Tw(i)nside: Teja Astawa &Dewa Putu Mokoh

July 22, 2017 | Autor: Seriyoga Parta | Categoria: Contemporary Art, Bali (Anthropology), Seni Rupa
Share Embed


Descrição do Produto

KETUT TEJA ASTAWA AND DEWA PUTU MOKOH March 29th 2013 - April 29th 2013 at Kendra Gallery

Table of Contents

Pengantar Galeri

Disela-sela hari raya agama Hindu di Bali, kehidupan dalam kreativitas berkesenian tidak pernah surut. Berbagai bentuk kreativitas berkesenian hadir dalam upacara keagamaan itu sendiri. Sebagai bagian dari medan seni rupa Bali, kami juga tidak pernah lelah menghadirkan perhelatan seni rupa yang berkualitas untuk khalayak luas. Dalam pameran kali ini dengan bangga kami hadirkan satu genre seni lukis Bali yang telah memberi warna lain pada perkembangan seni rupa kontemporer. Dengan mengetengahkan dua pelukis yang berbeda generasi, yaitu I Dewa Putu Mokoh (almarhum) kelahiran 1943 dan I Ketut Teja Astawa kelahiran 1971. Kedua pelukis ini sama-sama mengeksplorasi gaya visual dari bahasa rupa tradisional Bali. Mereka mengembangkan karakter visual individu yang khas digali dari bahasa rupa tradisional dan disesuaikan dengan spirit zaman. Kondisi kekinian yang dialami dan dirasakan kemudian berpengaruh pada penyikapan mereka terhadap berbagai fenomena.

Table of Contents 02 Pengantar Galeri & Galleries Foreword

03

Kuratorial 04 Curatorial 12 KETUT TEJA ASTAWA Artwork and Biography

20

DEWA PUTU MOKOH Artwork and Biography

32

Colophon and Special Thanks 40

Dalam pemahaman kami, seni rupa kontemporer adalah ruang yang sangat terbuka dengan berbagai kecenderungan, baik yang baru ataupun yang lama dengan nilai baru. Tidak ada diskriminasi untuk kecenderungan tertentu, karena karya seni memiliki nilai estetis yang tidak akan lekang oleh waktu. Nilai itu tidak semata-semata bersifat nyata (visual), namun juga bersifat intrinsik yang terkandung di dalam karya. Dengan menikmati karya seni, kita tidak saja melihat dengan mata, tapi juga merasakannya, mencerap hingga relung-relung perasaan yang terdalam dan mengendap dalam memori-memori bawah sadar. Itulah rasa dalam seni. Melalui pameran tw(in)side ini kami menawarkan pencerapan tersebut kepada khalayak luas, memberikan ruang pada rasa untuk mengapresiasinya. Terakhir kami mengucapkan terimakasih kepada para seniman yang terlibat dalam pameran ini, dan juga terimakasih untuk Wayan Seriyoga Parta sebagai kurator atas kerjasama yang baik sedari awal persiapan hingga terselenggaranya acara ini.

Galleries Foreword

On the sidelines of the Hindu religious holidays in Bali, the artistic life never ebbs, such is the case with the various forms of creativity present within the religious ceremonies. As part of the realm of Balinese art, we also never tire in bringing quality art events to a wider audience. In this exhibition we are proud to present a genre of Balinese painting that has added great color to the development of contemporary art, by featuring two painters from different generations, I Dewa Putu Mokoh (deceased) born in 1943 and I Ketut Teja Astawa, born in 1971. Both of these artists together reveal an exploration of a visual style of Balinese traditional painting. They each have developed a distinctive visual character extracted from the traditional fine art language and have adapted it to the spirit of the times. Contemporary conditions are experienced and then perceived via different attitudes towards the various phenomena. In our understanding of contemporary art it is very open with different tendencies, both with new or old values Not discriminating for certain tendencies, because art has an aesthetic value that is timeless. Values ​​are not solely real (visual), but are alsointrinsically contained within the works. By enjoying the artwork, we do not just look with your eyes, but also feel and perceive within the deepest niches of our feelings and unconscious memories. And this is never lost over time. Through the exhibition Tw (in) side, we offer these perceptions to a wide audience, and provide space to appreciate. Lastly we would like to thank the artists involved in the exhibition, and also thanks to Wayan Seriyoga Parta as a curator for his cooperation and fine preparation in the implementation of this event. Thank you.

Terima Kasih.

Kendra Gallery & Tonyraka Art Gallery 6 | tw(in)side

Kendra Gallery & Tonyraka Art Gallery tw(in)side | 7

Kuratorial

“animal instinct”: Bahasa Ungkap Khas Teja Astawa

The Exhibition of Ketut Teja Astawa and Dewa Putu Mokoh oleh : W. Seriyoga Parta*

Pameran ini menampilkan dua pelukis Bali yang mewakili generasi berbeda dan memiliki kesamaan dalam bereksplorasi, mereka sama-sama mengembangkan kekaryaan berdasarkan dari seni lukis tradisional Bali. Teja pelukis muda asal Sanur sejak tahun 1990an telah mengembangkan eksplorasi karyanya berdasarkan pada karakter wayang Bali, yang diolah sedemikian rupa hingga menjadi berciri khas seorang Teja. Dewa Putu mokoh yang telah almarhum sejak kecil belajar melukis gaya seni lukis pengosekan, kemudian mampu melepaskan diri dan mengembangkan gaya dan karakter seni lukisnya tersendiri yang begitu khas. Meskipun tidak terikat dalam sebuah kedekatan hubungan personal, kesamaan eksplorasi kreatif antara mereka berdua (yang mewakili dua generasi) dapat dimaknai sebagai satu langgam yang berbeda bagi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Kehadiran mereka telah menandai benang merah langgam seni lukis Bali pada perkembangan seni rupa kontemporer. Yaitu perkembangan seni lukis kotemporer yang mengetengahkan eksplorasi estetik yang tetap menampilkan benang merah dari seni lukis Bali terdahulu. Dengan kata lain kehadiran karya-karya mereka menandai perkembangan seni lukis kontemporer Bali yang memiliki identitas.

8 | tw(in)side

Animal mewakili tema yang diangkat Teja dalam pamerannya bersama Dewa Putu Mokoh, yang mengangkat cerita tentang binatang, sementara instinct; merujuk pada perilaku binatang yang lebih bersifat instingtif. Insting adalah sifat naluriah makhluk hidup. Sifat ini juga merupakan sifat mendasar dalam diri manusia yang bersumber dari hasrat, dan hasrat merupakan dorongan alam bawah sadar karena itu bersifat spontan. Istilah ini dipakai untuk mewadahi eksplorasi Teja Astawa yang penuh dengan spontanitas dalam memainkan struktur, baik struktur rupa wayang maupun struktur narasi. Lebih jauh dari hanya bermain-main Teja telah melakukan restrukturasi bentuk yang diambil dari wayang dan struktur narasinya. Spontanitas ini melandasi kehadiran obyek-obyek yang nyeleneh, ganjil, dan sekaligus menghadirkan keunikan dalam karyanya. Kinerja kreatif Teja dalam berkarya sangat menarik untuk diperhatikan, karena ide dalam karya-karyanya tidak sepenuhnya direncanakan sebelum dituangkan ke media kanvas. Artinya Teja tidak berkarya dengan desain yang sudah fix karena ide-idenya terus berkembang seiring proses berkarya. Banyak hal-hal spontan yang kemudian memasuki proses tersebut yang dituangkan secara langsung dalam karyanya. Ini adalah mekanisme Teja dalam berkarya. Melalui mekanisme tersebut, penulis memaknai bahwa proses kreativitas berkarya Teja merupakan letupan-letupan, impuls-impuls yang bersifat psikologis yang berasal dari bawah sadarnya. Dengan kata lain, Teja menghadirkan cuplikan-cuplikan pengalaman bawah sadarnya yang kerap kali muncul secara spontan ketika berkarya.1 Sebagaimana halnya pengalaman bawah sadar, cuplikan-cuplikan (fragmen) cerita dalam karya Teja juga kerap hadir dalam struktur yang bertumpuk dan tumpang tindih. Secara visual terlihat ada narasi dalam karyanya, tapi narasinya tidak lagi terstruktur dalam untaian-untaian sebab-akibat. Narasi itu terjadi melalui komposisi objek yang disusun berlapisan-lapis (layers). Jika dipindai lapisanlapisan obyek itu mengandung dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Narasi tersebut terkadang merupakan fragmen-fragmen cerita yang terputus, yang disatukan dalam bidang kanvas, karena itu narasi dalam karyanya juga berlapis-lapis. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan hingga Teja sampai pada eksplorasi tersebut? Dalam pembahasan terhadap sosok dan kreativitas Teja pada pengantar pameran tunggalnya tahun 2010, penulis mencoba menggali dan mengenali latar belakang yang melahirkan karya-karyanya dalam mengolah bahasa rupa wayang yang diangkat dari memori masa kecilnya. Dari sana kemudian dapat dipahami ketertarikannya pada wayang merupakan implus dari memori kultural yang mengendap dalam alam bawah sadar dan mendapat ruang imaji pada kehidupan kreatifnya sebagai seniman dikemudian hari. Ternyata kajian ini masih sebatas pada penjelasan mengenai sebab musabab objek itu hadir dalam karyanya. Pada program pameran kali ini penulis mendapati satu persoalan yang lebih mengkhusus lagi,

tw(in)side | 9

yaitu perihal eksplorasi Teja dalam bangunan struktur bahasa rupa wayang konvensional yang kemudian direkreasi kembali dengan melakukan perombakan struktur rupa dan juga struktur narasi. Lebih lanjut, berdasarkan diskusi intensif selama mengiringi proses berkarya, Teja mengungkapkan bahwa selain memori masa kecil yang begitu membekas ada satu lagi pengalaman masa remaja saat duduk di bangku SMP, yaitu ketertarikannya pada karya karikatur. Karikatur menurutnya merupakan satu medium yang memberikan ruang kreativitas baru bagi berbagai gagasan visual dan juga sarat dengan nilai kontekstual. Karikatur menyediakan keterbukaan dalam mengeksplorasi bentuk, melakukan restrukturasi pada bentuk dan memain-mainkannya menjadi parodi yang jenaka, menggelitik membuat ketawa, terkadang juga tragis, ironis, namun sarat akan nilai-nilai humanis. Media karikatur menghadirkan warna baru dalam babak kreativitas Teja untuk menumpahkan berbagai hal yang tengah dirasakan dan dialaminya sebagai siswa sekolah menengah. Melalui karikatur Teja menemukan spirit bermain-maian dengan struktur obyek visual. Hingga akhirnya ia memutuskan memasuki institusi seni yang kemudian memberikannya ruang yang lebih luas untuk memahami medium dan media seni rupa. Di institusi seni Teja mulai menginkubasi berbagai pengalaman masa lalu, dimana memori tentang wayang berinteraksi dengan pengalaman baru yaitu medium seni rupa khususnya seni lukis yang secara intensif mulai dipelajarinya. Dari bangku akademis ia mulai menarik pengalaman masa lalu itu ke dalam dunia kreativitasnya secara lebih intens dan metodis. Teja juga menjadikan dasar penguasaannya pada pengolahan bentuk karikatural sebagai pijakan eksplorasi pada karyanya. Karena wayang sendiri merupakan hasil kreasi dengan struktur bentuk yang terdistorsi, dan Teja merekreasi kembali struktur baku wayang yang telah menjadi pakem. Ia melakukan restrukturasi mengolahnya menjadi lebih unik, bahkan menampilkan eksplorasi bentuk yang khas mencirikan gaya ungkap seorang Teja Astawa. Dengan kata lain Teja berhasil mendomestikasi wayang dari habitus kolektifnya menjadi gaya dan bahasa ungkap pribadi. Dengan bahasa ungkap pribadi ia dapat leluasa mengembangkan berbagai tema, seperti dalam pameran ini yang mengangkat tema binatang. Cerita tentang binatang ada pada berbagai cerita rakyat di berbagai peradaban di dunia, yang memiliki persamaan dan juga perbedaan sesuai dengan kondisi budaya masyarakat setempat. Dalam tradisi Hindu di Bali sendiri cerita tentang binatang dikenal dengan Tantri, yang bersumber dari Panca Tantra dan Jataka yang berasal dari India. Istilah Tantri sendiri diambil dari nama gadis cantik dan pandai bercerita. Mengisahkan gadis cantik dan raja yang lalim, yang pada akhirnya dengan ceritacerita yang dikisahkan dengan baik oleh sang gadis mampu mempengaruhi dan merubah peringai sang raja menjadi lebih bijaksana. Cerita yang dikisahkan oleh sang gadis pada raja

10 | tw(in)side

adalah cerita tentang binatang yang sebetulnya merupakan metafor perilaku manusia, dikemas dengan imajinatif dan kaya dengan pesan-pesan moral yang dapat menggugah kesadaran. Kecenderungan mengangkat tema binatang atau tantri juga dilakukan oleh Dewa Putu Mokoh serta seniman-seniman Sanur yang menjadi pendahulu Teja diantaranya: I Gusti Made Rundu, Ida Bagus Nyoman Rai, I Soekarja, I Poegoeg, I Rudin, Ida Bagus Soenia. Secara tidak langsung keberadaan pendahulu tersebut, ikut memberi pengaruh pada perkembangan karya-karya Teja saat ini. Beberapa aspek cerita Tantri diambil sebagai pedoman bagi karya-karya Teja. Namun cerita ini kemudian dikembangkan secara bebas tidak terikat dengan epik yang dirujuk. Narasi yang ditampilkan dalam karya tidak diniatkan untuk mengusung nilai-nilai tekstual dari epik Tantri atau cerita rakyat pada umumnya, ia justru mengkreasi cerita baru dengan memakai tingkah polah binatang sebagai metafor. Cerita-cerita itu merupakan narasi subyektif yang dibangun dengan gaya ungkap yang khas, terlihat sedikit humoris, terkesan ringan, sederhana sebagaimana halnya karakter karikatur yang ia gandrungi. Daya imajinasi dan spontanitas mengarahkan eksplorasi karyanya tidak pernah berhenti hanya mengikuti pola-pola yang sudah ada. Keterbukaan karya Teja pada berbagai pretensi penafsiran dan pemaknaan mencerminkan keterbukaannya pada berbagai hal bahkan hal yang bersifat spontan. Sesuatu yang tiba-tiba terlintas dipikirannya dapat ia masukkan dengan menyesuaikan secara komposisional, sehingga tidak mengganggu ataupun dengan sengaja dimaksudkan sebagai gangguan estetik yang menggugah perhatian. Penulis kira itulah potensi Teja, yang memiliki daya imajinasi tinggi dan membiarkan imajinasi menuntun kreativitasnya. Beserta imbuhan kecenderungannya mempermainkan sesuatu yang baku, dapat dimaknai sebagai sebuah daya kreativitas tanpa batas yang selalu akan meretas kebuntuan estetis. Teja juga selalu mencari celah-celah dari berbagai fenomena dalam budaya visual media kontemporer, semisal fenomena permainan iteraktif angry bird yang tengah digandrungi oleh pemakai tablet pc. Secara spontan tiba-tiba sosok angry bird dan si babi musuhnya itu menginvasi kanvasnya hadir bersanding dengan binatang-binatang hasil olahannya yang bersumber dari bentuk-bentuk binatang wayang dalam cerita Tantri. Dengan mudahnya Teja menjajarkan dua karakter yang berbeda itu, dari masa lalu dan masa kini diketengahkan tanpa rasa was-was bahwa dapat terjadi benturan imaje yang bisa saja mengganggu eksistensi karakter wayang hasil rekreasinya itu. Tapi kejadian itu bukanlah hal yang baru pada Teja yang memang gemar mencari berbagai kemungkinan, karena di awal tahun 2000an ia pernah mengerjakan tema tentang super hero dari film animasi anak-anak yang banyak ditayangkan pada stasiun televisi. Karakter bentuk Batman direkreasi kembali sesuai karakter bentuk gubahannya dan menampilkan narasi tersendiri sesuai dengan tema yang diangkat. Kemungkinan baru memang harus selalu ada, namun harus dikondisikan sedemikian rupa agar tidak terjadi distorsi-distorsi.

tw(in)side | 11

Bila bermain-main dapat dimaknai secara filosofis, maka kecenderungan Teja untuk selalu mencari berbagai kemungkinan tentu tidak hanya menghadirkan fenomena estetis semata. Lebih lanjut ada nilai yang dapat dimaknai secara lebih mendalam pada proses yang sedang dilakoninya. Kemampuan untuk melakukan eksplorasi secara terus-menerus adalah cerminan daya kreatif seorang seniman, namun harus dibarengi dengan usaha untuk memahami the way of creativity life. Memahami tujuan esensial sebuah pencarian kreatif, dan memahami motivasi yang mendasari kehadiran daya tersebut. Dalam hemat penulis aspekaspek tersebut telah ada dalam diri seorang Teja, pengalaman kultural yang bertemu dengan daya restrukturasi, ditambah dengan spontanitas dan diimbuhi keterbukaan pada fenomena baru, merupakan daya potensial untuk menghantar perjalanan kreativitasnya. Teja berada pada jalur yang telah ia gariskan, jalur yang selalu memberikan berbagai kemungkinan, dan kemungkinan itu adalah potensi yang selalu akan menghantarkannya pada penemuan halhal unik lainnya. Karya-karya seri binatang kali ini adalah satu dari berbagai kemungkinan visual yang akan muncul dari kreativitasnya. Memahami Teja adalah memahami kemampuan men-drive dirinya untuk selalu menggali berbagai kemungkinan yang terkadang hadir secara spontan dari imajinasi yang liar. Mamaknai “Kesederhanaan” Dewa Putu Mokoh Sementara sebelumnya hal yang sama seperti Teja telah dilakukan oleh Dewa Putu Mokoh dengan mendomestifikasi narasi seni lukis tradisional Bali khususnya Ubud yang tadinya berkisar pada narasi epik mahabarata dan ramayana, menjadi narasi kecil kehidupan masyarakat yang ia rasakan dan jalani. Mokoh mengembangkan bahasa rupa yang kemudian menjadi karakter khasnya, dengan bentuk-bentuk manusia yang sederhana (figuratif). Menurutnya “lukisan yang rumit itu bisa menyembunyikan kekurangannya pada kerumitan itu. Tetapi lukisan yang sederhana bentuknya akan dengan jelas memperlihatkan kekurangannya”.2 Pria sederhana kelahiran 1934 asal Pengosekan Ubud ini melukis dengan gaya khas yang naif seperti gaya melukis anak-anak. Dalam beberapa karyanya ia tergolong sangat berani dalam menampilkan komposisi yang menyempal dari pakem seni lukis tradisional Ubud, dengan narasi-narasi kecil yang diangkat dari kehidupan kesehariannya. Terkadang lukisannya hanya menampilkan kain yang sedang digantung, karya tersebut mungkin terlihat biasa-biasa saja tapi dalam amatan penulis hal itu memperlihatkan kesadaran Mokoh aspek komposisional. Seperti diketahui kecenderungan karya tradisional memakai komposisi yang cenderung penuh, bertujuan untuk menampilkan narasi secara utuh dalam satu bidang karya. Mokoh melampui konvensi tersebut dengan menampilkan obyek-obyek secara bersahaja dengan posisi dipinggir dan bidang yang lain dibiarkan kosong. Komposisi dalam karya Mokoh menunjukkan itensitasnya dalam mengeksplorasi aspek-aspek rupa, dan capaian itu dilakoni melalui kreativitasnya yang cenderung mengalir secara intuitif.3

12 | tw(in)side

Jika Teja mengasah kepekaan estetis dan penguatan konsepsi melalui pendidikan formal seni, hingga membawanya pada kedasaran untuk mengangkat potensi yang ada pada seni rupa tradisi yang ia warisi dalam kultur Bali. Mokoh sepenuhnya mengasah intuisi dan kepekaan artistiknya dengan belajar secara mandiri, yang awalnya belajar pada pamannya Gusti Ketut Kobot melukis gaya Pengosekan. Dari proses itu ia belajar teknik-teknik yang menjadi dasar untuk mengembangkan gaya rupa yang lebih menampilkan ekspresi pribadi. Ia tidak mau berhenti hanya mengulang-ulang seni rupa yang diwarisi secara kolektif, dengan daya kreativitasnya ia dapat membuktikan bahwa ia mampu melahirkan inovasi dari bahasa rupa yang dijalani dalam ranah kolektif. Bahasa rupa yang masih memiliki keterkaitan dengan bahasa rupa tradisi, yang kemudian diberikan sentuhan inovatif menjadikannya memiliki kekhasan pribadi (identitas) dikembangkan dengan mengetengahkan nilai-nilai yang kontekstual sesuai perkembangan zaman. Sebuah pengalaman berharga berkaitan dengan pencapaiannya itu yang begitu membekas dalam dirinya, adalah nasihat Rudolf Bonnet pelukis yang ikut dalam mendirikan asosiasi Pita Maha. Dalam satu kesempatan ditahun 1950-an Bonnet berkata kepadanya “jangan bikin lukisan seperti guru kamu. Kalau sama dengan guru kamu, itu tidak benar. Kalau bukan keluar dari pikiran kamu sendiri, itu bukan ciri kamu”.4 Perkataan Bonnet itu begitu membekas dan menghantarkannya pada sebuah pencapaian individu yang khas, berbeda dengan gaya seni lukis pengosekan pada umumnya. Capaian ini menjadikannya berbeda dan unik dari pelukis lainnya di daerahnya, yang kini menghantarkannya menjadi salah satu seniman yang memiliki posisi penting pada perkembangann seni rupa kontemporer Bali. Epilog Selama ini ketradisionalan dianggap mewakili kebudayaan yang stagnan, statis, maka dari itu sikap mempertimbangkan tradisi dianggap dapat menghambat usaha untuk mengejar kemajuan dan progres yang terus-menerus dari semangat modern. Akan tetapi dalam kenyataannya tradisi pada berbagai kebudayaan senantiasa mengalami dinamika dan evolusi, dikarenakan berbagai aspek sosial yang mempengaruhi masyarakat pendukungnya. Kebudayaan Bali yang sejak lama dikatakan telah memiliki akar tradisi yang kuat dan terus tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. Sejak mengalami persinggungan dengan kebudayaan Barat di awal abad ke-20 khususnya di Bali Selatan, yang dalam perkembangan kemudian meletakkan konstruksi pada kesadaran akan nilai-nilai luhur identitas budaya Bali. Baik dalam kerangka awal pariwisata budaya. Maupun disaat modernitas semakin kencang mendera dalam perkembangan pariwisata di Bali, yang menjadikan kebudayaan tradisi kemudian mengalami diversifikasi. Berupa pemisahan antara kepentingan religi dan kepentingan industri pariwisata, pemisahan itu tentunya tidak berjalan dengan damai namun penuh dengan dinamika sehingga pada akhirnya melahirkan konvensi tersebut.5

tw(in)side | 13

Tradisi dan modernitas menjadi dua entitas penting dalam kebertahanan dan perkembangan kebudayaan Bali, kondisi yang lebih real dapat dilihat dalam perkembangan kesenian khususnya seni rupa. Sebuah fenomena visual telah ditunjukkan oleh dua pelukis pada pameran ini. Perkembangan zaman (modernisasi) memberi dampak sangat besar dalam membentuk sikap dan persepsi mereka untuk memaknai tradisi, kedirian, dan modernitas. Hingga membawa mereka pada pilihan merefitalisasi bahasa rupa tradisi untuk memaknai perubahan-perubahan yang terus berlangsung. Menyimak karya-karya mereka, apresian diajak untuk membuka seluas-luasnya ruang imajinasi pribadi, membebaskan berbagai penafsiran para apresian sesuai dengan pencerapan dan pengalaman pribadinya. Karena pada dasarnya seniman bukanlah pemegang otoritas tunggal pada konstruksi makna bagi karyanya, apresiator memiliki otoritas subyektifnya masing-masing dalam menentukan pemaknaan yang ingin dibangun dari pencerapannya terhadap fenomena visual. Karya merupakan kanon visual dengan potensi estetik yang berfungsi menggugah imajinasi si pencerap, maka dari itu tugas seniman adalah memproduksi fenomena estetis dengan keunikan yang dikandungnya sehingga mampu menarik perhatian para penikmat.

Sanggulan, Februari 2013 *Penulis adalah staf pengajar di Universitas Negeri Gorontalo,kini sedang menyelesaikan studi Program Doktoral di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tulisannya telah dimuat di media massa, majalah seni dan jurnal seni, serta dalam prosiding seminar seni nasional maupun regional. Menulis dalam buku Arie Smit a Living Legend tahun 2011, Salvation of the Soul Nyoman Erawan tahun 2012 bersama penulis Rizki A. Zaelani, kini tengah menyusun buku pematung I Ketut Muja.

Lihat W. Seriyoga Parta, “Fragments of Subconscious Memory” Solo Exhibitoan of Teja Astawa 2010th at Tony Raka Art Galleri Mas Ubud Baca Hardiman, dalam I Dewa Putu Mokoh, Ideolek yang Membawanya ke Fukuoka, Majalah Visual Arts Vol. 6, No. 34, Desember 2009/ Januari 2010. Hal. 112 iii Lihat W. Seriyoga Parta, Kreativitas Seniman Bali Otodidak Dalam Konstelasi Seni Rupa Kontemporer, Proceeding Seminar Antar Bangsa Indonesia-Malaysia, tgl 18-19 Juni 2012 Program Pascasarjana Pendidikan Sen, Universitas Negeri Semarang iv Hardiman, op.cit. hal.110 v W. Seriyoga Parta op. cit. i

ii

14 | tw(in)side

Curatorial

“animal instinct”: a Distinctive Expressional Language of Ketut Teja Astawa The word “animal” represents the theme in Teja’s works in this show, bringing up the stories of animals, while “instinct” refers to the traits of animals that are more instinctive. The instinct is the nature of all living creatures. It is also the basic human feature that comes from the desire and is a subconscious drive, and therefore it is spontaneous. The term is used to facilitate Teja’s exploration that is full of spontaneity in playing with the puppet structure in terms of visuals and narratives. Far from being merely playful with the structure, Teja has restructured the forms taken from the puppets and their narrative structure.

The Exhibition of Ketut Teja Astawa and Dewa Putu Mokoh by : W. Seriyoga Parta*

This show represents two Balinese painters who stand for different generations. They have applied Balinese traditional painting as the basis of developing their work and therefore they have a similar technique in their exploration. Teja is a young painter from Sanur who has developed his work, underlain by the Balinese Wayang character, since 1990. He has succeeded in creating his own distinctive style. On the other hand we have the late lamented Dewa Putu Mokoh who learned the Pengosekan style of painting at a young age; thence he was able to break away and developed his own distinct character of painting. A creative exploration of the similarities between the two men who represent two different generations can be interpreted as a different style to the development of contemporary art in Indonesia. Their presence has marked thread of Balinese painting styles in the development of contemporary art. Namely the development of painting that explores the contemporary aesthetic exploration, yet still showing a thread of earlier Balinese paintings. In other words, the presence of their works marked the development of painting in contemporary Balinese who have an identity.

16 | tw(in)side

This spontaneity is the foundation for the existence of his peculiar objects and at the same time, they signify uniqueness in his works. Teja’s creative performance in the work is very interesting to note, because the ideas in his works are not fully designed before they are applied onto canvas. It means that he does not work with a fixed design as the ideas are continuously progressing along with the work processes. Varied spontaneous concepts materialize into these processes and he reveals them directly in his works. So, this is Teja’s creative mechanism at work. Observing this mechanism, the writer thinks that Teja’s creative performance is of psychological impulses or explosions emerging from his subconscious perception. In other words, Teja exhibits the fragments of his subconscious experiences that frequently arise during his work.i As the subconscious experiences, the fragments of stories in Teja’s works appear to be piled up and overlayed one another. Visually, the narratives are seen in his works but they are not structured in strands of causation. The narrative that takes place is through a structured composition. If scanned those object layers expose different time and space dimensions. The narratives are sometimes the fragments of a broken story, united in the canvas, because the narrative in his work is also multi-layered. Then the question arises, what inspires Teja to such exploration? During the discussion of Teja’s figure and creativity for his solo show introduction in 2010, the writer attempted to explore and recognize the background from which the works were created to process the visual language of puppets taken from his childhood memories. Subsequently, it was found out that his strong interest in puppets were of impulses of cultural memory settling in his subconscious perception and had given rise to the imaginative room of his creative life as an artist in the future. tw(in)side | 17

That review was purely about the explanation of causal objects in his works. In this exhibition program the writer identified a specific issue that is about the exploration of building structures in Teja’s puppets from the conventional language then returned with a way to revamp the structure and also the structure of the narrative. Moreover, based on several intense discussions about his creative process, Teja said that in addition to childhood memory, there was the adolescent experience at Junior High School that of his deep interest in caricature. According to him, caricature was a medium giving him new creative room for varied visual ideas that are loaded with contextual values. It provided openness in exploring and restructuring forms. He played it as a humorous parody to make him laugh; sometimes it was tragic, ironic, but filled with human values. As a medium, caricature had functioned such “new-found color” in Teja’s creativity phase to express a variety of things he felt and experienced as a high school student. In caricature, he discovered the spirit of playing with visual object structure. Until finally he decided to enter the institution of art and this facilitated within him more space to understand the medium and fine art media. In this institutions Teja began incubating various experiences of the past, where the memory of puppets interacted with new experiences of the art medium of painting which he intensively studied. From the academic bench he began to draw past experience into his creative world more intensely and methodically. Teja employed his mastery in transforming caricatural forms as the explorative principle in his works. Actually, puppets are creations with distorted forms and he recreates their basic structures that have become a standard. He restructured and processed them to be more unique, exposing Teja Astawa’s distinctive form of exploration. In short, he accomplished to domesticate puppets from their collective habitat into his own personal style and language. With such personal language, he can freely develop a variety of themes such as with this exhibition and the theme of animals. Stories about animals exist in a variety of folklore in different civilizations in the world, which has similarities and differences in accordance with the local cultural. In the Hindu tradition in Bali, fables are known as Tantri, derived from Panca Tantra and Jataka of India. Tantri was taken from the name of a beautiful girl who was a very good storyteller. It was about the girl whose stories managed to influence a tyrannous king’s temperament into becoming wise. The story she told him were of animals, which are the metaphors for human behavior, packed with imagination and rich with moral messages that can arouse consciousness.

18 | tw(in)side

The development of Teja’s works utilizing fabel or tantri themes are indirectly influenced by Dewa Putu Mokoh and some of his predecessing artists from Sanur, i.e. I Gusti Made Rundu, Ida Bagus Nyoman Rai, I Soekarja, I Poegoeg, I Rudin, Ida Bagus Soenia Several aspects of Tantri were adopted as the guidance in Teja’s series of works, that explore the stories of animals. However, these stories later developed independently are not bound by the referenced epic. The narratives in the works were not intended to carry around the contextual values of the epic in the Tantri or common folklores, however Teja was creating new stories by adopting the animals’ deeds as metaphors. These stories are subjective narratives that are composed with distinctive visual expression; slightly humorous, seemingly light, and the simple caricature characters he is fond of. The power of imagination and spontaneity has led Teja’s exploration to not simply stick to the existing patterns. Imagination and spontaneity drive the exploration of work that never stops just following the patterns that already exist. Teja’s openness to a variety of interpretation pretensions and meanings reflects his openess to things that are spontaneous. An idea coming to his mind may be compositionally adjusted so it does not interfere or deliberately intended to arouse the attention of the aesthetic nuisance. The writer believes that it is Teja’s potent imagination that leads his creativity. His inclination to play with the standard objects can be identified as limitless creative power that will always reign over the aesthetic impasse. Teja always looks for the gaps of dissimilar phenomena in the visual culture of contemporary media like in the interactive toy of Angry Birds that has recently been fancied by the tablet users. Spontaneously, the figures of angry birds and the pigs, the enemies, invade his canvas along with his animal creations inspired by the forms of puppet animals in the Tantri. It seems to be easy for Teja to make parallel these two different characters; from the past and recent time, without anxiety if their images collide and spoil the existence of puppet characters he has created. Nonetheless, this is not a new issue with Teja who loves searching for possibilities. In early 2000, he had once worked on the theme of super heroes of children animations shown on televisions. He recreated Batman’s character in such a way and depicted a particular narrative in accordance to the theme. The new possibilities are supposed to exist but they should be conditioned in this fashion to avoid distortions. When a play can be sensed philosophically so to should Teja’s inclination for diverse possibilities not plainly present aesthetic phenomena. Furthermore, a value is perceived in the process he is in. The ability to conduct ongoing exploration is a reflection of an artist’s creative power, but it should be coupled with efforts to understand the way of creative life. It

tw(in)side | 19

also indicates the essential goal of a creative searching and importance of comprehending the motivation behind this power.

He did not want to stop just repeating the inherited collective style, with creativity he could prove that he is able to bring an innovative form of language to the collective realm. A form of language that still has relevance to the traditional language, which is then developed by bringing up the contextual value based on an innovative touch and his personal identity.

In the opinion of the author these aspects already exist within Teja, who met with the cultural experiences that are blended with restructuring power as well as enriched with spontaneity and openness to new phenomena are the potential power to deliver to his creativity journey. Teja is on the track he designs; a track that gives him diverse possibilities and these potentials are taking him to other unique discoveries. This animal series of works are ones of the visual possibilities coming out from his creativity. Understanding Teja is understanding his ability in driving himself to keep digging out possibilities that frequently come to light spontaneously from such a wild imagination.

A valuable related experience is the lasting achievement by the painter Rudolf Bonnet who participated in establishing the association the Pita Maha in 1950. Bonnet cautioned his student, “do not make paintings like your teacher, if they are the same as your teacher, that’s not to be true. They are not a product or a characteristic of you. “ Bonnet’s great achievement was to impart these words and hence allow for the natural development of the different styles of painting in Pengosekan, and allowed for the nurturing of one of the great artists that has an important position in contemporary art development of Bali.

Interpreting “the simplicity” of Dewa Putu Mokoh

Epilog

Meanwhile, a previously similar thing has been done by Dewa Putu Mokoh with Balinese traditional narrative painting, particularly Ubud style, which revolves around the epic Mahabharata and Ramayana narratives, and then a brief narration about the daily life of the community he lived in. He developed a distinctive visual language that became his trademark, with a simple human figurative shape. He states “a complicated painting can hide its shortcomings in its complicated nature, however a simple painting is going to clearly show its shortcomings”.ii

At this time a stagnant and a static culture is supposed to be a demotivating factor for reaching a continuous progression of the modern spirit. However, in reality many tradition cultures are always experiencing the dynamic and the evolutionry, because of the social aspects that effect the supporting community.

Mokoh was a simple man, born in 1934 in Pengosekan Ubud and painted with a naïve child like style. In some of his work he was considered very daring in showing uncomon compositions from the Ubud standard, with small narratives taken from their daily lives. Sometimes he displayed a fabric hanging in his composition, it might be a common thing but when the writer looked deeply into its detail, it showed the awareness of Mokoh’s compositional aspects. Generally there is a tendency of the traditional artworks to contain full compositions, with the purpose for displaying a complete narration in one plane of work. But Mokoh exceeded that convention by displaying the uncomplicated object, positioned on edge and the other part of the canvas is left with empty. Its composition shows his intensity in exploring the visual aspects. He was able to achieve this through his intuitive creative flow. ii Teja has sharpened his esthetic sensitivity and conceptual strength through formal art education, to bring about the awareness to raise the potential that exists in the fine art tradition that he inherited through his Balinese culture. On the contary, Mokoh’s fully honed intuition, artistic sensitivity and self-directed learning that was originally studied via his uncle Gusti Ketut Kobot’s Pengosekan style of painting. He learned techniques that form the basis for developing a more stylish way of personal expression. 20 | tw(in)side

Balinese culture has long been a tradition said to have strong roots and continues to grow along with the times. Since having contact with Western culture at the beginning of the 20th century, and especially in the Southern Bali, in its development period of the construction of the consciousness of noble values of ​​ the Balinese cultural identity within the initial framework of cultural tourism. Nor when modernity increasingly tightinfluencing the development of tourism in Bali, therefore the traditional cultural culture has faced diversification. For example the gap between religious interests and the interests of the tourism industry, the separation is certainly not going to be in harmony with the dynamics that eventually gave birth to the convention. Tradition and modernity has become two significant entities in the survival and the development of culture in Bali. A more real condition can be seen in the development of the arts, especially fine art. A visual phenomenon has been demonstrated by the two artists in this exhibition, modernization has enormous impact in shaping attitudes and perceptions to make sense of tradition, self perception, and modernity. Appreciating their work opens the widest spaces of personal imagination, freeing it from the various interpretations according to the personal perceptions and experiences. For them, an artist is not the one who holds the full authority upon the meaning of their works but it is the appreciators who possess their own subjective authority in building a meaning from their perception toward the visual phenomena.

tw(in)side | 21

Artworks | Biography

Artworks are the visual canons with aesthetic potentials functioning to arouse imagination of the perceivers. Therefore, the task of an artist is to produce a unique aesthetic phenomenon so that they may attract the attention of appreciators. So that is not a problem if the art works were to be solely enjoyed only on the esthetic phenomenon within the unique objects that are presented. Sanggulan, February 2013 * The writer is a lecturer at Gorontalo State University. At present, he is taking a Doctoral Program at Yogyakarta Indonesia Institute of The Arts. His writings are publicized in mass media, art magazines and journals, and proceedings of national and regional seminars. He writes in Arie Smit’s “A Living Legend” in 2011, Nyoman Erawan’s “Salvation of the Soul” with Rizki A. Zaelani, and is currently developing a book on sculptor I Ketut Muja.

See W. Seriyoga Parta, “Fragments of Subconscious Memory” Solo Exhibition of Teja Astawa 2010 at Tony Raka Art Gallery, Mas, Ubud Read Hardiman in I Dewa Putu Mokoh, Ideolek yang Membawanya ke Fukuoka, Visual Arts magazine Vol. 6, No. 34, December 2009/ January 2010. page. 112 iii See W. Seriyoga Parta, Kreativitas Seniman Bali Otodidak Dalam Konstelasi Seni Rupa Kontemporer, Proceeding Seminar between two nation Indonesia-Malaysia, on June 18th -19th 2012 Postgraduate Art Program Semarang State University i

ii

22 | tw(in)side

KETUT TEJA ASTAWA

March 1st, 1971 Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar

SOLO EXHIBIITON 2012 : A Glimpse Back Into The Past : Early Paintings of Ketut Teja Astawa ART , Temporary Space, Plaza Senayan, Jakarta, Indonesi 2011 : Fragments of Subconscious Memory , Tonyraka Art Gallery, Ubud 2009 : Batman Forever, Sunjin Gallery, Singapor 2008 : Works Of Ketut Teja Astawa, Gallery Roemah Roepa, Jakarta GROUP EXHIBITION 2013 : Sand Gallery, Sanur

AWARD Finalist Philip Morris Art Award Indonesia on 2001 MUSEUM COLLECTION Der Weltkulturen Am Schamainkai, Frankfurt, Germany

2012 : SUDAKARA, Sanur // Gaya Art Space 2011 : SAWEN AWAK, Cross - Culture of Balinese and Foreign Contemporary Artists, Exhibition Hall Jakarta Art District with Tonyraka Art Gallery, Indonesia // BALI MAKING CHOICE, Mon Décor Gallery at National Gallery, Jakarta, Indonesia // Scope Basel, at Basel, Switzerland // OUR TESTIMONY, 5 artist HPS at Santrian Gallery, Bali, Indonesi 2010 : RETURN TO THE ABSTRACTION, Tonyraka Art Gallery, Ubud, Bali, Indonesia // POST MODERN RAMBLING, Ganesha Gallery Fourseason, Bali, Jimbaran // CORNER KICK, Tanah Tho Gallery, Ubud, Bali, Indonesia // BAZAAR ART JAKARTA, booth Tonyraka Art Gallery, Pacific Place The Ritz Carlton, Jakarta // “2X…”, Exhibition Hall Jakarta Art Disctrict, Jakarta, Indonesia // “10+1”, Paros Gallery 2009 : BALINESE KUNST IN GEUR KLEUR, Nederlands Parfumflessen Museum, the Netherlands // BATMAN FOREVER, Sunjin Gallery, Singapore 2008 : PAMERAN PERUPA BALI, at Montiq Gallery, Jakarta, Indonesia // 11 th, BEIJING INTERNATIONAL ART EXPOSITION, at Beijing // BALI ART NOW, Yogyakarta, Indonesia 2007 : JUXTAPOSE, Gallery Ellcana, Jakarta, Indonesia 2006 : Ganesha Gallery Four Season, Jimbaran, Bali, Indonesia 2005 : BALI TO BALI, Sun Jin Gallery, Singapore // ART AS SELF, Santrian Art Gallery, Sanur , Indonesia

2004 : MOSAIK HIMPUNAN PELUKIS SANUR, Santrian Gallery, Sanur , Indonesia // DRAWING NEW HARMONY II, Rare Angon Gallery, Sanur, Indonesia // “10 Artist Introduce Themselves”, 10 Fine Art Sanur, Bali, Indonesia // Auction, Swiss hotel the Stamford, Singapore // THE JOURNEY HIMPUNAN PELUKIS SANUR, Museum Puri Lukisan, Ubud, Indonesia 2003 : TAIBlack, Dies Natalis STSI XXXVI at STSI Denpasar, Indonesia // BIG PERUPA DALAM 16, Art Center Denpasar & Santrian Gallery Sanur, Indonesia // NEW HARMONY, Rare Angon Gallery, Sanur, Indonesia // Pesta Kesenian Bali XXV, Art Center, Denpasar, Indonesia 2002 : HIMPUNAN PELUKIS SANUR, Soft Opening Santrian Gallery at Santrian Gallery, Sanur, Indonesia // PERUPA DALAM 16, Gabrig Art Gallery, Sanur, Indonesia // PARADISE YOUTH ACTIVITY FOR HUMANITY SANGGA BUANA, RRI Denpasar, Indonesia 2001 : TAKSU BALI, Gallery 678, South Jakarta, Indonesia // SENI RUPA BALI KONTEMPORER, Bentara Budaya, Jakarta, Indonesia // WHAT II, Gallery Sembilan, Ubud, Bali, Indonesia // HIMPUNAN PELUKIS SANUREXHIBITION, Balairung Dewi Sri Exhibition Hall, Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Indonesia 2000 : REFLEKSI SENI, Darga Gallery, Sanur, Bali, Indonesia | 1996 : Exhibition at Canberra Sidney Australia // REFLEKSI SENI 98, Darga Gallery, Sanur, Bali, Indonesia 1995 : KELOMPOK SEBELAS, Art Center, Denpasar, Bali, Indonesia // Arnanda Tour, Kuta, Bali, Indonesia 1994 : KELOMPOK SEBELAS, Darga Gallery, Sanur, Bali, Indonesia 1993 : Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali, Indonesia // HUT II KAMASRA EXHIBITION, STSI Denpasar, Bali, Indonesia 1992 : Museum Sidik Jari, Denpasar, Bali, Indonesia // SENI MASA KINI, STSI Denpasar, Bali, Indonesia 1991 : Exhibition at Art Center, Denpasar, Bali, Indonesia // PEKSIMINAS, STSI Denpasar, Bali, Indonesia // Dies Natalis STSI Denpasar, STSI, Denpasar, Bali, Indonesia // KELOMPOK LANJALAN, Ubud, Bali, Indonesia // Museum Ratna Warta, Ubud, Bali, Indonesia

LAKE PROBLEM | 150 x 200 cm | acrylic on canvas | 2012

26 | tw(in)side

PENGEMBALA KUDA | 150 x 200 cm | acrylic on canvas | 2012

tw(in)side | 27

MONKEY’S CELEBREATH | 140 x 190 cm | acrylic on canvas | 2013

28 | tw(in)side

STAIRWAY TO THE TOP | 150 x 200 cm | acrylic on canvas | 2013

tw(in)side | 29

PENJAGA LAUT | 90 x 140 cm | acrylic on canvas | 2012

30 | tw(in)side

WATER BOOM | 215 x 300 cm | acrylic on canvas | 2012

tw(in)side | 31

PIGGY PROBLEM | 200 x 150 cm | acrylic on canvas | 2012

32 | tw(in)side

SAVE THE DRAGON | 150 x 150 cm | acrylic on canvas | 2013

tw(in)side | 33

WAITING 140 x 300 cm acrylic on canvas 2012

tw(in)side | 35

DEWA PUTU MOKOH Pengosekan, 1933

Dewa Putu Mokoh was born in the village of Pengosekan in 1933. He studied wayang style painting with his uncles I Gusti Ketut Kobot and I Gusti Made Baret, both of whom were central figures in the Pita Maha artists’ association. He has participated in group exhibitions in Australia, USA, Japan, Finland, Holland, Denmark, Germany and Italy. Mokoh exhibited at the Venice Biennial in a two-man exhibition with Mondo in 1993, and he had a solo exhibition at the Fukuoka Art Museum, Japan in 1995. The artist has been painting all his life, and is only recently gaining the recognition he deserves. Mokoh’s work is often characterised by family scenes with children playing. His work breathes intimacy, sensuality and a yearning for the days of childhood, often with a humorous element. Some motifs please him so much that he likes to repeat them, such as the hand appearing from behind the curtains to pinch a nipple between its thumb and forefinger. Mokoh’s paintings depict ordinary, everyday events, which he transforms into the extraordinary.

UNTITLED #1 | 90 x 60 cm | acrylic on canvas | 2006

38 | tw(in)side

UNTITLED #2 | 90 x 60 cm | acrylic on canvas | 2006

tw(in)side | 39

UNTITLED #3 | 60 x 80 cm | acrylic on canvas | 2007

40 | tw(in)side

UNTITLED #4 | 60 x 80 cm | acrylic on canvas | 2009

tw(in)side | 41

UNTITLED #5 | 80 x 60 cm | acrylic on canvas | 2009

42 | tw(in)side

UNTITLED #6 | 70 x 90 cm | acrylic on canvas | 2009

tw(in)side | 43

Special Thanks & Colophon

We would like to offer heartfelt thanks to the staff and personnel of Uma Sapna Villas. Their contribution and gracious support has been essential in turning Kendra Gallery from a dream into a reality. Jl. Drupadi No. 20xx Basangkasa, Seminyak - Bali - Indonesia t. +62 361 736 628 f. +62 361 736 629 [email protected]

This catalogue is pubblished to accompany the exhibition of KETUT TEJA ASTAWA AND DEWA PUTU MOKOH

March 29th 2013 - April 29th 2013 at Kendra Gallery Curator : Wayan Seriyoga Parta Organiser : Kendra Gallery and Tonyraka Art Gallery Publisher : Kendra Gallery and Tonyraka Art Gallery Graphic Design : Budhi Tomfreak Photography : Ade Swabuana and Artist Collection Edition : 500 copies Printed : Cahaya Timur Offset Published by Kendra Gallery & Tonyraka Art Gallery Copyright ©2013 All right reserved. No Part of this catalogue may be reproduced in many form or means withhout written permission from the publisher.

Lihat lebih banyak...

Comentários

Copyright © 2017 DADOSPDF Inc.