READER RESPONSE CRITICISM: STANLEY FISH

Share Embed


Descrição do Produto



12



Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, (London: Harvard University Press, 2003), hlm. 355.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 340-343.
Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, terj. Andrew Bowie, (Cambridge: University Press, 1998), hlm. 44.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), hlm. 39.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 14
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 26-27.
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer and Donald G. Mar (London: Continuum, 2004), hlm. 301.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 46-49.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 52.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, 9th edition, Jakarta: Salemba Humanika.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 26.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 75.
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publishing House, 1992), hlm. 543.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 345.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 347.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 351.
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, hlm.305.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an, hlm. 40.
Edwin Markham, "The Reader Response Theory of Stanley Fish", diakses dari http://faculty.ksu.edu.sa/Nugali/English%20461/Fish.pdf, pada tanggal 15 Oktober 2016, hlm. 2.
Edwin Markham, "The Reader Response Theory of Stanley Fish", hlm. 4.
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm. 355.
READER RESPONSE CRITICISM: STANLEY FISH










Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah: Hermeneutika Umum
Dosen Pengampu: Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.


Disusun Oleh :

Nama : Shinta Nurani
NIM : 1620010080


PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES
KONSENTRASI HERMENEUTIKA AL-QUR'AN
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017


READER RESPONSE CRITICISM: STANLEY FISH
Oleh: Shinta Nurani (1620010080)


Pendahuluan
Sebuah teks tidak akan dapat berbicara sendiri tanpa ada unsur lain yang mendialogkannya. Dalam memahami sebuah teks tentu diperlukan hubungan dialogis antara teks, pembaca (reader) dan pengarang (author) yang kemudian dalam hermeneutika disebut sebagai hermeneutical circle. Cara kerja hermeneutika yang unik, memungkinkan sebuah teks dapat dibaca dan selalu menemukan relevansinya kapanpun dan dimanapun.
Sebagai langkah kerja yang sistematik-holistik dalam interpretasi teks, memungkinkan muncul banyak aliran dalam hermeneutika. Salah satu aliran yang digunakan dalam hermeneutika diantaranya yaitu aliran subyektivis. Aliran ini berarti aliran yang lebih menekankan pada peran pembaca atau penafsir dalam menentukan makna teks atau obyek-obyek penafsiran lainnya. Sedangkan di dalam aliran subyektivis terdapat banyak aliran-aliran kecil yaitu Strukturalisme, Pasca-Strukturalisme (Post-Structuralism), Reader-Response Criticism dan Dekonstruksi. Dalam hal ini, penulis akan membahas tentang Reader response criticism yang mana merupakan sebuah pandangan cukup berpengaruh dalam penafsiran suatu teks. Tokoh yang perlu mendapat perhatian serius ialah Stanley Fish seorang hermeneut beraliran reader response criticism yang sampai berpendapat bahwa penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu kota yang kemudian interpretasi ini dibawa oleh pembaca (reader) sesuai dengan keberadaan situasi dan kondisi serta latar belakang dari pembacanya pada saat itu.


Biografi Stanley Fish
Stanley Fish memiliki nama lengkap Stanley Eugene Fish. Ia lahir di Providence, Pulau Rhode pada tanggal 19 April 1938. Fish dibesarkan dalam lingkungan keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang imigran dari Polandia. Stanley Eugene Fish adalah profesor Humaniora dari Davidson-Kahn Distinguished University, profesor hukum dari Florida International University dan College of Liberal Arts dan Sciences di University of Illinois di Chicago. Selain itu, Fish juga mengajar di Cardozo School of Law, University of California, Johns Hopkins University, The University of Pennsylvania, Yale Law School, Columbia University, The John Marshall Law School, dan Duke University.
Latar belakang pendidikan Stanley Fish yaitu pendidikan sarjana yang lulus pada tahun 1959 dengan bergelar B.A. dari Universitas Pennsylvania. Selanjutnya dilanjutkan dengan pendidikan magister di Universitas Yale pada tahun 1960 dan pada tahun 1962 Stanley Fish melanjutkan pendidikan doktoralnya sehingga mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas yang sama. Karir Stanley Fish dalam dunia akademik dimulai dari tahun 1963-1967 menjadi Asisten Profesor dari Universitas California.
Beberapa karya yang dihasilkan oleh Stanley Fish diantaranya John Skelton's Poetry (1965), Surprised by Sin: The Reader in Paradise Lost (1967), Self-Consuming Artifacts: The Experience of Seventeenth Century Literature (1972), The Living Temple: George Herbert and Catechizing (1978), Is There a Text in This Class? Interpretive Communities and the Sources of Authority (1980), Doing What Comes Naturally: Change, Rhetoric, and the Practice of Theory in Literary and Legal Studies (1989), There's No Such Thing as Free Speech, and It's a Good Thing, Too (1994), Professional Correctness: Literary Studies and Political Change (1995), The Trouble with Principle (1999), How Milton Works (2001), dan lainnya.


Pemikiran Stanley Fish
Pemikiran Stanley Fish terinspirasi oleh teori David Bleich yang mensyaratkan bahwa teks adalah interpretasi pembaca yang ada dalam pikiran mereka dan pembacaan objektif tidak mungkin karena proses simbolisasi dan resimbolisasi. Proses simbolisasi dan resimbolisasi terdiri dari bagaimana emosi pribadi seseorang, kebutuhan, dan pengalaman hidup yang mempengaruhi bagaimana pembaca terlibat dengan teks yang dapat mengubah makna. Atas dasar gagasan tersebut, Stanley Fish menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut dan tidak ada penafsiran yang bersifat final. Hal ini karena kebenaran terletak dalam pandangan masing-masing individu yang terpengaruh oleh proses simbolisasi dan resimbolisasi atau dalam bahasa Gadamer disebut dengan effective history. Beberapa alasan mengapa pembaca perlu dibebaskan dari pemaknaan teks yang absolut, diantaranya bahwa bagaimanapun, perbedaan tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengacu pada fakta-fakta karena fakta muncul hanya dalam beberapa konteks sudut pandang. Hal tersebut berarti teks tidak bisa menjadi lokasi inti dari kesepakatan penafsiran tertentu dan perbedaan penafsiran mungkin terjadi di antara mereka yang memiliki sudut pandang berbeda karena perbedaan tidak dapat diselesaikan hanya melalui fakta-fakta tertentu saja.
Ketika muncul dua penafsiran kritis yang berlawanan, masing-masing menggunakan kata yang sama. Jelas dalam hal ini tidak bisa kedua penafsiran tersebut dikatakan benar, tetapi hanya sebagai penjelas basis perbedaan di antara mereka. Pada kenyataannya, perbedaan dalam penafsiran atau interpretasi teks merupakan konsekuensi dari interpretasi itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa makna dari suatu kata dapat beralih ke satu interpretasi atau interpretasi yang lain sehingga terlihat satu kata dapat memiliki satu makna atau makna yang lain. Hal tersebut tergantung pada perbedaan antara interpretasi tekstual di satu sisi dan fakta kontekstual yang akan mendukung mereka di sisi lain.
Suatu interpretasi disebut menang atas interpretasi yang lain, itu bukan karena yang pertama telah terbukti sesuai dengan fakta-fakta tetapi karena berdasarkan asumsi bahwa fakta-fakta yang sekarang itu sedang sesuai dengan kondisi pada saat itu. Ini adalah asumsi saat ini, dan bukan fakta yang memungkinkan untuk selalu dipertahankan sepanjang masa. Dengan demikian, menurut Fish bahwa tidak ada dasar yang stabil untuk makna sehingga tidak ada interpretasi yang benar dan akan selalu berlaku sepanjang zaman. Argumentasi Fish tersebut dapat dibenarkan karena memang pemaknaan dan penafsiran akan selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tetapi pernyataan tersebut hanya dapat berlaku dalam konteks skala yang besar (diskursif) dan tidak berlaku pada skala yang kecil.
Stanley Fish menolak argumentasi yang dikemukakan oleh para objektivis seperti Schleiermacher yang menyatakan bahwa dalam upaya memahami sebuah teks, seseorang harus mencari tahu makna kata-kata, sistem bahasa, dan konteksnya yang memang telah dikenal oleh pengarang dan audiensnya pada saat munculnya teks yang ditafsikan itu sehingga pembaca atau penafsir mampu mencapai makna objektif. Seseorang tidak bisa memahami sebuah teks hanya dengan memperhatikan aspek bahasa yang digunakan oleh pengarang dan audiensnya pada saat itu, melainkan juga dengan memperhatikan aspek kejiwaan pengarangnya. Asumsinya, teks itu merupakan ekspresi diri seseorang sebagai respons terhadap apa yang telah atau sedang dihadapinya karena apa yang ada di sekitar teks inilah yang mempengaruhi jiwa seseorang dalam mengekspresikan kejiwaan pengarang. Makna teks tertentu tidak bisa dilepaskan dari intensi atau maksud pengarangnya (authorial intention). Dengan demikian, menurut Schleiermacher, teks itu tidaklah otonom, melainkan dependent (tergantung) pada pencipta dan pengarang teks yang harus memperhatikan horizon teks tanpa adanya refleksi serta campur tangan mufassir atau reader dalam melakukan interpretasi terhadap teks.
Berbeda menurut Fish, ia menyatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang objektif tetapi pengetahuan dan penafsiran selalu menyesuaikan dengan keadaan masyarakat. Menurut Fish, penafsiran adalah persoalan sudut pandang terhadap realitas konstruksi sosial tertentu yang tidak membutuhkan horizon teks karena teks itu bersifat otonom. Satu hal yang pasti adalah penafsiran atau interpretasi hanya memungkinkan untuk dilakukan dalam suatu tatanan masyarakat tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu pula (tergantung konteks sosial). Setiap pemikiran hanya dapat dimungkinkan oleh praduga dari kelompok atau komunitas yang ada dan selanjutnya oleh kondisi individu kemasyarakatan, yang mana setiap individu ini tidak mungkin dapat berpikir melebihi batasan yang dibuat oleh budaya. Dalam hal ini, budaya sebagai sebuah "komunitas interpretatif" dan strategi penafsiran adalah milik komunitas, sejauh mereka memungkinkan dan membatasi eksploitasi terhadap gagasannya. Komunitas interpretatif terbentuk oleh mereka yang saling berbagi strategi penafsiran yang tidak ditujukan untuk membaca melainkan untuk menulis teks.
Penafsiran yang obyektivis memandang bahwa teks itu tidak otonom, dalam melakukan penafsiran hanyalah diperlukan horizon teks, konteks tekstual, dan berupaya untuk menguak authorial intension (maksud pengarang) tanpa adanya refleksi dan campur tangan dari mufassir atau pembaca. Model penafsiran yang seperti ini tentunya akan menghasilkan pemaknaan yang kaku dan tekstualis sehingga tidak bisa berkembang menyesuaikan denga situasi dan kondisi zaman yang akan terus berubah sepanjang waktu. Sedangkan penafsiran yang subyektivis menganggap bahwa teks itu otonom sehingga dalam melakukan penafsiran hanya perlu horizon dan refleksi pembaca atau mufassir serta konteks tekstualnya dengan tanpa memperhatikan authorial intension (maksud pengarang) dan horizon teks. Model penafsiran yang subyektivis akan menghasilkan penafsiran yang sangat relatif, tergantung siapa pembaca atau penafsirnya, dan tidak bisa dipastikan benar karena hanya menafsirkan sesuai dari pemahaman pembaca atau mufassir dan mengabaikan maksud dari pengarang teks tersebut sehingga mudah terjebak dalam truth claim suatu kelompok atas kelompok lain.
Ketegangan antara dua kelompok obyektivis yang direpresentasikan oleh Schleiermacher dan kelompok subyektifis yang dalam hal ini Stanley Fish dapat diredam melalui aliran kelompok obyektivis-cum-subyektivis yang memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Diantara tokohnya adalah Gadamer dan Gracia.
Gadamer misalnya, dalam pandangan subyektivisnya menyetujui tesis Stanley Fish tentang proses simbolisasi dan resimbolisasi tentang bagaimana emosi pribadi seseorang, kebutuhan, dan pengalaman hidup yang mempengaruhi pembaca dalam interaksinya dengan teks yang ditafsirkan sehingga dapat mengubah makna. Gadamer menyebutnya sebagai situasi hermeneutik (effective history) yang melingkupi pembaca atau penafsir dan menjadi prapemahaman yang muncul dalam diri penafsir dengan maksud agar seorang penafsir mampu mendialogkan prapemahaman dalam dirinya dengan isi teks yang ditafsirkan. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkan. Namun, menurut Gadamer, pemahaman tersebut harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh penfsir itu sendiri ketika dia sadar bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Dengan demikian, penafsir harus mampu mengatasi subyektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.
Dalam merehabilitasi pemahaman, akan berkaitan erat dengan asimilasi horison yang berarti dalam proses penafsiran seseorang harus menyadari bahwa ada dua horison yakni horizon di dalam teks (cakrawala pengetahuan) dan horison pembaca (cakrawala pemahaman). Dua bentuk horison tersebut harus dikomunikasikan sehingga ketegangan antara keduanya dapat diatasi. Disinilah terjadi pertemuan antara subyektivitas pembaca dan obyektivitas teks dimana obyektivitas teks lebih diutamakan. Sedangkan pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks tetapi meaningful sense atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal. Dengan demikian, seorang pembaca atau penafsir tidak akan terjebak pada truth claim ataupun penfsiran yang kaku tetapi pembaca atau penafsir mampu menangkap meaningfull sense atau ideal moral dalam bahasa Fazlur Rahman dari teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini tanpa mengabaikan maksud yang ingin dicapai oleh pengarang dan pencipta teks.
Reader Response Criticism Stanley Fish
Pembahasan mengenai inti pemikiran Stanley Fish dalam hal ini adalah makna teks terletak pada pembaca yang dituntut berperan aktif menginterpretasi makna dengan mengesampingkan maksud pengarang (reader response criticism). Fish mendefinisikan pembaca merupakan komunitas interpretif yang berarti kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas, dan pemaknaan umum yang digunakan dalam pembacaan mereka. Hal ini dapat dikatakan menurut Fish, pembaca ialah audiens aktif yang ikut mengkritisi dan melakukan kontektualisasi makna sesuai dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca. Berdasarkan ini kemudian muncul pengaruh teori kesusasteraan yang telah mendorong pemakaian "reader response criticism" dengan melihat proses membaca sebagai proses penciptaan makna. Di bawah pengaruh tokoh seperti Stanley Fish, tokoh-tokoh sekarang banyak berbicara mengenai interpretive communities dan model reader response criticism.
Reader response criticism dalam hermeneutika termasuk dalam aliran subyektivis. Aliran ini berarti aliran yang lebih menekankan pada peran pembaca atau penafsir dalam menentukan makna teks atau obyek-obyek penafsiran lainnya. Di dalam aliran subyektivis terdapat banyak aliran-aliran kecil yaitu Strukturalisme, Pasca-Strukturalisme (Post-Structuralism), Reader-Response Criticism dan Dekonstruksi. Pemikiran-pemikiran dalam aliran ini yang sangat subyektivis yakni dekonstruksi dan reader response criticism, ada juga yang agak subyektivis yakni postrukturalisme, dan ada juga yang kurang subyektivis yakni strukturalisme.
Aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan teks seperti teks al-Qur'an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur'an ditafsirkan.
Pemikiran Reader-response criticism Stanley Fish dipengaruhi oleh gagasan eksistensial kebenaran dan munculnya modernisme atau post-modernisme. Fish juga berpegang pada doktrin pragmatis bahwa teks tergantung pada makna dalam batas-batas sosial-kontekstual yang dibangun oleh normal-norma dan praktik internal masyarakat. Dari pengaruh tersebut menghasilkan argumentasi yang menyatakan untuk memahami teks, kita harus melihat ke proses yang digunakan oleh pembaca dalam menciptakan dan memproduksi makna yang berpusat pada diri pembaca dengan mengesampingkan maksud yang ingin dicapai oleh pengarang dan pencipta teks.
Reader response criticism bermaksud menjelaskan struktur pengalaman pembaca sebagai struktur yang tidak begitu banyak ditemukan tetapi dituntut oleh itu. (Jika Anda mulai dengan asumsi bahwa pembaca melakukan sesuatu dan sesuatu yang mereka lakukan memiliki arti, maka Anda tidak akan pernah gagal untuk menemukan pola kegiatan pembaca yang muncul menjadi berarti). Sekali lagi intinya adalah bahwa selalu ada mekanisme untuk mengesampingkan bacaan, sumber mereka bukan teks tetapi strategi penafsiran yang diakui untuk memproduksi teks. Interpretasi baru tidak hanya harus memberikan klaim kebenaran tentang sesuatu hal tetapi harus mengklaim untuk membuat sesuatu hal tersebut menjadi lebih baik.
Dalam proses interpretasi makna, Stanley Fish berpendapat bahwa makna tidak terdapat dalam teks tetapi dalam reader atau lebih tepatnya dalam komunitas pembaca. Pembaca (readers) tidak hanya sebagai pembimbing untuk mencapai makna tetapi juga sebagai pemilik makna itu sendiri. Stanley Fish mengambil ide dari lingkaran hermeneutis (hermeneutic circle) yang meliputi pengarang (the author), teks (text), dan pembaca (reader). Tetapi menurut Fish, pembaca dalam melakukan proses pembacaan akan kembali ke pemahaman awal teks tanpa memungkinkan untuk mencapai suatu interpretasi "obyektif" dimana penulis berpusat. Fish mengklaim bahwa teori interpretatif itu sendiri melingkar, dalam artian bahwa penafsir akan selalu menemukan apa yang ia cari dalam teks dan tidak perlu mengungkap maksud pengarang (mengesampingkan authorial intension) karena penafsir memiliki dunia yang berbeda dari penulis teks sehingga upaya untuk mengakses apa yang dimaksud oleh penulis adalah naif.
Apa yang dimaksud oleh Fish sebagai teori interpretatif yang melingkar (hermeneutic circle) ini berbeda dengan yang disebut oleh Hans George Gadamer. Menurut Gadamer, setiap proses penafsiran dan pemahaman, pasti melibatkan dua horizon, yaitu horizon masa lalu (horizon of the past) dan horizon masa kini (horizon of the present). Hubungan antara dua horizon tersebut adalah horizon masa lalu selalu membentuk horizon historis, dan horizon masa kini tidak dapat dibentuk tanpa horizon masa lalu. Jadi, penafsiran dan pemahaman selalu merupakan gabungan dari horizon-horizon yang kita bayangkan ada dengan sendirinya.
Dalam proses penafsiran, istilah lain untuk horizon masa lalu adalah horizon teks, sedangkan horizon masa kini adalah horizon pembaca. Untuk memperoleh pemahaman yang objektif-komprehensif, maka keduanya harus disatukan yang disebut dengan fusion of horizon. Oleh karena itu, prapemahaman terhadap suatu teks harus selalu dipikirkan kembali, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir sendiri sampai pada kesempurnaan pemahaman. Prapemahaman seorang penafsir yang telah dipengaruhi oleh konteks tertentu merupakan bagian dari horizon pembaca. Sedangkan horizon teks adalah suatu pengetahuan yang ada di dalam teks dan berkaitan dengan situasi atau konteks teks tersebut.
Interaksi antara horizon pembaca dan teks inilah yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle). Gadamer mengatakan bahwa horizon pembaca hanyalah sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik berpijak ini tidak lain hanya berupa pendapat atau kemungkinan bahwa teks berbicara sesuatu. Maka titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Di sinilah terjadi pertemuan antara subyektivitas pembaca dan obyektivitas teks, di mana makna obyektif teks lebih diutamakan.
Dengan demikian, yang dikemukakan oleh Gadamer di atas berbeda dengan pemikiran Stanley Fish sebagai representasi aliran subyektivis yang menganggap bahwa makna tidak melekat dalam teks tetapi melekat pada pembaca. Aktivitas pembaca menjadi perhatian sentral, dimana mereka sebagai pemilik makna. Fish mengklaim bahwa sebuah teks merupakan perjalanan pengalaman yang diproduksi oleh pembaca. Obyektivitas teks adalah sebuah illusi dan bahkan menjadi illusi berbahaya. Ini berarti pengetahuan itu bersifat tidak obyektif tetapi selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial. Sebuah penafsiran hanya mungkin dibuat berdasarkan oleh konteks sosial dimana seseorang hidup. Stanley Fish berpendapat bahwa penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu kota. Inilah yang kemudian menjadikan Stanley Fish sebagai salah satu aktor dalam hermeneutika subjektivis melalui reader response criticism.
Penutup
Stanley Fish meyakini bahwa pengetahuan tidaklah objektif, tetapi selalu menyesuaikan dengan keadaan masyarakat. Interpretasi hanya mungkin untuk dilakukan dalam suatu tatanan masyarakat tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu pula (tergantung konteks sosial). Fish merupakan penganut aliran reader response criticism yang termasuk dalam kategori aliran subyektivis dan menganggap bahwa penafsiran tidak melekat dalam teks tetapi melekat pada pembaca melalui pengalaman pembaca dengan mengesampingkan maksud yang ingin dicapai oleh pengarang. Stanley Fish berpendapat bahwa sebuah penafsiran hanya mungkin dibuat oleh konteks sosial dimana seseorang hidup karena penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu kota.
Model penafsiran Stanley Fish yang subyektivis ini akan menghasilkan penafsiran yang sangat relatif tergantung siapa pembaca atau penafsirnya dan tidak bisa dipastikan benar karena hanya menafsirkan sesuai dari pemahaman pembaca atau mufassir dan mengabaikan maksud dari pengarang teks tersebut sehingga mudah terjebak dalam truth claim suatu kelompok atas kelompok lain. Adapun untuk mengatasi subyektivitas dalam penafsiran, seorang pembaca atau penafsir harus menyadari bahwa ada dua horison yakni horizon di dalam teks (cakrawala pengetahuan) dan horison pembaca (cakrawala pemahaman). Dua bentuk horison tersebut harus dikomunikasikan sehingga pembaca atau penafsir mampu menangkap meaningfull sense atau ideal moral dalam bahasa Fazlur Rahman dari teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini tanpa mengabaikan maksud yang ingin dicapai oleh pengarang dan pencipta teks.
Daftar Pustaka
Fish, Stanley. 2003. Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities. London: Harvard University Press.
Gadamer, Hans-Georg. 2004. Truth and Method. Diterjemahkan Oleh Joel Weinsheimer and Donald G. Mar. London: Continuum.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. 9th edition. Jakarta: Salemba Humanika.
Markham, Edwin. "The Reader Response Theory of Stanley Fish". Diakses dari http://faculty.ksu.edu.sa/Nugali/English%20461/Fish.pdf, pada tanggal 15 Oktober 2016.
Schleiermacher. 1998. Hermeneutics and Criticism and Other Writings. Diterjemahkan Oleh Andrew Bowie. Cambridge: University Press.
Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an. Yogyakarta: Nawesea Press.
Thiselton, Anthony C. 1992. New Horizons in Hermeneutics. Michigan: Zondervan Publishing House.


Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.