SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

May 31, 2017 | Autor: Alifah Izzah | Categoria: Systemic Lupus Erythematosus
Share Embed


Descrição do Produto




SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)



MAKALAH
Memenuhi tugas mata kuliah
Patologi
Yang dibimbing oleh Ibu Rizki Mustika Reswari SST, MPH



Oleh:
Alifah Fajriyyatul Izzah (1501470018)







PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN LAWANG
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MALANG
April 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul "SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)" ini dapat terselesaikan. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada:
Ibu Rizki Mustika Reswari SST, MPH selaku dosen mata kuliah Patologi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah pembahasan ini.
Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Teman-teman sekelas yang telah menyumbangkan banyak ide terhadap laporan penelitian ini.
Dan pihak-pihak lain yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan ataupun penulisannya. Mungkin dalam laporan penelitian ini terdapat banyak kata yang kurang tepat, untuk itu penulis mohon maaf. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga laporan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.




Lawang, 9 April 2016
Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
Latar Belakang........................................................................................ 1
Rumusan Masalah.................................................................................... 1
Tujuan Pembahasan................................................................................. 1
Manfaat Pembahasan............................................................................... 2
Bagi Mahasiswa......................................................................................... 2
Bagi Dosen................................................................................................ 2
Bagi Masyarakat........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
Definisi............................................................................................................... 3
Etiologi............................................................................................................... 3
Manifestasi Klinis............................................................................................... 6
Pemeriksaan Diagnosis....................................................................................... 10
Patofisiologis....................................................................................................... 11
Diagnosis Keperawatan...................................................................................... 12
BAB III PENUTUP................................................................................................. 14





Kesimpulan........................................................................................................ 14
Saran.................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15









BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lupus memiliki nama ilmiah yaitu systematic lupus erimatosus. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif. Penyakit ini mempunyai ciri khas yaitu adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada pembuluh darah. Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16 - 36tahun. Sel pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari masuknya kuman atau gangguan ekstrasel lainnya justru menyerang tubuh pemiliknya. Penyakit ini menjadi salah satu jenis penyakit yang mematikan pada jenis SLE.

Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.2.2. Apa saja hal-hal yang menyebabkan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.2.3. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.2.4. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.2.5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.2.6. Apa saja diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?

Tujuan Pembahasan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.3.2. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.3.3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.3.4. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.3.5. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.3.6. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

Manfaat Pembahasan
Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui segala hal tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Mahasiswa dapat menyebarkan pengetahuan tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mengidentifikasi penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Bagi Dosen
Dosen menjadi lebih terarah dalam memberikan kuliah tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Dosen dapat membuat kuliah menjadi lebih menarik dan mengena kepada mahasiswa dengan membuat bahan mengajar secara kreatif dan inovatif.
Bagi Masyarakat
Masyarakat mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Masyarakat mengetahui bagaimana cara mengetahui penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).



BAB II
PEMBAHASAN

Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Etiologi
Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Manifestasi Klinis
Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid
Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.17
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman- Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.
Patofisiologi
Bagan Perjalanan Penyakit
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:
Sel T dan B menjadi autoreaktif
Pembentukan sitokin yang berlebihan
Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh
Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Diagnosa Keperawatan
Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi. Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash
erythema yang fixed, datar/meninggi. Letaknya pada malar, biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial.
2.Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic. Kadang tampak scar yang atofi.
3.Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri, bengkak, atau efusi.
6.Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural, pleural friction rub, efusipleura. Pada pericarditis tampak pada ECG, gesekan pericard, efusi pericard.
7.Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+, atau cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
8.Kelainan neorologis
psikosis, kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis
anemia hemolitic
leukopenia(
Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.