Proposal Tesis Pluralisme

September 20, 2017 | Autor: Luluk Wulandari | Categoria: Social Studies
Share Embed


Descrição do Produto

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Keragaman yang ada pada bangsa Indonesia, di satu pihak merupakan modal dasar sumber daya manusia. Di lain pihak dapat pula menimbulkan kerawanan sosial. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi merupakan suatu tragedi yang timbul karena kemajemukan yang tidak disikapi secara arif, sehingga menimbulkan jarak sosial yang menjadi potensi konflik serta dapat menimbulkan perpecahan. Kerusuhan-kerusuhan tersebut sebagian besar korbannya adalah etnis keturunan Cina. Bahkan dalam berbagai kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat, etnis keturunan Cina selalu menjadi sasaran amuk massa, sebagaimana terjadi di Surakarta pada tanggal 14 – 15 Mei 1998.
Interaksi sosial antara etnis Jawa dan Tionghoa sangat menarik untuk dicermati, karena walaupun telah hidup berdampingan dalam waktu yang lama, warga keturunan Tionghoa (etnis Cina) belum diterima secara penuh sebagai orang kita. Di Indonesia, orientasi multi kulturalisme sebagai konsep ideal yang telah jelas digambarkan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ternyata belum mampu mengakomodasikan warga etnis keturunan Tionghoa sebagai bagian integral. Multikulturalisme yang berasal dari kata "multi" yang berarti Plural dan "kulturalisme" yang berarti kultur atau budaya, dengan kata lain multikulturlisme berarti pengakuan adanya berjenis-jenis budaya (Tilaar, 2004:82).
Etnis Tionghoa sering disebut sebagai etnis pendatang yang mengalami interaksi etnisitas paling problematik dibandingkan etnis India, Arab, dan beberapa etnis kecil pendatang lainnya. Pencarian jati diri orang Tionghoa di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan menjadi Indonesia, tetap Tionghoa, atau mengadopsi identitas lain. Ketika terjadi kerusuhan bulan Mei 1998, tidak hanya Jakarta sebagai ibukota negara saja yang luluh lantak karena konflik rasial, kota-kota besar lainnya tidak luput dari tragedi itu. Misalnya saja Kota Surakarta, seperti halnya kota-kota lainnya, kerusuhan di Surakarta pun etnis Tionghoa juga yang menjadi sasaran amuk massa.
Lika-liku hubungan etnis Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta menarik untuk diteliti. Sudah banyak mahasiswa atau kalangan akademisi yang melakukan penelitian di kota budaya ini, beberapa diantaranya dibukukan sehingga dapat menjadi rujukan penelitian selanjutnya. Misalnya saja, buku karangan Wasino, Wong Jawa dan Wong Cina (2005) penulis adalah guru besar sejarah Universitas Negeri Semarang. Buku "Menjadi Jawa" oleh Rustopo (2006), buku ini menggambarkan pasang surut relasi Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta. Dalam buku ini digambarkan bagaimana konstruksi Kejawen disumbangkan oleh beberapa tokoh Tionghoa. Buku ketiga adalah skripsi dari mahasiswa Universitas Negeri Surakarta yaitu Ayu Windy Kinasih yaitu "Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Solo", buku ini menggambarkan usaha etnis Tionghoa di Surakarta untuk menjadi diri sendiri dan tidak lagi berorientasi sebagai pendatang di Indonesia.
Antagonisme etnis dalam hal ini konflik antar etnis, oleh Percell dalam Habib, dihipotesikan akan terjadi apabila ada sejumlah prasyarat, yaitu : (1) adanya dua kelompok etnis yang berbeda, (2) adanya perbedaan praktek budaya dan ciri-ciri fisik kelompok yang bisa dikenali, (3) adanya persaingan antar kedua kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas, dan (4) adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dn sumbernya pada kedua kelompok yang bersaing (Habib, 2004: 2). Terlepas apakah keempat kondisi prasyarat tersebut terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnis terutama terhadap etnis Tionghoa di Indonesia seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah Indonesia.
Pemerintah telah berupaya mempersatukan antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa, diantaranya adalah dengan peraturan pemerintah tentang SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Warga negara keturunan Tionghoa diwajibkan memiliki surat ini, dan banyak dari etnis Tionghoa berganti nama untuk memudahkan mereka mengurus SBKRI. Tetapi pada akhirnya keputusan pemerintah mengenai kebijakan surat ini justru menimbulkan masalah baru bagi terciptanya pembauran dan asimilasi antara etnis Jawa dan Tionghoa.
Upaya pemerintah untuk integrasi etnis juga dilakukan dengan cara menyeragaman, lebih dari 32 tahun pemerintah melarang budaya Tionghoa beraksi di masyarakat umum. Etnis ini hanya diperbolehkan melakukan aktivitas keagamaan dan kesenian didalam tembok Kelenteng. Pada masa kekuasaan Orde Baru dan Orde Lama, Barongsay seolah-olah terkubur dalam Kelenteng. Pemerintah juga melakukan usaha pembauran lewat TP4C (Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim Cina). Permohonan surat ini melibatkan unsur Camat, Kepolisian, Kantor Imograsi, Kejaksaan dan Kantor Sospol.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid tahun 1999-2001, Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu, ada Keppres yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepada etnis Tionghoa. Sampai sekarang kita bisa menikmati seni pertunjukan Barongsai di pusat-pusat perbelanjaan, pada karnaval 17 Agustus, dan acara perayaan lain, terutama hari besar Imlek.
Terbukanya kran demokrasi menjadi wahana bagi etnis Tionghoa sehingga mereka tidak hanya bergerak di bidang ekonomi saja. Beberapa diantaranya berkiprah di dunia politik, misalnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pria kelahiran Bangka Belitung yang sekarang menjadi wakil gubernur DKI Jakarta, Hary Tanoesoedibjo atau orang mengenalnya dengan Hary Tanoe adalah Pria keturunan Tionghoa kelahiran Surabaya yang menjadi pemimpin MNC Group dan menjadi politikus yang ikut berkiprah pada pemilu 2014. Jabatan sebagai menteri pun pernah dipercayakan kepada etnis Tionghoa, misalnya saja Mari Elka Pangestu, Bob Hasan dan lain sebagainya. Tentu tidak ketinggalan bidang bulutangkis yang nama-nama atlet berprestasi didominasi oleh warga keturunan Tionghoa.
Kota Surakarta sering disebut sebagai daerah yang rawan konflik, terutama antara etnis Jawa dan Tionghoa. Banyak dari buku-buku yang menyebutkan bahwa orang Solo "bersumbu pendek", gampang disulut agar timbul kerusuhan. Konflik yang telah terjadi disebut bagai api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan meledak lagi. Sebenarnya ini hanya stigma, pandangan, yang dibuat oleh masyarakat sendiri. Pandangan ini selalu dihembuskan, agar Surakarta bergejolak lagi. Maka dari itu, ketika menganalisis mengenai kerusuhan Jawa dengan Tionghoa Kota Surakarta lah yang menjadi acuannya. Tidak heran mengapa kota kecil di pedalaman selatan Jawa Tengah ini disebut sebagai barometer politik kedua setelah Jakarta.
Berangkat dari sejarah kerusuhan yang pernah ada, di Surakarta dibentuk sebuah organisasi sosial yaitu "Perkumpulan Masyarakat Surakarta" (PMS). Anggotanya masyarakat dari berbagai golongan membentuk suatu organisasi sosial yang membawahi berbagai macam kegiatan seni dan budaya termasuk olehraga. Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai visi menyatukan, integrasi, dan peleburan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam hal ini Jawa. Semua golongan masyarakat bisa melibatkan diri dalam kegiatan seni budaya dan olahraga tanpa membedakan suku, agama dan ras. Walaupun pada awalnya, PMS adalah organisasi Tionghoa yang merupakan gabungan dari enam organisasi Tionghoa. Waktu itu bernama Chuan Min Kung Hui, kegiatan organisasi ini melayani dan mengurusi kebutuhan warga Tionghoa di Kota Surakarta. Namun sejak 1 Oktober 1959, dengan tujuan integrasi, serta agar dapat lebih membaur antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi (Jawa), maka nama Chuan Min Kung Hui diubah menjadi "Perkumpulan Masyarakat Surakarta" (PMS).
Ketika berbicara mengenai etnis Tionghoa di kota Surakarta, tentu tidak lepas dengan sosok bernama Sumartono Hadinoto, nenek moyangnya berasal dari Tiongkok dan Sumartono adalah generasi ke lima yang menetap di kota ini. Keikutsertaannya di beberapa organisasi sosial membuatnya mendapat gelar "tokoh inspirator rakyat Surakarta". Ketika beberapa koleganya setia membangun bisnis, sebagian lagi ikut terjun di dunia politik, Sumartono memilih memperjuangkan akulturasi budaya melalui organisasi sosial. Beberapa media massa, seperti Suara Merdeka, Kick Andy (Metro TV), Melawan Lupa (Metro TV), Sosok Minggu ini (Liputan 6 Siang SCTV), dan lainnnya, telah menggangkat tokoh ini sebagai orang yang berkiprah dengan lebih dari sepuluh organisasi sosial. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti berminat melakukan penelitian mengenai bagaimana pengalaman hidup membentuk karakter Sumartono Hadinoto dengan kajian Life History.
FOKUS PENELITIAN
Adanya fokus penelitian membatasi studi yang berarti bahwa dengan adanya fokus yang diteliti akan memunculkan suatu perubahan atau subjek penelitian menjadi lebih terpusat dan terarah. Kemudian penentuan fokus penelitian akan dapat menetapkan kriteria-kriteria untuk menjaring informasi yang diperoleh.
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman hidup membentuk pribadi Sumartono Hadinoto yang rela meninggalkan bisnis untuk fokus mengabdikan diri untuk organisasi sosial. Kurang lebih ada lima belas organisasi sosial yang Sumartono ikuti, dan di beberapa organisasi Sumartono menempati posisi penting misalnya sebagai ketua, bendahara, atau kepala bagian.
Peneliti tertarik kepada tema tersebut karena ketika skripsi peneliti melakukan penelitian di salah satu organisasi sosial di Solo yaitu Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) dimana Sumartono Hadinoto menjabat sebagai humas. Tokoh ini dipilih karena menjadi tokoh inspirator rakyat Surakarta dan beberapa kali mendapat penghargaan, diwawancarai atau menjadi narasumber dalam acara-acara bertema multikulturalisme.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana pengalaman hidup membentuk pribadi informan dalam memilih berkiprah di organisasi sosial
Bagaimana peranan orang-orang terdekat dalam mendukung kegiatan informan dalam organisasi sosial
Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai sepak terjang Sumartono Hadinoto di organisasi sosial

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui pengalaman hidup dari masa kecil hingga informan dewasa dan memilih berkiprah di organisasi sosial
Untuk mengetahui pandangan orang-orang terdekat mengenai keputusan informan berkiprah dalam organisasi sosial
Untuk mengetahui tanggapan masyarakat mengenai keikutsertaan Sumartono Hadinoto di beberapa organisasi sosial di Kota Surakarta

MANFAAT
Secara Teoritis
Diharapkan dapat memperkuat pengetahuan, khususnya di bidang sosial kebudayaan dan dapat dijadikan informasi awal guna pengetahuan lebih lanjut.
Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang tokoh-tokoh di sekitar kita yang berjuang dalam bidang multikulturalisme dan ikut berkiprah dalam organisasi sosial, menolong sesama yang membutuhkan bantuan tanpa memandang ras, etnis, agama, dan status sosial.















BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI


KAJIAN PUSTAKA
Pluralisme dalam Negara Majemuk
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan 'pluralism' sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut,pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu :
penganut pluralisme dalam arti asimilasi
penganut pluralism dalam arti non asimilasi
penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-asimilasi)


Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Agus Salim (2006) memberi penjelasan bahwa pluralisme hampir serupa dengan multikulturalisme atau kemajemukan dalam pendekatan psikologi lintas budaya. Dalam pandangan ini masyarakat multikultural ialah masyarakat majemuk (populasi pada umumnya, berbagai kelompok yang berakulturasi, dan pemerintah) yang menghargai pluralisme dan memungkinkan keberagaman tetap lestari (Berry, 1999). Ditegaskan lagi bahwa masyarakat multikultural tidak meminta campur tangan pemerintah dan politisi untuk menghomogenkan populasi (melalui asimilasi), memecah-mecah mereka (separasi) atau mensegmentasikan mereka (melalui marjinalisasi dan segregasi). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang menerima integrasi sebagai cara-cara yang umum untuk menghadapi keberagaman budaya.

Kajian Life History Tokoh
Teknik life history atau disebut pula individual life story oleh Bungin (2008:110-111) diartikan sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian kualitatif yang digunakan untuk mendapatkan bahan keterangan mengenai apa yang dialami oleh individu tertentu dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian.
Dalam ilmu sosial, life history digunakan sebagai pendekatan untuk melihat bagaimana reaksi, tanggapan, interpretasi, pandangan dari dalam terhadap diri masyarakat (auto kritik). Melalui life history seorang peneliti akan memperdalam pengertiannya secara kualitatif mengenai detail persoalan yang sedang dipelajarinya dari orang, kelompok, atau masyarakat tertentu yang tidak dapat diperoleh dari sekedar observasi, interview , atau dengan menggunakan kuisioner.
Pengumpulan data pengalaman pribadi dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam secara terus menerus terhadap informan. Wawancara baru dihentikan apabila data tentang pengalaman pribadi informan tersebut dirasa sudah cukup. Selain dengan wawancara, juga pengumpulan data pribadi dapat dilakukan melalui dokumen pribadi, seperti biografi, surat pribadi, catatancatatan, dan buku harian. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang sangat detail tentang pribadi idividu karena dianggap sangat menentukan dalam menjawab permasalahan penelitian.
PENELITIAN YANG RELEVAN
Kajian mengenai Tionghoa sudah banyak dilakukan, para akademisi baik tingkat strata satu, strata dua, maupun strata tiga tertarik melakukan kajian ini. Sebagian penelitian fokus pada lika-liku hubungan antar etnis, interaksi dengan etnis Jawa paling favorit untuk dikaji. Beberapa peneliti keluar dari mikro sosiologi, mereka lebih berminat mengkaji budaya atau adat istiadat Tionghoa sebagai kekayaan bangsa Indonesia tanpa membahas konflik yang melibatkan golongan ini.
Pandangan positif mengenai peranan orang Tionghoa yang turut menyumbangkan ilmu bertani dan berdagang di desa Sumberwedi (Jawa-Timur) adalah disertasi (Universitas Airlangga, Surabaya) dari Achmad Habib yang sudah dibukukan (2004). Penelitian ini dibingkai dengan nuansa konflik antar etnik di pedesaan (pasang surut hubungan Cina-Jawa). Tidak hanya di perkotaan, gesekan antar dua golongan ini terjadi, bidang perkebunan, pertanian di pedesaan pun tidak luput dari sumber masalah. Walaupun tidak dipungkiri bahwa kehadiran orang Tionghoa di desa Sumberwedi membawa pengaruh positif bagi penduduk desa. Pengaruh tersebut sampai sekarang masih bermanfaat bagi orang di desa, cara bertani dan pengetahuan bahwa tanah didesa Sumberwedi sesuai untuk tanaman kentang dan bawang putih, sebelumnya penduduk tidak menyadari potensi ini. Ilmu dagang, mengelola dan memasarkan hasil bumi adalah sumbangan besar dari orang Tionghoa sebagai pendatang yang menyewa lahan pertanian di desa Sumberwedi.
Disertasi berikutnya adalah penelitian yang telah dibukukan juga, oleh guru besar ilmu sejarah Universitas Sebelas Maret, Profesor Rustopo. Buku `Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998" yang ditulis oleh Rustopo ini berasal dari disertasi penulis sendiri pada tahun 2006 di Universitas Gajah Mada yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak yang berkerja sama dengan Yayasan Nabil, Jakarta (420 hal.). Berbeda dengan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya yang lebih melihat hubungan antara komunitas Tionghoa dengan aspek ekonomi atau politik sehingga orang Tionghoa di Jawa seolah-olah hanya melekat modal, negara dan terpisah dari masyarakatnya, buku ini secara cerdik menempatkan Tionghoa baik sebagai komunitas maupun individu menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa. Kehadiran tokoh-tokoh Tionghoa yang disebut Rustopo, tidak sekedar menunjukkan adanya keinginan komunitas Tionghoa untuk "menjadi" Jawa agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa, melainkan mereka sebenarnya orang Jawa itu sendiri, terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka sebagai individu. Proses menjadi Jawa yang dipaparkan dalam buku ini lebih menyerupai usaha layaknya orang Jawa mencari jati diri dan membangun identitas kejawaannya dan bahkan keindonesiaan, melalui proses internalisasi budaya menjadi Jawa bagi semua tokoh yang ada didalamnya bukan sebuah pilihan untuk menyenangkan orang lain melainkan takdir atas kejawaan mereka. Purwanto sebagai penulis pengantar dalam buku ini melanjutkan: " Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang tidak percaya bahwa masa lalu komunitas Tionghoa merupakan suatu yang integral dalam sejarah masyarakat dan kebudayaan Jawa atau bahkan Indonesia. Pengasingan Tionghoa dari Jawa yang terus berlanjut merupakan sebuah rekayasa politik dan bukan realitas sejarah. Bagi komunitas Tionghoa di Surakarta yang ada dalam buku ini, Tionghoa dan Jawa adalah dua hal yang tidak bisa dibedakan dan dipisahkan sebagai sebuah identitas.

LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penelitian menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta landasan dalam penelitian tersebut. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Interaksionisme Simbolik
Dalam menganalisis Pandangan Pluralisme penulis menggunakan teori interaksionisme simbolik. Istilah interaksionisme simbolik menjadi sebuah metode untuk pendekatan yang relative khusus pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia.
Teori interaksionisme simbolik dimunculkan oleh George Herbert Mead, Charles Horton Cooley, teori ini memiliki substansi yaitu kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan symbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar dan memberikan tanggapan terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya dan dari luar dirinya (Ritzer, 2003: 54).
Masyarakat merupakan bentukan dari interaksi antar individu. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antar pelaku, dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Teori interaksionisme simbolik melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab ekspresi tingkah laku manusia. Mead (1986) memandang interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, yaitu "Percakapan Isyarat" (Interaksi non simbolik) dan "Penggunaan Simbol-simbol penting" (interaksi simbolik).
Teori interaksionisme simbolik memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang mendalam, yakni suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi.
Craib (1986:112) merumuskan asumsi-asumsi interaksionis simbolik berdasarkan karya Herbert Blumer sebagai berikut :
Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar asumsi internilai simbolik yang dimiliki sesuatu itu (kata benda atau isyarat) dan bermakna bagi mereka.
Makna-makna itu merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi dan ditangani melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan benda-benda dan tanda-tanda yang dipergunakan.

Dramaturgi
Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation of Self in Everyday Life". Dramaturgi merupakan pendalaman dari konsep interaksi sosial, yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial masyarakat menuju era kontemporer. Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi sosial dan fenomenologi.




KERANGKA BERPIKIR
Kerangka berfikir merupakan dimensi-dimensi kajian utama, faktor-faktor kunci, varibel-variabel dan hubungan antara dimensi-dimensi yang disusun dalam bentuk narasi atau grafis.
Dalam penelitian ini kerangka berfikirnya adalah sebagai berikut :



























BAB III
PROSEDUR PENELITIAN


DESAIN PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Bungin (2001: 30), metode kualitatif adalah satu-satunya cara andal dan relevan untuk bisa memahami fenomena social (tindakan manusia). Pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis tetapi perlu juga memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Burhan Bungin (2001: 49) ada tiga format desain penelitian kualitatif yang umum digunakan, yaitu desain deskriptif, verifikatif, dan grounded research.
Desain Deskriptif kualitatif
Desain ini belum benar-benar kualitatif karena konstruksinya masih dipengaruhi oleh tradisi kuantitatif, terutama dalam menempatkan teori pada data yang diperolehnya.
Desain Kualitatif Verifikatif
merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan dilakukan, karena itu format desain penelitiannya secara total berbeda dengan format penelitian kuantitatif. Format ini lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan strategi memperoleh data dilapangan.
Desain Grounded Research
dipengaruhi oleh pandangan bahwa peneliti kualitatif tidak membutuhkan pengetahuan dan teori tentang objek penelitian untuk mensteril subjektivitas peneliti, maka format desain ini dikonstruksi agar peneliti dapat mengembangkan semua pengetahuan dan teorinya setelah mengatahui permasalahan di lapangan.




LATAR PENELITIAN
Latar penelitian menunjukkan tempat dimana penelitian dilakukan. Penelitian ini dilakukan di kotamadya Surakarta. Wawancara dilakukan dengan orang-orang terdekat informan. Karena setiap hari informan berpindah dari satu tempat ketempat lainnya untuk urusan organisasi, maka peneliti diperbolehkan beberapa kali mengikuti jadwal kegiatan informan terutama yang berkaitan dengan organisasi sosial. Dibeberapa kegiatan peneliti dapat berbincang-bincang atau sedikit mempraktekkan wawancara tidak terstruktur dengan orang-orang yang ditemui untuk memberikan pandangan mengenai sosok informan yang selama ini mereka kenal.
DATA DAN SUMBER DATA PENELITIAN
Data Penelitian
Data dalam penelitian kualitatif terdiri dari, sebagai berikut:
Data Primer
Data utama didapat dari wawancara dengan narasumber, dalam penelitian ini informan kunci yaitu tokoh utama bapak Sumartono Hadinoto. Berikutnya atas rekomendasi informan utama dan permintaan peneliti, wawancara juga dilakukan dengan keluarga (istri, anak, menantu), teman atau relasi kerja, teman di beberapa organisasi sosial yang diikuti oleh Sumartono Hadinoto, teman masa kecil, guru ketika sekolah dan beberapa pejabat dalam pemerintahan kota Surakarta baik yang masih dalam jabatan ataupun yang sudah paripurna dari tugas pemerintahan.
Data Sekunder
Informasi tambahan didapatkan dari dokumen foto, kliping media cetak (SoloPos, Suara Merdeka, Kompas, dan lain-lain) yang memuat mengenai informan. Video dari media televisi juga menjadi data sekunder dalam penelitian ini.
Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2002 : 107), sumber data penelitian ini adalah :
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Subjek analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian peneliti (Arikunto, 2002: 122). Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah tokoh Tionghoa di Surakarta yang berkiprah dibeberapa organisasi sosial yaitu Sumartono Hadinoto.
Informan
Informan adalah individu-individu tertentu yang diwawancarai untuk keperluan informasi atau keterangan atau data yang diperlukan oleh peneliti. Informan ini dipilih dari orang-orang yang betul-betul dapat dipercaya dan mengetahui objek yang diteliti (Koentjaraningrat, 1993 : 130).
Dalam penelitian ini ada dua jenis informan, yaitu informan kunci dan informan pendukung. Keep person dalam penelitian ini adalah Sumartono Hadinoto, dan keluarga (istri, anak). Sedangkan informan pendukung yaitu orang-orang terdekat tokoh.

Dokumen
Dalam penelitian dokumen yang digunakan adalah foto-foto, data monografi serta data-data lain sebagai tambahan yang diperoleh dari buku-buku arsip, dan dokumen yang terkait dalam penelitian ini. Karena yang menjadi fokus adalah kegiatan organisasi sosial dan pluralisme maka dokumen yang disajikan sebagian besar terkait dengan foto-foto kegiatan informan di organisasi sosial, dokumen dari media cetak (Solo pos, Suara Merdeka) dan media Massa (Metro TV, Indosiar, Astro TV Malaysia, SCTV, dan lain-lain) berkaitan dengan kegiatan organisasi juga mengenai pluralisme.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi.

Observasi
Observasi atau pengamatan adalah cara pengambilan data menggunakan mata tanpa pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir, 1983 : 212). Sedangkan menurut Rahman (1999 : 77) observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang Nampak pada objek penelitian.
Observasi merupakan pengamatan atau memperhatikan perilaku individu dalam situasi atau selang waktu tanpa memanipulasi, mengontrol dimana perilalku ini ditampilkan. Dalam metode ini juga tidak mengabaikan kemungkinan menggunakan sumber-sumber non manusia, seperti dokumen dan catatan-catatan. Hal-hal yang akan diobservasi antara lain kegiatan informan, tempat-tempat dimana informan bersekolah, berorganisasi.
Wawancara
Wawancara dalam penelitian kualitatif merupakan syarat utama untuk menyimpulkan data. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan, memperoleh tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara (Nazir, 1983 : 234). Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (deep interview) sehingga mampu mengorek informasi dari informan dari informan sebanyak mungkin dan memuaskan.
Para subjek dan informan dipilih dengan mengikuti sampel bola salju (snow-ball sampling). Ketika interaksi peneliti dengan para subjek dan informan berhasil memberikan data yang relevan, maka peneliti menanyakan kepada yang bersangkutan tentang siapa-siapa lagi yang dikenal atau disebut secara langsung atau tidak langsung olehnya. Penambahan dan wawancara dengan subjek dan informan dilakukan hingga mencapai kejenuhan teoritik (theoritical saturation), yaitu ketika penambahan data dan anlisis tidak lagi memberikan sumbangan untuk menemukan sesuatu yang baru (Strauss, 1990:21). Dengan demikian, penambahan subjek dan informan dalam penelitian ini tidak dilakukan lagi apabila penambahan tersebut ternyata tidak bisa memberikan informasi yang baru. Pada prinsipnya, peneliti berpendapat bahwa jumlah sumber data bukanlah segala-galanya. Sebab kepedulian utama adalah ketuntasan perolehan informasi yang mencakup seluruh keragaman yang ada untuk menjelaskan fakta di lapangan.
Ada dua bentuk wawancara yang dilakukan yaitu wawancara terstruktur yang dilakukan dengan pedoman wawancara dan wawancara tak berstruktur yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pandangan-pandangan mereka tentang interaksi dan pembauran dlam satu oraganiasi social.
Dalam penelitian kualitatif, wawancara mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data dan (2) merupakan bagian integral dari participation observation.
Dalam penelitian ini jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara berencana, berdasarkan pedoman wawancara yang dipersiapkan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan lagi sesuai dengan alur informasi yang disampaikan oleh informan dengan tidak menyimpang dari permasalahan yang diajukan dalam penelitian.



Dokumentasi
Selain observasi, wawancara, dan life history, data dalam penelitian ini juga didapat dari menganalisis dokumen -dokumen yang berkaitan dengan tokoh yang diteliti, yaitu keseharian Sumartono Hadinoto, terkait dengan kegiatannya di beberapa organisasi sosial. Dokumen yang dikumpulkan terutama foto, artikel di media massa, video wawancara di stasiun televisi, dll.
Sebagai bagian dari teknik pengumpulan data, menurut Mulyana (2001:196) dokumen-dokumen melengkapi data-data yang didapat dari observasi dan wawancara. Dokumen tersebut dapat membantu peneliti untuk menelaah sumber-sumber sekunder lainnya, karena kebanyakan situasi yang dikaji mempunyai sejarah dan dokumen-dokumen ini sering menjelaskan aspek situasi tersebut.
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1983 : 202). Studi dokumentasi dimaksudkan untuk melengkapi data dari wawancaradan observasi yang berupa catatan-catatan tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan serta menjadi bukti yang resmi.

KEABSAHAN DATA
Validitas atau keabsahan data sangat mendukung dan menentukan hasil akhir suatu penelitian. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan data.
Untuk menjalin validitas data temuan yang diperoleh, peneliti melakukan beberapa upaya yaitu menggunakan teknik trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan data. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2005 : 330).
Untuk mengecek tentang dapat tidaknya ditransfer ke latar lain keterlibatan dilakukan dengan menguraikan secara rinci data yang masuk. Sedangkan ketergantungan atas kepastian data bisa dikonfirmasikan dengan sumbernya yang dilakukan dengan teknik audit trail yakni mengenal lebih dalam situasi lokasi penelitian.

TEKNIK ANALISIS DATA
Analisis yang digunakan terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, seperti yang dipaparkan Miles dan Huberman, yaitu:
Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan atau pemusatan perhatian pada penyederhanaan pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Pada tahap ini peneliti memilih data yang relevan dan yang kurang relevan dengan tujuan penelitian, kemudian mengelompokkan dengan aspek yang diteliti (Miles, 1992 : 16).
Penyajian Data
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi yang tersusun dan member kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data yang dipilih dalam penelitian ini adalah bentuk naratif dengan tujuan setiap data tidak lepas dari latarnya.
Menarik kesimpulan penelitian selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dalam penelitian. Dengan kata lain, penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data, bukan atas angan-angan atau keinginan peneliti.
Penyajian data merupakan analisis ,merancang deretan dan kolom-kolom dalam sebuah matrik kualitatif dan menentukan jenis dan bentuk data yang dimasukkan dalam kotak-kotak (Miles, 1992 : 17-18).
Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah suatu tinjauan ulang pada catatan dari lapangan atau kesimpulan ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya dan kecocokannya yaitu merupakan validitasnya (Miles, 1992 : 19).
Penarikan kesimpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan dan konfigurasi yang utuh, sesuai tujuan yang ingin dicapai dari latar belakang diatas maka analisis dari penarikan kesimpulan atas masalah yang diangkat dalam penelitian.
Ketiga komponen tersebut adalah suatu siklus, jika terdapat kekurangan data dalam penarikan kesimpulan maka peneltiti dapat menggali dari catatan lapangan. Jika masih tidak ditemukan, maka peneliti mengumpulkan kembali.
Adapun proses analisis datanya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pengumpulan Data
Pengumpulan Data

Penyajian Data
Penyajian Data

Reduksi Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi
Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi


(Miles, 1992 : 20)

























BAB IV
GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN

BAB V
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

BAB VI
PEMBAHASAN


BAB VII
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN






Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.