
Jika diamati dengan seksama, setiap proposisi-proposisi yang ditawarkan Russell membersitkan suatu problematika-problematika di dalam epistemologi untuk layak dianalisa. Pada proposisi (c), Russell tampaknya membuka satu permasalahan baru yang sebelumnya belum dilirik oleh filosof-filosof sebelumnya, yaitu luck. Dapat dikatakan bahwa Russell mendahului Gettier menyangkut problematika teori JTB di dalam epistemologi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa setelah Problematika Gettier para epistemolog mulai mencari berbagai justifikasi pengetahuan, bukan setelah Russell? Jawaban terbaik adalah karena Edmund Gettier membuat suatu paper dengan tujuan meruntuhkan epistemologi JTB sedangkan Russells hanya memperkenalkan permasalahan-permasalahan logis yang selama ini kurang begitu diperhatikan oleh para filsuf sebelumnya, termasuk epistemologi.
Problematika Gettier
Setelah Edmund Gettier lulus dari Cornell University di Amerika Serikat, Gettier kemudian ditunjuk untuk mengajar di Wayne State University di Detroit dari tahun 1957 hingga 1966. Di waktu ia mengajar di Detroit itulah ia mempublikasikan sebuah paper setipis 3 lembar halaman yang berjudul Is Justified True Belief Knowledge? tepatnya pada tahun 1963. Paper yang sangat pendek ini akhirya dikenal luas oleh kalangan filsuf-filsuf Amerika Serikat dan hingga santer ke berbagai negara dan lingkaran akademik dunia. Semenjak itu, Gettier tidak pernah lagi mempublikasikan jurnal akademik apapun baik yang berkaitan dengan sanggahan lanjutnya terhadap teori epistemologi klasik maupun jurnal-jurnal filosofis lainnya. Dapat disimpulkan bahwa Is Justified True Belief Knowledge? Adalah satu-satunya karya akademik yang ia tulis dengan serius.
Menurut Gettier, analisa-analisa tradisional terhadap epistemologi selama ini adalah keliru karena tidak mampu merepresentasikan kondisi pengetahuan yang terjustifikasikan (justified). Secara singkat, kondisi-kondisi yang mencukupi agar tercapainya pengetahuan yang sahih ternyata memiliki celah di dalamnya sehingga belum dirasa masih belum cukup. Dengan demikian, "adalah mungkin jikalau seseorang mempercayai sebuah proposisi yang valid walaupun pada sebenarnya salah" (Gettier, 1963). Sebelumnya, Gettier mengambil beberapa contoh proposisi yang ditawarkan oleh Chisholm dan Ayer yang mensubtitusi kondisi ketiga teori JTB lalu membuktikan bahwa keduanya gagal dalam usahanya. Chisholm mengganti "S terjustifikasi untuk meyakini P" yang merupakan kondisi ketiga teori klasik JTB dengan "S memiliki bukti memadai untuk P." Begitu juga dengan Ayer yang menggantinya kondisi yang sama dengan "S memiliki hak untuk yakin jikalau P adalah benar."
Gettier menggunakan prinsip transmisibilitas (transmissibility principle) dalam menjatuhkan kebenaran teori klasik JTB, yaitu :
"jika S terjustifikasi untuk meyakini bahwa P benar, dimana P perlu akan adanya Q, dan S menyimpulkan bahwa Q berasal dari P dan menerima Q sebagai kesimpulan dari P; maka S terjustifikasi untuk mempercayai Q." (Gettier 1963)
Gettier kemudian memberikan dua contoh kasus sebagai contoh penyangkalan (counterexample) terhadap teori JTB yang dikenal secara umum sebagai Kasus Gettier (Gettier's case) :
Kasus Gettier I
Smith dan Jones melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan. Namun, Smith telah diberitahukan bahwa presiden perusahaan tersebut telah menentukan bahwa Jones lah yang akan dipekerjakan. Smith mengkombinasikannya dengan sebuah bukti dari hasil observasinya bahwa terdapat 10 koin di kantong Jones (walaupun aneh, anggap saja Smith mengetahuinya). Dengan demikian, Smith lalu menyimpulkan dengan berkeyakinan bahwa siapa saja yang mendapat pekerjaan pasti memiliki 10 koin di kantongnya.
Sebut saja proposisi konjungtif "Jones adalah orang yang dipekerjakan dan memiliki 10 koin di kantongnya" sebagai (d). Bukti Smith tentang proposisi (d) terjustifikasi karena sang presiden memberitahunya dan Smith melihat dengan langsung Jones memiliki 10 koin di kantongnya. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa Smith berkesimpulan : Orang yang akan dipekerjakan tersebut adalah orang yang memiliki 10 koin di kantongnya. Kesimpulan tersebut kita anggap proposisi (e).
Anggap Smith melihat adanya implikasi dari (d) ke (e), karena (e) didasarkan pada (d) dimana memiliki bukti yang kuat. Sesuai dengan prinsip intermisibilitas, Smith terjustifikasi pula untuk mempercayai bahwa (e) benar. Namun anggap tanpa sepengetahuan Smith, yaitu Smith sendiri, ternyata mendapat pekerjaan dan kebetulan memiliki 10 koin di kantongnya dan bukan Jones. Kenyataan ini membenarkan proposisi (e) tapi tidak untuk proposisi (d). Padahal proposisi (e) ditarik dari kesimpulan dari (d).
Secara singkat—seperti yang telah dijustifikasikan pada proposisi (d)—Gettier juga menjabarkan proposisi (e) yang terjustistifikasikan menurut kondisi tripartit JTB :
(i) (e) adalah benar
(ii) Smith meyakini (e) benar
(iii) Smith terjustifikasikan untuk meyakini bahwa (e) benar
Baik (d) maupun (e) sama-sama terjustifikasikan. Dengan kata lain, kedua proposisi tersebut sah sebagai "pengetahuan" menurut definisi tripartit pengetahuan (JTB). Akan tetapi, Jika Smith, bukan Jones, yang ternyata mendapat pekerjaan dan memiliki 10 koin di kantongnya, proposisi (e) benar namun tidak berdasarkan kesimpulan (d) yang mana Jones-lah yang dipekerjakan dan memiliki 10 koin di kantongnya. Relevansi pengetahuan yang dimiliki proposisi (e) gagal karena melenceng dari apa yang diyakini sebelumnya oleh Smith sendiri.
Kasus Gettier II
Smith memiliki bukti kuat untuk menjustifikasi proposisi: "Jones memiliki mobil Ford." Anggap saja proposisi ini dijadikan sebagai proposisi (f). Smith berkeyakinan demikian karena didasari oleh bukti kuat yaitu : Smith seringkali atau selalu melihat Jones mengendara Ford; Smith pernah menaiki mobil Ford milik Jones; dan Smith pernah ditawari Jones untuk mengendarai mobil Fordnya ke Smith.
Sekarang mari berandai-andai bahwa Smith memiliki teman bernama Brown yang Smith tidak tahu keberadaannya dimana. Dengan proposisi disjungtif, Gettier menawarkan tiga proposisi yang disimpulkan dari (f) dan memilih tiga tempat secara acak untuk menentukan lokasi Brown yang tidak diketahuinya secara pasti :
(g) Entah Jones memiliki Ford, atau Brown berada di Boston
(h) Entah Jones memiliki Ford, atau Brown berada di Barcelona
(i) Entah Jones memiliki Ford, atau Brown berada di Brest-Litovsk
Namun, Gettier menyatakan bahwa apa yang sebenarnya terjadi selama ini adalah Jones ternyata menyewa mobil Ford yang berarti bukan kepemilikan Jones pribadi. Hanya satu saja yang benar dari proposisi tersebut, di mana Smith secara kebetulan menebak bahwa Brown di Barcelona dan Brown memang benar-benar di Barcelona, yaitu proposisi (h). Dapat disimpulkan—karena konsekuensi dari proposisi dijungtif—bahwa (h) benar semata-mata karena Brown yang secara kebetulan berada di Barcelona. Gettier menggunakan kasus kedua ini sebagai pertimbangan terhadap apakah luck atau kebetulan dapat dianggap sebagai pengetahuan atau tidak.
Selepas Problematika Gettier, para filosof mulai mengkaji ulang lagi kondisi-kondisi teori JTB yang selama ini luput dalam gugatan epistemik. Chisholm dengan argumen "domba di padang rumput"-nya di dalam Theory of Knowledge (1966/1977/1989), juga mengikuti gaya Gettier untuk mengangkat kembali kegagalan teori JTB dan memodifikasi kondisi-kondisi teori JTB. Akan tetapi, di antara beberapa contoh-contoh kasus pascaGettier lainnya, kasus Fake Barn (kandang ternak palsu) versi Alvin Goldman (1938— ) juga tidak kalah menarik. Di antara berbagai kontra-contoh (counterexample) baik yang dilakukan oleh Gettier maupun pascaGettier telah ditawarkan, terdapat karakteristik yang dapat disimpulkan. Tiap contoh-contoh kasus yang didemonstrasikan mengandung unsur keyakinan yang dipertanggungjawabkan (justified belief) yang mana benar tetapi gagal—jika bukan kurang memuaskan—untuk disebut sebagai pengetahuan. Terdapat dua fitur penting yang mencirikan kasus Gettier (Hetherington 2011, 121) :
Fallibilitas : Pembenaran yang diberikan untuk menopang keyakinan bisa keliru (fallible). Ini berdampak terhadap tidak kebalnya pembenaran tersebut sekaligus membuka peluang bagi keyakinan untuk salah.
Kebetulan : Apa yang membuat kasus Gettier cukup distingtif adalah keberadaan faktor kebetulan (luck) yang membuat suatu justifikasi tampak benar, namun memiliki alasan untuk mempertanyakannya sebagai suatu pengetahuan yang memadai. Cukup nampak bagaimana signifikansi luck di dalam kasus Gettier ketika menggabungkan kondisi valid (true) dengan pembuktiannya.
Setelah Gettier dan Kesimpulan
Bagaimanapun juga, paper Gettier yang berjumlah 3 halaman itu telah membuka ruang interpretasi baru di bidang epistemologi. Kini, para filsuf berbondong-bondong menganalisa kembali problem epistemik yang diwariskan Plato dengan mencari solusi bagi kemungkinan-kemungkinan yang terlewatkan yang ada di dalam kondisi-kondisinya. beberapa epistemolog menawarkan melakukan perombakan ulang pada kondisi ketiga. Beberapa di antara mereka juga melakukan pencarian kondisi keempat untuk melengkapi teori JTB.
Berbagai solusi telah ditawarkan salah satunya adalah infalibilitas, yaitu menegasi kemungkinan adanya cacat atau keraguan di dalam pembenaran suatu keyakinan. Prinsip infalibitas didukung oleh beberapa filsuf seperti Lehrer (1971) dan Unger (1971). Jika mengambil kasus pertama Gettier, justifikasi Smith terhadap keyakinannya adalah falibel (keliru) karena masih terbuka berbagai kemungkinan untuk cacat (Hetherington 2011). Begitu juga dengan contoh kasus Goldman tentang kandang ternak palsu, karena Henry masih menggunakan justifikasi inderawi—yang mana dapat keliru sehingga Henry seharusnya tidak menganggapnya sebagai justifikasi yang kredibel.
Namun, ada pula yang keberatan dengan prinsip infalibilitas di dalam epistemologi karena tidak sesuai dengan asumsi realitas kehidupan yang menganggap bahwa situasi-situasi keseharian yang dialami seseorang tidak pernah dijustifikasi atau dibenarkan secara infalibel (benar secara absolut). Bahkan hampir tidak pernah—jika bukan tidak sama sekali—seseorang memiliki tumpuan pembenaran suatu pengetahuan yang dapat dinyatakan secara konklusif. Kalangan epistemolog lainnya menganggap solusi infalibilitas merupakan reaksi keliru dari terhadap tantangan Gettier.
Kemudian muncul juga tanggapan lainnya sebagai solusi problem Gettier dengan prinsip eliminasi luck (Eliminating Luck) yang mana menambahkan kondisi keempat : "P 'Benar'; P = ~(Pluck)." Dengan demikian, konsekuensinya adalah proposisi (e) di dalam kasus I tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan yang terjustifikasikan. Namun, beberapa juga masih menganggap belum menjawab tantangan Gettier secara keseluruhan karena dengan mengeliminasi Luck, artinya sama saja jatuh ke dalam konsekuensi dari infalibilitas.
Alvin Goldman (1967) juga memberikan solusi Problematika Gettier dengan prinsip reliabilisme dengan menirukan contoh kasus model Gettierian berjudul Fake Barn (kandang ternak palsu). Goldman mengatakan bahwa prinsip reliabilisme menunjukkan adanya kausalitas pengetahuan tentang P yang mendasari si subjek untuk mengetahuinya sebagai suatu kesimpulan yang valid. Dengan kata lain, Goldman menggarisbawahi pengetahuan yang didasarkan pada pengetahuan perseptual sesuai dengan contoh kasus kandang ternak palsu. Goldman ingin menunjukkan bahwa seseorang menggunakan pengamatannya secara "standar", berarti memiliki keyakinan yang "standar" juga. Keyakinan tersebut juga dijustifikasi secara "standar" pula. Pada akhirnya, pengamatan si subjek mewakili representasi apa-apa yang ada di dunianya. Dengan mengambil kesimpulan seperti itu, jika diaplikasikan pada kasus Gettier I, proposisi (e) bukan dari hasil penilaian observasi yang bertumpu pada kausalitas yang valid (normal), namun pada dugaan dan aksidental (kebetulan).
Lagi-lagi, para epistemolog keberatan dengan solusi ini karena: pertama, beberapa pengetahuan tidak memiliki kausalitas seperti pengetahuan a priori. Kedua, belum ditentukan sejauh mana pengetahuan kausalitas itu menjelaskan bukti otentik suatu pengetahuan empiris dan apa ukuran-ukurannya. Masih banyak lagi usah-usaha para epistemolog lainnya dalam rangka menjawab tantangan Gettier seperti solusi Fred Dretske (1971) yang mengajukan solusi nalar konlusif dan lain-lainnya. Akan tetapi, begitu banyak pula para epistemolog berselisih satu sama lain untuk menyatakan satu teori sebagai pemecahan kebuntuan epistemik Gettier secara objektif
Kebanyakan respon yang diambil terhadap tantangan Gettier adalah mengusahakan sebuah pencarian terhadap pemahaman tentang bagaimana seseorang setidaknya mendapat suatu pengetahuan. Para epistemolog masih mencari gagasan-gagasan yang tidak terjebak di dalam skeptisisme pengetahuan dengan harapan tentang adanya pengetahuan yang benar-benar valid dan konklusif. Walaupun benar bahwa Gettier tidak memberikan solusi karena hanya menyodorkan dua kasusnya yang seketika merontokkan bangunan epistemik klasik yang disokong oleh teori JTB, namun sumbangsihnya kini telah membuka berbagai wacana dan diskursus seputar problem-problem epistemik tentang pengetahuan yang selama ini urung untuk dianalisa selama berabad-abad.
Daftar Pustaka
Gettier, Edmund. "Is Justified True Belief Knowledge?" Fitelson Web site. 1963. http://fitelson.org/proseminar/gettier.pdf (diakses December 7, 2014).
Hetherington, Stephen. "The Gettier Problem." Dalam The Routledge Companion of Epistemology, disunting oleh Sven Bernecker dan Duncan Pritchard, 119-129. New York: Routledge, 2011.
Plato. Plato in Twelve volume. Disunting oleh Harold N. Fowler. Vol. XII. Cambridge, Massachussets: Harvard University Press, 1921.
Russell, Bertrand. My Philosophical Development. London: Routledge, 1993.
—. The Problems of Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 1995.









Secara etimologis, epistemologi merupakan gabungan antara dua kata Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau perkataan). Episteme dapat dibedakan dengan doxa yang berarti opini atau pendapat. Yang terakhir tidak seilmiah yang pertama.
"Thus the elements are not objects of reason or of knowledge, but only of perception, whereas the combinations of them are objects of knowledge and expression and true opinion. When therefore a man acquires without reasoning the true opinion about anything, his mind has the truth about it, but has no knowledge; for he who cannot give and receive a rational explanation of a thing is without knowledge of it; but when he has acquired also a rational explanation he may possibly have become all that I have said and may now be perfect in knowledge." (
Plato, Theaetetus, 202b-c). Dikutip dari Plato in Twelve Volume (1921).
Di dalam ilmu logika, logika proposisional (Propositional logic) selalu disinonimkan dengan logika pernyataan atau sentential logic. Logika proposisional menganalisa cara kombinasi dan penyusunan kalimat (sentence) suatu pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi agar membentuk suatu sintesa logis yang kompleks. Logika proposisional menggunakan kata-kata seperti "dan" ( ), "atau" (V), "jika" (IF/ ) sebagai penghubung dua pernyataan agar dapat mengambil kesimpulan sintetik di dalamnya. Oleh karena itu, satu-satunya prasyarat dari suatu kalimat di dalam logika proposisional adalah harus deklaratif, contoh: "Socrates adalah orang Yunani". Kalimat dari pernyataan proposisional tidak boleh berbentuk pertanyaan, kalimat perintah, atau kalimat sapaan.
Iff adalah salah satu proposisional penghubung (connective propositional) yang bermakna If and only If. Dapat juga dimaknai sebagai bikondisional logis (dilambangkan dengan " ") yang berarti menghubungkan antara dua proposisi yang ekivalen dimana memiliki nilai (value) yang sama. Konsekuensinya, baik pernyataan A maupun B harus benar sekaligus ataupun salah sekaligus. Selengkapnya lihat di General Topology (1955) karya John L. Kelley.
Gettier, "Is Justified True Belief Knowledge?" (1963), diambil dari http://fitelson.org/proseminar/gettier.pdf (diakses pada 7 Desember 2014).
Di dalam An Introduction to Contemporary Epistemology (1996) karya Matthias Steup, prinsip ini juga disebut sebagai "prinsip penutupan (closure principle) yang berarti "memindahkan satu proposisi ke proposisi lainnya dengan dasar bahwa implikasi yang diakui itu tidak membawa proposisi tersebut keluar dari cakupan pengetahuan yang diyakini" (hal. 20, [catatan kaki] 6). contoh: P ="Socrates orang Athena," Q = "Socrates orang Yunani." Karena S percaya P benar; dan karena P berhubungan dengan Q dan S menyimpulkan Q dari P dan menerima hasil Q; Implikasinya adalah S mempercayai Q adalah sah.
Kedua contoh kasus diambil dan disadur dari paper Edmund Gettier (1963).
Terbit dalam 3 edisi.
Di dalam contoh kasus tersebut, Henry berkendara ke pedesaan dan melewati begitu banyak kandang ternak di sekitarnya. Nyatanya, yang ada di sana adalah kandang-kandang ternak palsu. Henry pun akhirnya melihat satu di antara sekian banyak kandang palsu yang ternyata itu adalah satu-satunya kandang ternak asli di wilayah tersebut. Konsekuensinya adalah keyakinan Henry terjustifikasi karena kandang ternak yang ia lihat itu kebetulan satu-satunya yang asli. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah itu dapat digolongkan sebagai pengetahuan?

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.