Sekilas tentang CSR (Corporate Social Responsibility)

July 25, 2017 | Autor: Y. Novandhika Putra | Categoria: Corporate Social Responsibility
Share Embed


Descrição do Produto

9.2.2015 / 22:09 – 24.2.2015 / 18:03

Sekilas tentang CSR (Corporate Social Responsibility )

Tulisan ini bertujuan untuk mempersiapkan diri menghadapi tes PT SMART Tbk. God, bless me!

CSR (corporate social responsibility) merupakan kewajiban perusahaan untuk—menurut Elkington—tidak hanya memaksimalkan keuntungan (profit), tetapi juga harus mampu untuk mengembangkan kesejahteraan sosial (people) dan kelestarian lingkungan (planet). Tekanan perusahaan untuk melakukan CSR datang dari dua faktor, yaitu: eksternal dan internal. CSR terbukti mampu meningkatkan citra perusahaan sehingga mampu mendongkrak “nilai” perusahaan. Bentuk CSR berupa ragam, antara lain: charity, philantrophy, dan community development (comdev). Bentuk comdev dianggap paling baik karena memberikan masyarkat pengetahuan tentang cara mengolah potensi yang ada sehingga masyarakat mampu mandiri untuk memenuhi kebutuhannya, tidak seperti bentuk CSR yang instan yang hanya memberikan barang tanpa memberi pengetahuan. Secara umum, pelaksanaan CSR melalui empat tahap yang dikenal dengan PDCA (plan, do, check, dan action) dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh prosesnya. Mengapa Perusahaan Harus Melakukan CSR?1 Alasan mendasar perusahaan harus melakukan CSR dapat dibagi menjadi dua, yaitu: alasan eksternal/faktor eksternal dan alasan internal/faktor internal. Faktor eksternal dapat dipahami melalui penjelasan lahirnya CSR secara historis. Seseungguhnya, kesadaran akan CSR sudah dimulai saat tahun 1700. Kala itu, kerajaan mewajibkan pengusaha/penjual memberi perhatian kepada konsumennya. Hukuman bagi penjual yang tidak memperhatikan konsumen (mulai dari menyebabkan sakit hingga menyebabkan kematian) akan dikenai hukuman. Pada abad ke 19, kesadaran masyarakat akan dampak negatif—walaupun tidak dipungkiri bahwa korporasi juga memiliki dampak positif, misalnya, yaitu menyerap tenaga kerja—dari proses produksi yang dilakukan oleh korporasi dimulai saat Bowen (1953) menyatakan bahwa pengusaha—belum menggunakan diksi korporasi karena belum menyadari kekuatan kapital korporasi yang niscaya mengalahkan negara—harus menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat sekitar. Perkataan Bowen tersebut banyak dikutip dan dikembangkan oleh penulis pada masa selanjutnya dengan menekankan pada “kewajiban pengusaha—atau korporasi pada buku yang berkembang—untuk mematuhi aturan masyarakat”. Selajutnya, Rachel (1960) menulis buku dengan judul “The Silent Spring” yang menyebabkan kesadaran masyarakat akan dampak negatif korporasi semakin meningkat. Buku tersebut menjelaskan bagaimana korporasi yang menggunakan pestisida berdampak buruk pada populasi burung, yaitu: membunuh burung, merusak proses reproduksi, dan menipiskan telur. Di sisi lain, Inggris mengembangkan konsep “community development” sebagai usaha mengembangkan pendidikan masyarakat karena: (1) demi martabat manusia itu sendiri, (2) membantu pembangunan sosial karena, salah satunya, (3) Pembahasan ini berdasarkan rangkuman dari: Addakhil, 2011; Daniri, 2008a, 2008b, 2008c; dan Kusumadilaga, 2010.

1

1

pada saat itu, tahun 1940, paska Perang Dunia ke-2, Inggris telah memiliki teknologi, tetapi masyarakat tidak bisa menggunakan secara maksimal karena rendahnya tingkat penddikan masyarakat, dengan demikian (4) kelas bawah mampu naik ke kelas tengah sehingga (5) terjadi kesamarataan kelas; walaupun kemudian hal tersebut menjadi salah satu permasalahan tersendiri (Whitty, 1985, 9; Demaine, 2001, 8-9; 15; dan Nash, 2010, 1). Usaha community development merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh, tidak hanya negara, tetapi juga swasta—perusahaan juga terlibat di dalamnya. Banyak buku yang ditulis berdasarkan pemkiran: Bowen, Rachel, dan usaha community development oleh Inggris; yang mewarnai perkembangan CSR selama tahun 1960 hingga 1980 (Davis, McGuire, CED, Prakash, Drucker, dan WECD). Buku yang dirilis oleh Elkington juga merupakan salah satu buku yang mengembangkan pemikiran ketiga tokoh di atas. Buku tersebut sukses untuk semakin menyadarkan masyarakat akan pentingnya CSR yang dilaksanakan oleh korporasi. Ia mengenalkan konsep 3P yang sangat terkenal hingga saat ini., yaitu: people, planet, dan profit. Menurutnya, korporasi tidak boleh selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungan (profit), tetapi juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan lingkungan sosial (people) dan menjaga kelestarian lingkungan alam (planet). Tekanan korporasi oleh masyarakat global untuk melakukan CSR semakin nyata. Tekanan tersebut bermula saat KTT di Rio (1992) menyatakan perlunya korporasi melakukan CSR. Kata korporasi mulai dikenalkan karena masyarakat mulai sadar bahwa kekuatan kapital milik korporasi semakin masif sehingga mampu mengalahkan negara, sebagaimana Korten (2001, dalam: Agus, 2009, 1; Yuniarti, 2007, 1; dan Ferdiansyah, 2010, 1) menyatakan: “dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa di atas planet ini. Intitusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama.” Selain itu, studi The Institute of Policy Studies (2004, dalam: Ferdiansyah, 2010, 1; dan Lukito, 2011, 1) menyatakan bahwa korporasi menguasai 53 bagian dari 100 besar penguasa ekonomi dunia, sedangkan sisanya (57) adalah negara. Selanjutnya, hal yang sama juga terjadi saat Pertemuan Yohannesburg (2002) dan UN Global Impact (2007) yang menyerukan kewajiban korporasi untuk menjalankan CSR. Tekanan global terhadap korporasi untuk melaksanakan CSR menyebabkan dua hal, yaitu: memunculkan regulasi dan kesadaran masyarakat semakin meningkat. Beberapa regulasi yang hadir (misalnya, UU 40 tahun 2007 dan ISO 26000) menghimbau agar korporasi melakukan usaha CSR. Sementara itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya CSR makin meningkat karena masyarakat makin paham akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi, sehingga timbul pola konsumsi masyarakat yang lebih memilih mengkonsumsi barang yang produsennya melakukan CSR. Oleh karena itu, beberapa investor serta bank dunia turut mendukung regulasi CSR dan pola konsumsi masyarakat dengan cara

2

memprioritaskan korporasi yang melakukan CSR saat menanam investasi/hendak meminta pinjaman. Faktor internal sesungguhnya merupakan “halo effect” dari kesadaran masyarakat. Pengusaha/pemilik korporasi sebagai bagian dari masyarakat memiliki pemikiran yang sama, yaitu mendukung korporasi untuk melakukan CSR. Dengan demikian, faktor internal lebih menekankan pada pola pemikiran pemilik perusahaan terhadap CSR. Beberapa studi, baik nasional (Indonesia) maupun internasional (dunia) pada intinya menyatakan bahwa CSR mampu memberikan “nilai” lebih kepada perusahaan dalam jangka panjang, misalnya: 1. Riset Acces Omnibus Survey pada tahun 1997 (dalam Lukito, 2011, 2-3) menunjukkan bahwa 86% konsumen di Inggris melihat citra positif perusahaan yang “melakukan sesuatu untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik”. 2. Riset majalah SWA atas 45 perusahaan yang dimuat pada tahun 2006 (dalam Lukito, 2011, 3) menunjukkan bahwa CSR bermanfaat untuk: meningkatkan citra perusahaan (37,38%), menjalin hubungan baik dengan masyarakat (16,82%), dan mendukung operasional perusahaan (10,28%). 3. Survei yang dilakukan Booth-Harris Trust Monitor pada tahun 2001 (dalam Kusumadilaga, 2010, 4) menunjukkan bahwa mayoritas konsumen akan meninggalkan produk yang mempunyai citra buruk/diberitakan negatif, salah satunya akibat mengabaikan CSR. 4. Riset Collins dan Porras dalam bukunya, Built to Last: Succesful Habits of Visionary Companies pada tahun 1994 (dalam: Addakhil, 2011, II-10; dan Daniri, 2008a, 2) menunjukkan bahwa perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan saja, tetapi juga memperhatikan lingkungannya (sosial maupun alam). “Nilai” berarti harga jual saham perusahaan yang tentunya dipengaruhi oleh citra perusahaan. CSR merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi citra perusahaan, sebagaimana konsumen, investor, dan bank dunia lebih tertarik dengan korporasi yang melakukan CSR. Disediakan bagan untuk memudahkan pola pemikiran di bawah ini.

3

Gambar 1. Alasan Perusahaan Perlu Melakukan CSR Kesadaran bahwa pengusaha harus menyesuaikan diri dengan masyarakat

Comdev dikenalkan di Inggris sebagai usaha untuk meningkatkan pendidikan masyarakat

Kesadaran bahwa korporasi memiliki dampak buruk bagi lingkungan

Korporasi memiliki total kapital yang besar sehingga harus turut membangun masyarakat

Tekanan global kepada perusahaan untuk melakukan CSR

Kesadaran masyarakat tentang CSR meningkat

Beberapa regulasi yang mengatur perusahaan untuk melakukan CSR

Masyarakat lebih memilih produk yang diproduksi oleh pabrik yang melakukan CSR

Investor lebih memilih berinvestasi di korporasi yang melakukan CSR

Perusahaan Melakukan CSR

Pola pikir owner terhadap CSR

Bank Dunia lebih memilih untuk meminjamkan modalnya kepada korporasi yang melakukan CSR

Faktor Eksternal

Faktor Internal

4

CSR dan Community Development CSR merupakan usaha untuk mengembangkan masyarakat agar mereka mampu berdaya secara mandiri dalam berbagai urusan (misalnya: mengembangkan diri sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri). Berbagai usaha CSR dilakukan agar cita-cita tersebu tercapai, yang umumnya melalui usaha: karikatif (charity), kedermawanan (philantrophy), dan pengembangan masyarakat secara berkelanjutan (community development). Konsep community development sudah mencakup konsep empowerment ‘pemberdayaan’ dan sustainable development ‘pembangunan berkelanjutan’ (Kusuma, 2015, 3), yang akan dibahas lebih lanjut di bawah. Usaha charity dan philantrophy dinilai kurang tepat apabila dihubungkan dengan cita-cita usaha CSR. Kedua usaha tersebut malah dapat merugikan kedua belah pihak: masyarakat akan semakin ketergantungan dengan perusahaan, sementara perusahaan akan kesusahan karena sifat “manja” dari masyarakat (Kusuma, 2015, 2-3). Setidaknya, ada tiga pandangan secara teoritis yang mampu menjelaskan argumen di atas, yaitu: 1. Pendekatan dari perspektif Bourdieu tentang kelas. Menurutnya, kelas bawah—sebagaimana merekalah yang menjadi target CSR pada umumnya— memiliki mental “fungsional” (Harker et al, 2009, 156; 182). Mereka tidak seperti kelas atas yang serba kecukupan dalam berbagai modal—budaya, ekonomi, sosial, dan simbolik—sehingga kelas tersebut secara suka-suka membentuk atau merubah budaya untuk kemudian memaksakan budaya tersebut sebagai budaya yang paling baik ke kelas lainnya melalui mekanisme yang disebut Bourdieu sebagai “kekerasan simbolik” (Harker et al, 110-111; 67; Murwani, tanpa tahun, 4; 5-6; Martono, 2012, 35; 39-40; Ritzer, 2012, 911; dan Haryatmoko, 2003, 20-22). Mereka tidak seperti kelas menengah yang berusaha untuk meniru budaya kelas atas, atau setidaknya, mereka berusaha untuk membedakan diri dengan kelas bawah (Harker et al, 2009, 154-155; 181-182; Martono, 2012, 35-36; dan Haryatmoko, 2003, 12-13). Menurut sosiolog asal Prancis ini, kelas bawah serba kekurangan dalam berbagai modal sehingga mereka lebih memilih cara hidup/cara konsumsi yang berguna bagi mereka. Contohnya: kelas atas akan memilih mobil yang bergengsi yang tentunya harganya memiliki angka nol berderet-deret; kelas menengah akan membeli mobil yang sesuai dengan kemampuannya, tetapi harus bermerk; sementara kelas bawah tidak memilih untuk membeli mobil, tetapi lebih memilih untuk membeli barang yang lebih berguna bagi kehidupannya, misalnya, petani akan lebih memilih untuk membeli pupuk dalam rangka meningkatkan hasil pertaniannya. Masyarakat kelas bawah, menurut teori ini, memang lebih menyukai bentuk CSR yang secara instan (charity dan philantrophy) karena mereka lebih menyukai hal yang fungsional/dampaknya cepat dan lebih terasa, daripada mereka harus mengikuti pelatihan, yang menurut mereka berlarut-larut, dalam CSR yang bersifat community development. Selain itu, ketergantungan mereka akan

5

menjadi lebih nyata ketika mereka telah mengetahui dampak dari bentuk CSR yang instan karena fungsinya yang berguna kepada mereka. 2. Pendekatan yang kedua menggunakan perspektif James C. Scott tentang masyarakat petani—sebagaimana mereka adalah mayoritas penduduk di sekitar perusahaan yang menggunakan SDA (sumber daya alam) sebagai bahan pokok produksinya—yang memiliki etika subsistensi. Menurutnya, etika tersebut merupakan kegiatan petani yang melakukan proses pertanian yang hasilnya tidak untuk dijual, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya. Mereka (masyarakat petani) sudah puas dengan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya (Pertiwi dan Nurhamlin, 2014, 2). Proses bertani yang mereka lakukan bukan berasal dari pembelajaran otodidak atau membaca apalagi browsing/googling, tetapi merupakan buah dari meniru apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Kebiasaan cara bertani itu, menurut mereka, adalah usaha bertani yang paling baik: mampu menghasilkan panen secara maksimal. Pemikiran tersebut menghasilkan budaya bertani di antara para petani. Oleh karena itu, segala bentuk inovasi yang merubah cara mereka bertani akan mereka tolak, sebab mereka takut akan mengurangi hasil dari pertanian mereka sehingga kebutuhan mereka sehari-hari akan berkurang, dan berakhir di kondisi kelaparan (Sugihardjo et al, 2012, 146; Rejeki, 2007, 152; Setiawan, 2006, 13; dan Mahmudah dan Harianto, 2014, 2). Kondisi demikianlah yang disebut Scott sebagai pola pikir “safety first”. Kiranya, merupakan hal yang jelas apabila kondisi tersebut diperparah dengan bentuk CSR yang instan. Ketergantungan mereka akan ekologi (pertanian) akan bergeser ke ketergantungan kepada perusahaan yang memberi charity dan philantrophy. Mereka tidak berkembang, malah sifat ketergantungan mereka yang berkembang. 3. Pendekatan melalui kacamata Robert Chambers (dalam Rachmanto, 2013, 3; dan Kaligis, 2012, 67) tentang deprivation trap ‘jebakan kemiskinan/kekurangan’ yang terbagi menjadi lima, yaitu: kemiskinan itu sendiri (kondisi tidak memiliki modal), kelemahan fisik, keterasingan (isolasi diri dari lingkungan luar), kerentanan, dan ketidakberdayaan. Menurutnya, inti dari kelima deprivation trap adalah kerentanan dan ketidakberdayaan (Rachmanto, 2013, 3-4; dan Kaligis, 2012, 67). Kerentanan merupakan kondisi saat masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan tatkala menghadapi kondisi darurat (Rachmanto, 2013, 3-4; dan Kaligis, 2012, 67), misalnya: mereka harus menjual harta-bendanya saat sakit. Sementara itu, ketidakberdayaan merupakan ketidakmampuan mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan karena absennya “modal” dalam diri mereka (Rachmanto, 2013, 4; dan Kaligis, 2012, 68), misalnya: mereka tidak memiliki posisi tawar (bargaining) dalam merundingkan upahnya karena takut dipecat, sedangkan mereka tidak memiliki kemampuan lain selain menjadi buruh tani.

6

Pola CSR yang instan mungkin mampu membantu mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan, tetapi, berdasarkan pandangan Chambers, hanya bersifat temporer. Contohnya: perusahaan memberi mereka bahan sembako yang cukup untuk dikonsumsi selama sebulan, tetapi, selepas itu, mereka kembali kelaparan. Pemberian CSR tersebut tidak mampu membantu mereka untuk memiliki kondisi berdaya sehingga mereka mampu membantu diri mereka sendiri untuk bangkit dari kondisi kemiskinan. Pemberian CSR dalam bentuk community development jelas berbeda dengan pemberian CSR yang bersifat instan. Community development atau yang dikenal dengan singkatan comdev merupakan usaha untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara berkelanjutan (sustainable development). Menurut Subejo dan Supriyanto (2004, dalam Supriyanto dan Subejo, 2004, 2) yang merangkum pendapat Cook, Giarci, dan Bartle 2, memberdayakan merupakan: usaha untuk membangun kemampuan masyarakat agar dapat: merencanakan, memutuskan, dan mengambil tindakan; untuk mengelola dan mengembangkan potensi/sumber daya lokal (misalnya, lingkungan fisik dan budaya) yang mereka miliki melalui usaha bersama (collective action) dan pemanfaatan jaringan (networking) secara mandiri dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Sementara itu, berkelanjutan merupakan usaha terusmenerus/jangka panjang untuk tetap berkomitmen dalam membangun kapasitas masyarakat karena hadirnya kesadaran bahwa memberdayakan masyarakat bukanlah usaha yang dapat dilakukan secara cepat. Terlihat perbedaan yang jelas antara pola CSR yang instan dan pola CSR yang bersifat memberdayakan masyarakat. CSR yang instan hanya memberi, tanpa memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara menggunakan barang yang telah diberikannya. Sementara itu, community development merupakan usaha memberi pengetahuan kepada masyarakat terkait bagaimana mereka menggunakan kemampuan yang sedang dikembangkan oleh proses CSR untuk mengolah/menggunakan potensi yang ada (baik sudah ada maupun diberi, dan yang berada di dalam diri sendiri—karena community development berusaha untuk mengembangkan diri masyarakat) sehingga mereka mampu menggunakan potensi tersebut secara maksimal. Community development bukanlah proses yang selesai dalam tempo 24 jam. Ada tiga strategi dalam memberdayakan masyarakat (Kusuma, 2015, 12-13), yaitu: 1. Strategi kebijakan dan perencanaan: merupakan usaha untuk mengembangkan/mengubah struktur dan lembaga dalam rangka meratakan Ketiga tokoh tersebut menjelaskan pemberdayaan menurut pendapat mereka masing-masing. Supriyanto dan Subejo (2004) melihat adanya persinggungan di antara pendapat mereka, sehingga mereka mampu merangkumnya secara baik. Baca artikel Supriyanto dan Subejo (2004. Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia-Pusat Penyuluhan Pertanian Deptan RI, 19 (XI) di: http://rohmatdiono.files.wordpress.com/2009/08/harmonisasi-pemberdayaan-masyarakat-denganpembangunan-berkelanjutan.pdf) untuk melihat penjelasan ketiga tokoh tersebut dan kemampuan Supriyanto dan Subejo dalam merangkumnya.

2

7

akses kepada sumber daya sehingga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Penekanan pada strategi ini ialah usaha untuk menyamaratakan kesempatan masyarakat. Contohnya: memberikan sumber daya yang cukup dan aman kepada masyarakat dan mengembangkan layanan yang mudak diakses masyarakat. 2. Startegi aksi sosial dan politik: merupakan usaha untuk memberikan masyakat kemampuan dalam memperjuangkan dan merubah politik dalam rangka meningkatkan kekuasaan yang efektif. Diksi “politik” di sini bukan berarti mengajak masyarakat untuk turut serta menjadi simpatisan, apalagi partisan, partai politik, melainkan usaha untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Intinya, strategi ini menekankan pentingnya usaha bersama dalam mencapai kepentingan masyarakat. 3. Strategi pendidikan dan penyadar-tahunan: merupakan usaha untuk memberikan masyarakat pengetahuan melalui proses edukasi agar masyarakat memiliki pengetahuan sehingga mereka mampu meningkatkan keberdayaan mereka. Strategi ini berusaha untuk meningkatkan kesadaran mereka melalui pemberian: gagasan, pemahaman tentang masyarakat, struktur operasi (cara melaksanakan beberapa hal yang berkaitan dengan pemberdayaan, misalnya: perencanaan program), dan keterampilan; agar mampu berproses menuju perubahan. Perusahaan sebagai pelaksana CSR tidak berhenti tatkala selesai melaksanakan ketiga strategi di atas. Berikut, dipaparkan bagaimana proses CSR yang berdimensi community development. Tahapan Umum CSR Zafrullah (2009, 73, dalam Kusuma, 2015, 3) menyatakan bahwa, secara umum, program CSR yang baik dilaksanakan melalui siklus PDCA (plan, do, check, and action). Berikut, digambarkan siklus PDCA. Gambar 2. Siklus PDCA Plan Menyesuaikan visi-misi perusahaan, social mapping, dan menyesuaikan dengan RPJM-Desa

Do Pelaksanaan program CSR

Action

Melakukan pengecekan terhadap program CSR yang sedang berjalan

Memutuskan tindakan yang perlu dilakukan

Check

8

Tahap plan melibatkan proses social mapping ‘pemetaan sosial’ dan penyesuaian dengan RPJM-Desa, selain, tentunya, menyesuaikan dengan visi-misi yang dimiliki oleh perusahaan. Hal tersebut berdasarkan tiga argumen, yaitu: 1. Pemetaan sosial merupakan usaha untuk mengenali potensi serta permasalahan yang ada di masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar pembangunan yang dilakukan melalui program CSR yang berdimensi community development di lokasi CSR dilaksanakan tidak berdimensi top-down, melainkan bottom-up. Selain itu, pembagunan yang akan dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. Pembangunan dengan dimensi top-down terbukti melibatkan dominasi pihak top, dalam hal ini perusahaan, dalam proses pembangunan, sehingga besar kemungkinan perusahaan tidak memperhatikan potensi serta permasalahan yang ada di desa. Dengan demikian, pembangunan oleh perusahaan terhadap lokasi CSR tidak akan menemukan titik temu sehingga usaha pemberdayaan oleh perusahaan akan bersifat tidak “pas”. Selain itu, usaha top-down terbukti kurang efektif dalam membangun masyarakat, misalnya, efek Marshall Plan sebagai usaha pembangunan yang malah berdampak buruk bagi Amerika Selatan sehingga banyak penulis yang mengkritisi pola pembangunan tersebut. 2. Pemetaan sosial merupakan usaha untuk menggambarkan kondisi sosialbudaya—tentunya, selain pemetaan potensi serta permasalahan—di lokasi CSR. Hal tersebut akan memudahkan perusahaan untuk “masuk” ke dalam lingkungan tersebut. 3. Usaha untuk menyesuaikan dengan RPJM-Desa merupakan proses untuk menyesuaikan program CSR dengan tujuan dari desa, sebagaimana mayoritas lokasi tempat CSR dilaksanakan adalah di desa. Penyesuaian tujuan perusahaan dengan tujuan dari desa adalah proses penyesuaian tujuan pembagunan agar tidak terjadi tumpang-tindih pembangunan, atau dalam dimensi terparah, pembangunan yang bersifat tambal-sulam. Proses do merupakan realisasi dari penyusunan rencana pada tahap sebelumnya. Tahap ini tidak hanya melibatkan perusahaan, tetapi juga masyarakat, sebagaimana tujuan dari CSR yang bertipe community development adalah memandirikan masyarakat. Di sisi lain, melibatkan masyarakat merupakan aplikasi nyata dari proses pembangunan bertipa bottom-up sebagaimana merupakan usaha untuk menyesuaikan perubahan dengan harapan dari masyarakat lokal. Tahap check merupakaan saat perusahaan melakukan kontrol terhadap program yang sedang berjalan, yang tentunya bersandingan dengan proses kontrol yang dilakukan oleh masyarakat lokal—dijelaskan secara rinci di sub-pembahasan selanjutnya. Tolak ukur yang menjadi penentu kriteria apakah program tersebut berjalan dengan baik atau tidak adalah tolak ukur yang telah dibuat bersama antara perusahaan dan masyarakat pada saat proses plan. Tahap check merupakan hal yang perlu dilakukan agar pembangunan tetap mengarah pada tujuan awal.

9

Tahap terakhir dalam siklus PDCA adalah action, yaitu tahap memutuskan apa yang akan dilakukan berdasarkan pertimbangan pada tahap check. Contohnya: perusahaan memutuskan untuk kembali mengintervensi masyarakat dalam bentuk pelatihan program karena perusahaan dan masyarakat merasa bahwa masyarakat kurang mampu menjalankan program yang telah diinisiasi sebelumnya. Hal yang perlu dicatat adalah, setiap proses siklus harus melibatkan masyarakat yang merupakan sasaran pembangunan melalui CSR. Berikut, diuraikan alasan mengapa masyarakat harus dirangkul dalam proses CSR. Catatan: Perlunya Mengikutsertakan Masyarakat dalam Proses CSR Keterlibatan masyarakat dalam proses CSR dapat dibedakan menjadi dua tahap, sebagaimana James Baines (2003, 26) membedakannya menjadi ex-ante (proses desain/perencanaan) dan ex-post (proses implementasi dan evaluasi). Secara umum, melibatkan masyarakat merupakan usaha untuk menciptakan penerimaan masyarakat atas pihak yang melakukan intervensi/pembangunan. James Baines (2013, 28) menyatakan: “Community consultation... is often a vital factor in establishing or building community acceptance around a project, programme or policy.” 3 Komunikasi yang terus dibangun saat masyarakat terlibat dalam perencanaan program akan menyebabkan mereka memiliki kedekatan dengan pihak yang mengintervensi secara tidak langsung. Keterlibatan Masyarakat dalam Tahap Ex-Ante Program CSR yang baik adalah program CSR yang memiliki kesesuaian dengan: harapan, potensi, dan permasalahan; yang ada di masyarakat tempat program CSR akan dilaksanakan. Hal tersebut bertujuan agar program CSR mampu membangun masyarakat secara efektif karena “pas” dengan yang “dibutuhkan” oleh masyarakat. Frank Vanclay (2003, 1) menyatakan: “... ensure that the developments (or planned interventions) that do occur maximize the benefits and minimize the costs... By promoting participatory process, better consideration can be given to what appropriate development for a community may be.” 4

3 (Berkonsultasi dengan komunitas [masyarakat lokal]... seringkali menjadi faktor yang vital dalam memperkuat atau membangun penerimaan komunitas atas proyek, program atau kebijakan). 4 (... memastikan bahwa pembangunan [atau intervensi yang telah direncanakan] yang dilakukan mampu memaksimalkan keuntungan [secara sosial] dan meminimalisir dampaknya... Dengan mempromosikan [menggunakan] proses partisipatori [keterlibatan masyarakat lokal], dapat memberikan pertimbangan yang lebih baik tentang kemungkinan bentuk pembangunan bagi komunitas [masyarakat lokal])

10

Melibatkan masyarakat merupakan usaha untuk menyesuaikan program CSR dengan masyarakat sehingga program CSR yang dijalankan mampu memaksimalkan dampak positif dan meminimalisir dampak negatif. Hal yang perlu digarisbawahi adalah adanya hubungan antara program yang sesuai dengan masyarakat dan maksimalisasi dampak positif. Oleh karena itu, program yang memiliki kesesuaian dengan masyarakat akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Contohnya, secara ektrim agar memudahkan pemahaman: desa yang memiliki potensi membatik tidak cocok apabila dipaksakan untuk membangun kemampuannya dalam bidang mesin. Hal tersebut malah akan membuang tenaga dan uang pihak yang mengintervensi, sedangkan masyarakat tidak akan mampu berdaya, karena mereka tidak memiliki basis pengetahuan tentang mesin sehingga harus menyusun ulang pengetahuannya yang memakan waktu cukup—atau bahkan—lama. Keikutsertaan masyarakat dalam menyusun program juga diperlukan dalam rangka mengurangi dampak negatif, sebagaimana James Baines menyatakan: “... they will know much about the existing patterns of activities and interests in their communitiy an be in a position to think about potensial impacts on these patterns...” 5 (Baines, 2003, 27) “Community consultation at the design stage has often identified a range of mitigation initiatives that limit the extent of negative impacts and enchance the likelihood of positive impact in a proactive way.”6 (Baines, 2003, 28) “... members of the host community are well placed to participate in a predictive assessment of effects... Their proximity to the prospective activity, combined with their knowledge of existing physical, culturral and social conditions in the locality, enables them to assess both potential impacts and possible effective mitigation measures”7 (Baines, 2003, 38) Baines lebih tertarik melihat bahwa keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan program mampu mengurangi dampak negatif dari program yang akan dijalankan. Faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah karena masyarakat memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada orang luar (pihak yang akan melakukan

(... mereka [masyarakat lokal] akan sangat mengetahui tentang pola eksiting tentang aktivitas dan minat di dalam komunitasnya dan berada dalam posisi untuk memikirkan dampak potensial dalam pola tersebut). 6 (Berkonsultasi dengan komunitas saat tahap desain seringkali mengidentifikasi inisiatif pengurangan [dampak] yang membatasi perluasan dampak negatif dan meningkatkan kemungkinan dampak positif secara proaktif). 7 (... anggota komunitas lokal sangat cocok untuk berpartisipasi dalam memprediksikan dampak... kedekatan mereka dengan aktivitas yang akan dijalankan, digabungkan dengan pengetahuan mereka tentang kondisi eksisting terkait lingkungan fisik, kultural dan kondisi sosial dalam anggota komunitas lokal, menyebabkan mereka mampu untuk menilai baik dampak potensial dan kemungkinan pengurangan dampak secara efektif). 5

11

intervensi) sehingga mampu memberikan proyeksi yang lebih baik tentang dampak negatif yang mungkin akan timbul dari proses pembangunan. Michael Richards (2013, 9) memberikan pandangan yang sangat baik terkait pentingnya masyarakat terlibat dalam proses pembangunan/CSR sehingga CSR mampu direalisasikan, sebagaimana ia menyatakan: “... kebutuhan untuk menyertakan pemangku kepentingan lokal dalam suatu rancangan proyek atau program. Alasannya sebagian karena mereka adalah orang-orang terbaik untuk menilai bagaimana strategi yang diusulkan akan bisa dijalankan dalam kenyataannya—dan ini tidak mengejutkan karena mereka adalah kenyataannya para pengambil keputusan dan pengelola penggunaan lahan di daerah tersebut.” Uraian di atas menyatakan bahwa penduduk lokal merupakan pihak yang paling mengetahui tentang lingkungannya, maka perlu untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan/penyusunan program. Selain itu, merekalah yang paling mampu menilai bagaimana program yang telah direncanakan mampu diimplementasikan secara riil. Terkadang, pihak luar yang memberi bantuan kepada masyarakat lokal memberikan instruksi pelaksanaan program yang tidak realistis: tidak mampu dilaksanakan di masyarakat. Keterlibatan Masyarakat dalam Tahap Ex-Post Arnstein (1969, 216-217; juga dalam: Prasastia, 2008, 21; Tanod et al, 2014, 265; dan Suroso et al, 2014, 8-9) menjelaskan delapan tingkat partisipasi masyarakat, berikut gambarnya: Gambar 3. Delapan Tingkatan Partisipasi

Partisipasi

Hadiah

Non-partisipasi

12

Arnstein membagi delapan tingkatan partisi menjadi tiga tingkat partisipasi secara umum, yaitu: non-partisipasi, hadiah, dan partisipasi. Non-partisipasi merupakan kondisi saat masyarakat sama sekali tidak terlibat dalam pemberdayaan karena tidak adanya pemberdayaan dari perusahaan. Hal yang diberikan oleh perusahaan hanyalah manipulasi agar masyarakat tidak “memberontak”. Tingkat selanjutnya ialah hadiah, yaitu pemberian CSR oleh perusahaan kepada masyarakat, tetapi hanya berbentuk instan, sehingga hanya memberikan ketentraman yang tentunya bersifat temporer. Tingkatan paling atas menurut Arnstein, yaitu partisipasi. Tingkat tersebut hanya dapat dipraktikkan pada CSR yang bersifat community development yang sangat membutuhkan partisipasi dari masyarakat, salah satunya ialah kerjasama. Keterlibatan masyarakat dalam memberikan kontrol sosial terhadap program CSR yang berjalan merupakan hal yang sangat dibutuhkan agar masyarakat mampu mengendalikan perubahan yang terjadi sehingga mampu mengurangi dampak negatif dari proses tersebut secara aktif dan efektif. Alasan keterlibatan masyarakat dalam poin plan, check dan action sudah dapat dijelaskan melalui paragraf sebelumnya, yang menyebabkan program yang akan dilaksanakan akan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan mampu dilaksanakan secara riil di masyarakat. Sementara itu, alasan melibatkan masyarakat dalam tahap do ialah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melatihnya dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka. Selanjutnya, mereka akan merasa memiliki kemampuan untuk melaksanakan program sehingga tingkat kepercayaan diri mereka meningkat. Ketidakpercayaan diri yang ada di dalam masyarakat terlihat dari uraian Freire berikut: Sebelumnya, ia menuruti saja majikannya dan berkata: “apa yang dapat saya lakukan? Saya hanya seorang petani. (Freire, 1985, 37) Mereka menyebut diri mereka orang bodoh dan berkata “professor” kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kepada siapa mereka harus mendengarkan... “Mengapa Anda tidak menerangkan terlebih dahulu gambar itu?”, kata seorang petani yang turut dalam sebuah kelompok belajar, “dengan cara itu akan menghemat waktu dan tidak membuat kami pusing.” (Freire, 1985, 39) Mengembangkan kepercayaan diri di dalam masyarakat merupakan hal yang penting karena mereka akan merasa bahwa mereka mampu melaksanakan hal yang dapat mengatasi permasalahannya. Dengan demikian, masyarakat akan mampu mengurangi ketergantungannya dengan pihak yang ada di sekitarnya, termasuk perusahaan, secara perlahan. Kembali, James Baines (2003, 27) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam tahap implementasi berguna untuk evaluasi pembangunan, sebagaimana ia menyatakan:

13

“By contrast, in ex-post... local knowledge is essential both to desribing the practical experience of locals of an existing activity, and its effects on them, and to understanding how and why patterns of impacts arise in the local community.” 8 Evaluasi tersebut berguna untuk menyusun ulang/membenahi proses pembangunan yang sedang dijalankan. Dengan demikian, dampak negatif dari pembangunan dapat diminimalisir, sedangkan dampak positifnya mampu ditingkatkan.

(Secara kontras, dalam tahap implementasi dan evaluasi... pengetahuan lokal adalah penting baik untuk mendeskripsikan pengalaman praktik masyarakat dalam aktivitas eksisting, dan efeknya kepada mereka, dan untuk memahami bagaimana dan mengapa pola dampak muncul di dalam komunitas lokal).

8

14

Daftar Pustaka Addakhil, Abdul Kodir. (2011) Menyingkap Selubung Ideologi Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia (Analisa Teori Kritis terhadap Keberpihakan CSR di Indonesia). Skripsi. Universitas Airlangga. Agus, Setiadi A. (2009) CSR untuk Masa Depan Bangsa dan Dunia. [online] Diakses dari: http://www.ykai.net/index.php?catid=89%3Aartikel&id=103%3Acsruntuk-masa-depan-bangsa-dan-dunia&format=pdf&option=com_content&Itemid=121 [diakses pada 11 Februari 2015]. Arnstein, Sherry R. (1969) A Ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 (4) 216-224. [online] Diakses dari: https://www.planning.org/pas/memo/2007/mar/pdf/JAPA35No4.pdf [diakses pada 11 Februari 2015]. Baines, James., McClintock, Wayne., Taylor, Nick., dan Buckenham, Brigid. (2003) Using Local Knowledge. Dalam: Henk A. Becker dan Frank Vanclay (ed.) The International Handbook of Social Impact Assessment: Conceptual and Methodological Assessment. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 26-41. Daniri, Mas Achmad. (2008a) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian I). [online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=163 [diakses pada 11 Februari 2015]. Daniri, Mas Achmad. (2008b) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian II). [online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=178 [diakses pada 11 Februari 2015]. Daniri, Mas Achmad. (2008c) Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bagian III). [online] Diakses dari: http://madani-ri.com/web/?p=179 [diakses pada 11 Februari 2015]. Demaine, Jack. (2001) Sociology of Education Today. New York: Palgrave. [online] Diakses dari: http://bookfi.org/dl/1193068/a983aa [diakses pada 8 Agustus 2014]. Ferdiansyah. (2010) Corporate Social Responsibility, antara Tanggung Jawab Moral Perusahaan dan Tujuan Bisnis. Jurnal Sains Manajemen dan Akuntansi STIE STAN-IM, 2 (1) 1-13. [online] Diakses dari: http://jsma.stanim.ac.id/pdf/vol2/1/1_Corporate%20Social%20Responsibility,%20Antar a%20Tanggung%20Jawab%20Moral%20perusahaan%20dan%20Tujuan% 20Bisnis%20-%20Ferdiansyah.pdf [diakses pada 11 Februari 2015]. Freire, Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.

Harker, Richard., Mahar, Cheelan., dan Wilkes., Chris. (2009) (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Pipit Maizier. Edisi ke-2. Yogyakarta: Jalasutra. Haryatmoko. (2003) Landasan Teoritis Gerakan Sosial menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis. Kaligis, Retor A. W. (2012) Analisis Dampak Sosial (Andasos) untuk Ukuran Kinerja Pemerintahan. Insani, 12 (1) 67-74. [online] Diakses dari: http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2430JURNAL%20INSANI%20STISIP%20Widuri%20Juni%202012-Retor.pdf [diakses pada 9 Februari 2015]. Kusuma, Jaya Iskandar Arga. (2015) Problematika Masyarakat Paska Program Corporate Social Responsibility (Studi Paska Pelaksanaan Program CSR oleh PT. Pembangkitan Jawa Bali pada Tahun 2010-2012 di Kelurahan Jambangan dan Kelurahan Gayungan, Surabaya). Skripsi. Universitas Airlangga. Kusumadilaga, Rimba. (2010) Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi. Universitas Diponegoro. [online] Diakses dari: http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/viewFile/71/59 [diakses pada 5 Februari 2015]. Lukito, Caroline. (2011) Persepsi Masyarakat tentang Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (Studi Deskriptif mengenai Program “Desa Kita” pada Masyarakat Desa Manding, Bantul, Yogyakarta). Skripsi. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. [online] Diakses dari: http://e-journal.uajy.ac.id/1895/ [diakses pada 11 Februari 2015]. Mahmudah, Erni., dan Harianto, Sugeng. (2014) Bargaining Position Petani dalam Menghadapi Tengkulak. Paradigma, 2 (1), 1-5. [online] Diakses dari: http://id.scribd.com/doc/202731440/BARGAINING-POSITIONPETANI-DALAM-MENGHADAPI-TENGKULAK#scribd [Diakses pada 4 Februari 2015]. Martono, Nanang. (2012) Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosisologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Murwani, Endah. (Tanpa Tahun) Distingsi sebagai Strategi Kekuasaan Simbolik (Studi tentang Relasi Produksi dan Konsumsi Brand Lifestyle. Nash, Roy. (2010) Explaining Inequalities in School Achievement: a Realist Analysis. Ashgate Publishing Limited: Surrey. [online] Diakses dari: http://bookfi.org/dl/1037446/bba763 [diakses pada 3 Agustus 2014].

Prasastia, Nucki. (2008) Bentuk Peran Serta Komunitas Adat Orang Rimba dalam Penataan Kembali Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Skripsi. Institut Teknologi Bandung. [online] Diakses dari: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbppgdl-nuckiprasa-30501&q=orang%20rimba [diakses pada 11 Februari 2015]. Pertiwi, Kartini Putri., dan Nurhamlin. (2014) Strategi Bertahan Hidup Petani Penyadap Karet di Desa Pulau Birandang Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1 (2), 1-15. [online] Diakses dari: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/2450/2385 [Diakses pada 4 Februari 2015]. Rachmanto, Sofiyan. (2013) Eksploitasi Buruh Pengangkut Belerang di Gunung Welirang (Studi Deskriptif tentang Relasi antara Pengepul Belerang Koperasi Rksa dan Buruh Pengangkut Belerang di Gunung Welirang). Jurnal Komunitas Universitas Airlangga, 3 (3), 1-11. [online] Diakses dari: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/kmntsefe03b7fbeabs.pdf [diakses pada 11 Februari 2015]. Rejeki, Ninik Sri. (2007) Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2), 145-166. [online] Diakses dari: http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/viewFile/224/313 [Diakses pada 4 Februari 2015]. Richards, Michael. (2012) Penilaian Dampak Sosial secara Partisipatif untuk Proyek dan Program Sumberdaya Alam. Washington: Forest Trends Association. [online] Diakses dari: http://www.foresttrends.org/documents/files/doc_3910.pdf [diakses pada 14 Februari 2015]. Ritzer, George. (2012) Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adinugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setiawan, Nugraha. (2006) Keberdayaan Peternak di Pedesaan dalam Perspektif Sosiologi Politik. [online] Bandung: Universitas Padjadjaran. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/03/keberdayaan_peternak_di-pedesaan.pdf [Diakses pada 4 Februaru 2015]. Sugihardjo., Lestari, Eny., dan Wibowo, Agung. (2012) Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi Petani Samin terhadap Dunia Luar (Petani Samin di Kaki Pegunungan Kendeng di Sukolilo Kabupaten Pati). SEPA, 8 (2) 145-153. [online] Diakses dari: http://agribisnis.fp.uns.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/11-Sugihardjo-Eny-Lestari-AgungWibowo_Strategi-Bertahan-Dan-Strategi-Adaptasi-Petani-SaminTerhadap-Dunia-Luarpetani-1.pdf [Diakses pada 4 Februari 2015].

Supriyanto. dan Subejo. (2004) Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia-Pusat Penyuluhan Pertanian Deptan RI, 19 (XI). [online] Diakses dari: http://rohmatdiono.files.wordpress.com/2009/08/harmonisasipemberdayaan-masyarakat-dengan-pembangunan-berkelanjutan.pdf [Diakses pada 10 Februari 2015]. Suroso, Hadi., Hakim, Abdul., dan Noor, Irwan. (2014) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Desa Banjaran Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik. Wacana, 17 (1) 7-15. [online] Diakses dari: http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/viewFile/290/249 [diakses pada 11 Februari 2015]. Tanod, Stefanus T., Rengkung, M. M., dan Tondobala, Linda. (2014) Partisipasi Masyarakat Kecamatan Madidir terhadap Program Pengelolaan Sampah Kota Bitung. Sabua, 6 (3) 263-272. [online] Diakses dari: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/SABUA/article/viewFile/6051/55 69 [diakses pada 11 Februari 2015]. Vanclay, Frank. (2003) Conceptual and Methodological Advances in Social Impact Assessment. Dalam: Henk A. Becker dan Frank Vanclay (ed.) The International Handbook of Social Impact Assessment: Conceptual and Methodological Assessment. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 1-11. Whitty, Geoff. (1985) Sociology and School Knowledge: Curriculum Theory, Research and Politics. London: Methuen. [online] Diakses dari: http://bookfi.org/dl/1056536/afb656 [diakses pada 3 Agustus 2014]. Yuniarti, Eti. (2007) Analisis Pengungkapan Informasi Tanggung Jawab Sosial pada Sektor Perbankan di Indonesia. Tesis. Universitas Diponegoro. [online] Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/8042/1/Eti_Yuniarti.pdf [diakses pada 11 Februari 2015].

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.