Representasi Gay Beur dalam Sinema Queer Perancis

July 21, 2017 | Autor: Eric Gunawan | Categoria: Cultural Studies, French Cinema, European Cinema, Gay And Lesbian Studies
Share Embed


Descrição do Produto

1

REPRESENTASI GAY BEUR DALAM SINEMA QUEER PERANCIS

Perancis menikmati buah kebijakan laïcité (sekular) pada 1998 saat tim sepak bolanya menang di ajang Piala Dunia. Foto Zinedine Zidane, bintang sepak bola Perancis yang berdarah campuran Arab), yang terpampang di Arc de Triomphe, dan arak-arakan ribuan massa dari berbagai etnis di sepanjang ChampsElysées menjadi salah satu simbol keberhasilan integrasi multikultural negara itu. Meskipun keberhasilan ini sempat mendapat tantangan ketika Jean-Marie Le Pen, dari partai Front National dengan agendanya membangkitkan kembali rasisme dan xenophobia, mencalonkan diri sebagai kandidat presiden 2002, cita-cita Revolusi Perancis 1789 tidak pudar. Semua warga Perancis mendapat hak-hak yang sama termasuk para imigran. Mereka didorong untuk mengintegrasi nilai-nilai kaum Republik tanpa memandang asal mereka, “once you’re French, you’re French and that’s it”. 1 Sebagai negara yang melahirkan perfilman, upaya integrasi lewat film sudah lantang disuarakan oleh para sutradara keturunan Maghrebi Afrika Utara ini dalam dua gelombang, yakni generasi 1970-an dan generasi 1980s. Sampai 1990an, Rosello mencatat ada sekitar 30an film yang menuturkan dan mengoreksi stereotype kaum imigran Afrika Utara yang biasa dipublikasikan oleh media mainstream Perancis. 2 Fenomena saat Festival Film Cannes 2006 juga dapat dijadikan contoh upaya Perancis mewujudkan integrasi ini. Saat itu, empat aktor keturunan Afrika Utara, yakni Roschdy Zem, Sami Naceri, Jamel Debbouze and Sami Bouajila, serta Bernard Blancan yang mewakili mayoritas kulit putih Perancis, menerima penghargaan Best Actors untuk peran kolektif mereka dalam film Indigènes/The Days of glory. Di tahun yang sama, Jamel Debbouze sukses meluncurkan ajang pencarian bakat komedian bertajuk Jamel Comedy Club. 3 1

Pernyataan Michèle Tribalat, pakar imigrasi dan demograsi Perancis dikutip Valerie Orlanda untuk artikelnya berjudul “From Rap to Raï in the Mixing Bowl: Beur Hip-Hop Culture and Banlieue Cinema in Urban France” yang terbit dalam Journal of Popular Culture 36.3 (Winter 2003). Halaman 398. 2 Lihat Valerie Orlanda “From Rap to Raï in the Mixing Bowl: Beur Hip-Hop Culture and Banlieue Cinema in Urban France”. Halaman 402. 3 Kedua peristiwa multikultutal itu dicatat Nick Rees-Roberts dalam bukunya French Queer Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2008. Halaman 15.

2

Subkultur gay yang menjadi bagian masyarakat keturunan Afrika Utara ini turut bersumbangsih pada perkembangan sinema Perancis. Fantasi kolonial4 bercampur stigma banlieues pascakolonial berlabuh pada representasi tubuh dan seksualitas kaum Maghrebi. Representasi ini mengalami perubahan setelah peristiwa 9/11 pada 2001 yang menghancurkan World Trace Centre di New York Amerika Serikat, dan pada 2002 saat persoalan multicultural mencuat ketika JeanMarie Le Pen mencalonkan diri sebagai presiden Perancis. Dalam tulisan ini film, Grande École (2004) karya Robert Salis akan dijadikan referensi utama bagaimana gay Beur direpresentasikan oleh sutradara kulit putih setelah 2002. Sementara itu, film Sitkom (1998) dan Les Amants criminels (1999) yang keduanya adalah karya François Ozon yang juga berkulit putih akan dijadikan pembanding menjelang dua peristiwa besar yang dalam tulisan ini menjadi titik balik perubahan. Tulisan ini sengaja memilih film yang dibuat oleh sutradara nonMaghrebi dengan tujuan akan diperoleh kejelasan bagaimana sinema queer Perancis menghadirkan fantasi kolonial dan stigma banlieues pascakolonial warga kulit putihnya atas gay subkultur dari keturunan Maghrebi Afrika Utara yang selanjutnya akan disebut “Beur”.

Beur dan Asimilasi Istilah “Beur” berasal dari bahasa Perancis ”Arabe” yang dibentuk dengan cara membalik pelafalannya. Beur digunakan sejak 1980an oleh anak muda berdarah Maghrebi Afrika Utara, yakni Aljazair, Maroko, dan Tunisia, untuk menyebut diri mereka yang sudah tinggal di Perancis selama dua sampai tiga generasi. Mereka memilih istilah ini dibandingkan racaille yang lebih kasar dan menorehkan luka kolonialisme Perancis. Beur tinggal di banlieues yakni sebutan untuk wilayah pinggiran kota besar, misalnya di Paris, Lyon, Mersaille. Awalnya istilah banlieue merujuk pada wilayah tempat tinggal kelompok kulit putih kelas sosial menengah atas yang mencari ketenangan dengan memisahkan diri dari hiruk-pikuk aktifitas kota. 4

Istilah ini digunakan oleh Nick Ress Robert untuk menjelaskan fantasi masyarakat kulit putih Perancis seputar mitos maskulinitas Arab, yakni hiperseksualitas, kejantanan, dan sebagai pasangan yang aktif. Lihat buku Nick Rees-Roberts, French Queer Cinema. 2008. Halaman 18.

3

Tetapi perkembangan selanjutnya, didukung oleh imej yang diciptakan mediamedia mainstream Perancis, banlieue menjadi berkonotasi ruang sosial paling bermasalah, “a higly stigmatized social space”, dan identik dengan anak muda asal Afrika Utara. Walaupun para beur sudah tidak mengenal lagi kampung halaman orangtua atau kakek-nenek mereka, lantaran lahir dan tumbuh di Perancis, namun menjadi Perancis tetap merupakan masalah bagi mereka lantaran dalam diri mereka mengalir warisan budaya Maghrebi. Stigma yang muncul di masyarakat turut menjadi salah satu penyebabnya dan didukung latar belakang sejarah sebagai masyarakat dari wilayah bekas jajahan Perancis. Pemerintah Perancis sudah mengupayakan asimilasi. Proses ini berlaku untuk semua imigran yang datang ke Perancis, baik yang datang dari negara Eropa sendiri, Asia, atau negara lainnya. Terkait hal ini, dalam studinya Vladescu mengamati bahwa asimilasi bagi imigran asal Eropa adalah hal yang mungkin dilakukan dan terbukti berhasil. Para imigran ini tidak kesulitan mempelajari dan menggunakan bahasa Perancis. Hal ini didukung pula oleh nilai-nilai, adat istiadat, dan agama banyak memiliki persamaan. Namun demikian, pada imigran Afrika, khususnya kaum Maghrebi. Faktor pendidikan membuat mereka kesulitan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Perancis sehingga keterlibatan dalam bidang sosial, dan politik menjadi terbatas. Kekuatan ekonomi mereka juga tidak mendukung untuk lebih jauh berasimilasi. Juga keahlian mereka terlalu minim untuk mendukung ekomoni mereka. Akibatnya, jurang pemisah tak terhindarkan ini. Asimilasi kaum Magrhibi sulit diwujudkan. Nilai-nilai dan adat istiadat yang mereka hayati jauh berbeda dari Perancis. Kaum Magrhibi beragama Islam, Perancis beragama Katholik. Semua ini berlabuh pada konflik yang melibatkan suku, agama, dan ras. Seperti sudah disinggung di bagian pengantar, ada dua gelombang dalam sinema Beur. 5 Generasi pertama muncul pada 1970an. Tema film yang diangkat

5

Dalam artikelnya, Özgür Yaren mengamati gerakan serupa tidak hanya terjadi di Perancis lewat para sutradara keturunan Afrika Utara, tetapi juga terjadi di Swedia oleh para imigran Turki, di Jerman para migrant ini mewarnai New German Cinema 1970an, demikian pula di Inggris oleh para sutradara keturunan Asia. Lihat Yaren, Özgür. “Trans-Identical Intersection: Queer and

4

kental dengan persoalan sosial dan politik di seputar kehidupan para pekerja migran ini. Gaya visual realisme banyak dipilih para sutradara ini dengan menggunakan footage, pendekatan dokumenter. Misalnya film Mektoub (1970) dan L’autre France (1975) keduanya karya Ali Ghalem, Generasi kedua muncul di era 1980an. Para migrant dalam film-film ini melakukan perlawanan, tidak lagi pasif, diam, dan sebagai korban. Ciri naratif generasi ini, adalah plot awal selalu dimulai dengan tokoh utama yang tinggal di banlieues tanpa perlawanan tertindas baik secara sosial atau politik. Kemudian terjadi turning point yang mengubah tokoh utama melakukan perlawanan. Sejak saat itu, tokoh utama mendapat cap biang onar. Misal La Haine (1995) karya Mathieu Kassovitz, dan 100% Arabia (1997) karya Mahmoud Zemmouri Optimisme para sutradara Beur ini didorong tujuan mereka mengkritisi imej tentang kaum migran khususnya dari Afrika Utara yang dibentuk terus menerus oleh media mainstream Perancis. Sinema Beur mempertanyakan warisan tradisi dari generasi pendahulu mereka, sehingga suara dalam film ini ditujukan untuk mengedukasi orang-tua mereka. Juga, sinema Beur mempersoalkan upaya mereka melebur ke dalam bahasa dan budaya mainstream Perancis, sehingga lewat film ini mereka mengkritisi mitos sosial tentang Beur yang sudah menjadi stigma. Secara singkat, lewat dua arah ini para sutradara Beur mengedukasi warga kulit putih Perancis khususnya dan orang-tua mereka seputar mitos, stereotype, banlieue dan identitas Beur. Selain para pembuat film, para aktor Beur memegang peranan dalam membongkar mitos dan stereotype. Menurut Vincendau, hal ini mungkin terjadi karena bintang film dalam sinema Perancis berfungsi ganda yakni sebagai duta sinema dan duta kebudayaan Perancis di luar negeri. 6 Banyaknya film-film yang dibintangi para Beur ini yang merain box office, sebut saja misalnya Taxi yang dibintangi oleh Sami Naceri, atau Asterix yang dibintangi oleh Jamel Debbouze wajah-wajah bintang baru

Beur bermunculan. Kemunculan bintang sinema

Perancis keturunan Afrika Utara tentu saja mengubah representasi dan identitas

Migrant Film Practices in Europe” dalam Media, Culture and Identity in Europe. Istambul: Bahcesehir University Press, 2009. Halaman: 302. 6 Pernyataan Vincendeau ini dikutip Eun-Jee Park dalam artikelnya. ”A Hybrid Face: the FrancoMaghrebi Stardom of Sami Bouajila”. Halaman 92.

5

masyarakat Perancis kontemporer dalam sinema negara ini, termasuk pula representasi gay Beur. Bagian selanjutnya akan membahas erotisasi gay beur dalam video gay dan film seni.

Gay Beur dan Erotisasi Tema gay Beur yang mewarnai sinema Perancis sejalan dengan identitas gay yang menurut Murray Pratt, seperti dikutip oleh Roberts, sudah memasuki era hipervisibilitas di mana kaum gay mengintegrasikan diri mereka menjadi bagian trend kaum urban heteroseksual dan kesetraaan dalam hukum sipil.7 Era ini berlangsung di Perancis pada 1990an sejalan dengan penemuan pengobatan HIV yang dikenal dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) yang memberi harapan baru bagi mereka yang dinyatakan terjangkit HIV positif. Peningkatan harapan sembuh ini, diikuti dengan kembalinya perilaku seks bebas di kalangan kaum gay pada 1996. Perubahan perilaku ini dapat dilihat pada penerimaan gaya hidup dan representasi gay dalam film dan acara TV di Perancis. Namun demikian, menurut Roberts, representasi ini masih terbatas pada gay kulit putih dan tema-temanya belum mempersoalkan perbedaan suku, agama, dan ras. Pada kenyataanya, representasi gay Beur dalam karya audiovisual era ini sudah hadir. Film gay yang mengangkat tema multikultural baru dapat dijumpai pada video porno dan film seni. Menurut Roberts, film-film tersebut mengungkap gender imbalance di mana obsesi seksual gay kulit putih terhadap gay Beur lebih didorong oleh fantasi kolonial yakni gay Beur sekadar penampung frustrasi kejantanan gay kulit putih, “black and Arab men as convenient receptacle for their (gay white) own postcolonial angst, frustrated machismo and white shame”. 8 Video gay porno Harem (1984) karya Jean-Daniel Cadinot merupakan contoh fantasi kolonial seputar mitos gay Beur kreasi gay kulit putih.9 Gay Beur 7

Lihat buku Nick Rees-Roberts, French Queer Cinema. 2008. Halaman 18. Ibid. Halaman 14. 9 Ibid. Halaman 23. 8

6

direpresentasikan sebagai pejantan brutal secara seksual, dan berasal dari kelas sosial bawah. Representasi ini didasari pemahaman maskulinitas dalam budaya Maghrebi, bahwa walaupun seorang pria melakukan hubungan seksual dengan sesama pria, selama ia berperan sebagai yang aktif, ia tidak dianggap homoseksual melainkan pejantan yang hiperseksual. Sebaliknya, pria yang berperan pasif langsung mendapat predikat feminin. Saat Stéphane Chibikh mendirikan studio Citébeur angin segar perlawanan terhadap stereotype gay beur berhembus. Studio yang didirikannya ini dianggap sebagai pioneer film porno gay yang merangkul para model di luat mainstream industry video porno Perancis, seperti Arab, Latin, dan kulit hitam. Studio ini dianggap mempromosikan “positive attitude toward minorities of ethnic background”. 10 Chibick memang bermaksud menjadikan studionya sebagai ruang visible untuk representasi maskulinitas beur. Namun demikian, serial Wesh Cousin yang diproduksi studio ini pada 2003, dan terus berlanjut hingga 9 sekuel pada 2014, dianggap mengulang kembali obsesi rasial atas kejantaan pria beur. Meskipun Chibikh sesumbar bahwa dia memiliki resep baru fantasi gay di mana gay beur direpresentasikan sebagai laki-laki sejati, manly, yang terbuka dengan orientasi seksualnya, namun demikian gay beur tetap dihadirkan sebagai objek seksual kulit putih, dan mitos banlieue tetap tidak berubah yakni sebagai wilayah kelas sosial bawah. Dipahami, tujuan Chibikh tidak lepas dari komersialisasi kejantanan laki-laki Maghrebi Afrika Utara. Komersialisasi ini ditempuh lewat pendekatan shooting independen dan gaya perekaman dokumenter. Pendekatan ini walaupun menggunakan model, namun para model tampil apa adanya sesuai lokasi yang menjadi latar belakang cerita. Kostum para model adalah pakaian keseharian penduduk setempat, seusuai profesi yang diperankannya. Setting yang digunakan adalah lokasi-lokasi natural, misalnya bengkel mobil. Teknik ini berkontribusi pada harga videonya lebih terjangkau para konsumennya dibandingkan studio lain. Bagi studio Cadinot, kehadiran Citébeur tidak lebih dari sekadar saingan video porno bertema gay. Pada dasarnya Chibikh hanya mengubah apa yang 10

Pendapat tersebut diakses dari Wikipedia, http://en.m.wikipedia.org/wiki/Citébeur (pada 24 Desember 2014)

7

selama ini dijuluki old-school colonial porn yang melekat pada produk Cadinot. 11 Pada 2004, Cadinot melanjutkan fantasi kolonialnya dengan memproduksi serial Studio Beurs, dengan sekuel awalnya berjudul Hammam karya Jean-Noël René Clair. Pendekatan independen Chibikh dikembangkan oleh Clair dengan memanfaatkan kemiskian warga beur. Dalam mempersiapkan materi videonya, ia mendatangi para pekerja beur langsung, mengiming-imingi mereka dengan sejumlah uang dengan syarat mereka bersedia melakukan hubungan seksual di tempat kerja mereka dan aktifitas itu direkam kamera. Sampai bagian ini, walaupun industri video porno menempatkan peran gay beur secara berbeda, tetapi mereka diperlakukan tidak lebih sebagai “a balnk canvas for the inscription of white ethnic angst”. 12 Bagaimana erotisasi gay beur dalam film seni? Pada bagian ini kita akan melihat gay beur yang direpresentasikan Ozon dalam dua film produksi 1998 dan 1999, kemudian membandingkannya dengan yang direpresentasikan Salis dalam filmnya produksi 2004. Sitcom menuturkan penyimpangan dan tabu pada norma kelas sosial menengah Perancis, bonne société, yakni homosexualitas, perzinahan interracial, sadomasochisme, incest, pedophilia, group sex, sampai bestiality’13 Drama keluarga yang berawal dari kehadiran tikus putih yang sengaja dipelihara tokoh ayah, berlanjut dengan kejutan demi kejutan. Diawali putra mereka, Nicholas (diperankan oleh Adrian de Van) memproklamirkan dirinya sebagai gay saat makan malam. Kemudian, putri mereka, Sophie mencoba bunuh diri dengan terjun dari jendela kamarnya, dan berakhir dengan duduk di kursi roda. Ibu ( diperankan oleh Evelyne Dandry) berusaha mengatasi persoalan keluarganya. Gay beur dalam film ini direpresentasikan lewat tokoh Abdu (diperankan oleh Jules-Emmanuel Eyoum Deido). Ia adalah guru oleh raga sekolah dasar, yang datang menemani istrinya, Maria, yang bekerja sebagai babysitter di keluarga itu. Pengakuan Nicholas bahwa dirinya gay membuat semua yang hadir pada acara 11

Julukan ini diberikan oleh Mahawatte untuk menyebut paket fantasi colonial, yang terdiri atas etrnisitas, maskulinitas, dan kelas sosial. Lihat buku Nick Rees-Roberts, French Queer Cinema. 2008. Halaman 23. 12 Pernyataan Mahawatte ini dikutip Roberts dalam bukunya. Ibid. Halaman 23 13 Lihat Kate Ince. “Francois Ozon's cinema of desire”. Dalam buku yang dieditnya, Five Directors: Auteurism from Assayas to Ozon. Manchester: Manchester University Press, 2008.

8

makan malam terkejut, khususnya sang ibu. Atas permintaan Maria, dan ijin Ibu, Abdu menemui Nicholas di kamarnya, dan mulai bertanya jawab alasan Nicholas menyatakan dirinya gay. Gay beur dalam scene ini diposisikan sebagai yang agresif lewat gesture dan sejumlah pertanyaan Abdu kepada Nicholas. Selama scene tanya jawab ini, gesture Abdu mengepung Nicholas, jemarinya menyentuh pergelangan tangan Nicholas, kepalanya condong mendekat Nicholas. Nicholas yang selama scene tanya jawab ini hanya duduk dan menjawab sesuai pertanyaan, memberi kesan pasif. Gesturenya yang selalu menggemgang kedua telapak kanannya di atas dengkul, mengesankan inferioritas atas Abdu. Karena Nicholas tidak tahu persis kapan, dan bagaimana ia menjadi gay, Abdu berinisiatif membuka bajunya, memperlihatkan dadanya,dan bertanya apakah Nicholas tergerak secara seksual ketika melihat dadanya (Gambar 1).

Gambar 1. Abdu berinisiatif memperlihatkan dadanya ke Nicolas.

Stereotype gay beur lewat tokoh Abdu dihadirkan pula oleh Ozon saat Abdu dengan sengaja memberi jari telunjuknya digigit tikus putih. Ia percaya gigitan tikus putih itu membawa keberuntungan. Pada scene sebelumnya, ia digigit tikus itu, dan setelah itu diminta membimbing Nicholas. Kali ini, gigitan tikus itu membawa keberuntungan pula. Ia berjumpa seorang teman Nicholas. Reaksi Abdu saat pertama kali berjumpa teman itu, disandingkan Ozon dengan akibat gigitan tikus. Abdu mengisap darah di telunjuknya yang terluka oleh gigitan (Gambar 3), di saat teman Nicholas datang menemui tokoh Ibu (Gambar 2). Tokoh teman yang belum menyadari kehadiran dan tatapan Abdu meletakannya sebagai yang inferior. Lewat adegan ini, stereotype gay beur, dan mitos banlieue khususnya yang berhubungan dengan tahyul, dihadirkan oleh

9

Ozon. Bahkan, tahyul digigit tikus putih membawa berkah, diaminkan Ozon. Teman Nicholas tidak keberatan Abdu ikut acara di kamar Nicholas.

Gambar 2. Teman Nicolas belum menyadari kehadiran Abdu di ruang itu.

Gambar 3. Reaksi Abdu melihat teman Nicholas.

Gambar 4. Reaksi teman Nicolas setelah menyadari kehadiran Abdu.

Dalam Les Amants criminels, gay beur direpresentasikan sebagai objek seksualitas. Kesan gay beur sebagai objek seksual hadir lewat tatapan tokoh atau shot subjektif, dan juga lewat shot objektif yang mewakili penonton. Karena Ozon berkulit putih, maka kehadiran shot objektif ini dipahami mewakili sudut pandangnya. Shot objektif ini hadir untuk memperkenalkan tokoh Said (diperankan oleh Salim Kechiouche). Les Amants criminels menuturkan Said menjadi korban pembunuhan pasangan Luc dan Alice. Said berdarah Maghrebi digoda Alice

10

secara seksual sehingga ada alasan untuk membunuhnya lewat tangan Luc. Perkenalan tokoh Said diawali dengan memperlihatkan bagian pinggang dan dadanya yang telanjang dan dibalut celana boxer (Gambar 5). Shot voyeurism ini kemudian diulang kembali saat Alice mengintip Said mandi di shower gym. Kali ini adalah shot subjektif, mewakili sudut pandang Alice (Gambar 6, dan 7)

Gambar 5. Awal shot untuk memperkenalkan tokoh Said.

Gambar 6. Alice mengintip Said.

Gambar 7. Said tidak menyadari kahadiran Alice.

Gambar 8. Luc dimandikan sebagai tawanan.

Pada kedua film karya Ozon ini, warisan fantasi kolonial masih kental. Ozon seperti mengulang kembali stereotipe yang sudah ada. Jika Sitcom merepresentasikan stereotipe gay beur sebagai pejantan tangguh yang agresif secara seksual, berikut kepercayaan kepada tahyul khas masyarakat Afrika Utara yang dapat dikaitkan dengan mitos banlieue. Gay beur dalam Les Amants criminels direpresentasikan sebagai objek seksual warga kulit putih. Genital Said

11

keturunan Maghrebi diekspos dalam adegan mandi di shower, sedangkan genital Luc yang berkulit putih tidak diekspos pada saat dimandikan ketika ditangkap penjaga hutan (Gambar 8). Stereotype gay beur berikut mitos banlieue sudah ditinggalkan dalam Grande École karya Salis. Film ini menuturkan Paul (diperankan oleh Gregori Baquet) saat menuntut ilmu di perguruan tinggi berasrama. Ia berkenalan dengan Mécir (diperankan oleh Salim Kechiouche), seorang kuli bangunan keturunan Maghrebi yang sedang merenovasi salah satu bangunan di kampus. Pertemuan awal mereka terjadi di cafe kampus. Pada scene ini, Mécir mencoba mencari perhatian ke Paul. Awalnya Mécir menatap Bernard yang sedang membayar di kasir di sampingnya, sebelum mengalihkan tatapannya ke Paul yang kemudian direspon oleh Paul (Gambar 9-12)

Gambar 9. Gesture Mécir saat menatap Bernard

Gambar 10. Mécir beralih menatap Paul.

Gambar 11. Reaksi Paul saat menyadari tatapan Mécir.

Gambar 12. Mécir membalas tatapan Paul.

Aksi reaksi ini menarik karena Salis tidak menghadirkan stereotype. Dalam filmnya gay beur yang diwakili oleh Mécir bukanlah objek tatapan. Karakter Mécir juga tidak mewakili mitos banlieue yang kasar dalam ucapan dan tindakan. Justru, Mécir tampil sebagai beur yang ramah tidak kasar dan berbudaya. Pada salah satu scene diperlihatkan budaya Maghebi, ketika Mécir dan Paul mengunjungi salah satu restauran pamannya. Dalam plotnya, Salis tetap memasukan mitos banlieue yang berkembang di tengah warga kulit putih

12

Perancis, namun dia menetralkannya lewat tokoh Mécir. Misalnya, kakak Mécir tertangkap atas tuduhan melakukan penjambretan. Banlieue yang identik dengan lokasi para penjahat memang dihadirkan, tetapi di saat yang sama dinetralkan. Gay beur yang menjadi subjek dan bukan objek dihadirkan lewat adegan Mécir memanggil dan menghampiri Paul. Mécir ingin mengucapkan terima-kasih atas pembelaan Paul ketika ia dipojokan oleh supervisor bangunannya. Pada adegan ini, gay beur sebagai inisiator terlihat dari gesture Mécir yang adalah inisiator (Gambar 13), dan komposisi grafis yang menyiratkan kesan Mécir sebagai pelindung Paul (Gambar 14).

Gambar 13. Mécir memanggil Paul untuk mendekat.

Gambar 14. Aksi Mécir sebagai inisiator..

Kesetaraan dalam hubungan seksual juga dihadirkan Salis. Percintaan gay mengenal istilah pasif dan aktif. Pasif mewakili pihak yang mendominasi dan maskulin, sedangkan aktif mewakili pihak yang didominasi dan feminin. Walaupun peran aktif-pasif dalam percintaan Mécir dan Paul tetap melekat, Salis menghadirkannya secara hati-hati demi menggarisbawahi kesetaraan yang ingin ia representasikan. Dalam satu adegan awal percintaan, Salis tidak menghadirkan siapa yang menjadi inisiator. Mécir dan Paul berciuman dan saling berinisiatif memulai. Demikian pula saat menghadirkan percintaan, tidak diperlihatkan secara frontal

13

siapa yang aktif dan yang pasif, melainkan adegan tersebut hadir di tengah ruang kaca yang banyak memiliki sisi sehingga memantulkan banyak imej. Orgasme keduanya juga ditampilkan secara bersamaan lewat dialog dan ekspresi. Ketelanjangan juga dihadirkan dalam suasana kesetaraan. Jika dalam film Ozon, Les Amants criminels, hanya genital Said yang diperlihatkan tetapi Luc tidak, dalam Grande École genital kedua tokoh berbeda etnis sama-sama diperlihatkan (Gambar 15).

Gambar 15. Paul dan Mécir sama-sama telanjang.

Kesetaraan yang ingin dihadirkan Salis sebagai upayanya menghapus stereotype gay beur dan mitos banlieue dirangkum lewat ucapan Paul saat memutuskan hubungannya dengan pacarnya, Agnes. Ia mengatakan, ”In male sexuality, there’s something automatic. It doesn’t matter whose hand does the stroking, if all you want is reaction”. Ucapan Paul tersebut multitafsir, namun demikian memberi satu petunjuk tentang hubungan seksual gay. Dalam naratif film, ucapan tersebut berhubungan dengan taruhan yang dilakukan Agnes dan Paul dalam rangka mendapatkan cinta Louis-Arnault. Sejak pertemuan pertama, Paul tertarik dengan teman seasramanya ini. Ia sering mengunjungi kamar Louis-Arnault, bahkan menemaninya olah raga polo air dan menunggu di locker saat temannya mandi dang anti pakaian. Rupanya Agnes juga tertarik dengan Louis-Arnault. Mereka bertaruh jika Paul berhasil lebih dulu mendapatkan cinta pria itu maka, Agnes rela hidup bertiga. Tapi jika Agnes yang berhasil lebih dulu, Paul harus meninggalkannya. Maka, saat Paul memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Agnes, dan ketika Agnes menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi, kalimat tersebut dipakai sebagai penjelasan.

14

Hubungan kalimat tersebut dengan stereotype gay beur warisan kolonial yang meletakkanya sebagai pejantan tangguh, yang mendominasi, dan sebagai objek erotisme adalah membawa persoalan tersebut ke ranah yang lebih netral. Persoalan utama bukan siapa yang berinisiatif memulai, atau siapa yang menjadi objek-subjek erotisme, melainkan semua itu secara alamiah otomatis muncul memberi tanda ketertarikan satu sama lain. Demikian pula, tidak menjadi masalah tangan siapa yang melakukan sentuhan lebih dulu, karena yang terutama adalah reaksi. Oleh sebab itu, jika ucapan ini dilihat dalam konteks hubungan Mécir dan Paul, ada garis bawah yang ditorehkan Paul bahwa stereotype gay beur tidak ada, yang terjadi adalah suatu hubungan seksual tanpa melihat latar belakang etnis. Hubungan percintaan yang terjadi secara otomatis, secara alamiah.

Kesimpulan Stereotype gay beur dan mitos banlieue kuat tertanam dalam masyarakat kontemporer Perancis. Stereotype ini dipahami sebagai warisan kolonial, di mana para beur sebagai warga negara yang berasal dari wilayah jajahan Perancis di masa imperialisme mengalami kesulitan berasimilasi. Walaupun mereka lahir dan dibesarkan di Perancis sebagai keturunan kedua dan ketiga, namun menjadi Perancis tampaknya tetap sulit. Kesulitan asimilasi ini menjadikan posisi mereka inferior di dalam masyarakat dan dalam representasi film. Inferioritas ini kian kental pada saat identitas yang berhubungan dengan orientasi seksual dilekatkan. Maka, gay beur menjadi objek fetishisme warga kulit putih dalam video porno gay. Namun demikian, sinema queer Perancis pada era sebelum tragedi 9/11 dan sebelum Le Pen mencalonkan diri menjadi presiden pada 2002 merepresentasikan gay beur tidak jauh berbeda dengan yang direpresentasikan dalam video porno gay yakni sama-sama mewarisi fantasi kolonial. Padahal, di era yang sama, sinema beur sedang menyuarakan kesetaraan dan berupaya menghapus stereotype. Kesetaraan gay beur dan gay kulit putih mulai hadir mewarnai sinema queer Perancis pada era setelah 9/11 dan pencalonan Le Pen. Grande École dapat dijadikan salah satu referensi film yang menyuarakan perubahan sudut pandang

15

tersebut. Pernyataan film ini yang terangkum dalam kalimat, ”In male sexuality, there’s something automatic. It doesn’t matter whose hand does the stroking, if all you want is reaction” dapat menjadi perenungan ketika persoalan multicultural mengemuka.

Daftar Pustaka Ince, Kate. “Francois Ozon's cinema of desire”. Dalam Kate Ince (ed). Five Directors: Auteurism from Assayas to Ozon. Manchester: Manchester University Press, 2008. Halaman 112-134. Orlando, Valérie. “From Rap to Raï in the Mixing Bowl: Beur Hip-Hop Culture and Banlieue Cinema in Urban France” dalam Journal of Popular Culture 36.3 (Winter 2003). Halaman 395-415. Park, Eun-Jee. ”A Hybrid Face: the Franco-Maghrebi Stardom of Sami Bouajila” dalam Mediterranean Review Vol. 7, No. 1, June 2014. Halaman 91-111 Rees-Roberts, Nick. French Queer Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2008. Vincendeau, Ginnette. Stars and Stardom in French Cinema. London & NY: Continuum, 2006. Vladescu, Eloisa. “The Assimilation of Immigrant Groups in France: Myth or Reality?” Jean Monnet/Robert Schuman Paper Series Vol. 5 No. 3. Miami European Union Center - University of Miami, 2006. Yaren, Özgür. “Trans-Identical Intersection: Queer and Migrant Film Practices in Europe” dalam Media, Culture and Identity in Europe. Istambul: Bahcesehir University Press, 2009. Halaman: 300-313. Referensi Film Grande École. Sutradara Robert Salis. Perancis: Humbert Balsan, 2004. Sitcom. Sutradara François Ozon.Perancis: Fidélité Productions, 1998. Les Amants criminels. Sutradara François Ozon.Perancis: Fidélité Productions, 1999.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.