RESUME DAN CRITICAL REVIEW TESIS

June 4, 2017 | Autor: Aulia Rahmat | Categoria: Social Research Methods and Methodology, Research Methodology
Share Embed


Descrição do Produto

RESUME DAN CRITICAL REVIEW TESIS

TUGAS AKHIR

Diajukan Sebagai Tugas dalam Mata Kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI)

Oleh : AULIA RAHMAT NIM 10.2.00.01.01.0086

Team Teaching : Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.S.P.D. Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. Prof. Dr. A. Rodoni Dr. Muhaimin A.G. Dr. Ahmad Luthfi, M.A. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A.

KONSENTRASI SYARI’AH PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (SPs UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1432 H 0|P a g e

RESUME I HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN : (ANALISIS PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN) Oleh : Rini Sidi Astuti (NIM 03.2.00.01.01.0059) BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan normatifnya adalah sama dengan menerapkan konsep keadilan dan tidak adanya diskriminasi. Hal ini menuntut adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban. Konsep ini dalam politik hukum Indonesia terwujud dalam adanya pengakuan terhadap kesetaraan gender. Salah satu bentuk diskriminasi yang masih terjadi adalah dalam masalah penyelesaian harta bersama. Contoh yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuhseparuh, berdasarkan ketentuan dalam pasal 97 KHI. Padahal sebagian besar harta tersebut dihasilkan dari aktivitas Hughes di dunia entertainment. Istilah harta bersama yang dibakukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Pelembagaan harta bersama ini dalam ketentuan hukum positif di Indonesia dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Konsep harta bersama dalam ketentuan tersebut pun bersifat kontradiksi. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa tidak ada perjanjian antara suami istri terhadap harta, maka harta yang didapat selama masa perkawinan adalah harta bersama. Sebaliknya, dalam KHI dinyatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami istri yang tidak pernah melakukan perjanjian sebelumnya. Adanya kontradiksi dalam persoalan harta bersama antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan KHI kemudian diformulasikan dalam suatu pertanyaan yang menjadi major research question dalam penelitian ini, yaitu; “Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?”. Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa pendapat, di antaranya pendapat Hazairin dalam bukunya yang berjudul “Tinjauan mengenai undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, yang menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang spesifik dalam kitab-kitab suci agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha). Sementara itu, Bustanul Arifin menyatakan bahwa tidak ditemukan bahasan mengenai harta bersama dalam kitab-kitab fiqih klasik. Di lain sisi, Ismuha dan Sayuti Thalib menyatakan bahwa masalah harta bersama dapat dikategorikan sebagai syirkah dalam rumah tangga secara resmi dan cara-cara tertentu. B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah Major research question : Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ? Minor research question : a. Bagaimanakah hukum Islam merespon persoalan harta bersama, apakah ada dalil yang lebih terperinci untuk menerangkannya ? 1|P a g e

b. Bagaimanakah kaitan antara hak dan kewajiban suami istri dalam hubungannya dengan harta bersama ? c. Bagaimanakan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ? d. Apa akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia ? 2. Batasan Masalah a. Hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan tesis ini adalah yang berkenaan dengan teori-teori fiqih yang berkaitan dengan kasus harta bersama dalam putusan yang telah diputus oleh majelis hakim. b. Putusan yang akan diteliti adalah Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 45/Pdt.G/2005/PJS; Putusan PA Jakarta Pusat Nomor 10/ 1985; Putusan PA Jakarta Barat Nomor 15/1/1985; dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 380/K/AG/2006. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap harta bersama akibat perceraian baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, ataupun qiyas. b. Mendeskripsikan kaitan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan harta bersama dalam perkawinan. c. Memaparkan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI. d. Menjelaskan akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan. b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. D. Kerangka Teori Berdasarkan pendapat para ahli dalam beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama ikatan perkawinan berlangsung, baik yang didapatkan secara sendirisendiri ataupun secara bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Pengajuan harta bersama ini biasanya dikomulasikan dengan gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. Penjelasan mengenai harta dalam perkawinan, disebutkan dalam ketentuan pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut ; Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah telaah terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang kemudian dikaitkan dengan pembagian harta bersama; dan konsep harta bersama dalam hukum Islam dan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian tesis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian normatif dan deskriptif–kualitatif, dengan mengadakan penelitian kepustakaan terhadap data sekunder yang bersumber pada bahan kepustakaan. Penelitian ini adalah peneltian kasus (case study) terhadap putusan-putusan lembaga peradilan.

2|P a g e

2. Metode Analisis Data Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah content analysis, dengan menganalisis data menurut isinya. Dalam kajian teoritis tentang harta bersama, ada dua pokok bahasan yaitu; hak dan kewajiban suami istri serta pembagian harta bersama akibat perceraian yang ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode nalar (logika) deduktif dengan berpijak serta bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan harta bersama. 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang berhubungan dengan putusan dan yurisprudensi yang akan diteliti. b. Data Sekunder 1) Bahan hukum primer seperti; al-Qur’an, hadits dan buku-buku yang ada relevansinya; 2) Bahan hukum sekunder seperti; buku-buku ushul fiqih yang relevan, dan; 3) Bahan hukum tersier seperti; kamus dan ensiklopedi. 4. Metode dan Teknik Penulisan Metode penulisan tesis ini mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: IAIN Press, 2002)”. Penggunaan transliterasi dalam penulisan tesis ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam “Panduan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. F. Tinjauan Pustaka 1. Pemikiran Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Islam oleh Iskandar 2. Pembagian Harta Bersama Karena Percaraian pada Masyarakat Islam Jakarta Selatan oleh M. Zein 3. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tembilahan) 4. Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Sudut Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam. G. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran. BAB II : HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA DALAM PERKAWINAN Hak-hak perkawinan (marital right) merupakan salah satu indikator penentu status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan antara kedua belah pihak. Namun jika seandainya terjadi ketidak-adilan dalam suatu rumah tangga, tidak jarang perempuan yang akan dirugikan. Hal ini menuntut adanya suatu jalan keluar untuk menyelamatkan hak-hak perempuan dalam perkembangan selanjutnya.

3|P a g e

A. Pengertian Hak dan Kewajiban 1. Pengertian Hak Secara etimologi, kata “hak” berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu “haqq” yang artinya; kebenaran, lawan dari kata kezhaliman dan bahagian atau peruntukkan tertentu. Secara terminologi, hak didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli. Ada yang mendefenisikan dari segi materi, dan tidak sedikit pula yang memandangnya dari segi non materi. Dari beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa hak adalah kekuasan khusus yang dimiliki oleh seseorang yang ia peroleh berdasarkan ketentuan syara’ untuk mencapai kemashlahatan. 2. Pengertian Kewajiban Kewajiban adalah perintah yang dituntut oleh pembuat hukum (dalam hal ini adalah Allah SWT) berupa keharusan untuk melakukan sesuatu atau berupa sanksi dosa bagi yang meninggalkannya. Penjelasan mengenai hak dan kewajiban bagi pasangan suami istri dalam perkawinan secara terperinci telah dijelaskan dalam ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI. B. Macam-macam Hak dan Kewajiban Suami Istri 1. Hak Istri Terhadap Suami a. Hak Materi 1) Mahar Mahar merupakan bagian terpenting dalam awal pembentukan rumah tangga dan merupakan pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri disebabkan adanya pernikahan. Akad nikah merupakan salah satu penyebab timbulnya hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak. 2) Nafkah Pengaturan masalah nafkah ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Thalaq [65] ayat 7. Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya, meskipun berapa besarnya tidak ditentukan secara terperinci karena hal ini digantungkan kepada kemampuan. b. Hak Non Materi 1) Mendapat Perlakuan yang Baik dari Suami Perkawinan merupakan titik awal pembentukan masyarakat yang kokoh. Oleh sebab itu islam menganjurkan agar suami menunjukkan sikap yang baik dan lemah lembut kepada istrinya. Keduanya diharapakan untuk bisa saling pengertian, saling menghargai dan saling menghormati. Penulis mengkritik makna hadits yang menyatakan; “Mereka (para istri) adalah orang yang lemah dari segi fisiknya dan membutuhkan orang lain untuk melindunginya”. Karena stereotype wanita seperti itu merugikan, sementara dalam konteks kontemporer tidak sedikit wanita yang menggantikan profesi laki-laki. 2) Mendapat Perlindungan yang Layak dan Wajar Syari’at Islam mewajibkan suami untuk mencukupi kebutuhan istrinya, seperti; menjamin nafkah, sandang dan tempat tinggal yang bersifat materi. Tidak hanya sampai di situ, syari’at Islam juga tidak meremehkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kejiwaan (spiritual). 2. Hak Suami Terhadap Istri Suami mempunyai hak yang ditimbulkan dari kewajiban istri, di antaranya adalah suami berhak dita’ati dalam hal kebaikan dan tdiak untuk perbuatan maksiat. Terlepas dari perdebatan akademik tentang kedudukan perempuan dalam struktur sosial, penulis berpendapat bahwa, kepemimpinan laki-laki yang

4|P a g e

dimaksudkan berada dalam konteks rumah tangga yang mengharuskan akan adanya suatu pihak yang memimpin. 3. Hak Timbal Balik antara Suami Istri Berdasarkan beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa hak timbal balik antara suami istri adalah melakukan hubungan badan. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan dan argumen yang dikemukakan dalam fiqih yang kemudian diperkuat dengan beberapa dalil. Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 34 ayat [3] Undang-undang Perkawinan dan dalam pasal 77 ayat [5] KHI yang menyatakan bahwa salah satu pihak boleh mengadu ke Pengadilan apabila ada salah satu pihak yang melalaikan kewajibannya. C. Kewajiban Suami Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam 1. Kewajiban Suami Terhadap Istri Kewajiban suami terhadap istrinya adalah; membimbing sitri dalam urusan rumah tangga, melindungi istri dan mencukupi kebutuhannya. Namun, kewajiban suami untuk memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya akan gugur apabila istrinya nusyuz. 2. Kewajiban Istri Terhadap Suami Kewajiban istri terhadap suami adalah berbakti lahir dan batin kepada suami selama berada dalam batas-batas yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dan kebutuhan seharihari sebaik-baiknya. D. Hak Suami Istri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Mengenai hak suami istri dalam Undang-undang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 31 ayat [1], [2] dan [3]. Demikian juga dalam KHI pada pasal 79 ayat [1], [2] dan [3]. Penulis menyimpulkan bahwa kandungan ayat tersebut inkonsisten dan saling bertentangan. Dalam dua ayat terakhir dinyatakan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, sementara dalam ayat 1 dinyatakan bahwa suami dipatok sebagai kepala keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut mengindikasikan pembekuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan. BAB III : KONSEP HARTA DALAM PERPSPEKTIF HUKUM INDONESIA A. Harta Bersama Menurut Hukum Islam Ajaran Islam tidak menjelaskan secara transparan perihal pembagian harta bersama akibat perceraian. Artinya, Islam tidak mempunyai konsep pembagian harta bersama yang langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun dapat dipahami dari makna al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 29. Dari ayat ini ditemukan 3 prinsip dasar dalam pembagian harta bersama. 1. Prinsip Kerjasama Prinsip kerjasama yang terkait dengan masalah harta adalah hal yang dasar di tengah-tengah masyarakat. Selaku makhluk sosial dan makhluk budaya, manusia mempunyai banyak kekurangan dan membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Hal inilah yang mendorong adanya sikap tolong menolong dan kerjasama guna menutupi kekurangan tersebut. 2. Prinsip Dasar Kepemilikan Pada dasarnya semua yang ada di bumi ini dipruntukkan bagi umat manusia. Materi yang ada boleh dimiliki secara individual ataupun komunal. Setiap individu yang hidup di dunia ini tidak akan mampu hidup sendiri karenanya ia akan 5|P a g e

membutuhkan kepemilikan dari orang lain, suatu kepemilikan tidak akan berfungsi jika tidak dipergunakan untuk orang lain. Untuk pelaksanaanya, diperlukan suatu ketentuan yang baku, agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan. 3. Pendekatan dan Metode a. Pendekatan Ijma’ (konsensus) Di Indonesia, sebagian para ahli hukum Islam berpendapat bahwa Undang-undang Perkawinan dan KHI dipandang sebagai fiqih Indonesia. Kesimpulannya, ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan ijma’ (konsensus/kesepakatan) para ulama di Indonesia. b. Pendekatan Qiyas (analogi) Secara umum, metode yang dipergunakan dalam mengkaji harta bersama adalah dengan menggunakan metode analogi (qiyas) antara harta bersama dengan konteks syirkah (perkongsian) dengan didasarkan kepada beberapa hadits. c. Pendekatan Mashlahah Mursalah Tidak ada nash dalam al-Qur’an atau sunnah yang melarang akan adanya pembagian harta bersama dalam Islam. Namun di sisi lain, keterbatasan suami dan kerelaan istri untuk berbagi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan faktor pendorong terbentuknya harta bersama. d. Pendekatan Istihsan Terlepas dari pro dan kontra penggunaan istihsan, metode ini dapat diterapkan dalam mengkaji harta bersama. e. Pendekatan al-‘Urf (adat kebiasaan) ‘Urf baru bisa diterima apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan tidak berlawanan dengan ketentuan yang sudah ada. Demikian juga halnya dengan harta bersama yang sudah memenuhi persyaratan bisa diterima sebagai hukum. B. Harta Bersama Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Meskipun dijelaskan dalam istilah yang berbeda, namun ketentuan mengenai “harta bersama” dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35, 36, 37 dan pasal 65 ayat [2] dan [3]. 1. Pembentukan Harta Bersama Pada dasarnya, ketentuan mengenai harta bersama telah dijelaskan secara tersirat dalam hukum Islam dan hukum adat yang tidak tertulis. Agar bisa diterapkan dan bersifat mengikat serta memaksa, dibutuhkan suatu legislasi. Bertitik tolak dari kodifikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa harta yang diperoleh secara individu atau bersama setelah terjadinya perkawinan, dianggap sebagai harta bersama. Dalam proses selanjutnya, disimpulkan bahwa semua harta yang diperoleh sejak menikah menjadi harta bersama, kecuali warisan dan hibah yang bersifat pribadi bagi penerimanya. Hukum Islam tidak melarang adanya percampuran antara harta pribadi dengan harta bersama, hanya saja dituntut rasa saling pengertian antara suami istri. Oleh sebab itu maka perjanjian dalam perkawinan diperbolehkan. 2. Unsur-unsur dalam Harta Bersama Undang-undang Perkawinan, hukum adat dan hukum Islam secara jelas menggambarkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh sejak akad perkawinan berlangsung. Permasalahan yang mungkin bisa timbul belakangan adalah jikalau seandainya suami istri melakukan perjanjian untuk memasukkan warisan dan hibah sebagai harta bersama. Demikian juga halnya

6|P a g e

dengan hasil usaha sampingan yang sudah dirintis oleh kedua belah pihak sejak sebelum menikah, apakah ini juga bisa dikategorikan sebagai harta bersama atau tidak. C. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam Konsep harta bersama dalam KHI dijelaskan secara rinci dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97. Dari KHI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih ditegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan di pengadilan. Inovasi pembagian harta warisan yang ditawarkan oleh KHI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. D. Perceraian dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Bersama 1. Kemungkinan Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Hukum Islam meberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai hak atas harta yang dimilikinya masing-masing, tanpa bisa digugat oleh pihak lain. Harta yang dimiliki suami istri itu terpisah satu sama lain. Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 32 dan al-Baqarah [2] ayat 233. 2. Kemungkinan Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 21 yang kemudian dipertegas dengan al-Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 8 yang menjelaskan perihal pembagian harta bersama secara adil dan seimbang. a. Waktu Pembagian Harta Bersama Apabila suatu ikatan perkawinan putus, maka harta bersama selaku institusi yang memenuhi kewajiban bersama juga ikut bubar dan karenanya maka pembagian harta bersama hendaknya dilakukan secepatnya, karena di dalamnya terhadap hak orang lain. b. Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Ajaran Islam menganjurkan untuk melakukan pembagian harta bersama secara adil. Penulis menyatakan bahwa dari beberapa indikasi yang ada dalam ajaran Islam, terlihat bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin yang dibangun secara kuat. Meskipun perceraian merupakan perbuatan halal namun dibenci oleh Allah SWT, untuk menggapai tujuannya dibutuhkan harta bersama. BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN DAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP KASUS HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Kasus yang dianalisis adalah kasus antara Made Hughesia Dewi dengan Achmad Hestiafin Tachtiar. Fokus analisis adalah penyebab perceraian, yaitu; terjadinya pertengkaran terus menerus sehingga tidak bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Sementara kondisi empiris yang terjadi di lapangan, Made Hughesia Dewi –yang notabene adalah seorang public figure dengan penghasilan yang besar-- ternyata mempunyai saham dan prosentase yang lebih besar dalam pembentukan harta bersama di antara keduanya. Berdasarkan pertimbangan hakim yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan, penulis tidak setuju karena dalam pembentukan harta bersama sebagian besarnya disumbangkan oleh pihak istri, sehingga ketika hal ini diterapkan 7|P a g e

maka seolah-olah istri telah dirugikan secara material. Sementara itu penulis merekomendasikan agar hakim menggunakan haknya untuk memutus perkara di luar ketentuan perundang-undangan namun sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat, dengan memperhatikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Kasus seperti ini pada dasarnya tidak akan terjadi seandainya ada batasan yang jelas dalam permasalahan harta dalam perkawinan. Namun permasalahan yang mungkin akan ditimbulkan apakah bentuk perjanjian ini dapat diterima oleh budaya dan masyarakat. Kemudian bagaimanakah sistem pengelolaan dan pendistribusiannya. Pendistribusian harta bersama tidak boleh mengeyampingkan hak-hak orang yang terkait di dalamnya. Dibutuhkan niat baik dan rasa kesungguhan melalui musyawarah dengan kesadaran yang tinggi. Dalam menganalisis pembagian harta bersama, penulis menguraikan permasalahan kebebasan perempuan dalam memilih pasangan, hak dalam nafkah (jaminan kesejahteraan), hak dalam menikmati hubungan seksual, hak dalam urusan reproduksi dan hak dalam memutuskan perkawinan (talak/perceraian). Pertimbangan tersebut, diharapkan pendistribusian dapat dilakukan secara damai dan meminimalisisr rasa ketidak-puasan masing-masing pihak. B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Dalam membahas kasus ini, penulis tidak menyebutkan secara jelas identitas para pihak yang terlibat di dalamnya. Namun latar belakang masalahnya adalah kebalikan kasus antara Hughes dengan suaminya, namun dalam kasus ini suami lebih mendominasi dari pada istri. Alasan utama perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perkawinan. Dalam hal ini, pihak istri melalaikan kewajibannya, sementara suami telah memenuhi kewajibannya, bahkan istri mengancam akan melakukan perbuatan anarkis dengan alasan ketidak-jujuran suaminya perihal statusnya sebelum menikah. Akibat dari perceraian ini, suami dikenai mut’ah dan biaya pemeliharaan anak serta adanya pembagian harta bersama dengan porsi setengah-setengah. Penulis menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Agama yang berkaitan dengan pembagian harta bersama tidaklah didasarkan kepada alasan dan penyebab terjadinya perceraian, namun lebih didasarkan kepada kemashlahatan anak dan istri. Jadi, walaupun harta merupakan penghasilan murni dari suami, namun istri-istri dan anakanaknya tetap mendapatkan harta dengan pembagian yang telah ditentukan dalam putusan. C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Identitas para pihak dalam kasus ini tidak dijelaskan oleh penulis. Alasan perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri di antara keduanya. Istri telah memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh Pengadilan Agama kepadanya dan dia tidak terbukti nusyuz, maka ia berhak menerima haknya dari suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan mut’ah dan nafkah iddah. Berkaitan dengan masalah harta bersama, di antara kedua belah pihak tidak terdapat kesepakatan, maka diajukan ke Pengadilan Agama. Pihak Pengadilan Agama memutus perkara ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keduanya berhak atas bersama. Dalam hal ini, penulis mengkritik penggunaan term “harta bersama” dalam artian luas seperti dalam beberapa tafsir, namun penulis memberikan batasan penggunaan term ini pada harta bersama yang diperoleh selama perkawinan saja. Untuk menganalisis kasus ini, penulis menguraikan beberapa hal seperti teori pembuktian yang dipakai dalam perkara perdata di Pengadilan Agama yang juga

8|P a g e

dilanjutkan dengan alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian. Penulis mengaitkan teori yang dipergunakan hakim dengan kasus yang dianalisis. D. Putusan Mahkamah Agung RI Kasus perceraian ini adalah kasus antara Susmianah dengan Karmanudin yang pada tingkat pertamanya diputus oleh Pengadilan Agama Muara Enim dengan mengabulkan gugatan Susmianah. Analisis penulis pada tingkat ini difokuskan pada masalah pembagian gaji suami yang merupakan seorang karyawan PTBA yang disamakan dengan PNS. Penulis menganalisisnya dari tiga tinjauan yaitu sosiologis, filosofis dan yuridis. Secara yuridis, tidak ditemukan suatu ketentuan perundanganundangan yang mengharuskan suami untuk membagi gajinya dengan istri yang telah diceraikannya. Secara sosiologis, seorang suami tidak mempunyai hak apa-apa terhadap istri yang telah diceraikannya, namun ia tetap mempunya kewajiban untuk menafkahi istriya jika berada istrinya keadaan sulit. Secara filosofis, penulis memandang adanya keganjilan dalam dasar filosofis peraturan tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa perbenturan pasal-pasal. Untuk lebih menguatkan dasar hukum perceraian, kemudian Susmianah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Palembang dan dikabulkan. Dalam amar putusannya, Susmianah dinyatakan bercerai dengan suaminya dan berhak memperoleh nafkah serta pembagian harta bersama. Tidak puas terhadap putusan PTA Palembang, kemudian Karmanudin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan ini dengan alasan bahwa pertimbangan pada PTA Palembang sudah tepat dalam menerapkan hukum. Pertimbangan-pertimbangan lembaga peradilan tersebut sesuai dengan apa yang dimuat ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, penulis juga menganalisis pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah perceraian dan harta bersama. Penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar aturan yang ada dalam ketentuan perundang-undangan sudah sesuai dengan fiqih. Namun masih dibutuhkan penyempurnaan dalam hal yang berkaitan dengan permasalahan harta bersama. Diharapkan dengan adaya penyempurnaan ini, akan nada kepastian hukum yang menjamin terjaganya hak di antara kedua belah pihak tanpa ada diskriminasi. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pembagian harta bersama harus dilakukan dengan itikad baik dan tanpa adanya diskriminasi. Pengelolaan harta bersama adalah berdasarkan porsi yang dihasilkan oleh masing-masing pihak dalam rumah tangga. Pemanfaatan harta bersama adalah perwujudan semangat kerjsasama dan nilai gotong royong yang berkembang pada masyarakat Indonesia. 2. Ada tiga lingkup dalam harta bersama yang harus dibedakan, namun terkadang juga harus disamakan, meliputi penguasaan, pemilikan dan pengelolaannya. Harta bersama yang terbentuk dalam masyarakat adalah berdasarkan perjanjian yang terbentuk secara diam-diam dalam rumah tangga dan menjadi adat yang berlaku dalam masyarakat. 3. Putusan Pengadilan Agama sebagian besar telah membahas pembagian harta bersama, sementara perkawinan belum putus, namun putusan ini merupakan bentuk perencanaan pembagian harta bersama dalam keluarga. Dalam hal ini, hakim dalam memutus perkara mengacu kepada petitum yang diajukan dan disandarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan harta bersama dalam keluarga pada didasarkan kepada kerjasama dan semangat gotong royong tanpa harus membedakan harta.

9|P a g e

B. Saran 1. Perlu diadakan edukasi dan sosialisasi perihal harta bersama di tengah masyarakat. Luasnya makna harta bersama menuntut adanya singkronisasi antar ketentuan perundang-undangan. 2. Pengundang-undangan aturan pengurusan masalah surat-surat tanah antara suami istri oleh Badan Pertanahan Nasional. 3. Dibutuhkan adanya pengaturan teknis yang lebih rinci dalam pelaksanaan pembagian harta bersama akibat perceraian.

10 | P a g e

RESUME II PEMIKIRAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh : Iskandar (NIM 02.2.00.1.01.01.0035) BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan harta bersama dalam perkawinan di Indonesia pada dasarnya diawali dengan adanya adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang mengenal tidak adanya pembatasan atas harta antara suami istri. Dalam kondisi ini, hak dan kewajiban rumah tangga terutama yang berkaitan dengan masalah pembelanjaan harta diatur secara ketat. Ketentuan hukum Islam pada dasarnya tidak pernah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Tidak ada seorang ulama dari mazhab yang masyhur berbicara perihal harta bersama dalam kitabkitabnya sebagaimana yang dijelaskan dalam adat istiadat. Ismuha berpendapat bahwa pada dasarnya pelembagaan harta bersama setidaknya dapat dikategorikan ke dalam bahasan mu’amalah. Ketiadaan pembahasan masalah harta bersama dalam kitab fiqih klasik dapat diterima karena melihat kepada latar belakang perkembangan mazhab tersebut yang berada di daerah Arab. Sementara dalam adat daerah Arab, tidak pernah dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan. Ismuha dan Sayuti Thalib sama-sama berpendapat bahwa pelembagaan harta bersama bisa digolongkan shirkah. Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Hazairin berpendapat bahwa tidak ditemukan dalam kitab suci agama mana pun perihal harta bersama. Dalam Islam, meskipun pembahasan mengenai harta bersama tidak pernah dijelaskan dalam alQur’an, hal itu bukan berarti praktek harta bersama dilarang. Praktek harta bersama boleh dilaksanakan dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan harta bersama di Indonesia dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembahasan harta bersama dalam tesis ini dibatasi pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah pemikiran harta bersama di Indonesia dalam perpsepktif hukum Islam? Pertanyaan ini kemudian dikembangkan dalam 3 minor research question, yaitu; apakah pemikiran harta bersama di Indonesia telah sesuai dengan shar’iyyah Islamiyyah ? ; bagaimana kedudukan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ? ; dan bagaimanakah hukum Islam merespon pemikiran harta bersama di Indonesia ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kesesuaian pemikiran harta bersama di Indonesia dengan shar’iyyah Islamiyyah ; b. Untuk mengetahui hubungan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ; c. Untuk mengetahui respon hukum Islam terhadap pemikiran harta bersama di Indonesia.

11 | P a g e

2. Kegunaan Penelitian a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan ; b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. D. Metodologi Penelitian Penelitian dalam tesis ini adalah library research (kajian kepustakaan) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah sosio-historis dan yuridis normatif. Pendekatan sosio-historis dipergunakan untuk menguraikan konstruksi hukum. Sedangkan pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk melihat dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sumber primer dalam pembahasan tesis ini adalah Undangundang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan harta bersama. E. Studi Kepustakaan 1. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Tesis Doktor yang dibukukan); 2. J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan (1991); 3. Lukman Chatib, Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan di Kalangan Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat (1981); 4. Tim Peneliti Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pelaksanaan Pembagian Harta Kekayaan Suami Istri Akibat Putusnya Perkawinan (1994). F. Kerangka Teori dan Operasional Pemikiran berarti cara atau hasil dari berpikir secara dalam; pendapat yang telah dipikirkan terlebih dahulu sehingga dapat diterima dan dijadikan bahan ilmiah. Harta bersama adalah harta kekayaan yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung di luar hadiah atau hibah, kedua belah pihak yang bekerja tidak mempersoalkan atas nama siapa harta yang didapatkan. Peningkatan hukum Islam menjadi hukum positif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai bidang hukum. Perkembangan masyarakat Islam di Indonesia pada abad sekarang telah merubah paradigma berpikir. Pemikiranpemikiran mengenai harta bersama di Indonesia telah dibahas secara sistematis dan dikategorikan dalam bahasan hukum kekeluargaan. G. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran. BAB II : KETENTUAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan a. Pengertian Nikah Secara Bahasa Term nikah disebut juga dengan perkawinan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-zawj yang berarti al-wat} (bersetubuh atau berhubungan badan), al-d}am (menindih) dan al-jam’u (bersenggama). Nikah mempunyai 12 | P a g e

makna hakiki dan makna majazi. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah secara hakiki adalah konteks hubungan badan. Sedangkan nikah dalam artian majazi adalah adanya akad. b. Pengertian Nikah Menurut Ulama Ushul Ulama kelompok Hanafi mendefenisikan nikah secara hakiki dengan adanya hubungan badan. Sedangkan secara majazi, nikah itu adalah akad yang menghalalkan hubungan seksual. Ulama kelompok Syafi’i dan Maliki memberikan defenisi bahwa nikah dalam artian hakiki adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan nikah secara majazi adalah adanya hubungan badan. Perbedaan sudut padang ini berakibat pada perbedaan pendapat terhadap nasab anak yang dilahirkan dari hubungan seksual di luar akad. Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Qur’an dan kepastian hukum, penulis lebih cenderung mendukung pendefenisian nikah sebagai akad yang menghalalkan hubungan seksual. c. Pengertian Nikah Menurut Ulama Fiqih Para ulama fiqih memberikan defenisi nikah itu dalam bahasa mereka sendiri. Namun dalam pendefenisian ini, mereka berbeda redaksi dalam penyampaian, namun mempunyai substansi yang sama. Defenisi nikakh yang relevan dan mempunyai aspek hukum dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, “nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, saling bantu membantu dan ada hak serta kewajiban yang diperoleh oleh keduanya”. 2. Hukum Asal Perkawinan Para ulama sepakat bahwa nikah disyari’atkan dalam ajaran Islam. Perbedaan pendapat terjadi dalam penentuan hukum asal nikah itu sendiri. Dalildalil yang dipergunakan adalah QS. al-Nisa’ [4] ayat 3, al-Nur [24] ayat 32, hadits nomor 5066 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Bukhari, hadits nomor 1402 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Muslim. Alasan utama yang menyebabkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan hukum asal nikah itu sendiri adalah dikarenakan perbedaan dalam memahami perintah-perintah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum asal nikah itu adalah sunat, sebagaimana yang dinyatakan Nabi dalam sabdanya bahwa “nikah itu adalah sunnahku”. Ulama dari golongan al-Dzahiri berpendapat bahwa hokum asal nikah itu adalah wajib, karena perintah nikah yang dijelaskan dalam al-Qur’an menggunakan fi’il amr. Sementara itu, hakikat dari amr itu sendiri adalah wajib. 3. Hukum Perkawinan Dilihat dari Kondisi Seseorang a. Wajib, apabila ia telah mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan ia tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya untuk melakukan hubungan badan, sementara ia takut berbuat dosa. b. Sunat, apabila seseorang dihukum sunat untuk menikah apabila ia telah mampu untuk berumah tangga dan memikul beban dalam perkawinan, namun ia mampu menahan nafsunya. Namun ia lebih diutamakan untuk nikah. c. Haram, apabila seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai kehidupan rumah tangga namun ia sangat ingin menikah. Ia yakin jika seandainya ia menikah, ia akan aniaya. d. Makruh, apabila seseorang yang sudah mampu untuk menikah dan tidak takut akan godaan berzina, namun ia khawatir tidak akan mampu memenuhi kewajibannya kepada istrinya. e. Mubah, apabila seseorang yang mempunyai kemampuan untuk. Namun ia manikah dengan tujuan pemenuhan syahwat saja, bukan untuk membina keluarga dan keselamatan kehidupan agama.

13 | P a g e

4. Sahnya Perkawinan a. Rukun Perkawinan 1) Akad nikah, adanya ijab dan qabul; 2) Adanya pasangan calon mempelai laki-laki dan perempuan; 3) Adanya wali dari calon mempelai perempuan; 4) Adanya dua orang saksi b. Syarat Perkawinan 1) Syarat yang berhubungan dengan akad, seperti kronologis akad, materi akad, tidak muhrim; 2) Syarat yang harus disempurnakan sebagai suatu susunan, seperti tanpa batasan waktu, kerelaan di antara keduanya, adanya mahar; 3) Syarat yang berkaitan dengan keabsahan akad, seperti; kemerdekaan suami dan adanya izin dari wali perempuan; 4) Syarat yang berkaitan dengan kelestarian akad (menurut ulama kelompok Hanafi saja), seperti; hierarki perwalian dan kafaah. 5. Hak dan Kewajiban Suami Istri a. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri 1) Hak bersama suami istri, meliputi hak saling mewarisi setelah berlangsungnya akad nikah, hak untuk saling bergaul dengan baik. 2) Kewajiban bersama suami istri adalah membina hubugan rumah tangga yang harmonis yang didasari kepada rasa kasih sayang. b. Hak istri dalam rumah tangga merupakan kewajiban suami, meliputi hak materil seperti kebutuhan rumah tangga (pangan, sandang, papan) dan non materil seperti bergaul dan menghormati istrinya. c. Hak suami dalam rumah tangga merupakan kewajiban istri, meliputi kepatuhan istri terhadap suami dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran. 6. Nafkah Rumah Tangga Nafkah dalam konteks ini adalah nafkah dalam bentuk materi berupa pangan, sandang dan papan. Suami diharuskan memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dengan cara yang baik (ma’ruf). Prinsip pemisahan harta dalam perkawinan merupakan kosekuensi logis dari pembebanan pemenuhan nafkah kepada suami, sekalipun istri berasal golongan yang mampu. Dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, harta yang diperoleh setelah menikah menjadi harta bersama, tanpa membedakan siapa yang mencarinya. Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia sekarang menghendaki adanya batasan dan ketentuan pencaharian bersama. 7. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Ditinjau dari aspek agama, perkawinan merupakan ikatan yang teguh bukan saja antara dua orang saja, ia merupakan penyatuan dua keluarga. b. Ditinjau dari segi hukum, perkawinan merupakan ikatan kontrak dalam konteks hubungan perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban. c. Dalam konteks sosial, perkawinan merupakan ikatan persaudaraan dan rasa kasih sayang sehingga akan menguatkan hubungan masyarakat. B. Perkawinan Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, dan bukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan seksual semata,

14 | P a g e

2.

3.

4.

5.

6.

namun lebih ke arah hubungan jangka panjang yang bahagia dan kekal sejahtera dengan didasarkan kepada prinsip Ketuhanan. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maksudnya adalah pembinaan rumah tangga secara sah merupakan tanggung jawab kedua belah pihak dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dari sisi materil dan spiritual. Nilai-nilai ketuhanan yang dimaksudkan bertujuan untuk mencapai kondisi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sahnya Perkawinan Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing, sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (pasal 2 ayat [1]). Maksud pasal ini adalah, apabila sebuah perkawinan dilakukan dengan menyalahi ketentuan agama, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan dianggap belum pernah terjadi sehingga tidak menimbulkan akibat hukum apapun dan juga tidak mengikat bagi pihak manapun. Perkawinan juga harus dicatatkan (pasal 2 ayat [2]) yang merupakan bukti otentik telah terjadinya hubungan kontrak keperdataan yang berguna untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak. Syarat Sah Perkawinan Berbeda dengan konsep fiqih, undang-undang perkawinan tidak memberikan penjelasan dan batasan mengenai rukun perkawinan ia hanya memberikan batasan dalam bentuk syarat-syarat. Keabsahan perkawinan yang digantungkan kepada ketentuan keagamaan merupakan inti dalam undangundang ini. Ketiadaan pembahasan mengenai rukun perkawinan tidak berarti undang-undang ini “lepas tangan” dalam konteks ini. Ia tetap memberikan batasan-batasan tertentu. a. Syarat Materil yang Berlaku Umum 1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat [1]) 2) Usia minimal pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat [1]) 3) Tidak berada dalam ikatan perkawinan (pasal 9), poligami lain hal. 4) Tidak sedang ber-iddah (pasal pasal 11) b. Syarat Materil yang Berlaku Khusus 1) Tidak melanggar larangan perkawinan (pasal 8-10) 2) Izin dari orang tua bagi yang di bawah usia minimal (pasal 6 ayat [2]) c. Syarat Formil 1) Melaksanakan pencatatan perkawinan (pasal 2 ayat [2]) 2) Mengadakan pemberitahuan kehendak perkawinan (pasal 3 ayat [1]) 3) Pelaksanaan pengumuman oleh pengawai pencatat perkawinan 4) Penandatanganan akta perkawinan (pasal 11 ayat [1]) Hak dan Kewajiban Suami Istri Penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri dijelaskan dalam ketentuan pasal 30-34. Suami istri dibebani kewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar masyarakat. Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga, dan masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam bertindak hukum. Suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga. Perjanjian Perkawinan Perjanjian kawin dijelaskan dalam pasal 29. Perjanjian boleh dibuat ataupun tidak, kedua belah pihak bebas menentukan terkecuali yang berkaitan dengan peniadaan harta bersama dalam perkawinan. Perjanjian yang dilakukan

15 | P a g e

juga harus diketahui oleh Pencatat Perkawinan, dan mengikat para pihak yang disebutkan di dalamnya. C. Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam 1. Dasar-dasar Perkawinan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqa ghalidha untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2). Tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (pasal 3). 2. Rukun dan Syarat Perkawinan KHI menjelaskan rukun dan syarat perkawinan yang diakomodasi dari ketentuan fiqih klasik. Rukun perkawian dijelaskan dalam pasal 14, yaitu; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab kabul. Sedangkan syarat nikah disesuaikan dengan undang-undang. Dalam KHI, batasan minimal bagi calon mempelai laki-laki adalah 21 tahun dan 19 tahun bagi perempuan. 3. Perjanjian Perkawinan Berbeda dengan undang-undang, KHI mengatur perjanjian kawin secara panjang lebar dalam pasal 45-52. Taklik talak dikategorikan sebagai perjanjian kawin. Berkaitan dengan harta, boleh dilaksanakan perjanjian. BAB III : SUMBER DAN KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA A. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Bersama 1. Penghasilan Suami Istri Harta dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35 undang-undang perkawinan. Harta yang dihasilkan oleh masing-masing individu setelah berlakunya akad perkawinan menjadi harta yang dikuasai secara bersama. Harta pencaharian suami istri menjadi harta bersama sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11 Maret 1971. 2. Harta Benda yang Dibeli Selama Perkawinan Semua harta benda yang dimiliki dengan pembelian setelah perkawinan menjadi harta bersama. Objek batasan dalam konsep ini adalah waktu pembelian harta tersebut, bukan dengan harta masing-masing pihak. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1970. 3. Penghasilan Harta Pribadi Dalam konteks harta pribadi yang telah dimiliki sejak sebelum perkawinan, maka yang menjadi harta bersama hanyalah penghasilan yang didapatkan setelah akad, objek pokok dari harta tersebut tetap milik pribadi. 4. Harta yang Dibuktikan Diperoleh dalam Perkawinan Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan dikategorikan sebagai harta bersama. (Mahkamah Agung No. 808 K/Sip/1974). 5. Harta yang Dibeli Sesudah Perceraian Suatu harta atau benda bisa dikategorikan sebgai harta bersama apabila harta tersebut dibeli dengan menggunakan harta bersama, sekalipun telah terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803/Sip/1972 tanggal 5 Mei 1970. B. Perkawinan dan Harta Bersama Dalam Perspektif Hukum Adat 1. Bentuk Perkawinan a. Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah dengan mengambil calon istri dari luar clan sendiri, seperti kawin jujur di daerah Gayo dan Batak. 16 | P a g e

Dalam perkawinan ini, pihak keluarga istri menyerahkan perempuan sebagai magis-religious sehingga istri terlepas dari pertalian darah keluarganya dan masuk dalam keluarga suaminya secara utuh dan tidak ada pemisahan harta. Harta yang diperoleh istri dari orang tuanya menjadi hak milik dan dikuasai oleh suaminya. Di daerah Lampung, juga berlaku konsep patrilineal beralihalih. b. Bentuk Perkawinan Masyarakat Matrilieal Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah, laki-laki yang mengawini perempuan tetap berada dalam clan atau kekeluargaan masingmasing, namun keturunan akan ditarik dari garis ibu, seperti yang berlaku di daerah Minangkabau Sumatera Barat (corak exogami). c. Bentuk Perkawinan Masyarakat Parental Konsep masyarakat parental adalah keturunan yang dilahirkan menjadi bagian dari keluarga kedua belah pihak. 2. Harta Bersama Menurut Hukum Adat a. Harta Bawaan Suami Istri Masyarakat patrilineal dalam kawin jujur, harta bawaan masingmasing pihak dikategorikan harta bersama yang dikuasai oleh suami. Berbeda dengan masyarakat matrilineal. b. Harta Penghasilan Suami Istri Berbagai istilah dipergunakan dalam mendefenisikan harta bawaan di Indonesia. Harta ini tetap menjadi milik pribadi setelah perkawinan. c. Harta Pemberian yang Ditujukan Kepada Suami Istri Masyrakat patrilineal mengenal harta bawaan yang termasuk di dalamnya hibah atau warisan sebagai harta milik pribadi yang tidak akan berpidah penguasaannya. Pada masyarakat matrilineal Minangkabau, tidak harta warisan yang dapat dimiliki secara pribadi. Harta atau “pusako” adalah milik suatu keluarga, dan hanya bisa dipakai, tidak dimiliki pribadi. Pada masyarakat patrilineal Batak, harta yang diperoleh istri akan menjadi milik bersama di bawah penguasaan suami. d. Harta pencaharian bersama suami istri Ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk harta jenis ini. Namun dalam pembagiannya tetap secara adil dengan membagi dua harta tersebut. Hal ini diperkuat dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 393 K/Sip/1958 tanggal 7 Maret 1959. C. Harta Bersama Dalam Perspektif Burgerlijk Wetboek (BW) Pembahasan harta bersama dalam BW dijelaskan dalam bab VI pasal 119-138. Harta bersama dalam perkawinan tergantung dari ada atau tidaknya perjanjian yang dibuat sebelumnya (huwelijkse voorwaarden). Perkawinan merupakan institusi peleburan harta secara bulat, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian. Keberadaan perjanjian mengenai harta diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan norma susila dan dilaksanakan di hadapan notaries dalam bentuk akte. Meskipun harta tersebut adalah harta bersama, dalam penggunaannya istri harus mendapatkan persetujuan suami karena ia tidak cakap hokum (albekwaam). D. Harta Bersama Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Harta bersama diatur dalam pasal 35-37. Undang-udang ini mengakui adanya pencampuran harta secara terbatas. Harta bawaan masing-masing pihak seperti harta dari hibah atau warisan diakui dalam perkawinan dan berada di bawah penguasaan masing-masing. Harta yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama tanpa

17 | P a g e

memperhatikan siapa yang mencarinya. Suami dan istri diberikan hak dan kewajiban untuk menjaga dan menggunakannya. E. Harta Bersama Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam KHI mengakui adanya pelembagaan harta bersama suami istri dalam perkawinan (pasal 85-97). Keberadaan harta bersama dengan harta bawaan adalah terpisah, meskipun ada percampuran harta. Harta bawaan tetap dikuasai secara pribadi, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian. Apabila terjadi perselisihan yang berkaitan dengan masalah harta, harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Suami istri bertanggung jawab untuk menjaga harta tersebut dan merhak untuk menggunakan harta kekayaan bersama. Harta bersama dapat dijadikan barang jaminan (borg) yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta surat berharga. Hutang keluarga terpisah dengan hutang pribadi. Harta bersama dalam perkawinan poligami dihitung berdasarkan tanggal pelaksanaan perkawinan. Kedua belah pihak berhak untuk mengajukan sita jaminan terhadap harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama akibat cerai hidup ataupun cerai mati adalah seperdua. BAB IV : PELEMBAGAAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Kedudukan Harta Bersama dalam Hukum Islam 1. Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan Hukum Islam memberikan hak secara bebas kepada masing-masing individu untuk memiliki harta tanpa digugat oleh siapapun. Dalil yang dipergunakan adalah QS al-Nisa; [4] ayat 32, yang kemudian dipertegas dengan QS al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS al-Thalaq [65] ayat 7. Ketiadaan pelembagaan harta bersama itu merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab suami selaku kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarganya dalam hal nafkah. Usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga, semuanya harus dilaksanakan dengan mufakat. Hanya saja, suami harus menyadari bahwa pemenuhan nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya. 2. Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri Kecuali dengan Shirkah Kewajiban seorang suami adalah memberikan sebagian hartanya dalam konteks nafkah kepada keluarganya. Percampuran harta yang diperoleh suami dengan harta istri dalam perkawinan dinamakan dengan shirkah, yang dapat terjadi secara resmi dan mengikuti persyaratan tertentu. Sayuti Thalib menyatakan bahwa shirkah ini sangat penting mengingat dalam kenyataan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ismuha menyatakan bahwa harta bersama suami istri dikategorikan dengan shirkah ‘abdan al-muwafad}ah. 3. Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan Pendapat ini menyatakan bahwa ada harta bersama dalam perkawinan meskipun sebelumnya tidak diadakan perjanjian dalam bentuk shirkah, sebagaimana yang dimaksud dalam QS al-Nisa’ [4] ayat 21. Penentuan mengenai harta bersama dalam perkawinan merupakan kewenangan masyarakat untuk menentukan dengan catatan tidak menyalahi ketentuan yang ada. Keberadaan harta bersama berpijak dari kebiasaan (‘urf). B. Pencaharian Bersama Antara Suami Istri Ditinjau dari Sudut Syirkah 1. Istilah dan Pengertian Shirkah Secara etimologi, shirkah berarti persekutuan. Juga diartikan dengan percempuran dua hal atau lebih dan tidak dapat dipisahkan lagi. Secara terminologi, dapat disimpulkan shirkah adalah bentuk kerja sama antara dua 18 | P a g e

orang atau lebih dalam usaha di mana kedua belah pihak mempunyai kontribusi dan berkomitmen untuk menanggung laba dan rugi bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu. 2. Dasar Hukum Shirkah Dasar hukum pelaksanaan shirkah adalah QS al-Nisa’ [4] ayat 12 dan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hadits nomor 3383 dalam kitab Sunan Abu Daud. 3. Bentuk-bentuk Shirkah a. Sharikatu al-Inan (perserikatan terbatas), merupakan perserikatan harta antar dua orang atau lebih dalam pembentukan suatu usaha. Pengelolaan dilakukan secara bersama dengan pembagian yang sudah ditentukan, tanpa harus disyaratkan persamaan modal. b. Sharikatu al-Muwafad}ah (perserikatan tak terbatas), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan porsi yang tidak ditentukan, baik dalam modal ataupun pengelolaannya. c. Sharikatu al-‘Abdan (perserikatan tenaga), merupakan perserikatan yang yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam mengelola dan mengerjakan suatu pekerjaan dengan pembagian yang disepakati. d. Sharikatu al-Wujuh (perserikatan kepercayaan), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan modal yang diberikan dari pihak luar. e. Sharikatu al-Mud}arabah, merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan orang mempunyai keahlian dalam berdagang, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan rugi ditanggung oleh pemilik modal. C. Wewenang Suami Istri Terhadap Harta Bersama Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 36 UUP, dapat disimpulkan bahwa suami dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan istri dan demikian juga sebalikya. Wewenang suami dan istri terhadap harta bersama adalah menjaganya, dan menggunakannya secara bertanggung jawab (KHI pasal 89-90). Harta bersama merupakan harta yang dalam pengaturannya harus dilakukan secara bersama guna menjaga keserasian dan keseimbangan dalam keluarga. D. Pembagian Harta Bersama Pelembagaan harta bersama yang dimaksud undang-undang merupakan perwujudan dari kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan adat masyarakat. Apabila suatu perkawinan putus, maka pembagian harta ditentukan oleh masing-masing (pasal 37). Ketentuan pasal ini ternyata sangat kontradiktif dengan berbagai ketentuan yang sudah disahkan sebelumnya. Yahya Harahap dan Hazairin menghendaki adanya penafsiran yang lebih rinci terhadap pasal ini. Mahkamah Agung pun dalam putusan No. 51K/Sip/1956 dan 424 K/Sip/1959 menyatakan bahwa pembagian harta bersama adalah seimbang. Bagi warga Negara yang beragama Islam, pasal 97 KHI merupakan pelaksanaan dari paal 37 UUP. E. Implikasi Harta Bersama Terhadap Warisan Implikasi harta bersama terhadap warisan berdasarkan ketentuan yang berlaku, akan mempunyai akibat yang berbeda, tergantung pada hukum agama dan adat yang dianut. Sumber pelaksanaan warisan masih bervariasi di kalangan masyarakat. Namun, sebelum harta warisan dibagikan, harta bersama harus dibagikan terlebih dahulu, dan dibayarkan semua hutang yang bersangkutan.

19 | P a g e

F. Analisa Pelembagaan Harta Bersama di Indonesia UUP merupakan salah satu bentuk unifikasi peraturan yang bersifat nasional yang di dalamnya ditentukan pelembagaan harta bersama. Meskipun tidak ada anjuran atau larangan dalam al-Qur’an dan hadits yang membahas masalah harta bersama, namun kebutuhan pengaturan untuk pemagian harta bersama sangat dibutuhkan dalam masyarakat untuk membangkitkan tanggug jawab dalam rumah tangga. Ketentuan ini mengakui adanya harta bawaan yang dikuasai sepenuhnya secara pribadi dan keberadaan harta bersama. Hazairin memandang bahwa pengaturan ini sudah sesuai dengan syari’at Islam. Ismuha berpendapat bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris mengakibatkan adanya pembentukan shirkah ‘abdan al-muwafad}ah dalam harta. Pemikiran ini perlu dikaji ulang mengingat semakin berkembangnya lapangan pekerjaan, sehingga dibutuhkan suatu solusi yang adil dan berimbang. Pelembagaan harta bersama ini menghilangkan pandangan bahwa istri kurang atau bahkan tidak berperan dalam pembentukan harta bersama. Keberadaan KHI pasal 89-97 merupakan bentuk ijtihad kontemporer untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi selama ini di Indonesia, yang kemudian menjadi terobosan baru dalam pembanguan hukum di Indonesia. Pertimbangannya adalah kemashlahatan dalam rumah tangga dan dapat dibuktikan. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelembagaan harta bersama dalam UUP dan KHI merupakan hasil ijtihad umat Islam yang sejalan dengan ajaran dalam syari’at Islam. 2. Shirkah ini tidak bisa disamakan dengan shirkah dalam mu’amalah. Penelitian Ismuha hanya mencari landasan hukumnya saja, bukan dalam rumah tangga. 3. Pelembagaan harta bersama di Indonesia merupakan terobosan baru dalam menjamin hak-hak suami istri dalam rumah tangga. B. Saran-saran 1. Pemikiran perkembangan hukum Islam juga harus berorientasi kepada konteks sosial agar bisa menjawab permasalahan kontemporer masyarakat. 2. Penyebarluasan peraturan yang berkaitan dengan pelembagaan harta bersama dibutuhkan agar dipahami oleh kalangan masyarakat. 3. Diharapkan Departemen Agama –sekarang Kementerian Agama—mengadakan sosialisasi UUP dan KHI terhadap masyarakat. 4. Diharapkan kepada mahasiswa Fakultas Syari’ah agar bisa menjadi lokomotif dalam pengembangan pemikiran hukum Islam di era kontemporer.

20 | P a g e

RESUME III (CRITICAL REVIEW) KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan) Oleh : Sahliah Hasibuan (NIM 295 PTU 115) BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN Critical review ini merupakan tugas akhir dalam mata kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI) pada Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis yang reviewer pilih adalah tesis karya Sahliah Hasibuan NIM 295 PTU 115 dengan judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Peradilan Agama (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan)” dengan tebal 135 + vi halaman. Tesis ini diselesaikan tahun 1999 dengan Pembimbing I Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo dan Pembimbing II Dr. Nurhadi Magetsari. Reviewer sengaja memilih tesis ini karena memiliki tema yang sama dengan proposal tesis yang sedang reviewer garap. Dari hasil penelusuran reviewer pada katalog tesis di Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hanya tesis yang membahas permasalahan hukum Islam dengan tema pengangkatan anak atau adopsi. Dalam mengkritisi tesis ini, penulis membagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berisikan pendahuluan, bagian kedua berisikan resume tesis, bagian ketiga berisikan kritik terhadap teori dan metodologi serta alternative design. Sedangkan bagian keempat berisikan penutup. BAGIAN KEDUA RESUME TESIS BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tradisi pengangkatan anak pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman praIslam, tidak hanya terbatas pada daerah Romawi dan Yunani kuno saja, hal ini juga terjadi di Arab sendiri. Nabi Muhammad sendiri pernah melakukan adopsi sebelum masa kerasulannya. Beliau mengadopsi Zaid ibn Haritsah dan memberikannya nasab ibn Muhammad. Namun, setelah masa kerasulannya, turun firman Allah surat alAhzab [33] ayat 4-5 yang melarang pengangkatan anak menjadi anak kandung. Ketiadaan hubungan nasab ini juga dijelaskan dengan kebolehan menikahi bekas istri anak angkat dalam surat al-Ahzab [33] ayat 37. Penyelesaian masalah adopsi dalam konteks Indonesia, merupakan kompetensi peradilan agama sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No.7/1989. Sebagai landasan teknis pelaksanaannya, kemudian diadakan kodifikasai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum adanya KHI, sering terjadi perbedaan putusan antara hakim dalam substansi perkara yang sama. Hal ini dikarenakan dasar hukum yang dipergunakan adalah 13 kitab fiqih yang berbeda berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI No. B/1/735 yang kemudian diikuti oleh UU No. 1/1974 dan PP No. 28/1977. Berkaitan dengan masalah adopsi, KHI dalam buku II mengatur perihal “wasiat wajibah” antara orang tua angkat dengan anak angkatnya (pasal 209) dan konsep ahli waris pengganti (pasal 185). Dua bentuk ini sebelumnya tidak pernah dikenal dalam fiqih. Demikian juga dengan berbagai permasalahan yang akan muncul belakangan, seperti; adanya kontaminasi antara halal dan haram dalam nasab, terhalangnya hak kewarisan saudara, dan menghilangkan hak kekeluargaan.

21 | P a g e

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Masalah yang diteliti dalam tesis ini hanya pada Pengadilan Agama Kotamadya Medan dengan 4 rumusan masalah berikut; apakah anak angkat bisa menjadi ahli waris dari orang tua angkat ?; apakah orang tua angkat dapat mewarisi dari anak angkatnya ?; bagaimana status terhadap orang tua angka angkat, apakah saling mewarisi ?; bagaimana persepsi hakim terhadap eksistensi anak angkat ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data otentik tentang kedudukan dan eksistensi orang tua angkat dan anak angkat dalam hal hak dan kewajiban sehingga bisa dijadikan rujukan masyarakat luas. Diharapkan tulisan ini juga memberikan sumbangan bagi masyarakat luas. D. Telaah Pustaka Sepengetahuan penulis, belum ada tesis yang membahas eksistensi anak angkat dalam sistem peradilan agama. E. Metode Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam tesis ini adalah hakim-hakim di Pengadilan Agama di Sumatera Utara, karena berhak untuk memutus perkara adopsi. 2. Pemilihan Setting Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama yang berada di wilayah Sumatera Utara. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara, berkenaan dengan persepsi subjek penelitian terhadap topik. b. Observasi terhadap persepsi hakim dalam memutus perkara adopsi. 4. Analisa Data a. Reduksi data, merupakan pengelompokkan dan penyusunan data. b. Display data, pengelompokan data dalam konteks hubungannya. c. Verifikasi data, merupakan pengambilan kesimpulan. F. Sistematika Pembahasan Pembahasan lebih rinci dijelaskan dalam beberapa bab berikut. Bab pertama berisikan pendauluan, bab kedua menjelaskan keadaan geografi dan demografi daerah penelitian, bab ketiga berisikan kajian tentang anak angkat dan permasalahannya, bab keempat berisikan bahasan mengenai anak angkat dalam system Undang-undang Negara dan bab kelima merupakan penutup. BAB II : GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI A. Keadaan Daerah Secara geografis, Kotamadya Medan berada di 3 30˚ - 3 43˚ LU dan 98 35˚ - 98 44˚ BT. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah barat, timur dan selatan dengan Dati II Deli Serdang. Secara topografis, miring ke Utara pada ketinggian 2.5 – 37.5 m di atas permukaan laut, dengan suhu udara berkisar antara 23˚-32˚ Celsius, dengan kelembaban serta curah hujan relatif tinggi. Kotamadya Medan mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas yang paling lengkap, sehingga ia menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan di daerah Sumatera Utara. Kotamadya Medan mempunyai luas 26.510 ha yang dibagi menjadi 21 Kecamatan dan mencakup 151 Kelurahan serta 5 wilayah pengembangan pembangunan.

22 | P a g e

B. Keadaan Penduduk Berdasarkan data Pusat Statistik Kotamadya Medan, jumlah penduduk pada tahun 1996/1997 adalah 1.947.017 jiwa (7.344 jiwa/km2) yang didominasi oleh generasi muda berusia antara 0-14 tahun. Pembangunan kependudukan di Medan adalah pengendalian kuantitas dan peningkatan kualitas untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik. C. Keadaan Sosio-Kultural Masyarakat Kotamadya Medan adalah multi-etnis yang mempertahankan budayanya masing-masing. Meskipun demikian, budaya Melayu terlihat sangat dominan dan mempengaruhi masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari beberapa kebiasaan perayaan yang dilakukan dengan adat Melayu. Adat istiadat masyarakat Melayu sangat kental dengan nuansa Islam, bahkan sebagian dari adat itu terbentuk karena ajaran Islam. Hal ini terlihat dari adanya acara kelahiran dan rangkaian adat perkawinan. Dalam hal pengangkatan anak, adat ini mengenal tiga bentuk adopsi, yaitu; anak angkat pulang buntal; anak angkat pulang nama; dan anak angkat pulang serasi. Pelaksanaan adopsi ini juga disertai dengan adanya kenduri, dimana orang tua kandung dari anak angkat juga dihadirkan dalam pesta tersebut. Adopsi yang dilaksanakan di daerah ini tidaklah memutus hubungan orang tua kandung dengan anak yang diadopsi. Usia anak yang diadopsi adalah kurang dari 10 tahun. D. Keadaan Sosio-Keagamaan Penduduk Kotamadya Medan mayoritas beragama Islam (51%). Masyarakat Melayu yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam yang mereka anut dan tercermin dari sikap dalam pergaulan keseharian. Pengaruh ajaran Islam juga ditemukan dalam tata cara mendidik anak yang mewajibkan untuk bisa membaca al-Qur’an. Secara garis besar, ditarik kesimpulan bahwa penghayatan orang Melayu terhadap Islam sudah membudaya.

BAB III : ANAK ANGKAT DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Anak Angkat 1. Adopsi Secara bahasa (adoptie: Belanda, adopt: Inggris) berarti pengangkatan/ mengangkat anak sebagai anak kandung sendiri. Dalam Kamus Arab Mahmud Yunus (tabanniy) diartikan dengan mengambil anak angkat, dalam al-Munjid berarti (ittikhadafu ibban) menjadikan sebagai anak. Dalam KHI dijelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Mahmud Syaltut membagi dua defenisi tersebut. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying tanpa memberi status sebagai anak kandung, namun diperlakukan seperti anak kandung. Kedua, mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya, saling mewarisi dan hak-hak lainnya. 2. Tabanny Tabanny merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Arab praIslam yang melakukan pengangkatan anak di khalayak ramai dan disertai dengan pemberlakuan hak-hak yang sama seperti layaknya anak kandung bagi anak yang diangkat tersebut.

23 | P a g e

3. Luqatha’ Luqatha’ (al-laqith) berarti pemungutan anak yang belum dewasa yang ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya. Dalam konteks ini, anak angkat diberlakukan layaknya anak kandung sendiri namun tidak dalam hal kewarisan. B. Prosedur Pengangkatan Anak 1. Menurut Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek) Dalam BW, penjelasan mengenai prosedur pengangkatan anak didasarkan kepada Staatsblad 1917-129 lampiran III buku ke-4, pasal 5-15. Kemudian dilanjutkan dengan Ketetapan PN Istimewa Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 No. 588/63 dan Ketetapan PN Bandung tanggal 26 Februari 1970 No. 32/1970. Pelaksanaan adopsi berdasarkan BW berakibat pada pemutusan hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Mengenai batasan umur, tidak dijelaskan dalam ketentuan ini, namun digariskan jarak umur antara orang tua angkat dengan anak angkat adalam 18 tahun dan 15 tahun. 2. Menurut Hukum Adat Secara umum disimpulkan bahwa anak yang akan diadopsi disyaratkan; masih bayi atau berumur 3-16 tahun dan lebih muda daripada yang mengangkatnya serta belum diadopsi oleh orang lain. Di daerah Melayu Deli, dikenal 3 bentuk pengangkatan anak, yaitu; anak angkat pulang buntal (keseluruhan menjadi tanggung jawab orang tua angkat); anak angkat pulang nama (anak bertanggung jawab kepada orang tua kandungnya); dan anak angkat pulang serasi (berkaitan dengan masalah kesehatan anak). Pengangkatan anak yang dilakukan secara hukum adat tidaklah sama seperti yang diberlakukan pada masa jahiliyah, karena tidak terjadi perpindahan nasab. 3. Menurut Hukum Islam Persyaratan pengangkatan anak dijelaskan dalam Pendapat MUI Nomor U335/MUI/1982 tanggal 10 Juni 1982 yang secara singkat menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, sehingga tidak ada kemungkinan salng mewarisi dengan orang tua angkat. Tujuannya adalah untuk pemeliharaan yang dilaksanakan oleh orang tua angkat yang seagama dengan anak tersebut. Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu pernah melakukan praktek adopsi terhadap Zaid ibn Haritsah dan mengganti nasabnya menjadi Zaid ibn Muhammad yang dilakukan di khalayak ramai dan disertai dengan adanya perpindahan hak dalam hal mewarisi. Namun kemudian turun wahyu yang menyatakan larangan status “anak kandung” terhadap anak angkat (QS al-Ahzab [33]; 4-5). C. Hak dan Kewajiban Anak dan Bapak Angkat dalam Pandangan Islam 1. Melihat kepada kedekatan kondisi psikologis antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, maka di antara kedua pihak berhak menerima hibah dan wasiat. 2. Penerapan “wasiat wajibah” antara kedua belah pihak karena kedekatan emosi mereka dan tiadanya hubungan nasab. 3. Sebagai jaminan di antara keduanya, maka dibentuklah institusi “wasiat wajibah” untuk menumbuhkan rasa keadilan. 4. Anak angkat wajib melindungi dan merawat orang tua angkatnya pada masa tua nantinya sebagai ungkapan terima kasih. 5. Anak angkat berhak mendapat pendidikan, tempat tinggal, pakaian dan makanan yang layak sesuai dengan kemampuan orang tua angkatnya.

24 | P a g e

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam BW dan sebagian ketentuan hukum adat, dapat disimpulkan akibat pengangkatan anak sebagai berikut; 1. Anak tersebut berhak memakai nama keluarga angkatnya; 2. Anak angkat menemati kedudukan yang sama dengan anak kandung; 3. Terputusnya hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya. Hubungan yang kekeluargaan yang timbulkan seperti yang dijelaskan di atas, tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan diharamkan, dengan alasan: 1. Mengangkat anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah dan di hadapan manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang diulang pengucapannya namun tidak akan menimbulkan kasih sayang seperti layaknya orang tua kandung; 2. Mengangkat anak seringkali dijadikan sebagai salah satu cara untuk menipu dan meyusahkan kaum keluarga (dalam masalah harta). 3. Mengangkat anak dan menetapkan status anak kandung akan menjadi tugas dan beban yang berat bagi keluarga ayah angkatnya, karena seandainya ayah angkat ini meninggal, maka kewajiban menafkahi anak tersebut pindah kepada keluarga ayah angkat yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah. BAB IV : ANAK ANGKAT DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG NEGARA A. Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 point h dalam KHI menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Dalam hal pembagian warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 176-193 KHI, pembagian untuk angkat dijelaskan dalam pasal 209 ayat [1] dan [2]. Wasiat wajibah yang dimaksud dalam pasal ini adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta. Wasiat wajibah yang dijelaskan dalam KHI lahir sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Pengangkatan anak yang lazim terjadi dalam masyarakat dan sangat dihargai hanyalah pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan sebagaimana layaknya orang tua, tanpa adanya pengalihan nasab. Konsep pengangkatan anak yang berbeda dengan konsep tabanny yang dikenal selama ini pada akhirnya menimbulkan pengakuan terhadap lembaga pengangkatan anak dan mendorong adanya institusi “wasiat wajibah” di Indonesia. Keberadaan wasiat wajibah merupakan salah satu bentuk jaminan untuk menikmati harta peninggalan yang merupakan konsekuensi logis adanya kedekatan hubungan psikologis di antara orang tua angkat dan anak angkat. Wasiat wajibah hanya akan diterima apabila pihak yang ditinggalkan tidak menerima wasiat biasa dari harta peninggalan. B. Penetapan Anak Angkat di Pengadilan Agama Kekuasaan mengadili perkara pengangkatan anak pada Peradilan Agama dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 7/1989. Dalam proses sidang pemeriksaan perkara pengangkatan anak, alat bukti yang akui sesuai dengan pasal 5-10 BW. Peradilan Agama hanya menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada anak angkat, nasabnya tetap dihubungkan kepada keluarga kandungnya, dan kedudukan ayah angkat hanya sebatas pemelihara terhadap dirinya. Berkaitan dengan permasalahan anak angkat, ketentuannya secara sistematis dijelaskan dalam KHI pasal 171 (h), 209 dan 103. Karena anak angkat tidak mempunyai hubungan biologis yang sah dari pihak yang mengangkatnya maka Islam dengan tegas menolak kedudukannya menjadi anak

25 | P a g e

kandung, sehingga Peradilan Agama tidak berhak menetapkannya seagai anak kandung. C. Pembagian Waris Bagi Anak Angkat 1. Perspektif Hukum Adat a. Pada masyarakat adat patrilineal di daerah Batak Toba, Lampung dan Bali, anak angkat menjadi ahli waris secara penuh dari ayah angkatnya dan ia terlepas dari keluarga kandungnya. b. Pada masyarakat adat matrilineal di Minangkabau, anak angkat tidak mewarisi dari orang tua angkatnya, namun tetap dari orang tua kandungnya. c. Pada masyarakat adat parental di daerah Jawa, anak angkat berhak mendapat warisan baik dari orang tua kandungnya ataupun dari orang tua angkatnya. Di daerah Aceh, anak angkat tidak menerima warisan orang tua angkatnya. 2. Perspektif Burgerlijk Wetoboek (BW) Merujuk kepada Staatsblad 1917-129, kecenderungan perlakuan anak adopsi sebagai layaknya anak sah. Imbasnya terlihat dalam pasal 830-1130 BW (anak angkat mendapat warisan karena ia berkedudukan sebagai anak sah). 3. Perspektif Hukum Waris Islam Berdasarkan beberapa firman-Nya dan hadits, dapat disimpulkan bahwa tidak perlu memberikan warisan kepada anak angkat dan tidak perlu untuk mengakuinya sebagai anak kandung. Anak angkat yang dikenal dalam Islam hanya dari segi pemeliharaannya saja, dengan tidak memutuskan hubungan nasabnya dengan orang tua kandungnya. D. Kedudukan Anak Angkat di Pengadilan Agama Kotamadya Medan Berdasarkan hasil penelitian penulis di Pengadilan Agama Kota Medan, hakimhakim mempunyai persepsi bahwa tidak ada warisan bagi anak angkat karena ia tidak diakui sebagai anak kandung dalam Islam. Diharapkan dengan adanya KHI, akan bisa membantu hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara dengan putusan yang sama. Konsep “wasiat wajibah” yang dikenal dalam KHI menurut beberapa pakar hukum seperti M. Daud Ali, Yahya Harahap dan Abdullah Kelip merupakan bentuk adaptasi bentuk hukum adat secara terbatas dalam hukum Islam. Keberadaannya juga merupakan bentuk penyelarasan pelaksanaan hukum adat dan hukum Islam dengan nilai keadilan. Lebih jauh lagi penulis mendukung pedapat al-Yasa’ Abu Bakar menjelaskan bahwa landasan keberadaan wasiat wajibah dalam KHI adalah pertimbangan mashlahah mursalah dan mashlahah ‘ammah. Anak yang menerima wasiat wajibah disyaratkan anak yang tidak menerima wasiat biasa, dan tidak berlaku bagi saudara angkat atau orang tua angkat. Keberadaan wasiat wajibah ini juga dikuatkan dengan adanya pendapat ibn Hazm yang menyatakan bahwa penguasa –dalam hal ini Pemerintah– mempunyai hak untuk memberikan bagian wasiat bagi pihak yang dapat dibenarkan dalam alasan hukum. Namun dalam pendapatnya, Ibn hazm tidak merincikan secara jelas kepada pihak mana wasiat wajibah itu diberikan dan berapa kadar maksimalnya. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan Anak angkat yang dimaksud oleh hakim di PA Medan adalah anak yang dalam pemeliharaannya dilakukan oleh orang tua angkat tanpa memutus hubungan nasabnya dengan orang tua kandungnya, PA Medan hanya memberikan pengakuan hukum sebatas pemeliharaan saja. Penetapan anak adalah wewenang Peradilan Negeri karena tidak diatur dalam UU Peradilan Agama. Peradilan Agama hanya

26 | P a g e

mempunyai wewenang dalam penetapan asal-usul anak. Pengangkatan anak yang memutuskan hubungan nasabnya dilarang dalam Islam. Kedekatan emosional antara orang tua angkat dengan anak angkat menjadi salah satu alasan pendorong lahirnya konsep wasiat wajibah dalam KHI. KHI merupakan hasil ijtihad jama’i ulama di Indonesia yang diharapkan bisa menjadi dasar dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dibahas di dalamnya. Landasan hukum yang dipakai dalam membahas wasiat wajibah untuk anak angkat dalam KHI adalah bahasan fiqih. B. Saran 1. Umat Islam diharapkan tidak memutus nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya apabila hendak melakukan adopsi. 2. Hendaklah pelaksanaan adopsi dengan sebenar-benarnya untuk memelihara anak tersebut dengan memenuhi semua haknya. 3. Diharapkan umat Islam terus menerus mempelajari dan mengkaji Islam. 4. Agar umat Islam selalu membina dan memperkokoh persaudaraan. 5. Diharapkan umat Islam tanggap terhadap kondisi aktual dalam masyarakat. BAGIAN KETIGA KRITIK TEORI DAN METODOLOGI Tesis ini menjelaskan secara rinci mengenai adopsi dalam konteks hukum positif di Indonesia, dengan mengambil wilayah penelitian di Pengadilan Agama Medan Sumatera Utara. Reviewer menilai bahwa judul tesis ini perlu direvisi secara redaksional karena tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Judul yang reviewer rekomendasikan adalah: “KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan Sumatera Utara)”. Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kualitatif, meskipun tidak dijelaskan dalam sub bab metodologi penelitiannya. Namun, reviewer menyimpulkan bahwa pendekatan dan metode yang dipergunakan oleh penulis tidak jelas, sehingga kekuatan hasil analisis juga tidak akurat. Secara umum, tesis ini hanya menyajikan informasi-informasi secara lengkap mengenai kronologis pembentukan ketentuan hukum positif yang berkaitan dengan adopsi dan kompetensi peradilan agama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam latar belakang masalah perlu dijelaskan pentingnya masalah yang akan diteliti dengan menyajikan referensi yang relevan untuk memperkuat adanya kegelisahan akademik dalam permasalahan yang hendak dibahas1. Dalam latar belakang masalah ini dijelaskan pendapat-pendapat dan beragam argumentasi yang bertujuan untuk mendeskripsikan bahwa penelitian yang hendak dilakukan ini laik untuk dilakukan. Pembahasan yang dijelaskan penulis dalam latar belakang dimulai dari eksistensi keberadaan manusia di permukaan bumi. Reviewer memandang hal ini tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Dalam penelitian hukum, langkah awal yang seharusnya dilakukan adalah mengidentifikasi fakta hukum yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan2. Kelemahan berikutnya dalam latar belakang adalah penulis masih kurang “dilematis” dalam mendeskripsikan kegelisahan akademik serta disertai dengan argumen-argumen yang mendukung sehingga penelitian ini laik untuk diajukan. 1

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2009-2010 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 43. 2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), ed-1, cet-5, 171.

27 | P a g e

Sebagian besar latar belakang hanya mendeskripsikan tentang sejarah praktek adopsi beserta sejarah terbentuknya pengaturan “lembaga” adopsi3 dalam hukum positif, sehingga seolah-olah permasalahan ini tidak begitu menarik. Untuk memahami bagaimana caranya untuk menemukan pertanyaan yang menarik dan meyakinkan akan urgensinya, penulis diharuskan untuk benar-benar memahami permasalahan sebenarnya4. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pada dasarnya pembatasan masalah berguna untuk lebih memfokuskan penelitian dari berbagai kemungkinan disertai dengan beberapa alasan pendukung5 sehingga penelitian ini laik untuk dilanjutkan. Namun dalam tesis ini, penulis hanya menjelaskan bahwa penelitian ini hanya dilakukan pada Pengadilan Agama Kotamadya Medan. Penulis tidak menjelaskan alasan-alasan pemilihan lokasi penelitian. Menurut reviewer hal ini mempunyai pengaruh besar dalam pengambilan generalisasi dari hasil penelitian. Pemaparan lebih lanjut akan reviewer jelaskan dalam bagian metode penelitian. Kelemahan selanjutnya adalah dalam perumusan masalah. Untuk Reviewer menilai perumusan masalah yang dikemukakan oleh penulis dalam 4 pertanyaan penelitian terlalu banyak, sementara esensi dari pertanyaan tersebut masih sama kurang singkron dengan permasalahan pokok yang ingin dipecahkan oleh penulis, yaitu; “Bagaimana eksistensi anak angkat dalam sistem peradilan agama (Wilayah Sumatera Utara Medan)?”. Menurut hemat reviewer, alangkah baiknya penulis merumuskan satu major question research yang meng-cover permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini. Kemudian dilanjutkan dengan perincian minor question research sebagai pembantu dalam teknis pembentukan hipotesa untuk menjawab major question research sehingga alur pembentukan kesimpulan terlihat lebih sistematis. Dalam hal ini, reviewer merumuskan “Bagaimana pengaruh pengangkatan anak terhadap hak kewarisan dalam sistem hukum di Indonesia?” sebagai major question research. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dan kegunaan penelitian hendak bersifat teoritis/akademis dan praktis6. Penulis menjelaskan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data otentik tentang eksistensi dan kedudukan anak angkat sehingga nantinya bisa dijadikan rujukan bagi orang tua yang hendak mengangkat anak. Berdasarkan hal ini, reviewer menilai bahwa tesis ini bersifat deskriptif dan berfungsi sebagai suatu bentuk laporan mengenai penjelasan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. D. Telaah Pustaka Reviewer menilai penulis terlalu sempit dalam memberikan batasan, baik dari segi bentuk karya ilmiah maupun dari bentuk tema yang dibahas. Dalam memberikan 3 Reviewer menggunakan term “lembaga” dengan meminjam istilah yang dipakai oleh Muderis Zaini karena pembahasan mengenai adopsi dalam konteks ini bukanlah adopsi sebagaimana yang dipahami secara umum. Namun term “lembaga” yang dimaksud bertujuan untuk memposisikan keberadaan adopsi sebagai suatu lembaga hukum dalam sistem hukum positif di Indonesia. Lihat Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet-5. 4 Wayne C. Booth, et. al., The Craft of Research (London: the University of Chicago Press, 2003), 57. 5 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2009-2010 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 44. 6 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2009-2010 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 45.

28 | P a g e

telaah pustaka , hendaknya tidak dibatasi hanya dalam bentuk tesis saja, namun juga dalam bentuk hasil penelitian lainnya. E. Metode Penelitian Metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian. Arus kebutuhan studi pascasarjana menuntut standar kualitas yang tinggi, demikian juga dengan metodologi penelitiannya7. Pada bagian ini, reviewer menyimpulkan bahwa metode penelitian yang dipergunakan oleh penulis tidak jelas dan –jika tidak berlebihan—tidak relevan dengan judul yang diangkat. Dalam penelitian ini, penulis tidak menjelaskan pendekatan yang digunakan. Menggunakan suatu pendekatan berarti juga secara eksplisit menerima asumsiasumsi dan prioritas tertentu, termasuk –meskipun kecenderungan ini kurang eksplisit—juga komitmen untuk menggunakan metodologi hingga batas-batasnya, untuk menjelaskan fenomena tersebut8. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kualitatif dalam bentuk penelitian kasus (case study/case research). Studi kasus adalah pendeskripsian secara mendalam dengan menggunakan sistem analisis yang terbatas9. Sejatinya, dalam penelitian kasus dibutuhkan suatu batasan. Dalam penelitian ini, penulis membatasi hanya pada Pengadilan Agama Medan Sumatera Utara, tanpa disertai alasan pemilihan lokasi tersebut. Subjek penelitiannya adalah hakim, namun tidak dijelaskan apakah keseluruhan hakim dijadikan sebagai subjek penelitian atau penulis menggunakan teknik sampling. Pada dasarnya, penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus dibatasi, demikian juga dengan sensivitas dan integritas peneliti. Peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data dan analisis data10. Teknik pengambilan data yang digunakan oleh penulis adalah wawancara dan observasi. Namun penulis tidak menjelaskan bentuk wawancara yang dilakukannya, apakah wawancara terstruktur atau wawancara tidak terstruktur. Penulis juga tidak melampirkan daftar pertanyaan yang dijadikan sebagai patokan wawancara. Topik penelitian atau daftar pertanyaan dapat mempengaruhi kelancaran dan hasil wawancara, karena kesediaan responden untuk menjawab tergantung pada apakah ia tertarik pada masalah itu atau tidak11. Demikian juga halnya dengan teknik observasi. Reviewer menilai kalau teknik ini tidak tepat digunakan dalam penelitian ini. Penulis juga tidak menjelaskan secara tegas tentang sumber yang digunakan dalam penelitian ini12. Untuk memecahkan isu hukum dan menjelaskan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian13. Dalam tesis ini, penulis menilai peraturan perundang-undangan yang dikutip oleh penulis merupakan bahan hukum primer dalam penelitian ini.

7

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 3-4. Peter Connolly, “Pendahuluan”, dalam Approaches to the Study of Religion, ed. Peter Connolly, terjemahan oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2002), 4. 9 Sharan B. Merriam, Qualitative Research: a Guide to Design and Implementations (San Fransisco: John Willey & Sons Inc., 2009), 40. 10 Sharan B. Merriam, Qualitative Research: a Guide to Design and Implementations (San Fransisco: John Willey & Sons Inc., 2009), 52. 11 Irawati Singarimbun, “Teknik Wawancara”, dalam Metode Penelitian Survai, ed. Masri Singarimbun & Sofian Efendi (Jakarta: LP3S, 1995), 194. 12 Pada penelitian hukum, pada dasarnya tidak dikenal istilah “sumber data”, namun lebih cenderung menggunakan term “bahan hukum”. Bahan hukum dikategorikan menjadi dua bentuk. Pertama, bahan hukum primer yang bersifat autoritatif seperti perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembentukan undang-undang dan putusan hakim. Kedua, bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Lihat: Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), ed-1, cet-5 13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), ed-1, cet-5, 141. 8

29 | P a g e

Teknik analisis yang disajikan oleh penulis dalam tesisnya masih bersifat umum dan belum menyentuh pada bahasan tesisnya sendiri. Penulis hanya menjelaskan mengenai defenisi dari data reduction, data display dan data verification. Reviewer menilai analisis penulis yang didasarkan pada data reduction dan data display belum mampu memberikan suatu analisis dan kesimpulan yang akurat untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan oleh penulis sendiri. BAB II GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI Pada bab ini, penulis menyajikan data-data dan informasi-informasi megenai daerah Sumatera Utara yang dijadikan sebagai wilayah penelitian secara lengkap dan rinci, tidak hanya sebatas mengenai kodisi geografis dan demografis saja. Namun penulis juga memberikan narasi-kronologis kondisi soial-religius dan agama masyarakat setempat. Reviewer memberikan apresiasi terhadap deskripsi penulis ini. Namun reviewer menilai penulis masih belum menggambarkan mengenai kompetensi relatif dari Pengadilan Agama Medan. BAB III ANAK ANGKAT DAN PERMASALAHANNYA Pada bab ini, penulis memeparkan hal-hal yang berhubungan dengan adopsi atau anak angkat, mulai dari defenisi, prosedur, hak dan kewajiban serta akibat hukumnya yang dipandang dari tiga sudut pandang, yaitu; hukum perdata barat, hukum islam dan hukum positif. Pada sub bab defenisi, penulis sangat berhati-hati dalam mengutip pengertian adopsi itu sendiri guna menghindari kesalah-pahaman dalam pembahasan selanjutnya. Hal ini terlihat dari adanya pembedaan antara adopsi, tabanny dan luqatha. Dari beberapa defenisi yang dikutip, penulis juga mengsingkronisasikannya dengan konteks hukum positif. Namun, reviewer menilai bahwa sebelum memulai pada dbahasan yang lebih lanjut, dibutuhkan adanya suatu pembakuan istilah hukum Islam yang dipergunakan oleh penulis14. Reviewer melihat adanya kekurangan dalam bab ini. Sebagian besar dari isi bab ini hanyalah bunyi-bunyi pasal-pasal yang mengatur masalah adopsi, baik dari Burgerlijk Wetboek (BW) ataupun UU yang bersifat nasional, tanpa disertai dengan analisis penulis sendiri. Dalam sub bab ini, penulis juga menetapkan status mubah bagi pelaksanaan adopsi dalam tinjauan Islam. Penjelasan penulis berkaitan dengan hal ini diawali dengan pengulangan kisah pelarangan tabanniy yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Reviewer menilai penulis terlalu cepat menetapkan status mubah. Reviewer menambahkan beberapa pendapat ahli dalam melihat adopsi itu sendiri, seperti pendapat Abdur Rahman I. Doi yang menyatakan bahwa pada dasarnya di dalam hukum Islam tidak dikenal adanya adopsi. Jika seseorang mengangkat seorang anak –baik laki-laki atau pun 14 Hukum Islam merupakan term khas Indonesia sebagai terjemahan dari istilah al-fiqh al-islāmīy, atau dalam konteks tertentu disebut al-shari’ah al-islāmīy. Istilah ini dalam literatur barat dikenal dengan idiom Islamic law, yang secara harfiah diartikan dengan hukum Islam. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Penamadani, 2004), 7. Hukum Islam merupakan lambang atau ringkasan dari ajaran Islam itu sendiri. Lihat Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (Oxford University: the Clarendon Press, 1964), 1. Dalam kajian selanjutnya, sebagai bentuk penggunaan term hukum Islam itu sendiri, Prof. Achmad Ali menggunakannya dalam membedakan sistem hukum, sebagai berikut; civil law yang berlaku di negara Eropa dan Negara-negara bekas jajahannya; common law yang berlaku di Inggris, Amerika Serikat dan Negara-negara berbahasa Inggris (commonwealth); costumary law di beberapa Negara Afrika, Cina dan India; muslim law yang diberlakukan di Negara muslim Timur Tengah; dan mixed system sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia. Lihat Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence) Termasuk Teori Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal (Jakarta: Kencana, 2009), 203. Muslim law atau hukum Islam yang dimaksud di sini adalah bentuk hukum Islam (baca: fiqih) yang sudah ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap untuk diberlakukan di tengah masyarakat.

30 | P a g e

perempuan--, syari’ah tidak akan menyamakan status dan hak anak angkat tersebut dengan anak kandung15. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis melakukan perbandingan terhadap hak dan kewajiban serta akibat hukum dari adopsi itu sendiri dari dari tiga sudut yang berbeda. Dari bahasan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks ini, penulis menggunakan metode deskripstif-komparatif dalam penyajian materi bahasannya. BAB IV ANAK ANGKAT DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG NEGARA Pada bab ini, penulis menguraikan secara lengkap mengenai permasalahan adopsi dadlam konteks hukum positif. Reviewer menilai penjelasan ini hanya pengulangan dari bab sebelumnya, yaitu pengutipan pasal-pasal yang mengatur tentang adopsi dan akibat hukumnya. Penulis menyisipkan pembahasan mengenai wasiat wajibah dalam bahasan ini yang merupakan pengutipan pasal-pasal dalam KHI yang kemudian dilanjutkan dengan analisisnya. Penulis dalam menganalisis pasal yang berkaitan dengan wasiat wajibah, penulis menggunakan metode interpretasi, namun belum sistematis, sehingga pada akhirnya berakibat pada terjadinya pengulangan uraian-uraian yang sudah ada sebelumnya. Untuk lebih terperinci dan sistematisnya analisis, reviewer menyarankan agar dilakukan penataan ulang terhadap metode interpretasi hukum yang dilakukan penulis. Reviewer menyarankan untuk untuk analisis dari metode interpretasi bahasa, interpretasi sistematis dan interpretasi historis. Dalam hal ini, reviewer lebih cenderung memberikan porsi lebih untuk intepretasi historis16. Hal ini dikarenakan memungkinkan penulis untuk bisa lebih mendekati esensinya. Dalam sub bab selanjutnya, penulis terkesan tidak terstruktur dalam melakukan analisis. Hal ini terlihat dari penjelasan mengenai kekuatan hukum putusan Pengadilan Agama terhadap kompetensi absolutnya yang kemudian dilanjutkan dengan pembuktian dalam perkara ini. Hasil pembuktian ini kemudian dianalisis berdasarkan hadits-hadits, kemudian kembali lagi membahas polemik kewenangan Pengadilan Agama. Menurut hemat reviewer, kajian mengenai kompetensi absolut dan kompetensi relatif Pengadilan Agama dimasukkan dalam pembahasan bab kedua, sehingga dalam melakukan analisis pada bab ini tidak kembali berputar pada hal tersebut. Dalam bab ini, penulis juga panjang lebar menjelaskan permasalahan adopsi dan pembagian kewarisan dari segi hukum adat sehingga seolah-olah penulis tidak konsisten dalam menggunakan metode analisis. Analisis yang dilakukan oleh penulis adalah komparatif-analitis dan tidak konsisten seperti apa yang dijelaskan dalam metode penelitian. Reviewer juga melihat kelemahan dalam akhir bahasan bab ini. Pada metode penelitian dijelaskan bahwa penelitian ini merupakan studi kasus pada Pengadilan Agama Medan dengan subjek penelitian adalah wawancara dengan para hakim. Namun penulis tidak menyajikan hasil wawancara seperti yang dikatakan dalam metode penelitiannya. Dalam analisisnya, penulis menguraikan secara panjang lebar mengenai perdebatan pendapat dalam masalah kedudukan adopsi. Idealnya, penulis melakukan analisis terhadap putusan-putusan Pengadilan Agama Medan yang berkaitan dengan adopsi. Atau paling tidak, pada sub bab ini penulis menggunakan metode content analysis17 dalam menelaah hasil wawancara yang telah dilakukan. 15

Abdur Rahman I. Doi, Sharī’ah: The Islamic Law (Malaysia: A.S. Noordeen, 2002), 463. Interpretasi historis yang reviewer maksud di sini mencakup dua ruang lingkup. Pertama, dari segi sejarah hukumnya dan kedua dari segi sejarah pembentukan peraturan perundang-undangannya dengan memperhatikan kondisi pada saat itu. Lihat: Hasanuddin A.F., Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Percetakan Pustaka al-Husna dan UIN Jakarta Press, 2004), 165 dalam Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 6. 17 Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi dengan menampilkan tiga syarat, yaitu; objektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi. Analisis harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Untuk memenuhi syarat sistematis, untuk kategori isi 16

31 | P a g e

BAB V PENUTUP Reviewer menilai kesimpulan yang ditawarkan oleh penulis terlalu panjang sehingga melebihi batasan dalam rumusan masalah yang diajukan pada bagian pendahuluan. Kesimpulan yang ditawarkan oleh penulis tidak relevan dengan dengan rumusan masalah dikarenakan ketidak-jelasan dan inkonsistensi penulis dalam menggunakan pendekatan serta metode analisis. Demikian juga dengan saran yang direkomendasikan oleh penulis, reviewer menilai ini masih terlalu umum dan tidak begitu berhubungan dengan tema yang dibahas penulis dalam tesisnya. ALTERNATIVE DESIGN Pada bagian ini, reviewer menawarkan alternative design dalam penelitian tesis ini. Alternative design yang ditawarkan hanya dalam bentuk kerangka penelitian secara ringkas. Metode penelitian yang reviewer tawarkan adalah penelitian kualitatif yang dipergunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, di mana peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci, analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian ini lebih menekankan makna daripada generalisasi18. 1. Sifat Penulisan dan Metode Pendekatan Penelitian ini bertujuan untuk kepentingan akademis. Peneliti dalam penelitian ini bersifat netral. Artinya, peneliti diharuskan untuk memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam penelitian itu19. Penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis yang bertujuan untuk memaparkan suatu pernyataan yang ada di lapangan berdasarkan asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan ketentuan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Dikatakan yuridis dikarenakan dalam pengadaan objek yang akan diteliti dengan menggunakan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, terutama hukum perdata. 2. Analisis Data Dalam menganalisis bahan hukum yang telah diperoleh, reviewer menawarkan metode content analysis. Bahan hukum dalam hal ini ketentuan perundang-undangan akan dianalisa secara detail dengan bertitik tolak dari ketentuan yang digariskan dalam fiqih yang berkaitan dengan permasalahan adopsi. Dalam penulisan ini, bahan hukum yang dianalisis berawal dari perbedaan dalam pengaruh adopsi terhadap kedudukan anak angkat dalam perwalian dan kewarisan. Selanjutya dilakukan penelaahan dan tinjauan kepada kitab-kitab fiqih. Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan esensi dari penelitian hukum. Preskripsi yang diberikan menetukan nilai penelitian tersebut. Berpegang kepada karakterisitik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan hendaknya dapat dan mungkin untuk diterapkan.

harus menggunakan kriteria tertentu. Hasil analisis haruslah menyajikan generalisasi yang mempunyai sumbangan teoritik. Lihat: Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), ed-4, cet-1, 68-69. 18 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta: 2008), 1. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2008), 187.

32 | P a g e

BAGIAN KEEMPAT PENUTUP Demikianlah critical review ini dibuat guna memberikan masukan bagi kita bersama, terutama bagi reviewer sendiri. Reviewer selalu terbuka untuk menerima masukan, kritikan konstruksional dan saran demi kebaikan kita pada masa yang akan. … nec scire fas est omnia …

33 | P a g e

DAFTAR KEPUSTAKAAN Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence) Termasuk Teori Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal (Jakarta: Kencana, 2009) A.F., Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Percetakan Pustaka al-Husna dan UIN Jakarta Press, 2004) Booth, Wayne C., et. al., The Craft of Research (London: the University of Chicago Press, 2003) Connolly, Peter, “Pendahuluan” Approaches to the Study of Religion, ed. Peter Connolly, Terjemahan oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2002) Doi, Abdur Rahman I., Sharī’ah: The Islamic Law (Malaysia: A.S. Noordeen, 2002) Farihah, Ipah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), ed-1, cet-5 Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000) Merriam, Sharan B., Qualitative Research: a Guide to Design and Implementations (San Fransisco: John Willey & Sons Inc., 2009) Muhaimin, Abdul Wahab Abd., Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010) al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Penamadani, 2004) Schacht, Joseph, an Introduction to Islamic Law (Oxford University: the Clarendon Press, 1964) Singarimbun, Irawati, “Teknik Wawancara” Metode Penelitian Survai, ed. Masri Singarimbun & Sofian Efendi (Jakarta: LP3S, 1995) Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta: 2008) Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2009-2010 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2009) Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet-5

34 | P a g e

CRITICAL REVIEW METODE PENGUTIPAN HADITS DALAM PENULISAN TESIS BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI) pada Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis yang reviewer pilih adalah : 1. Harta Bersama Dalam Perkawinan (Analisis Putusan Terhadap Penyelesaian Perkara Harta Bersama Akibat Perceraian), karya Rini Sidi Astuti NIM 03.02.00.01.01.0059 dengan tebal 179 halaman. Tesis ini diselesaikan pada akhir tahun 2007, dengan Pembimbing I Prof. Dr. Musdah Mulia, A.P.U., dan Pembimbing II Arofah Windiani, S.H., M.Hum. 2. Pemikiran Harta Bersama di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam, karya Iskandar NIM. 02.2.00.1.01.01.0035 setebal 197 halaman. Tesis ini diselesaikan pada tahun 2006, dengan Pembimbing I Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A., dan Pembimbing II Dr. Abdul Chair, M.A. 3. Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Peradilan Agama (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan), karya Sahliah Hasibuan NIM 295 PTU 115 dengan tebal 135 + vi halaman. Tesis ini diselesaikan tahun 1999 dengan Pembimbing I Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo dan Pembimbing II Dr. Nurhadi Magetsari. Dalam mengkritik metode pengutipan hadits ini, reviewer memfokuskan pada beberapa point penting. Di antaranya; persambungan sanad, perawi, sumber pengutipan dan penjelasan-penjelasan mengenai kedudukan hadits yang dikutip.

35 | P a g e

BAGIAN KEDUA KRITIK METODE PENGUTIPAN HADITS A. Harta Bersama Dalam Perkawinan (Analisis Putusan Terhadap Penyelesaian Perkara Harta Bersama Akibat Perceraian), karya Rini Sidi Astuti NIM 03.02.00.01.01.0059. Secara umum, tesis ini menganalisis putusan-putusan Pengadilan Agama yang berkaitan dengan perkara penyelesaian harta bersama akibat perceraian. Putusanputusan tersebut dianalisis dalam upaya menjawab konfigurasi hukum Islam dalam merespon permasalahan kontemporer. 1. Hadits tentang bukti kesempurnaan akhlak seseorang yang santun dan bersikap halus terhadap istrinya. Hadits ini tidak mempunyai catatan kaki, penulis tidak menjelaskan darimana mengutipnya serta kedudukannya. Sanad hadits ini dimulai dari Abu> Hurairah dan langsung kepada Nabi SAW. 2. Hadits riwayat al-Tirmidhi> dari Sulaima>n ibn ‘Umar al-Ah}was} yang menceritakan tentang nasehat Rasulullah SAW pada saat beliau dalam haji wada’. Sanad hadits ini diambil dari Sulaima>n ibn ‘Umar al-Ah}was} dan langsung ke Nabi Muhammad SAW. Hadits ini merupakan hadits nomor 1.162 dalam bab rad}a> yang dikutip dari kitab Abi> I>sa Muhammad ibn I>sa ibn Saurah al-Turmudhi>, Jami’ al-S}ah}ih} Sunan Turmudhi> (Beirut: Da>r al-Kutub Ilmiah, 2000). Untuk menguatkan, penulis juga mengutip penjelasan tentang kedudukan hadits ini dan menyatakan bahwa hadits ini kedudukannya sebagai hadits h}asan s}}ah}i>h}. Hal ini dikutip oleh penulis dari hadits nomor 1.851 kitab Sunan Ibn Majah, Kita>b alNika>h} (Beirut: Da>r al-Kutub Ilmiah, t.th), juz-1. 3. Hadits dari ‘A>ishah R.A. tentang kewajiban suami untuk berlaku baik terhadap istrinya. Penulis mengutip hadits ini dari Ibn Hajar al-Asqala>ni>, Taqrib alTahzi>b, ed. Muhammad Awamah (Damaskus: Da>r al-Rashid, 1992). Penulis tidak menjelaskan persambungan sanad serta kedudukan hadits ini. Penulis juga tidak merujuk hadits ini ke kitab aslinya. 4. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah tentang kewajiban istri untuk mentaati suami. Penulis mengutip hadits ini dari Abu> Daud, Sunan Abu> Daud (Beirut: Da>r al-Qalam, t.th.). Hadits ini adalah hadits nomor 1.664. Namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad serta kedudukan hadits ini. 5. Hadits nomor 1.829 dalam bab Nikah yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah. Hadits ini dikutip dari Abu Daud, Sunan Abu> Daud (Beirut: Da>r alQalam, t.th). Penulis tidak menjelaskan persambungan sanad serta kedudukan hadits ini. 6. Hadits tentang kewajiban suami untuk menggauli istrinya. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim tanpa adanya sanad yang jelas sedikitpun. Penulis juga tidak menjelaskan kedudukan hadits beserta sumber kutipannya. 7. Hadits tentang perkongsian (baca: perserikatan). Penulis memaparkan sebuah hadits qudsi> dari Abu> Huraira>h. Penulis tidak menjelaskan sanad dan kedudukan hadits ini. Hadits ini dikutip oleh penulis tidak merujuk dari sumber aslinya, namun dikutip dari Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1982).

36 | P a g e

8. Hadits tentang perkongsian (baca: perserikatan). Penulis menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Nasa>i. Penulis tidak menjelaskan sanad dan kedudukan hadits ini. Hadits ini dikutip oleh penulis tidak merujuk dari sumber aslinya, namun dikutip dari Ismuha, Pencarian Bersama Suami Istri di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). 9. Hadits tentang landasan istih}sa>n. Penulis hanya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda. Penulis tidak menjelaskan sanad, perawi dan kedudukan hadits ini. Penulis pun tidak menjelaskan sumber kutipannya. 10. Hadits tentang naluri kesenangan yang dimiliki oleh manusia. Penulis menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ana>s R.A. Namun dalam penulisan haditsnya dalam aksara Arab, penulis tidak menuliskan sanadnya. Penulis tidak menjelaskan sanad dan kedudukan hadits ini. Hadits ini dikutip oleh penulis tidak merujuk dari sumber aslinya, namun dikutip dari Muhammad ‘Usman Najati, Psikologi Dalam Tinjauan Hadits Nabi Muhammad SAW, terj. Wawan Djunaedi Soffandi (Jakarta: Mustakim, 2003). B. Pemikiran Harta Bersama di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam, karya Iskandar NIM. 02.2.00.1.01.01.0035. Secara umum, tesis ini membahas masalah pelembagaan harta bersama dalam kodifikasi hukum positif yang bersifat nasional di Indonesia. Tesis ini juga membuktikan bahwa shirkah (baca: harta bersama) tidak sama dengan shirkah dalam konteks hubungan mu’amalah. 1. Hadits yang menegaskan bahwa nikah itu adalah sunnah Nabi. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dan Muslim dari Anas Ibn Ma>lik. Hadits ini dikutip oleh penulis dari berbagai sumber, dan juga termasuk di dalamnya dari kitab aslinya. Penulis mengutipnya dari: Ima>m Abi ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’i>l ibn Ibrahi>m ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al- Bukha>ri>, Sunan Bukha>ri> (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.), juz VII hadits nomor 5.066, Ima>m Abi> al-H}usaini> Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushairi> al-Naisaburi>, S}}ah}i>h Muslim (Beirut: Da>r alFikr, 1993), juz I hadits nomor 1.401, al-Shaikh Mansur Ali> Nashif, al-Jami’ li alUs}ul fi Ahadits al-Rasul S}alla Allah ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), juz II. Meskipun penulis menjelaskan sumber kutipan begitu jelas dan lengkap, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 2. Hadits tentang suruhan menikah kepada pemuda. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dan Muslim dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini dikutip oleh penulis dari berbagai sumber, dan juga termasuk di dalamnya dari kitab aslinya. Penulis mengutipnya dari: Ima>m Abi> ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’i>l ibn Ibrahi>m ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukha>ri>, Sunan Bukha>ri> (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.), juz VII hadits nomor 5.066, Ima>m Abi> al-H}usaini> Muslim ibn al-Hajja>j alQushairi> al-Naisaburi>, S}}ah}i>h Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), juz I hadits nomor 1.400, Ima>m al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi> (Qa>hirah, Da>r al-Fikr, 1978), juz II., al-Shauka>ni>, Nail al-Aut}ar (Beirut: Da>r al-Jilli>, 1973), juz VI. Meskipun penulis menjelaskan sumber kutipan begitu jelas dan lengkap, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 3. Hadits tentang larangan membujang. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’ad ibn Abi> Waqa>s}. Hadits ini dikutip oleh penulis dari Ima>m Abi> al-

37 | P a g e

H}usaini> Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushairi> al-Naisaburi>, S}}ah}i>h Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), juz I hadits nomor 1.402. Penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 4. Hadits tentang keutamaan nikah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baiha>qi> dari Abi> ‘Uma>mah. Penulis mengutip hadits ini dari Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali> ibn Mu>sa Abu> Bakr al-Baiha>qi>, Sunan al-Baiha>qi> al-Kubra> (Makkah alMukarramah, Maktabah Da>r al-Bazz, 1994), juz VI hadits nomor 13.253., dan Jala>l al-Din ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Abi> Bakr al-S}uyu>t}i, Jami’ al-S}aghi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), juz I. Meskipun penulis menjelaskan sumber kutipan begitu jelas dan lengkap, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 5. Hadits tentang kedudukan wali dan saksi dalam perkawinan. Penulis menjelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dari ‘A>ishah. Penulis mengutip hadits ini dari Ima>m Abi> ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’i>l ibn Ibrahim ibn alMughirah ibn Bardizbah al-Bukha>ri>, Sunan Bukha>ri> (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.), juz VII hadits nomor 1.407. Meskipun penulis mengutip hadits dari kitab asli, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 6. Hadits tentang nikah dengan tujuan untuk berketurunan. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu> Da>ud dan al-Nasa>i dari Maqal ibn Yasa>r. Penulis mengutip hadits ini dari Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-‘As}’ats al-Sajasta>ni>, Sunan Abu> Da>ud (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), juz I hadits nomor 2.050, dan al-Nasa>i, Sunan alNasa>i (Halabi: Maktab al-Mat}buat al-Isla>miyyah, 1986), juz VI hadits nomor 3.227, serta al-Suyu>t}i>, al-Jami’ al-S}aghir (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981). Meskipun penulis menjelaskan sumber kutipan begitu jelas dan lengkap, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 7. Hadits tentang perkongsian (baca: perserikatan). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan di-s}ah}ih}-kan oleh al-Ha>kim dari Abu> Huraira>h. Penulis mengutip hadits ini dari Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-‘As}’ats al-Sajasta>ni>, Sunan Abu> Da>ud (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), juz III hadits nomor 3.383, dan al-Shauka>ni>, Nail al-Aut}ar (Beirut: Da>r al-Jilli>, 1973), juz V. Meskipun penulis menjelaskan sumber kutipan begitu jelas dan lengkap, namun penulis tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 8. Hadits tentang landasan istih}sa>n. Penulis menjelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad. Penulis mengutip hadits ini dari Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ima>m Ahmad (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), juz I. Penulis tidak menjelaskan sanad kedudukan hadits ini. C. Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Peradilan Agama (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan), karya Sahliah Hasibuan NIM 295 PTU 115. Secara umum, tesis ini menjelaskan secara rinci mengenai adopsi dalam konteks hukum positif di Indonesia, dengan mengambil wilayah penelitian di Pengadilan Agama Medan Sumatera Utara. Sebagian besar pembahasannya berkutat dalam masalah polemik menuculan institusi “wasiat wajibah” dalam KHI. 1. Hadits tentang hakikat pengangkatan anak. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Ma>jah dari Abu> Bakr ibn Abi> S}aibah. Hadits ini dikutip oleh penulis dari ‘Abdulla>h

38 | P a g e

Muhammad ibn Yazid al-Qozwiya>ni>, Sunan Ibnu Ma>jah (Istanbul: tp. 1992) juz II. Penulis merujuk hadits dari kitab asli, dengan menuliskan persambungan sanad dengan lengkap. Namun penulis tidak menjelaskan nomor hadits serta kedudukan hadits tersebut. 2. Hadits tentang keharaman pengakuan adopsi palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dan Muslim dari Abu> Bakr ibn Abi> S}aibah. Hadits ini dikutip dari Muslim ibn al-Hajja>j al-Qus}airi> al-Naisaburi>, S}ah}ih} Muslim (Beirut: tp., 1992), juz III. Penulis merujuk hadits dari kitab asli, dengan menuliskan persambungan sanad dengan lengkap. Namun penulis tidak menjelaskan nomor hadits serta kedudukan hadits tersebut. 3. Hadits tentang larangan untuk membuat pengakuan palsu dalam adopsi. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dan Muslim dari Zuhair ibn Harb. Penulis mengutip hadits ini dari Muslim ibn al-Hajja>j al-Qus}airi> al-Naisaburi>, S}ah}ih} Muslim (Beirut: tp., 1992), juz III. Penulis merujuk hadits dari kitab asli, dengan menuliskan persambungan sanad dengan lengkap. Namun penulis tidak menjelaskan nomor hadits serta kedudukan hadits tersebut. 4. Hadits tentang larangan untuk membuat kerusakan. Hadits ini dikutip oleh penulis dari al-Suyu>ti>, al-Asba>hu wa al-Nazairi> (Kairo: Da>r Ihya>’itubi al-‘Arabiyyati, t.th.). Penulis hanya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda. Penulis tidak menjelaskan sanad, perawi dan kedudukan hadits ini. 5. Hadits tentang pengangkatan anak hasil zina. Hadits ini diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih dari ‘A>ishah. Hadits ini dikutip dari Muhammad ibn Isma’i>l alKahla>ni>, Subu>l al-Sala>m (tk., tp., t.th.), juz III. Penulis merujuk hadits ini bukan dari sumber aslinya. Penulis juga tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 6. Hadits tentang penerimaan hibah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dari ‘Abba>s. Hadits ini dikutip dari Ima>m Muhammad ibn ‘Ali> ibn Muhammad alS}auka>ni>, Nail al-Aut}a>r (Kairo: Shirkah Aqomatu al-Di>n, 1255 H) juz VI. Penulis merujuk hadits ini bukan dari sumber aslinya. Penulis juga tidak menjelaskan persambungan sanad dan kedudukan hadits ini. 7. Hadits tentang larangan untuk mengundur wasiat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad melalui Ma>lik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Hadits ini dikutip dari Muslim ibn al-Hajja>j al-Qus}airi> al-Naisaburi>, S}ah}ih} Muslim (Beirut: tp., 1992), juz III. Penulis tidak menjelaskan kedudukan hadits ini. 8. Hadits tentang kebolehan bersedekah kepada orang yang tidak menerima wasiat. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukha>ri> dan Muslim melalui Ma>lik dari Hisha>m ibn ‘Urwah dari ‘A>ishah. Hadits ini dikutip dari Muslim ibn al-Hajja>j al-Qus}airi> alNaisaburi>, S}ah}ih} Muslim (Beirut: tp., 1992), juz III. Penulis tidak menjelaskan kedudukan hadits ini.

39 | P a g e

BAGIAN KETIGA PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam tiga tesis yang reviewer kaji, ditemukan ada 26 hadits yang dikutip. Berdasarkan telaahan reviewer terhadap temuan dalam tiga tesis yang telah dikaji, penulis menyimpulkan bahwa metode pengutipan hadits yang ada dalam tesis tersebut masih belum tepat sebagaimana mestinya. Secara kualitatif, dapat dirincikan sebagai berikut : No. 1. 2. 3. 4.

Keterangan Hadits yang dikutip dari sumber asli yang disertai dengan penjelasan kedudukannya. Hadits yang dikutip dari sumber asli, namun tidak dijelaskan kedudukannya. Hadits yang dikutip bukan dari sumber aslinya dan tidak disertai dengan penjelasan kedudukannya. Hadits yang tidak dijelaskan sumber pengutipan dan kedudukanya. Jumlah

Jumlah 2 15 6 3 26

Penulis menyimpulkan bahwa baru hanya ± 7,69 % saja dari metode pengutipan hadits yang dapat dipertanggungjawabkan dalam penulisan karya tulis ilmiah (baca: tesis). B. SARAN Demikianlah laporan ini reviewer sampaikan tanpa ada tujuan untuk untuk men-judge pihak-pihak tertentu. Reviewer selalu terbuka dalam menerima masukan, kritikan dan saran konstruksional guna pengembangan dan kemajuan khazanah ilmu pengetahuan akademis yang lebih baik pada masa yang akan datang tentunya. … nec scire fas est omnia …

40 | P a g e

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.