Resensi Buku

July 12, 2017 | Autor: N. Nur Habibah | Categoria: Metodologias Da Investigação Educacional
Share Embed


Descrição do Produto





NAMA : NOVIANTI NUR KHABIBAH
NIM : 111-14-339


Judul buku: STUDI ISLAM PENDEKATAN DAN METODE
Penulis: Zakiyyudin Baidhawy
Penerbit: Insan Madani
Tahun terbit: Cetakan pertama, Juli 2011
Tempat: Yogyakarta
Tebal/ Jumlah halaman: 317

Metodologi studi islam adalah salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa UIN, IAIN, STAIN, dan PTS yang menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu agama islam di lingkungan kementrian Agama RI. Metodologi studi islam berhubungan erat dengan mata kuliah yang lain seperti mata kuliah ulumul qur'an, tafsir, ulumul hadits, hadits, tauhid, fiqih,akhlaq, tasawuf, filsafat islam dan pembaharuan pemikiran islam.
Dengan urgensi mempelajari Metodologi studi islam tersebut, maka Zakiyyudin Baidhawy menyusun buku SIPM sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang muncul pada era kontemporer ini.
Buku ini memiliki 317 halaman dengan tersusun oleh empat belas bab, diantaranya dalam pembahasan pertama, dijelaskan tentang pengertian studi islamdan metodologi studi islam dalam dimensi keilmuan dan keagamaan. Istilah''islamic Studies'' yakni seluruh yang memiliki dimensi ''islam'' dan keterkaitan dengannya. Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih lua ( Sulaiman & Shihadeh, 2007: 6-7 ). Pendekatan pertama melihat islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi , materi dan teks-teks kuncinya sendiri, bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi islam tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan lkasik, memeperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiannya .
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban islam dan agama islam, dan karena banyak muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting.
Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang upaya –upaya memperluas bidang kajiannya dapat mengakibatkan berkurangnya kualitas kajian .Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi muslim mengenai islam, dan studi lintas disiplin tentang islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu0ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang bermanfaat. Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa islam perlu dikaji dalam konteks evolusi islam modern yanag penuh teka-teki.
Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi dalam Islamic Studies. M.Izzi Dien (2003:243-255) secara gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut mencakup kritik akademisi muslim atas metodologi barat, pendekatan apologetik muslim terhadap metodologi penelitian, pendekatan radikal muslim terhadap metodologi barat, dan kritik metodologu muslim dari dalam.
Kritik atas Metodologi Barat
Kritik akademisi muslim atas metodologi Barat muncul baik dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekatan intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran ditegakkan atas hukum pertentangan antara dua hal yang bersebranga yang bertabrakan dengan filsafat islam tentang kehidupan yang berdasarkan pada apa yang disebut fusi dua hal yang bersebrangan. Suatu teori yang juga disebut sebagai teori wasathiyyah ( teori jalan tengah ). Teori ini didasarkan atal Al-Quran surat al-Baqarrah[2]:143 yang berbicara tentang ''ummah wasath'', yang mampu merekonsiliasi dua hal yang bertentangan dengan tujuan untuk meraih harmoni sosial.
Pendekatan Apologetik Insider
Pendekatan Apologetik menyatakan bahwa islam mengadopsi pencarian pengetahuan dan tidak membatasi pada sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi manusia.
Dalam pembahasan kedua, menjelaskan tentang ruang lingkup objek kajian studi islam, pengalaman keagamaan dan Ekspresinya, dimensi-dimensi agama, cara beragama. Joachim Wach ( 1958 ) menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman kegamaa. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Realitas Ultim (the Ultimate Reality). R ealitas Ultim di sini artinya sesuatu yang '' mengesankan dan menantang kita''. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadaran, yakni pemahaman dan konsepsi, respon dipandang sebagai bagian dari perjumpaan, pengalaman tentang Realitas Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan yang dialami dan memahami karakter situasional dari pengalaman keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu.
Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Ketiga suatu , pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan –tindakan kita dalam keseharian bukti nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ungkapan kapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan dapat disampaikan secara oral maupun tertulis. Firman-firman suci,hadis-hadis,karya-karya tafsir agama, dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo keagamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan yang utama meliputi teologi, kosmologi, dan antropologi. Dimensi praktik dan ritual keagamaan berupa rukun islam yang lima:syahadat, shalat, puasa, zakat, haji. Lima rukin islam menjadi kategori utama ritual islam dan peristiwa-peristiwa yanf lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur.
Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan, tempat-tempat suci, seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya.
Dale Cannon (2002) menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama yang hidup di dunia, tak terkecuali islam. Pertama, jalan menuju Tuhan melalui pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, termasuk sejumlah ritual dan perbuatan baik. Cara beragama ini disebut juga cara perbuatan benar ( way of right action ). Tujuannya ialah memenuhi peran dalam hidup ini sebagai sebuah kemestian Ilahi, menunaikan semuanya dengan kesadaran bahwa peran seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali. Cara beragama ini dalam konteks islam memusatkan perhatian pada perbuatan dan tingkah laku yang benar. Kedua, jalan menuju Tuhan melalui pemujaan dan ketaatan. Ini biasa disebut cara ketaatan ( way of devotion ). Tujuan ketaatan adalah menjadikan perasaan seseorang terbakar oleh cinta kepada Tuhan ( mahabbah ) semata, meniadakan semua perasaan yang lain dalam merespon karunia-Nya yang penuh kasig dan sayang.
Ketiga, jalan menuju Tuhan melalui disiplin ruhani dan asketik yang dirancang untuk menarik keluar seseorang dari kesadaran duniawi ( isolasi diri dari dunia ) yang berpusat pada ego, menuju ke subjek dalam jiwa yang tak terbatas dan Ilahi. Inilah yang disebut sebagai cara pencarian mistik ( way of mystical quest ). Tujuan dari cara beragama ini ialah kesatuan mistik antara Tuhan dan hamba-Nya.
Dalam islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin mujahadah melalui maqam-maqam zuhud dan zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak, Allah swt. Untuk mencapai ini para pencari ( salik ) biasanya membutuhkan bimbingan spiritual dari guru, ali, mursyid atau qutub. Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju dasar mutlak segala sesuatu, supaya masuk akal manusia mencapai perspektif dan pengetahuan''akal absolut''. Cara beragama ini disebut cara penelitian akal ( way of reasoned inquiry ). Kelima, jalan menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelaksanaan ritual-ritual yang telah ditetapkan ( ibadah mahdah ), yang menjanjikan tata tertib dan vitalitas dengan mengantarkan seseorang masuk ke dalam pola-pola Ilahiah yang orisinal dari kehidupan yang penuh makna melalui sakramen. Ini disebut sebagai cara ritus suci ( way of sacred rite ).
Ritus suci dalam islam adalah semua bentuk ibadah mahdah yang telah ditetapkan cara-caranya, waktu0waktunya, maupun tempat-tempatnya. Dalam ritus suci ini juga termasuk ritus peralihan ( rites de passage ) seperti upacara kelahiran, akikah, pernikahan, dan kematian, upacara-upacara peneguhan dan pembatalan, seperti pernikahan , peerceraian, adopsi, kontrak, persetujuan, dan ritual-ritual suci yang mengakui hal-hal yang suci dan menjaganya agar terpisah dari profan.
Keenam, jalan menuju Tuhan dengan membuka hubungan ke sumber-sumber supranatural dari imajinasi dan kekuatan, seperti peminjaman kekuatan ilahiah ( kesurupan ), lupa daratan, meracau, dan pengembaraan spiritual. Ini disebut sebagai cara mediasi samanik ( way of shamanic mediation ). Dalam konteks islam, kita bisa menyaksikan bagaimana sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci ( shaman: wali, mursyid, dukun, guru ) untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawasul. Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan supranatural ( melalui mantra, aji-aji, jimat, doa-doa tertentu ) untuk meraih tujuan-tujuan yang sifatnya natural.
Dalam pembahasan ketiga, menjelaskan tentang sejarah perkembangan studi islam, studi islam dan orientalisme, studi islam sebagai disiplin mandiri, studi islam dan oksidentalisme. Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi lileter di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya berjalan di dalam peradaban islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi di negara-negara Barat. Bahkan, sebelum kemunculan islam pada abad ke-7, orang-orang Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis.
Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi Islam, antara lain sebagai berikut:
Fase pertama ( 800-1100 ), masa di mana banyak bermunculan polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi dan Kristen pada abad ke-7. Polemik teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam audensi Khalifah atau pejabat resmi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai kelompok atau ahlu zimmi berparisipasi dalam ritual-ritual sosial diskursus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim.
Fase perang salib dan kesarjanaan Cluny ( 1100-1500 ). Studi Islam utuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12 pada masa peter Agung ( 1094-1156 ), seorang biarawan Cluny di Perancis. Ini adalah masa awal perang salib sekaligus reformasi besar kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama pendidikan kristen. Fase Reformasi ( 1500-1650 ). Sejalan dengan Eropa memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada abad ke-16, pengetahuan dan Stusi Islam juga terpengaruh. Pada abad ke-14 dan 15, Eropa Timur mengganti Spanyol dan Palestina sebagai front utama antara kerajaan kristen Romawi Barat dan Islam. Fase penemuan dan pencerahan ( 1650-1900 ). Kesarjanaan Eropa yang baru dan orisinal tentang islam berkembang pada akhir abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Ancaman Ottoman terhadap Eropa tidak berkurang hingga abad ke-18, ketika kerajaan Ottoman mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak ke Eropa.
Tugas menemukan tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitan-penerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip merupakan capaian penting abad ke-19, abad orientalis. Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik injil dan karya sejarah tentang asal-usul dan periode awal agama yahudi dan kristen, kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan islam.
Selanjutnya pembahasan pada bab IV penulis menjelaskan tentang model pendekatan kajian teks-teks islam Studi Al Qur'an. Studi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin imtelektual dan keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian atas teks-teks keislaman membentuk ruang lingkup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pa dan hadis, juga da teks-teks, sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara untuk memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan perhatian pada teks-teks suci keislaman utamanya Al Qur'an dan hadis, juga karya-karya intelektual klasik yang berhubungan erat dengan dua sumber ajaran tersebut.
Dalam bab ini pun menjelaskan pendekatan I'jaz klasik, pendekatan sastra modern, pendekatan tajdid, pendekatan tahlili, pendekatan sematik, pendekatan tematik. Selantutnya dalam bab V dibahas tentang model kajian teks-teks keislaman Studi Hadis yaitu kajian orientalis tentang hadis, perbedaan metodologi kajian hadis: sarjana barat dan sarjana muslim, kajian sarjana muslim modern, pendekatan revolusioner:al-Albani.
Di antara metodologi baru yang berkembang dalam Studi Hadis adalah dua pendekatan yang dapat dibedakan: pertama, analisis isnad terhadap hadis-hadis ahad, demikian Harald Motzki ( 1992 ) menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang sangat kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana Belanda GHA. Juynboll ( 1989 ). Kedua,pendekatan yang fokus pada analisis teks ( matn ) hadis yang dikembangkan melalui penyeledikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad. Beberapa di antara yang menggunakan pendekatan ini ialah Gregor Schoeler dan Motzki (1992).
Kajian orientalis tentang hadis dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher. Pandangan-pandangannya banyak diikuti oleh kebanyakan kaum orientalis seperti Leone Caetani, T. W. Juynboll, Gaston Wiet, Joseph Schacht, N. J. Coulson, Alfred Guillaume, dan H. A. R. Gibb. Dalam karyanya Muslim Studies dana dalam sebuah bab berjudul'' Reaksi terhadap Pemalsuan Hadis'', Goldziher membahas bagaimana metode kritik dari sarjana Muslim terhadap fenomena pemalsuan hadis. Ia menyimpulkan tanda-tanda dan ungkapan-ungkapan dalam reaksi ini ke dalam tiga cara berbeda dan menyimpulkan bahwa ada bahaya yang sanga nyata dari tindakan penyelundupan hadis. Bahaya itu mengancam seluruh bidang Sunnah dalam agama dan kehidupan publik.
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi islam secara keseluruhan. Sikap muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut:
''... Sunnah, atau Hadis Nabi.... merupakan sumber utama kedua dalam hukum islam, benar selamanya, dan kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh nabi sendiri.'' ( Azami, 1977: 46).
Rashid Ridha ( 1865-1935 ) membahas kritik matan. Ia mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim. Menurutnya , para ahli hadis jarang meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat maknanya. Mereka lebih memfokuskan diri pada isnad dan konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang tampak kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya. Berdasarkan pandangan ini, ia menolak hadis-hadis jika hadis-hadis itu banginya tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang lebih luas ( Ridha, 1928: 40).
Syekh Muhammad Nasir ad-Din al-Albani dikenal sebagai muhadis kontemporer. Ia memperkenalkan pendekatan revolusioner dalam studi hadis, dan jalannya ini diikuti oleh para pengikutnya . Al-Albani menunjukkan kontradiksi fundamental dengan tradisi Wahhabi yang menjadi pembela eksklusif Al-Quran, Sunnah dan ijma'as-salih-utamanya mereka bersandar kepada mazhab fikih Hanbali bagi fatwa-fatwa mereka. Menurut al-Albani, hal serupa berlaku bagi Muhammad bin Abdul Wahhab yang disebut sebagai''salafi dalam kredo,namun bukan salafi dalam fikih.''
Bagi al-Albani , menjadi''salafi yang layak di bidah fikih'' mengimplikasikan penempatan hadis sebagai pilar utama dalam prosese yuridis, karena hadis menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam Al-Quran tanpa bersandar kepada mazhab fikih yang ada. Karenaitu, ibu kandung seluruh ilmu keagamaan adalah ilmu hadis, yang bertujuan untuk mengevaluasi kembali oetntisitas hadis-hadis yang diketahui. Menurutnya, penalaran secara independen harus dikeluarkan dari proses ini: kritik matan harus benar-benar menjadi ilmu formal, maksudnya ilmu gramatika atau linguistik, hanyaa sanad yang yang layak dipertanyakan. Akibatnya, fokus utama ilmu hadis adalah padailm al-rijal yang juga dikenal dengan sebutan 'ilm al-jarh wa al-ta'dil, yang menilai moralitas sanad. Pada saat yang sama dan ini bertentangan dengan yang pertama, al-Albani menyatakan bahwa ruang lingkup penilaian kembali hadis harus mencakup semua hadis yang ada meskipun hadis itu sudah termaktub dalam buku-buku hadis Bukhari dan Muslim, yang menurut al-Albani sebagian dari hadis-hadis dalam dua kitab ini dinyatakan lemah ( Lacroix, 2008: 6).
Dalam pembahasan bab VI menjelaskan tentang model kajian Ilmu Kalam yaitu kemunculan Ilmu Kalam, definisi dan bhasan Ilmu Kalam, metotologi Ilmu Kalam, mazhab-mazhab Ilmu Kalam, metodologi kalam syi'ah. Kemunculan Ilmu Kalam adalah akibat dari bnyak kontroversi yang telah memecah belah komunitas muslim pada masa-masa awal. Meskipun kemunculan ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu terdahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan fundamentall tidak disukai oleh kaum muslim awal, khususnya selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan tragedi yang membawa pada pembunuhan khalifah Usman pada tahun 656, masa di mana perpecahan dalam sistem politik terjadi setelah kematian Nabi.
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran-ajaran dasar keimanan islam (usuludin ). Ilmu ini mengidentifikasi ajaran-ajaran dasar dan berupaya membuktikan validitasnya dan menjawab setiap keraguan terhadapnya. Kalam pada umumnya berkaitan dengan upaya untuk menjustifikasi kepercayaan keagamaan melalui akal, atau dengan mempergunakan akal guna menghasilkan kesimpulan dan akibat-akibat baru dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Doktrin –doktrin kalam meliputi tiga komponen besar: artikulasi tentang apa yang dipandang oleh suatu mazhab pemikiran sebagai kepercayaan-kepercayaan fundamental, konstruksi kerangka spekulatif di mana kepercayaan- kepercayaan tersebut harus dipahami, dan upaya merasionalisasi pandangan-pandangan ini di dalam kerangka spekulatif yang diterima.
Selanjutnya pembahasan pada bab VII menjelaskan tentang model kajian tasafuw antara lain mistisisme fenomena universal. Tasawuf atau dikenal sebagai mistisisme islam adalah fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran. Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan atau Realitas Ultim yang diraih melalui pengalaman keagamaan personal. Yakni kesadaran akan realitas transende atau Tuhan melalui meditasi atau kontemplasi batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang memiliki makna tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami pencarian atas sesuatu yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah orang yang berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui kontemplasi spiritual.
Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of islam, A. J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa kaum orientalis dan sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf dipandang sebagai fenomena dunia yang permanen dan tunggal. Arberry menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf atau mistisisme sebagai tunggal dan serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi/ mistikus, adalah suatu pemahaman yang banal. Bab ini pun menjelaskan spirit: domain ketiga ajaran islam, perspektif memahami tasawuf, tasawuf dan modernitas: pendekatan fathullah Gulen. Seperti kita ketahui bersama, islam mengemukakan tiga domain utama kepedulian manusia. Tiga domain tersebut yaitu tubuh, pikiran, dan jiwa, atau perbuatan, pengetahuan , dan wujud. Tubuh merupakan realitas aktivitas, ketaatan ritual, dan hubungan sosial ; pikiran adalah realitas persepsi, kepercayaan, pengetahuan, dan pemahaman, dan; jiwa adalah wilayah kesadaran terdalam tentang diri dan komunikasi langsung dengan Realitas Ultim yang disebut Tuhan, wujud yang sesungguhnya dan nyata.
Gerakan Gulen berusaha berintegrasi dengan dunia modern dengan mendamaikan nilai-nilai tradisional dan modern. Gerakan ini mencoba menciptakan sintesis gagasan yang melukiskan upaya-upaya para pemikir nasionalis di kerajaan Ottoman terakhir. Misalnya, Ziya Gokalp menekankan keharusan menciptakan sintesis berdasarkan kombinasi unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Turki dan dari peradaban dan teknologi Barat. Gulen dan para pengikutnya melangkah lebih jauh menerima peradaban Barat sebagai fondasi yang cocok untuk kehidupan material sementara peradaban islam cocok untuk kehidupan spiritual. Patut dicatat bahewa karena gerakan ini berkarakter konservatif ia berhasil mengundang mereka yang melihat sistem politik Turki sebagai sistem yang terlalu menekankan sekularisme dan modernisasi ( Bulent aras and Omer Caha, 2000).
Selanjutnya pembahsasan pada bab VIII menjelaskan tentang model kajian ushul fikih dan fikih,definisi dan ruang lingkup, dua pendekatan: teoreti -rasional dan deduktif. Usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan medologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Qura'an dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di mana metodologi usul fikih diterapkan. Fikih merupakan hasil atau produk dari usul fikih, dan keduanya merupakan disiplin yang terpisah meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama antara fikih dan usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan tentang aturan-aturan rinci dalam hukum islam dalam berbagai percabangannya, dan usul fikih berkaitan dengan metode-metode yang diterapkan dalam mendeduksi aturan-aturan itu dari sumbernya.
Seiring dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih, berbagai ulama dari mazahab-mazhab itu mengadopsi dua pendekatan berbeda dalam mengkaji usul fikih, yakni pendekatan teoretis dan pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya digunakan oleh penduduk Hijaz. Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh penduduk Irak yang melukiskan kebudayaan Persia, yang menekankan penalaran rasional.
Selanjutnya pada bab IX dibahas tentang model kajian hermeneutika: studi hermeneutika pembebasan Farid Esack, metode hermeneutika pembebasan, Al-Qur'an bicara: kunci hermeneutika pembebasan. Sejak kecil Farid Esack sudah bersentuhan dengan tetangganya plural secara agama. Ketika masih kecil, 11 telah menjadi sekretaris masyarakat yang bertugas mengatur masjid dan sebagai guru madrasah. Ia adalah orang yang sangat beragama dengan perhatian besar pada penderitaan yang ia alami dan saksikan di sekitarnya.
Jadi, hermeneutika pembebbasan Al-Qur'an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek: 1) Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dalam dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik; dan 3) Kenenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak.
Selanjutnya dalam pembahasan bab sepuluh menjelaskan tentang model kajian filsafat: studi hibrida filsafat fondasionalisme dan hermeneutika, gagap paradigma fondasionalisme, pendekatan hermeneutika: pintu keragaman dan relativisme, menuju hibrida paradigmatik, tafsir multikultural, sebuah alternatif. Tantangan-tantangan kontemporer pascamodernisme telah mengejutkan konvensi-konvensi sosial dan kultural, sistem-sistem kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam pemikiran, kebudayaan dan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap suci oleh masyarakat Muslim. Tafsir multikultural adalah upaya mempertahankan kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme di mana sejarah gagasan, atau dalam istilah Kuntowijoyo periode ilmu, menyediakan batu loncatan bagi ide-ide dan gerakan kultur batu.
Selanjtnya pada bab sebelas menjelaskan tentang model kajian pendidikan: pendekatan multikultural terhadap pendidikan agama, pendidikan agama sebagai aparatus ideologis, basis teologi pendidikan multikultural, pendidikan agama untuk perdamaian dan harmoni. Pendidikan agama berbasis teologi multikultural harus terus diupayakan secara kolaboratif dengan institusi-institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan serta organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah lain yang berkaitan, untuk menciptakan suatu visi baru bagi peran pendidikan agama dalam masyarakat. Peran pendidikan agama didesain untuk menawarkan nila-nilai saling pengertian, interdependensi, dan perdamaian.
Selanjutnya dalam pembahasan bab duabelas menjelaskan model kajian pemikiran islam: kajian tentang islam liberal, beberapa pendekatan mengkaji islam liberal, latar sosial islam liberal, tantangan islam liberal. Islam liberal berakar pada Syah Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakan-gerakan pemurnian islam ala Wahabi pada abad ke-18.
Kajian-kajian tentang islam liberal membawa pada suatu pemahaman bahwa kelompok ini datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi islam ortodoks. Islam liberal yang dimaksud adalah kecenderungan pemikiran islam modern yang kritis, progresid dan dinamis. Dalam pengertian ini, islam liberal bukan suatu yang baru, akarnya sudah ada sejak abad 19. Tema dan tesis yang dikampanyekan meminjam kategorisasi isu yang dikemukakan oleh Charles Kurzman.
Selanjutnya pembahasan pada bab tigabelas menjelaskan model kajian politik, pendekatan keamanan (security), pendekatan demokrasi, pendekatan globalisasi. Dalam bab empatbelas menjelaskan tentang metodologi ilmiah modern dan studi islam, pendekatan ilmu sejarah, pendekatan sosiologis, pendekatan antropologi dan etnografi, pendekatan fenomenologi, pendekatan arkeologi. Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji agama-agama, namun juga salah jika kita memandang bahwa pendekatan ini dapat menyajikan kunci universal untuk memahami fenomena keagamaan. Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubungan-hubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-tempat tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia.
Adapun kelebihan dalam buku ini, diantaranya struktural pembahasan yang sistematis-korelasi, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami pembahasan secara korelatif pula. Kemudian buku ini memberi bekal terhadap pembaca sebagai pengantar studi agar memiliki pemahaman terhadap islam secara komprehesif dari berbagai aspeknya, mengetahui beberapa metode dan pendekatan dalam mempelajari islam, dan mengupayakan pembaca agar memiliki gambaran umum mengenai islam secara efektif dan efisien dalam waktu yang relatif singkat.
Disamping memiliki kelebihan, buku ini pun tidak terlepas dari kekurangannya, yaitu memiliki beberapa pembahasan yang kurang mudah untuk terfahami bagi pemula khususnya, kemudian editing belum sempurna, dan glosarium yang kurang lengkap sehingga masih banyak bahasa yang tidak terdefinisi.



















DAFTAR PUSTAKA


Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. STUDI ISLAM Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan Madani.



14



Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode, Cet. I (yogyakarta: Insan Madani, 2011), hlm. 1.
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode, hlm. 2-3.
Ibid., hlm. 7-8.
Ibid., hlm. 10
Ibid., hlm. 23-24
Ibid., hlm. 25
Ibid., hlm. 29
Ibid., hlm. 35
Ibid., hlm. 36
Ibid., hlm. 37
Ibid., hlm. 38
Ibid., hlm. 39
Ibid., hlm. 40
Ibid., hlm. 41-43
Ibid., hlm. 47
Ibid., hlm. 67
Ibid., hlm. 100
Ibid., hlm. 101
Ibid., hlm. 102-103
Ibid., hlm. 110
Ibid., hlm. 115-116
Ibid., hlm. 120
Ibid., hlm 125
Ibid., hlm. 139-140
Ibid., hlm. 141
Ibid., hlm. 150
Ibid., hlm. 156
Ibid., hlm. 159-160
Ibid., hlm. 169
Ibid., hlm. 183
Ibid., hlm. 203-204
Ibid., hlm. 224
Ibid., hlm. 229
Ibid., hlm. 245
Ibid., hlm. 264
Ibid., hlm. 271

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.