resensi buku

July 13, 2017 | Autor: M. Choirurohman | Categoria: Islamic Studies
Share Embed


Descrição do Produto


RESENSI BUKU
ISLAMIC STUDI PENDEKATAN DAN METODE
Resensi Ini Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Metodelogi Studi Islam yang Diampu Oleh Dr. Zakiyuddin baidhaw.












Oleh:
Muhammad Choirurohman (215-13-010)


JURUSAN ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHLUHUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
IAIN SALATIGA
2015

IDENTITAS BUKU
Peresensi : Muhammad Choirurohman
Judul Buku : ISLAMIC STUDEIS PENDEKATAN DAN METODE
Penulis : Zakiyuddin Baidhawy
Penerbit : Insan Madani
Ceakan : cetakan Pertama April, 2011
Tebal : 310 halaman
PENULIS
Zakiyuddin Baidhawy lahir diIndramayu, Jawa Barat. Kini tinggal diSolo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah nyantri diPondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). StudiS-2 pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri(STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, Associate pada Maarif Institute for Culture and Humanity.

PENDAHULUAN
Buku ``Islamic studies pendekatan dan metode`` ini hadir sebagai solusi kebimbangan masyarakat, serta member penjelasan kepada masyarakat kontemporer akan ruang lingkup studi islam, didalamnya berisi dari bab yang sederhana, tentan penjelasan/pengertian metodelogi studi islam, sampai yang terperinci, tentang ruang lingkup kajian, sejarah perkembangan kajian, model-model kajian dari yang model kajian ilmu kalam, tasawof, hermeneotika, ushul fiq dan fiqih, filsafat, dan pendidikan.
SINOPSIS
BAB 1
PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI ISLAM
A. Pengertian Studi Islam
Istilah "Islamic Studies" atau Studi Islam kini telah dipergunakan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi"Islam" dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980an berhubungan dengan
judul-judul "Islam" dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat "Islami", yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan sebutan "Islamic Studies" didunia akademik.
BA B 2
RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM
A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya
Setiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji membuat batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada intinya adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.
Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Realitas Ultim (the Ultimate Reality). Realitas Ultim disini artinya sesuatu yang "mengesankan dan menantang kita". Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadaran, yakni pemahaman dan konsepsi; respon dipandang sebagai bagian dari perjumpaan; pengalaman tentang Realitas Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan yang dialami; dan kita perlu memahami karakter situasional dari pengalaman keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu.
Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karenanya, pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual, afeksi, dan kesukarelaan.
Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Para tokoh pembawa agama sepanjang masa dan dimanapun telah memberikan kesaksian tentang intensitas ini baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah membangkitkan spiritualitas NabiMuhammad, dan para tokoh lainnya seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hanbal, al-Afghani, dan sebagainya.
Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan kita dalam keseharian merupakan bukti nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.
Empat kriteria tersebut menggaris bawahi bahwa pengalaman agama sejati merupakan pengalaman batin dari perjumpaan manusia dan pikiran manusia dengan Tuhan. Karena pengalaman batiniah itu sifatnya personal dan unik, maka pengalaman keagamaan itu sendiri sulit untuk dijadikan sebagai objek langsung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam.
BAB 3
SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 diIrak, ketika ilmu-ilmu agama Islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang didalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi literer dikawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya berjalan didalam peradaban Islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi dinegara-negara Barat.
Bahkan, sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7, orang-orang Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang Islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis. Mitologi, teologi, dan missionarisme menyediakan formulasi utama tentang apa yang diketahui gereja mengenai Muslim sekaligus alasan-asalan bagi perkembangan wacana resmi tentang Islam. Secara mitologis, Muslim dipandang sebagai orang Arab, Sarasen, yang merupakan keturunan Ibrahim melalui Siti Hajar dan putranya Ismail.
Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi Islam, antara lain sebagaiberikut:
Fase Pertama (800-1100), masa dimana banyak bermunculan polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi-Kristen menyebutkan kemunculan kaum monoteistik Arab non-Yahudi dan Kristen pada abad ke-7. Polemik teologis sering terjadi dalam ruang public atau dalam audiensi Khalifah atau pejabat resmi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai kelompok atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam ritual-ritual sosial diskursus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim. Ini semua membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, dengan tujuan hanya untuk menolak ajaran tersebut.
Orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa berupaya untuk mengkonstruk pemahaman mereka sendiri tentang Islam. Karena kurangnya pengalaman kerjasama dan perjumpaan dikalangan mereka ketika hidup dibawah kekuasaan Islam diTimur, Gereja Romawimemandang Islam sebagai"yang lain", asing, musuh Kristen yang harus dikonversi melalui kampanye militer dan missionaris.
Selama empat abad kemudian hingga awal Perang Salib, orang-orang Eropa hidup dalam kebodohan tentang agama dan penduduk yang hidup bersebelah dengan mereka diSpanyol. Suku-suku Jerman, orang Slavia, Magyar, dan gerakan-gerakan bidah seperti Manicheanisme, melihat Islam sebagai salah satu musuh yang mengancam kerajaan Kristen. Sejak awal Perang Salib hingga abad ke-11, nama Muhammad dikenal negatif dikalangan Eropa. Tafsir-tafsir keagamaan Kristen mengidentikkan bangsa Sarasen dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dariHajar.
BAB 4
MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM: STUDI AL-QUR'AN
Studi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin intelektual dan keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian atas teks-teks keislaman membentuk ruang lingkup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pada teks-teks, sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara untuk memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan perhatian pada teks-teks suci keislaman utamanya Al-Qur'an dan hadis, juga karya-karya intelektual klasik yang berhubungan erat dengan dua sumber ajar-an tersebut.
Dalam sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran Islam, dikenal sejumlah cabang keilmuan tradisional Islam yang meliputi antara lain ulum al-Qur'an dengan seluruh ramifikasi-nya, tafsir al-Qur'an, ulum al-hadis lengkap dengan semua percabangannya, ilmu kalam, tasawuf, fikih, dan usul fikih, dan lain-lain. Cabang-cabang keilmuan ini merupakan jasa para pengkaji Muslim atas tradisi tekstual keagamaan mereka dan telah melahirkan khazanah intelektual yang sangat kaya. Karena objek kajian studi Islam tradisional ini adalah teks-teks keagamaan dan karya-karya yang berkaitan dengannya, maka metode dan pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah dikalangan mereka pun meliputi metode dan pendekatan tekstual (bayani).
BAB 5.
MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS
Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al- Qur'an. Karena itu, perdebatan tentang hadis bukanlah suatu yang mengejutkan hingga saat ini terus terjadi. Pada akhir abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakin banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia Islam dan Barat. Ini disebabkan penemuan-penemuan banyak sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi. Banyak manuskrip hadis pada masa-masa awal diterbitkan dan memperoleh bahasan dari para sarjana. Beberapa sumber hadis yang baru mencakup kitab Musannaf (11 volumes, Beirut 1391/1972) karya `Abdur-Razzaq ibn Hammam As-San`ani (w. 211/827), Al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-Athar (15 volumes, Hyderabad 1386/1983) karya Ibn AbiShaybah (w. 235/849), dan Tarikh al-Madinah al-Munawwarah (4 volumes., Jeddah, tth.) karya `Umar ibn Shabba.
Tiga sumber ini dan banyak lainnya dipandang sebagai temuan penting dalam bidang wacana hadis. Diantara metodologi baru yang berkembang dalam studihadis adalah dua pendekatan yang dapat dibedakan: Pertama, analisis isnad terhadap hadis-hadis ahad, demikian Harald Motzki(1992) menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang sangat kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana Belanda GHA. Juynboll (1989). Kedua, pendekatan yang fokus pada analisis teks (matn) hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad. Beberapa diantara yang menggunakan pendekatan ini ialah Gregor Schoeler dan Motzki(1992).
Wael B. Hallad dariMcGill University menyatakan bahwa sejak Joseph Schacht menerbitkan karya monumentalnya pada 1950, wacana ilmiah tentang masalah ini(persoalan otentisitas hadis) telah tersebar luas. Tiga kelompok sarjana dapat diidentifikasi disini antara lain: mereka yang berusaha untuk menguatkan analisis Schacht dan melampaui analisisnya; mereka yang berupaya menolak analisis Schacht; dan mereka yang berupaya mencari jalan tengah, membuat sintesis antara dua pendapat diatas. Dalam kelompok pertama antara lain John Wansbrough dan Michael Cook; kelompok kedua antara lain Nabia Abbott, F. Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fück; dan kelompok ketiga yang mengambil jalan tengah antara lain Motzki, D. Santillana, G.H. Juynboll, Fazlur Rahman dan James Robson (Hallaq, 1999).
BAB 6
MODEL KAJIAN ILMU KALAM
Istilah kalam biasanya diterjemahkan sebagai"kata" atau "firman", namun kata ini menjadi lebih layak maknanya jika diterjemahkan "diskusi" atau "argumen" atau "perdebatan". Mereka yang terlibat dalam diskusi atau perdebatan disebut sebagai mutakallimun (orang-orang yang mempraktikan kalam atau perdebatan). Istilah ini memiliki kedudukan khusus ketika para muhadisun melarang perdebatan semacam ini, karena kaum Muslim masa awal tidak pernah mengenal dan tak pernah terlibat dalam perdebatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi dalam perdebatan semacam itu dikatakan berbicara tentang atau mendiskusikan topik-topik yang terlarang. Para penganjur kalam juga suka menyebutnya sebagai`ilm al-usul atau `ilm at-tawhid, dan dengan sebutan tersebut banyak topik terus diajarkan dan didiskusikan dilembaga-lembaga pendidikan Islam hingga saat ini. Kemunculan ilmu kalam adalah akibat dari banyak kontroversi yang telah memecah belah komunitas Muslim pada masa-masa awal. Meskipun kemunculan Islam ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu terdahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan fundamental tidak disukaioleh kaum Muslim awal, khususnya selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan tragedy yang membawa pada pembunuhan khalifah Usman pada tahun 656, masa dimana perpecahan dalam sistem politik terjadisetelah kematian Nabi.
BAB 7
A. Mistisisme: Fenomena Universal
Tasawuf atau dikenal sebagai mistisisme Islam adalah fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran. Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan atau Realitas Ultim yang diraih melalui pengalaman keagamaan personal. Yakni kesadaran akan realitas transenden atau Tuhan melalui meditasiatau kontemplasi batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang memiliki makna tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami pencarian atas sesuatu yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah orang yang berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui kontemplasi spiritual. Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of Islam, A. J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa kaum orientalis dan sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf dipandang sebagai fenomena dunia yang permanen dan tunggal. Arberry menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf atau mistisisme sebagai tunggal dan serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi mistikus, adalah suatu pemahaman yang banal. Para sarjana kontemporer berjuang untuk memahami keragaman dan dinamika yang ada dalam fenomena mistik sebagaimana termini festasi dalam berbagai tradisi. Mereka berupaya menelusuri berbagai makna dan ragam kesimpulan tentang tasawuf yang diambil dari berbagai konteks. Clifford Geertz (1971: 23-24) menyatakan bahwa penggunaan konsep-konsep tentang tasawuf mistisisme harus berdasarkan pada studi mengenai keragaman "sebagaimana yang kita jumpai", bukan memformulasi generalisasi yang seragam dan definisi yang berlaku untuk semua. Dengan cara demikian, konsep-konsep sepert imistisisme dan mistikus, tasawuf dan sufimen jadi sangat kaya dan berakar. Kita perlu menganalisis hakikat keragaman sebagaimana adanya, kemudian menelusuri berbagai makna dan konsep-konsep itu. Karena itu kajian semacam ini setidaknya akan mempelajari fakta-fakta yang ada dalam keragaman itu. Sementara sarjana lain seperti Rhys Davids yang ahli dalam kajian Budha, kebingungan dengan kompleksitas dan keragaman dalam konsep-konsep mistikus atau mistisisme sehingga ia berkesimpulan bahwa menggunakan istilah-istilah tersebut lebih banyak membingungkan daripada membantu (Awn, 1983).
BAB 8
MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN FIKIH
A. Definisi dan Ruang Lingkup
Usul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat erat. Yang pertama merupakan akar dari hukum Islam yang membahas indikasi-indikasi dan metode-metode dimana aturan-aturan fikih dideduksi dari sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini dijumpai utamanya dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang merupakan sumber utama syariah. Aturan-aturan fikih berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah yang sejalan dengan sejumlah prinsip dan metode yang secara kolektif dikenal dengan sebutan usul fikih. Sebagian sarjana menjelaskan usul fikih sebagai metodologi hukum, suatu penjelasan yang akurat namun tidak lengkap. Meskipun metode-metode penafsiran dan deduksi merupakan perhatian utama bagi usul fikih namun ia bukan semata diperuntukkan pada metodologi. Katakanlah bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan metodologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan dimana metodologi usul fikih diterapkan. Al-Qur'an dan Sunnah sendiri mengandung sangat sedikit metodologi, namun lebih menyediakan inidikasi-indikasi dimana aturan-aturan syariah dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya merujuk kepada metode-metode penalaran seperti analogi qiyas, istihsan, istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua ini didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemahaman yang benar tentang sumber-sumber dan ijtihad.
BAB 9
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
Sebagai firman Allah swt., Al-Qur'an sesungguhnya merupakan bentuk nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Namun, ia tidak bermakna tanpa campur tangan pikiran dan kesadaran manusia itu sendiri. Oleh karena itu, cara manusia mendekati Al-Qur'an sangat berperan dalam menafsir¬kannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak kita jumpai warisan tradisional tafsir Al-Qur'an yang berlimpah dalam Islam, sebagaimana telah disebut pada bab terdahulu. Sebagai akibat perkembangan baru kajian Islam didunia dan pengaruh perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang semakin canggih pada umumnya, kajian Al-Qur'an semakin membuka diriterhadap pertumbuhan metodologidan pendekatan kontemporer. Hermeneutika kontemporer, terutama productive hermeneutics ala Gadamer atau al-Qira'ah al-muntijah menurut Nasr Hamid Abu Zayd (1994:144), membuka pengakuan terhadap cara baru pembacaan Al-Qur'an yang menerima fakta adanya prasangka-prasangka yang sah (Gadamer, 1992: 261). Metode initernyata mengilhami sejumlah sarjana Muslim untuk melakukan interpretasi terhadap fenomena Al-Qur'an, dapat disebutkan misalnya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafidan Farid Esack.
BAB 1 0
MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
Pergumulan otoritarianisme, otoritatif dan otoritas didunia Islam, sebagaimana telah dipaparkan oleh Khaled Abou al- Fadl dalam karyanya Speaking in the God's Name, merupakan fakta sejarah yang tak terelakkan dan mungkin akan terus berjalan. Munculnya fatwa mutakhir dari MUI mengenai Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan dan pengharaman atas paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme, adalah contoh betapa sebuah lembaga keagamaan "otoritatif" telah menjerumuskan diridalam kubangan "otoritarianisme religius". Disebut otoritarianisme karena MUI secara terbuka telah memasuki wilayah hak prerogatif Tuhan dan mencurinya atas nama kepentingan agama. Belum dibuka kesempatan dialog secara terbuka dengan berbagai elemen atau kelompok masyarakat Muslim yang menjadi sasaran fatwa tersebut. Fatwa MUI dan tertutupnya pintu dialog dikalangan internal Muslim, memperlihatkan ada upaya-upaya sistematis hegemoni tafsir tertentu tentang apa, siapa, dan bagaimana Islam. Perlu disadari bahwa tafsir 1 bukanlah agama, ia produk akal pikiran sesuai dengan ruang dan waktu dan tingkat pemahaman intelektual manusia. Meskipun sumbernya adalah kitab suci dan sunnah, tafsir dapat salah, ia dapat berubah sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Oleh karena itu, tafsir menjadi asing jika horizon perbendaharaan kata dan rumusannya tak berdialektika dan bercermin pada perubahan pengalaman kognitif, kultural dan spiritual. Sebab temuan-temuan ilmiah yang bersifat empirik, sosial, maupun humaniora berpengaruh besar membentuk pengalaman keberagamaan manusia, karena keberagamaan bukan wilayah yang terpisah dari struktur dasar kehidupan. Jika semua itu diabaikan, pemikiran keagamaan hanya bersifat reaktif, bukan diskursif dan makin jauh dari kenyataan empirik (Dewey, 1960: 161-186).
BAB 1 1
MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
Kekayaan akan keane karagaman Nusantara agama, etnik, dan budaya ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi, kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa. Disisi lain, ia dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal. Krisis multi dimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Faktor-faktor yang terlibat terlalu kompleks dan saling terkait: ada faktor kepentingan internasional dan kepentingan nasional, sejarah kolonial, sumber daya alam yang tersedia, keragaman etnik, iklim, agama-agama, tradisi, dan globalisasi. Cukup banyak konflik komunal terjadi sepanjang krisis, dan diperparah konflik elite politik yang membuang-buang waktu dan mengarahkan Negara pada perang sipil (Bamualim dkk, ed., 2002). Sebuah permulaan yang sangat buruk bagi bangsa Indonesia dalam menyambut abad 21. Krisis moneter dan politik yang berlarut-larut bergerak dalam suatu proses interrelasi yang sangat kompleks telah menghasilkan kekacauan yang sulit diprediksi. Berbagai ragam kekerasan bersilang sengkarut dengan proses demokratisasi yang mandul dan kebebasan tanpa kesadaran dan penerapan hukum yang berwibawa.
Sementara itu, economic recovery berjalan lambat karena teorientasi ekonomi pasca era konglomerat masih terbuka untuk dipersoalkan; karena aparat negara yang berkuasa gagal ketika monopolike kuasaan terdesentralisir melalui kebijakan otonomisasi daerah yang berjalan tanpa skenario yang jelas. Tiga rangkaian Undang-undang otonomi daerah dan penanggulangan korupsi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih mengandung banyak celah untuk korupsi. Semua bentuk korupsi diatas disebabkan oleh penyalah gunaan kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadiyang berhubungan dengan merembesnya insentif, minimnya informasi dan transparansi kepada publik, dan kurangnya akuntabilitas publik.
KELEBIHAN
Di buat oleh orang hebat, berpendidikan dan berpengalaman luas.
Penjelasan tentang bab-babnya sangat rinci dan jelas.
Jika tidak mau membeli bukunya , tapi ingin membaca karyanya(pengertian dan metodelogi studi islam) dapat di download di iainsalatiga.academia.edu/zakiyuddinbaidhawy
Bab-babnya sangat lengkap sesuia pembahasan.
Penjelasanya di sertai dengan contoh-contoh yang kontemporer, dan ada pembuktian dari karya-karya lain yang di cantunkan.
KEKURANGAN
Terdapat kata-kata yang sulit di fahami, kurangnya penjelasan terhadap kata-kata ilmiah/ pendidikan,
1










Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.